Posted By Bayu Angga on 23 April 2013
EVOLUSI TARI BALI
Tari Sang Hyang
Tari Sang Hyang adalah salah satu tari yang masih hidup sebagai budaya di tengah-tengah masyarakat hindu di Bali. Hingga kini dijumpai kurang lebih dua puluh jenis tari Sang Hyang, yaitu meliputi Sang Hyang Dedari, Sang Hyang Jaran, Sang Hyang Celeng, Sang Hyang Lelipi, Sang Hyang Bojog, Sang Hyang Penyalin, Sang Hyang Deling, Sang Hyang Kuluk, Sang Hyang Sampat, Sang Hyang Penyu, Sang Hyang Sembe, Sang Hyang Memedi, dan lain-lain. Semua tari Sang Hyang memilki unsur penglukatan yang ditarikan pada saat berjangkitnya wabah penyakit.
Salah satu tari Sang Hyang adalah Sang Hyang Dedari. penarinya dipilih dari anak perempuan yang berumur antara sembilan sampai dua belas tahun. Biasanya tari Sang Hyang Dedari merupakan milik dari sebuah pura dan penari-penari itu amat taat terhadap pantangan sebagai penari Sang Hyang dan menjalankan kewajiban sebagai abdi dari pura tersebut.
Tari Sang Hyang biasanya dipertunjukan pada malam hari. Upacaranya dimulai dari jeroan pura. Bagian pertama dari pertunjukan tersebut disebut Penudusan. Selama periode penudusan para leluhur diundang untuk turun ke bumi. Jika para leluhur berkenan turun, penari Sang Hyang akan jatuh di tanah dalam suatu keadaan yang disebut kerawuhan. Mereka percaya bahwa leluhur itu telah turun ke bumi dan memasuki badan penari Sang Hyang.
Penari Sang Hyang akan menari dengan tidak sadar, melakukan gerak-gerak lemah lembut dan penuh improvisasi. Kemudian penari Sang Hyang diusung oleh para penyungsung ke sudut-sudut desa dan tempat-tempat lain untuk menghalau wabah penyakit. Setelah beberapa lama, penari Sang Hyang dibawa kembali ke pura dan segera melakukan upacara nglebaran, mengembalikan penari itu ke alam sadar.Yang paling menarik dalam Sang Hyang Dedari adalah pemberian obat-obatan oleh para leluhur kepada masyarakat yang mereka percayai dapat menghilangkan wabah penyakit dari muka bumi.
Drama Tari Gambuh
Drama tari Gambuh merupakan drama tari paling tua dan dianggap sebagai sumber drama tari Bali. Gambuh merupakan warisan drama tari yang dipentaskan pada masa kerajaan Majapahit dan Kerajaan Bali pada abad ke-14 sampai abad ke-16. Di dalamnya tersimpan tata cara dan ide-ide kebudayaan Majapahit dan kehidupan budaya yang tinggi dari kerajaan Bali.
Gambuh memasukan unsur cerita ke dalam tarian Bali karena tarian Bali pada zaman pra-Hindu tidak memiliki cerita. Gambuh juga memperkenalkan imajinasi musik yang berkualitas tinggi. Ini menyebabkan hubungan yang erat antara tari dan musik berkembang dalam drama tari Bali.
Pementasan-pementasan drama tari Gambuh pada masa Kerajaan Majapahit merupakan kejadian tertutup karena para penonton semuanya berasal dari kalangan bangsawan kerajaan. Akan tetapi, di Bali pertunjukan-pertunjukan drama tari Gambuh dipentaskan dalam berbagai upacara keagamaan sehingga drama tari Gambuh dapat diperkenalkan kepada masyarakat.
Drama tari Gambuh dipentaskan di Jaba tengah pura-pura di Bali. Panggung Pementasan (Kalangan) terdiri atas areal stage empat persegi panjang dengan ukuran kira-kira sepuluh kali enam meter. Dikelilingi dengan pagar bambu yang berfungsi sebagai pembatas para penari dan penonton. Panggung tersebut dihiasi dengan berbagai hiasan khusus seperti dedaunan, bunga-bungaan, tombak, dan payung upacara. Tempat panggung itu disejajarkan dengan arah penting kaja dan kelod. Pergelaran Gambuh diiringi dengan gamelan pegambuhan.
Reportoar Gambuh berdasarkan cerita Panji. strukturnya terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya ialah peguneman (adegan pertemuan), Pengipuk (ungkapan roman), Tetangisan (ungkapan kesedihan), Pesiat (adegan perang),
Tokoh-tokoh dalam Gambuh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh manis atau halus dan tokoh keras atau kasar. Tokoh manis adalah tokoh yang mempunyai bentuk tubuh langsing, mata kecil, suara tinggi, gerak luwes, dan berwibawa. Berlawanan dengan tokoh manis, watak keras atau kasar biasanya dimainkan oleh penari yang memiliki tubuh kokoh, tulang besar, suara rendah dan keras, serta gerakan patah-patah.
Menurut tradisi, Gambuh dimainkan oleh laki-laki. Namun sekarang kaum wanita sudah biasa memerankannya. Gambuh tidak memakai topeng, namun perwatakannya diungkapkan melalui make–up. Kostumnya dibedakan menjari dua jenis, yaitu kostum untuk penari pria dan kostum untuk penari wanita. Kostum yang dipakai penari laki-laki diantaranya baju, jaket beludru, setewel (penutup kaki), dan saput. Kostum yang dipakai oleh penari wanita diantaranya lamak, ampok-ampok, gelang kana, oncer, sampur, dan sinjang. Bagian kostum yang paling penting adalah gelungan, dan bapang. Gelungan dan bapang dipakai oleh semua tokoh baik pria maupun wanita.
Keanggotaan perkumpulan kesenian Gambuh harus diambil dari anggota banjar yang bertanggung jawab atas pemeliharaan sebuah pura. Para penari yang lebih tua akan mengajar penari yang lebih muda untuk meneruskan tradisi gambuh ini kepada generasi yang akan datang.
pada tahun 1930-an gambuh sudah hampir punah. Akan tetapi, gambuh telah dihidupkan kembali, mengikuti pola pikiran seniman dan cendikiawan yang terlibat dalam kebijaksanaan pemerintah Indonesia. Gambuh juga telah menjadi bagian kurikulum ASTI Denpasar. Kini banyak grup Gambuh baru yang muncul, misalnya Bambuh di desa Pedungan (Denpasar), Desa Batuan dan Kedisan (Gianyar), Desa Jungsri (Amlapura) dan Lain-lainnya.
Gambuh menjadi sumber beberapa drama tari Bali. Gambuh menyediakan pola-pola gerak yang rumit, ide struktur, dan cerita dalam tari Bali.
Tari Legong
Tari legong merupakan tarian klasik yang paling dikenal oleh orang barat di antara berbagai variasi tarian Bali. Berdasarkan perbendaharaan geraknya, dikatakan bahwa tari Legong bersumber dari tari Sang Hyang (khususnya Sang Hyang Dedari) yang gerak-geraknya diperindah dan disempurnakan wujudnya. Tari Legong juga mengandung unsur-unsur Gambuh. Elemen cerita masuk ke dalam tari Legong. Motif gerak khas tari Legong juga banyak diambil dari Gambuh, seperti gerak Gelatik Nuwut Papah. Elemen Lain dari Gambuh yang dijumpai pada Legong misalnya busana, khusunya hiasan kepala, ide bentuk, dan struktur dramatisasinya.
Sampai sejauh ini, memang belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba, mengatakan bahwa Legong telah dikenal de desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati bahwa Legong diciptakan kira-kira pada permulaan abad ke-19.
Legong dipentaskan pada sebuah kalangan. Kalangan berbentuk segi empat panjang di atas tanah, dengan ukuran delapan kali enam meter. Kalangan dekelilingi oleh pagar bambu yang dihiasi dengan janur. Kalangan juga diatur sesuai dengan arah spiritual dalam agama hindu yaitu Legong tampil dari arah utara. Dalam pementasannya, Tari Legong diiringi dengan seperangkat gamelan semarpegulingan.
Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Kini Legong dipergelarkan untuk kepentingan upacara keagamaan dan hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan. Kemudian dalam perkembangannya, tari Legong meluas dengan cepat ke seluruh Bali dan dipengaruhi oleh gaya popular yang lain. Pengaruh terbesar berasal dari gaya kebyar yang muncul di Bali utara pada 1914. Banyak tari Legong diiringi dengan gamelan gong kebyar dengan angsel-angsel dan gerak-gerak yang lebih lincah dan sulit.
Kini struktur tari Legong semakin diperpendek dengan hilangnya bagian-bagian penting, seperti pengawak, pengecet, dan pangkat. Ini disebabkan oleh pengaruh kebutuhan turis yang ingin menyaksikan semuanya dalam waktu yang singkat. Petunjukan Legong yang dilakukan di hotel-hotel hampir tidak memperhatikan kalender upacara sama sekali. Kalangan-nya sudah dibuat permanen, dan sama sekali tidak memperhatikan arah angker kaja dan kelod. Hal ini menggambarkan tingkat terakhir masalah sekularisasi dan harus diperhitungkan serius agar masa depan tari Legong menjadi lebih baik.
Tari Joged
Tari Joged adalah tari yang memiliki aspek-aspek sosial yang tinggi nilainya. Tari joged penuh dengan improvisasi. Salah satu bagiannya yang menjadi ciri khas joged sebagai tarian tradisional adalah ngibing. Joged menarikan bagian-bagian abstrak dari tari Legong. Tari Joged biasanya diiringi oleh seperangkat gamelan separpegulingan.
Pada masa lampau, Tari Joged merupakan kesenian milik istana yang dipersembahkan untuk tamu-tamu raja dan rombongan-rombongan terhormat. Namun Setelah Belanda mengambil alih kekuasaan di Bali, para raja tidak memiliki lagi tari joged. Dan sampai sekarang tari Joged hidup di desa-desa dan telah menjadi milik masyarakat.
A. LEKO
Tari Joged Leko berhubungan erat dengan tari Legong. Dewasa ini Leko masih terpelihara baik di beberapa daerah tabanan, seperti Tunjuk, Tista, dan desa Bongan Jawa. selain dipertunjukan untuk kepentingan hiburan, Leko juga mempunyai fungsi ritual. Leko juga dipentaskan untuk amal dan upacara resmi pemerintahan lainnya. Tari Leko diiringi dengan seperangkat gamelan semarpegulingan. Lagu-lagu yang dimainkan sesuai dengan tarian Leko.
B. JOGED GUDEGAN
Joged Gudegan disebut juga Joged Pingitan dan Joged Tongkohan. Tarian ini berasal dari Joged Privat yang dimiliki oleh para raja pada zaman kerajaan Bali. Tari ini dipentaskan oleh wanita yang berumur 17-20 tahun. Joged Gudegan diiringi oleh seperangkat gamelan bambu berlaras pelog yang disebut gamelan rindik. Joged Gudegan ini mengadopsi bagian-bagian dari tari Legong.
Di desa Singapadu Gianyar, Joged Pingitan diciptakan atas keinginan seorang penari yang sudah lama menjadi penari istana kira-kira empat belas generasi yang lampau. Belakangan ini masyarakat setempat telah merekonstruksi kesenian itu dengan bekerja sama dengan penari Joged terkenal, almarhum I Made Kredek.
C. ADAR
Adar merupakan jenis Joged Gudegan yang pada saat ini boleh dikatakan hampir punah. Pada masa lampau sekeha Adar biasanya terdapat di desa Kediri, Selingsing, dan Gebug, daerah Tabanan. Tari Adar diayomi oleh raja-raja dan dipentaskan untuk mengumpulkan dana guna memperbaiki bangunan-bangunan di masyarakat.
Tari Adar dipentaskan pada sebuah jalan muka balai banjar. Para penari menjual makanan pada warung-warung kecil yang disediakan di sekitar tempat pementasan sambil mengadakan perjanjian dengan para laki-laki yang ingin mempertaruhkan kekayaannya untuk menjadi pengibing.
Dalam pertunjukannya, Tari adar di desa Kediri Tabanan diiringi oleh seperangkat gamelan semarpegulingan. Adar memakai busana sederhana sesuai dengan pakaian tradisional Bali, terdiri dari baju kebaya, kain songket, dan tidak memakai gelungan.
D. GANDRUNG
Gandrung merupakan sebuah tari pergaulan yang dilakukan oleh pria dan menjadi lambang cinta kasih atau kerinduan. Pada zaman dahulu tari Gandrung dipentaskan di istana atas permintaan raja-raja. Kini di Bali hanya ada beberapa grup gambuh yang masih aktif, diantaranya terdapat di Tapian Kaja Depasar, dan Pakuwudan Gianyar. Menurut I Ketut Rindha, Gandrung sudah ada di Bali pada permulaan abad ke-19.
Semula Gandrung hanya dilakukan dengan tari Gandrungan, namun kini telah mengikuti pola-pola Legong. Busana yang digunakan sama seperti tari Legong. Pertunjukan semula diiringi dengan gamelan semarpegulingan kini telah diiringi dengan gamelan Gandrung.
E. JOGED BUMBUNG
Joged Bumbung adalah sebuah tari pergaulan yang memiliki unsur sosial yang sangat tinggi. Joged Bumbung biasanya dipertunjukan oleh empat atau enam orang penari dan tampil di pentas satu per satu. Busana yang dipakai meliputi kain batik, baju kebaya, dan selendang. Sejak permulaan tariannya si Joged Bumbung memegang sebuah kipas untuk menepak pasangannya. Gelungan yang dipakai juga sangat sederhana, berupa peritis yang dihiasi bunga cempaka yang sangat indah.
Joged Bumbung sangat populer di kalangan masyarakat Bali sekarang. Kini Joged Bumbung masih dijumpai di beberapa daerah di bali, seperti di Jagaraga, Umajero, Jineng Dalem, Tegal Mangu, Tohpati, dan Sanur.
Disamping beberapa jenis tari Joged yang telah diuraikan, masih ada beberapa macam tari yang memiliki karakter yang mirip dengan teri-tari tersebut, yaitu memiliki unsur ibing-ibingan, yang tampaknya menjadi unsur utama dalam tari sosial di Pulau Bali.
Sendratari Ramayana dan Mahabharata
Sendratari merupakan singkatan dari “seni, drama, dan tari”. Sendratari pertama yang diciptakan adalah sendratari Ramayana, yang dipentaskan pada panggung terbuka Candi Roro Jonggrang (Prambanan) pada tahun 1961. Sedangkan di Bali, Sendratari pertama yang dipentaskan adalah Sendratari Jayaprana Pada tahun 1962. Kemudian Menyusul Sendratari Ramayana pada tahun 1965. Sendratari Mayadenawa tahun 1966, Sendratari Rajapala tahun 1967, dan sendratari Arjuna Wiwaha tahun 1970.
A. PEMENTASAN KOLOSAL
Sendratari Mahabharata dan Ramayana dalam bentuk garapan kolosal tercipta ketika pertama kali panggung terbuka Ardha Candra tahun 1977 digunakan untuk mengadakan pementasan tari Bali. Panggung yang luas itu menyebabkan adanya perubahan dari prinsip terperinci menjadi prinsip global. Hal ini merupakan awal perubahan baru dalam tari Bali. Sampai saat ini sendratari ini masih mendapat kritik yang cukup tajam dari para pengamat tari bali yang fanatik terhadap tari klasik Bali. Mereka melontarkan ungkapan bahwa sendratari ini tidak menggunakan uger-uger tari Bali. Akan tetapi, kecaman itu justru menumbuhkan semangat baru. Melalui berbagai pengolahan di studio tari di ASTI dan SMKI, para perancang tari berhasil menemukan pola-pola baru sehingga kesenian itu dapat dikomunikasikan dengan baik di atas panggung Ardha Candra.
B. SKENARIO (PAKEM)
Sampai saat ini pentasan drama tari Bali pada umunya tidak pernah menggunakan skenario lengkap seperti hang digunakan dalam drama atau teater modern. Dalam drama tari Bali, skenario disusun secara lisan dan unit-unit skenario itu diteruskan kepada pemeran masing-masing. Peristiwa seperti itu disebut ngadungang lampahan. Pembagian peran dalam sebuah pementasan drama tari Bali memperhatikan kehadiran pemeran, kemampuan pemeran, dan melihat peralatan atau kostum yang dibawa. Para pemeran profesional sering memainkan lebih dari satu karakter.
I Made Kredek, seorang tokoh drama tari Topeng mewariskan sebuah skenario Arja dengan kurang lebih delapan lakon yang berbeda-beda dan disusun dalam bentuk tembang macapat. Beberapa orang dalang di Bali Utara juga sudah menciptakan skenario sejenis untuk mempermudah mempelajari wayang kulit.
Berawal dari gagasan tersebut, untuk menghadapi para pemeran yang hampir dua tratus jumlahnya, perancang sendratari Ramayabna dan Mahabharata garapan kolosal ini menyusun suatu skenario yang lebih lengkap. Penyusunan itu dimulai dari penyusunan sinopsis cerita, pembabakan cerita, penampilan tokoh, suasana iringan serta memasukkan aspek dramatis lainhya seperti peranan lampu dan lain-lainnya. Skenario yang telah disusun oleh tim itu dibagikan kepada para penggarap sendratari, termasuk para penari, penabuh, penata panggung, dan dalangnya sendiri.
C. DHARMA PEDALANGAN
Dalam sendratari Bali, dalang berperan sebagai pengungkap cerita. Kaidah-kaidah dharma pedalangan yang berlaku pada sendratari berbeda dengan yang digunakan pementasan wayang kulit karena para dalang tidak berhadapan dengan wayang-wayang yang sebagian diantaranya disakralkan. Adapun pementasan dramatari lebih bersifat untuk kegiatan sekuler dan bersifat hiburan.
Peranan dalang semakin terasa penting, terutama jika sendratari itu dipentaskan dalam bentuk kolosal pada panggung yang sangat luas. Dalang dituntut untuk memberikan antawacana terhadap semua tokoh yang ada. Semula tari lebih menggunakan konsep-konsep detail, kini disiasati dengan koreografi berkelompok, gerak-gerak tari yang dibutuhkan untuk mengungkap cerita dilakukan dengan pantomimik, dan dalang memberikan tekanan dengan menggunakan antawacana atau dialog-dialog tertentu. Antawacana yang baik oleh seorang dalang sendratari akan mampu memikat penontonnya sekitar 3-4 jam, dan tari-tari kelompok dengan penataan yang apik akan memberi nuansa baru kepada pertumbuhan tari Bali.
D. GAMELAN (MUSIK PENGIRING)
Musik yang dipakai untuk mengiringi pergelaran sendratari Ramayana dan Mahabharata garapan kolosal adalah berbagai jenis gamelan yang dirangkai menjadi satu barungan besar sebagai pengiring kesenian itu. Jenis-jenis yang biasa digunakan meliputi gamelan gong gede, gong kebyar, semarpegulingan, dan beberapa instrumen seperti gong, kempul, gangsa, reyong, trompong, kendang, suling, dan rebab. Gabungan dari berbagai barungan instrumen di atas memberi kekayaan warna dn bunyi sehingga hampir setiap adegan yang berbeda kalam sendratari dapat diiringi dengan lagu-lagu yang sesusai dengan tuntutan dramatisasi.
Bentuk lagu yag digunakan untuk mengiringi sendratari ini masih berpolakan lagu-lag klasik pegambuan, dan aturannya masih mengikuti pola tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, legod bawa, batel, dan sebagainya.
E. STRUKTUR DRAMATIK DAN CONTOH SKENARIO
Untuk memberi gambaran lebih konkret mengenai struktur dramatik yang digunakan oleh sendratari Ramayana dan Mahabharata, berikut ini dipaparkan sebuah skenario Gugurnya Sumantri yang dipetik dari wiracarita Ramayana sebagai acuan untuk mengenal adegan dan penampilan karakter dalam sendratari.
1. Ringkasan Cerita “Gugurnya Sumantri”
Dikisahkan Patih Sumantri berniat untuk menguji kesaktian Arjuna Sasrabahu (raja Mayaspati). Singkat cerita akhirnya Patih sumantri mengakui kesaktian Arjuna Sasrabahu. Sebagai konsekuensi dari kekalahannya, Patih Sumantri ditugaskan memindahkan Taman Sri Wedari dari Surgaloka ke kerajaan Mayaspati. Tugas itu berhasil dilaksanakan oleh adiknya yaitu Sukasrana. Namun Patih Sumantri menutupi hal itu dihadapan Arjuna Sasrabahu dan menghalangi Sukasrana bertemu dengan Arjuna Sasrabahu. Sukasrana ditakut-takuti dengan panah yang akhirnya terlepas dengan tidak sengaja sehingga menyebabkan kematian Sukasrana. Roh Sukasrana mengeluarkan kutukan bahwa ia akan datang kembali untuk mencabut nyawa Sumantri ketika terjadi pertempuran antara Sumantri melawan Rahwana. Tersebut lah raja Alengka, Prabu Rahwana akan bertapa di tepi sungai Narmada. Rahwana merasa terganggu oleh air bah yang menggenangi tempat pertapaannya. Diketuhui air bah itu adalah ulah dari Arjuna Sasrabahu. Rahwana berangkat menuju Mayaspati untuk membunuh Arjuna Sasrabahu. Sumantri, yang pada saat itu bertugas sebagai penguasa di Kerajaan Mayaspati bertempur melawan Rahwana. Di tengah-tengah pertarungan itu datang bayangan Sukasrana. Akhirnya melalui taring Rahwana yang dimasuki roh Sukasrana, Sumantri dapat dikalahkan.
2. Pembabakan
Babak I
Mulai dari perjalanan Sumantri dengan niatnya menguji kesaktian Arjuna Sasrabahu. Hingga Sumantri melaksanakan tugas yang diberikan oleh Arjuna Sasrabahu kepadanya sebagai konseskuensi dari kekalahannya.
Babak II
Pertemuan Sumantri dengan Sukasrana, adik kandungnya sendiri. Sukasrana kemudian bersedia membantu Sumantri memindahkan Taman Sri Wedari dari Wisnuloka ke Mayaspati dengan meminta satu hal, yakni agar Sumantri tidak lagi meninggalkan dirinya. Setelah Sumantri menyetujuinya, Sukasrana menerbangkan Sumantri ke Wisnuloka.
Babak III
Sumantri dan Sukasrana tiba di Wisnuloka. Kemudian Sukasrana mengeluarkan aji-ajinya. Demikianlah keesokan harinya Taman Sri Wedari berada di dekat istana Mayaspati. Nama Sumantri pun kembali terangkat.
Babak IV
Sukasrana ingin ikut bersama Sumantri untuk keberangkatan sang Raja dengan permaisurinya ke tepi sungai Narmada. Permintaan Sukasrana ditolak dan dengan tidak sengaja Sukasrana terbunuh oleh Sumantri. Roh Sukasrana berkata bahwa ia akan datang untuk mencabut nyawa Sumantri di saat Sumantri membendung Sungai Narmada.
Babak V
Di alengka Rahwan menyiapkan suatu rencana pengrusakan pertapa dan bermaksud untuk terus bersemedi di tepi sungai Narmada. Rahwana pun bergerak menuju tepian Sungai Narmada. Sementara itu Rombongan Arjuna Sasrabahu sampai di tepian Sungai Narmada. Arjuna Sasrabahu kemudian mulai berkasih-kasihan di tempat itu.
Babak VI
Prabu Rahwana akan memulai tapanya namun terganggu dengan air bah yang menggenangi tempat pertapaanya. Diketahui itu ulah Arjuna Sasrabahu. Kemudian Rahwana menyerang Mayaspati yang dijaga oleh Sumantri. Dalam pertempuran itu sumantri dihantui oleh bayangan Sukasrana. Ia diterjang oleh Rahwana yang taringnya sudah dimasuki roh Sukasrana. Sumantri memenuhi janjinya yang telah diucap di depan adiknya.
3. Penampilan Peran
Babak I
Perjalanan Patih Sumantri ke Kerajaan Mayaspati
Dewi Citrawati
Patih Sumantri
Para Patih
Rakyat Pengiring
Sidang di Kerajaan Mayaspati
Barisan Pengawal Kerajaan
Dayang-dayang
Para Patih
Prabhu Arjuna Sasrabahu
Utusan Patih Sumantri
Perang Sumantri dengan Arjuna Sasrabahu
Arjuna Sasrabahu menemui Patih Sumantri
Sumantri siap menghadapi Arjuna Sasrabahu
Perang tanding
Sumantri Kalah dan ditugaskan mencari Taman Sriwedari
Babak II
Kehidupan di hutan
Pohon-pohonan
Kera-kera
Raksasa Sukasrana
Raksasa-raksasa
Sumantri dalam kesedihan
Pertemuan Sumantri dengan Sukasrana
Babak III
Kehidupan Taman Sriwedari
Pohon-pohon dan bunga-bunga
Burung, kumbang, dan kupu-kupu
Dewa Narada
Dewa Wisnu dan Dewa Indra
Sukasrana dan Sumantri tiba di Taman Sriwedari
Sumantri kagum dan tertidur
Sukasrana menciutkan Taman Sriwedari
Sukasrana menerbangkan taman ke kerajaan Mayaspati
Babak IV
Penyerahan taman Sriwedari kepada Arjuna Sasrabahu
Sukasrana tiba ke kerajaan Mayaspati
Sukasrana memperbesar Taman Sriwedari
Sumantri Menyerahkan taman kepada Arjuna Sasrabahu
Roman Arjuna Sasrabahu dengan para Istrinya
Arjuna Sasrabahu mengagumi Taman Sriwedari
Dewi Citrawati diiringi para selir
Dewi Citrawati bermaksud ke sungai Narmada
Perjalanan ke sungai Narmada
Sukasrana terbunuh
Sumantri didatangi oleh Sukasrana
Sukasrana bermaksud menghadap Arjuna Sasrabahu
Sumantri menghalangi niat Sukasrana
Sukasrana ditakut-takuti dengan panah Sumantri
Sukasrana terbunuh oleh panah Sumantri
Arwah Sukasrana mengutuk Sumantri
Babak V
Sidang di Kerajaan Alengka
Para raksasa rakyat rahwana
Patih Prahasta
Prabu Rahwana
Prabu Rahwana bermaksud bertapa di tepi sungai Narmada
Perjalanan menuju sungai Narmada
Babak VI
Roman di sungai Narmada
Rombongan ArjunaSasrabahu tiba di Sungai Narmada
Citrawati mohon agar singai dibendung
Arjuna Sasrabahu ber-triwikrama menjadi raksasa seribu tangan
Air sungai yang dibendung meluap ke hutan di sekitarnya
Rahwana merasa tergganggu
Patih Prahasta terkejut melihat air meluap
Rahwana amat murka
Narada datang menemui Rahwana
Rahwana dan pasukannya datang ke Mayaspati
Pertempuran di kerajaan Mayaspati
Sumantri terkejut dengan kedatangna para raksasa
Pertempuran pasukan Mayaspati dengan pasukan Rahwana
Sumantri menghadapi patih Prahasta
Sumanti berhadapan dengan Rahwana
Roh Sukasrana menbayang-bayangi Sumantri dan masuk ke taring Rahwana
Sumantri gugur sesuai dengan kutukan Sukasrana
Category: Tugas Kuliah, Tulisan |
54 Comments »
Tag: