Barong Brutuk
Barong Brutuk
bhatara Datonta dan Barong Brutuk, di Truyan
Di desa Trunyan, Kabupaten Bangli terdapat sebuah pura bernama Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa busana setinggi kurang lebih 4 meter yang bernama Bhatara Datonta atau Bhatara Ratu Pancering Jagat. Patung yang diduga peninggalan kebudayaan batu besar, diukir sederhana, namun ekspresinya sangat dashyat, tangan kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya; tangan kanannya tertekuk di atas bahu mengarah ke belakang, posisi membawa kapak; alat vitalnya mencolok ke bawah, tetapi lembut. Tepat di bawah alat vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita. Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini diduga bentuk awal dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu. Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan Barong Brutuk. Dilihat dari segi ikonografinya wajah barong barong itu menyerupai wajah topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Wujud topeng-barong itu hampir sama dengan topeng-topeng kuna yang terdapat di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Bahkan serupa dengan topeng-topeng primitif di benua Afrika.
Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota seka taruna yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan cawet yang juga dibuat dari tali pohon pisang.
Barong Brutuk dipentaskan pada siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk yang menggunakan busana daun pisang kering itu, dan hiasan kepala dari janur; seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.
Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton, peserta upacara. Cemetinya membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton. Mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk. Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen, seperangkat sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan. Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain. Penonton, peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk itu, mengambil daun-daun pisang yang lepas, digunakan sebagai sarana kesuburan. Para menonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen. Disitu drama mencapai klimaksnya, ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang “mencuri” bagian dari busananya.
Ketika sore hari tiba, tahap upacara ritual itu dihentikan sementara, dan para penari dipersilahkan istirahat agar tidak kehabisan tenaga, kemudian topeng meraka diangkat ke atas, seperti helm seorang kesatria kerajaan, dan para penari merebahkan dirinya di bawah naungan atap pura, sementara beberapa orang anggota desa yang lebih tua mengipasi tubuh mereka. Masa jeda ini hanya intermeso sejenak, dan kemudian tahapan kedua dari upacara ritual itu dilanjutkan. Para Brutuk kembali ke tertorial mereka, tetapi sekarang mereka bertugas melindungi Bale Agung yang berada di dekat mereka, tempat sekuler yang juga dikelilingi tembok. Tempat itu merupakan tempat eksistensi pemerintahan dan sosial desa. Kegembiraan memuncak setelah para penari dan penonton memainkan permainan seremonial kuno, sebuah permainan yang menyerupai permainan sekelompok anak-anak di dunia Barat. Banyak penonton mencoba merampas sobekan kostum Brutuk dan sebaliknya para penari berhak melecutkan cemeti kepada siapa saja yang masuk ke daerah mereka, kecuali para wanita yang berbusana khusus yang masuk saat tertentu dalam festival itu dan bertugas menghaturkan sesajen kepada Ratu Pancering Jagat.
Kemudian pada sore hari, petugas wanita mempersembahkan beberapa sesajen bagi para Brutuk itu sendiri, merayakan kenyataan bahwa mereka telah dirasuki Dewa. Sesaji itu terdiri dari buah-buahan, bunga-bunga, dan kue-kue manis yang kemudian diambil oleh para penari itu, namun tidak dimakan. Para penonton bergerak mendekati mereka, berebut menukar sesajen itu dengan rokok dan para penari Brutuk yang sudah jinak itu membiarkan penonton mendekat. Kemudian mereka menukarkan buah-buahan dan kue-kue dengan rokok. Beberapa orang penonton lainnya mencoba menggunakan kesempatan itu untuk menyobek daun pisang keberuntungan yang menjadi pakaian penari, dan lari dari pura dengan kepuasannya.
Masih pada petang hari itu, tahapan terakhir pertunjukan ritual itu dimulai. Dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru buat Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton hanya menyaksikannya. Sang Patih dan saudara laki-laki Ratu melanjutkan aksi lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka menyaksikan tarian percintaan sang Raja dan Ratu.
Sepasang Raja dan Ratu, sekarang menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya. Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Tarian terus berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak. Pada saat sendya kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di belakang Ratu.
Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti ke arah penonton, tetapi mereka hampir tak mampu menahan desakan penonton. Kegembiraan pun semakin meluap. Akhirnya, dengan gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan.
Tetapi, saat matahari tenggelam pada hari festival, topeng-topeng itu disimpan. Setelah itu penari dan penonton berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.
Barong Brutuk dan Upacara Ritual
Pagelaran Barong Brutuk Sebagai Upacara Ritus Kehidupantelah mengalami menjalani proses penyucian. Pada proses tersebut para penari itu juga dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Pergelaran Barong Brutuk yang mulai dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Busana para penari Brutuk yang terbuat dari daun pisang kering, dengan hiasan kepala dari janur. Dalam pergelaran tersebut ada yang berfungsi sebagai Raja Brutuk, Sang Ratu, Patih, Kakak Ratu, dan anggota biasa. Tarian Barong Brutuk yang dipentaskan selama 3 hari itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.
Pergelaran panjang Barong Brutuk yang menampilkan tarian, nyanyian, drama dan permainan rakyat yang menyatu dengan prosesi ritual, yang dikemas dengan indah tetapi aneh, menjadikan pergelaran ini unik, dan memikat.
Lantas bagaimanakah kita memahami pergelaran Brutuk yang indah dan aneh itu? Dalam pertunjukan Brutuk ada beberapa aspek permainan, seremoni, dan sebuah drama ritual, semua terjadi dan terasa pada saat yang sama. Marilah kita ikuti secara singkat beberapa elemen yang kita saksikan.
Ada legende di Trunyan mengenai pendirian desa, yang dapat diceritakan kembali. Pada suatu hari, sekelompok yang terdiri dari 16 orang pemuda melakukan migrasi ke barat dari daerah tradisional Bali Aga di wilayah timur, yang sekarang disebut Kabupaten Karangasem. Para pemuda itu adalah petani, dan mereka berkelana untuk mencari tempat pertanian yang baru. Setelah melakukan perjalanan berbahaya mereka berhenti di sebuah lereng gunung dekat danau Batur. Mereka kemudian mendirikan rumah dan mempersiapkan pertanian. Dalam aktivitasnya mereka menghadapi berbagai ancaman, karena hidup dalam hutan yang masih sangat liar. Sering terjadi kegagalan panen dan pada saat yang sama binatang-binatang buas mengambil bahan makanan mereka, bahkan mencoba membunuh anggota mereka. Orang-orang Bali Aga ini mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan desa tetangga yang lain, karena mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda. Untuk mendapatkan istri mereka harus menculik perawan-perawan dari komunitas lain. Akhirnya setelah perjuangan yang berat, mereka berhasil mendirikan desa di Trunyan.
Legende ini terekspresikan dalam perayaan Brutuk dalam sejumlah acara. Para taruna yang telah dimasuki para dewa melecutkan cemeti mereka untuk melawan keganasan hutan, berperang melawan para moster yang mengganggu mereka dalam perjalanan. Seperti pada tarian upacara yang lain, masyarakat berperan serta mencari berkah kesuburan, itulah sebabnya pula para penari Brutuk tidak terlalu ketat mempertahankan pakaiannya untuk tidak disobek para penonton. Mereka yakin bahwa daun pisang kering itu adalah membawa kesuburan pertanian. Ritual penculikan atau penangkapan sang Ratu oleh Raja juga menggambarkan pecurian para perawan oleh pendiri desa. Hal ini penting oleh karena para pendiri desa harus memperoleh istri untuk melanjutkan keturunan mereka. Upacara Brutuk dan perang-perangan melawan masyarakat menunjukkan sebuah ritus kehidupan perubahan dari masa muda ke masa dewasa yang ditunjukkan dengan keahlian berperang.
Sebagai upacara ritus kehidupan, peristiwa Brutuk memiliki kemiripan dengan perayaan dari kebudayaan lainnya. Periode pengasingan diri, pencaharian berkah di alam yang buas (mencari daun pisang pilihan), perwalian dalam tradisi suku, doa-doa, semuanya memiliki kemiripan. Berperan dalam Brutuk sama halnya berperan dalam dua bagian perayaan atau drama pada saat yang sama, satu bagian memainkan kembali legenda, dan lainnya adalah ikut merasakan cobaan para pelopor yang kemudian menerima semacam baptis melalui penyucian air di danau. Lapis-lapis yang bisa diungkap adalah bagaimana sang Raja dan Ratu memainkan tarian keker dan kiuh salah satu tiruan gerak-gerak tari yang bersumber pada flora dan fauna yang menjadi inspirasi penciptaan tarian masa kini. Keker dan kiuh juga menggambarkan dua kelompok masyarakat yang berbeda yaitu pria dan wanita yang satu sama lain tak dapat dipisahkan dalam kebudayaan manusia.
Penggunaan istilah ‘upacara keagamaan’, ‘seremoni’, dan ‘pertunjukan’ untuk menggambarkan pementasan Barong Brutuk dan aktifitas yang dihubungkan dengan Trunyan adalah sangat tepat. Tradisi Barong Brutuk memiliki semua unsur di atas bahkan lebih. Odalan Ratu Pancering Jagat adalah sebuah festival, pelayanan religius, sebagai bentuk sesaji dan doa, serangkaian pertunjukan dramatik dan sakral. Setiap anggota masyarakat di Trunyan berperan serta dalam peristiwa itu, menggambarkan betapa kuatnya rasa komunalitas yang dimiliki orang-orang Trunyan saat ini. Dari sebuah pertunjukan Barong Brutuk kita melihat toleransi, keseriusan, partisifasi
Sumber : http//google.com