Jan
11
2012
162

TAWUR KASANGA

TAWUR KASANGA DENGAN SARANA PENYAMBLEHAN KUCIT BUTUHAN DI KELURAHAN KAWAN BANGLI

Sebagai umat manusia yang merupakan tercipta atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka diharapkan dan diharuskan mempunyai suatu sikap hormat dan menghargai atas kekuasaan dan kebesaran-Nya atas segala ciptaan-Nya. Maka dari itu, tiada kata lain dalam perwujudan bhakti dan hormat kita adalah dengan jalan melakukan yadnyaYadnya bila dilihat dari tindakan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu; yadnya yang dilakukan secara riil (nyata) dan yang secara abstrak (tidak nyata). Yadnya yang riil/nyata dapat berupa persembahan dan atau korban suci kehadapan Hyang Widhi, begitu pula kepada sesama mahluk hidup. Sedangkan yadnya yang abstrak/tidak nyata dapat berupa Tapa Brata Yoga Semadhi (Pasek Swastika, 2009 : 1).

Berbicara masalah yadnya yang dilakukan secara riil/nyata yang mana berupa persembahan dan korban suci adalah berupa Panca Yadnya, yaitu: (1). dewa Yadnya, persembahan kehadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa; (2). pitra Yadnya, persembahan kehadapan para Leluhur/Kawitan; (3). rsi Yadnya, persembahan kehadapan beliau yang disucikan atau para Sulinggih; (4). manusa Yadnya, persembahan kehadapan sesama manusia; dan (5). bhuta Yadnya, korban suci yang ditujukan kehadapan para Bhutakala dan Sarwa Prani.

Pelaksanaan Yadnya merupakan simbolis dari cetusan rasa terimakasih manusia kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, karena segala yang ada di muka bumi ini muncul dari yadnya Hyang Widhi Wasa. Dalam Pustaka Suci Bhagawadgita III dinyatakan tentang pentingnya yadnya pada sloka 10 sebagai berikut :

 

sahayajñãh prajah srstva

puro ‘vaca prajapatih

   anena prasavisyadhvam

   esa vo ‘stv istakamadhuk

 

Artinya :

 

Pada zaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda ; “ Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu” (Sri Arwati, 1992 : 5).

 

Dalam pelaksanaannya Panca Yadnya tidaklah dapat dilaksanakan secara tersendiri dalam arti pelaksanaannya tidak dapat meninggalkan yadnya lainnya, karena merupakan keterkaitan diantaranya. Dengan demikian Panca Yadnya dalam pelaksanaannya selalu terkait dengan yadnya lainnya yang merupakan bagiannya, hanya saja hal ini dapat dilihat dari porsi pelaksanaannya yang sangat menonjol dari salah satu diantaranya. Contohnya, pelaksanaan Dewa Yadnya sudah jelas dalam prakteknya diawali dengan acara Mecaru yaitu wujud dari upacara Bhuta Yadnya, yang tujuannya untuk melakukan persembahan kehadapan para Bhuta dengan harapan agar beliau tiada mengganggu upacara yang akan kita lakukan.

Bhuta Yadnya korban kepada Bhutakala adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk Sekta Sakta atau Saktiisme, dari mazab Siva (Siva Paksa). Disebut Saktiisme karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah Sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau tenaga (Wikarman, 1994 : 8).

Pada setiap saat di palemahan Desa Adat, Banjar juga di pekarangan perumahan umat Hindu di Bali menyelenggarakan upacara “mecaru”. Demikian juga pada setiap musin (masa) yang juga disebut “Sasih”. Pada hari Kajeng Kaliwon pada bulan mati, pada setiap pekarangan umat Hindu juga menyelenggarakan pecaruan, yang disebut “caruan sasih”.

Upacara-upacara tersebut secara rutin masih dilakukan oleh umat Hindu di pedesaan. Namun apa sesungguhnya upacara dimaksud dan apa tujuannya, ternyata banyak dikalangan umat Hindu yang tidak tahu. Kalau ditanya jawabannya “mula keto”. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus, lebih-lebih dalam memasuki era globalisasi. Oleh karena itu upacara-upacara tersebut di atas perlu diungkapkan secara ilmiah popular untuk mudah dipahami terutama oleh umat Hindu sendiri. Karena dikhawatirkan tentang kelanjutan pelaksanaan upacara dimaksud.

Suatu Yadnya bila dilaksanakan secara berlebihan dan tanpa di dasari pengetahuan sastra, maka akan sia-sia pelaksanaan Yadnya tersebut dan disebutkan Yadnya yang Rajasika atau Tamasika, bukan Yadnya yang disebut Satwika (Pasek Swastika, 2009 : 3).

Pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu secara keseharian atau tiap hari yang disebut dengan Nitya Karma dan setiap waktu tertentu disebut Naimitika Karma. Pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya secara Nitya Karma yakni Yadnya Sesa, dan secara Naimitika adalah salah satunya pecaruan atau yang pada tingkatan lebih besar disebut Tawur. Terkait dengan pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya yang secara Naimitika Karma, dalam penelitian ini akan difokuskan pada pelaksanaan Tawur Kesanga.

Upacara Tawur Kesanga dilaksanakan setiap setahun sekali tepatnya pada Tilem Kesanga. Pelaksanaan Tawur Kesanga ini tidak lepas dari adanya Rna. Dalam ajaran agama Hindu, setiap manusia memiliki hutang yang harus di bayar, hal tersebut dijelaskan dalam kitab Manawa Dharma Sastra VI 35 yang menyatakan bahwa “Hendaknya pikiran jangan diarahkan pada tujuan akhir mencapai kebebasan (Moksa) sebelum melunasi tiga macam hutang moral“ (Puja dan Sudharta, 2002 : 14).

Kehidupan di dunia ini pada hakekatnya memiliki ketergantungan dengan yang lain. Ada tiga jenis ketergantungan dalam hidup manusia yang membawa hutang (Rna). Ketiga Hutang (Rna) tersebut antara lain :

(1). ketergantungan manusia pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan kehidupan, memelihara dan memberikan kebutuhan hidup, membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan Dewa Rna ;

(2). ketergantungan pada roh leluhur yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan diri kita membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan Pitra Rna ; dan

(3). jasa para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan suci untuk membebaskan hidup ini dari kebodohan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan bathin, membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan Rsi Rna ( Mas Putra, 2003 ; 7-8 ).

Oleh karena manusia memiliki hutang (Rna) kepada Dewa (Dewa Rna), kepada Rsi (Rsi Rna) dan kepada leluhur (Pitra Rna), untuk membayar ketiga hutang tersebut umat Hindu mengajarkan adanya konsep Panca Yadnya yaitu lima macam korban suci yang dipersembahkan dengan tulus ikhlas. Kedamaian di dunia ini terjadi apabila terdapat keseimbangan, keselarasan dan keharmonisan antara manusia dengan sesamanya melalui pelaksanaan Yadnya. Kesadaran manusia akan adanya Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam ini akan membangun pula kesadaran bahwa mutlak perlunya melakukan hubungan yang sinergis, harmonis dan produktif, dalam rangka menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan material secara seimbang dan kontinyu yang akan membangun manusia yang utuh dan kebahagiaan hidup di bumi ini.  Membangun suatu hubungan yang harmonis dengan Tuhan dapat dilakukan dengan cara bhakti, pada manusia dengan dasar punia dan dengan lingkungan alam dengan asih.

Tawur Kesanga adalah Tawur Agung Yama Raja  upacara tingkat utama dari upacara Bhuta Yadnya, yakni memelihara mahluk hidup baik tumbuh-tumbuhan, hewan yang tidak sedikit peranannya di dalam kesempurnaan hidup manusia. Pelaksanaan Upacara Tawur Kesanga ini di dalamnya terdapat simbol-simbol yang memiliki makna filosofi yang bersumber dari ajaran Kitab Suci Weda. Akan tetapi tidak semua umat Hindu di Kelurahan Kawan yang melaksanakan Upacara Tawur Kesanga ini mengerti tentang makna dan arti penting upacara ini bagi keseimbangan dan kestabilan alam beserta isinya. Sehingga ditakutkan dengan adanya pengaruh budaya dari luar yang cukup kuat dan cenderung lebih praktis dari Upacara Tawur Kesanga, umat Hindu yang belum mengerti tentang makna upacara tersebut akan meninggalkan Upacara Tawur Kesanga yang dianggap terlalu ribet dibandingkan dengan budaya baru yang praktis.

Hal ini merupakan fenomena menarik dan penting untuk dikaji sebab kepercayaan dan keyakinan yang dianut sudah barang tentu berpengaruh terhadap kehidupan setempat. Begitu juga dengan kepercayaan masyarakat Kelurahan Kawan yang meyakini bahwa melaksanakan amanat leluhur adalah suatu kewajiban yang dapat menjaga kestabilan dan keseimbangan alam dan kehidupan manusia.

Dengan mengkaji fenomena ini diharapkan nantinya akan dapat menambah pengetahuan tentang makna dan pentingnya dilaksanakannya Upacara Tawur Kesanga bagi umat Hindu di Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Terlebih-lebih karena tidak semua umat Hindu di Kelurahan Kawan khususnya mengetahui makna Upacara Tawur Kesanga.

Bertitik tolak dari pernyataan tersebut diatas, maka dirasakan penting untuk diadakan penelitian tentang Tawur Kesanga dengan Sarana Penyamblehan Kucit Butuhan di Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli

Written by in: Tak Berkategori |
Jan
11
2012
36

ASAL MULA SINGARAJA

ASAL MULA SINGARAJA

 

 

Dahulu kala di pulau Bali. Tepatnya di daerah Klungkung. Hiduplah seorang  raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai banyak istri. Istrinya yang terakhir bernama        Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan dari Kyai Pasek Gobleg. Ketika Ni Luh Pasek mengandung, Ia dibuang dari istana, lalu dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya sendiri.

Ni Luh Pasek melahirkan bayi laki – laki dan diberi nama I Gusti Gede Pasekan. Setelah dewasa, I Gusti Gede Pasekan oleh ayahnya, diminta pergi ke Den bukit di daerah Panji. desa tempat kelahiran Ibunya. Sebelum pergi, I Gusti Gede Pasekan di beri dua senjata pusaka. Yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Ia pergi dengan diiringkan oleh empat puluh orang pengiringnya.

Tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Di sana mereka bermalam.

Besoknya, mereka kembali melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Hingga akhirnya tibalah mereka di Desa Ibunya dengan selamat.

Pada suatu hari, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Ada ssebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Tidak ada yang berhasil membebaskan perahu tersebut. Kemudian I Gusti Gede Pasekan dengan menggunakan kekuatan dua senjata pusakanya, ia berhasil mengangkat dan menyeret perahu tersebut ke laut lepas.

I Gusti Gede Pasekan lalu diberikan hadiah yang banyak oleh orang Bugis tersebut. I Gusti Gede Pasekan sekarang menjadi orang kaya, kemudian ia diberi gelar I Gusti Panji Sakti. Ia pun mendirikan suatu Karajan baru di daerah Den Bukit kira – kira pada pertengahan abad ke 17, Ibu kota Karajan itu disebut Sukasada.

Semakin hari kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Karajan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali di tumbuhi pohon buleleng. Oleh karna itu pusat Karajan baru itu disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangat di gemari oleh burung perkutut. Di pusat Karajan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Written by in: Tak Berkategori |
Jan
11
2012
237

WAYANG SAPUH LEGER

WAYANG SAPUH LEGER

SALAH SATU TRADISI RUATAN DI BALI

                                                                                                                                             

(Gambar pertunjukan Wayang Sapuh Leger)

Wayang Sapuh Leger adalah jenis wayang kulit Bali yang berfungsi sebagai upacara ritual. Ia termasuk sacral dalam konteksnya karena merupakan bagian  dari upacara yang berada dalam lingkungan siklus kehidupan manusia ( Manusa Yadnya ). Hanya dipertunjukan pada anak yang lahir pada wuku wayang, terutama sekali yang lahirnya persis pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon Tumpek Wayang. Namun kenyataan di lapangan bahwa penyelenggaraannya tidak pada hari sabtu saja tetapi dimulai dari hari senin sampai sabtu dalam wuku wayang, bahkan ada orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali. Dengan demikian ia bersifat religius, magis dan sepiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis, kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbul-simbul yang bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol tersebut terungkap baik dalam lakon, sajian artistic, , fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan, sedangkan maknanya mengendap dan menjadikan system nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali. Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian (furifikasi) bagi anak/orang yang lahir pada hari oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada Wuku Wayang, sehingga ia berfungsi untuk pengukuhan dan pengesahan dari bentuk ritual keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat Bali, karena salah satu perwujudan dari dari system religi mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas komunitasnya.

Peristiwa penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger, secara periodic berulang pada tiap-tiap 210 hari (6 bulan pawukon kalender Bali). Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar Kala Purana; Japa/cepa Kala; Kidung Sang Empu Leger; Kala Tatwa; Kekawin Sang Hyang Kala; Tutur Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger. Semua sumber di atas diolah atau dikemas sedemikian rupa oleh dalang-dalang Bali sehingga banyak terdapat pariasi struktur lakon. Hal itu sudah menjadi gejala umum pada pementasan wayang kulit Bali, karena yang terpenting bukan strukturnya, melainkan di sesuaikan dengan kebutuhan lakon dan fungsinya. Wayang Sapuh Leger sebagai genre wayang kulit (parwa) Bali, secara structural terikat oleh kaidah-kaidah struktur dramatic dan teatrikal yang berlaku dalam pewayangan kulit Bali. Sebagai seni teater, drama ritual ini merupakan seni komplek, kolektif, dan ansambel artinya, penyajian ini tidak mungkin dipergelarkan dengan baik tanpa melibatkan hampir seluruh ilmu pengetahuan dan cabang seni, serta komponen-komponen yang membentuknya sebagai struktur bangunan yang arsitektural.

Lakon Sapuh Leger adalah mengisahkan asal-usul kelahiran dan perjalanan Batara Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa member ijin kepadanya untuk memangsa anak/orang yang lahir pada Tumpek Wayang, kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa tehadap Kala dengan memberikan teka-teki; peranan dalang sebagai pemenang, meredam kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat, dalam mitos ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Batara Kala yang taktertandingi oleh para Dewa. Hal ini member petunjuk bahwa kuasa keteraturan, kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari Dewa sebenarnya selalu terancam oleh kuasa ketidak teraturan, kekacauan, atau aspek negative dalam diri manusia. Batara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya sama sekali, karena Kala adalah aspek angkara atau negative yang bersumber daripada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negative dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya ( siang dan malam hari serta kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkara murkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian. Lakon Sapuh Leger mengungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktekan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Mistikisme lakon Sapuh Leger dalam konteks kosmologis memberikan paham subyektif terhadap alam dari masyarakat Bali yang jelas Nampak dari konsepsi buana agung dan buana alit, yaitu suatu konsepsi yang didasari oleh “ Ide kesatuan”, ide dasar dimana manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara serasi, selaras, dan seimbang. Mitos ini sangat serasi dengan perumpamaan kadi manic ring cacupu ( seperti janin dalam rahim Ibu ), dimana manusia diumpamakan manik dan alam sebagai cecupunya  yang mengandung makna, manusia hidup dilingkupi oleh alam dan dari alamlah manusia mendapatkan sarana untuk hidup. Dari perumpamaan ini nampaklah manusia itu terhadap alam adalah bebas dalam keterikatan atau trikat dalam kebebasan, sebagaimana Kala diberi kebebasan dalam keterikatan memangsa orang yang menjadi haknya. Wawasan kosmologis memberikan paham subyektif terhadap keadaan alam ( Buana Agung), adalah bertingkat yaitu: “ alam atas “ (Swah Loka) adalah tempat para Dewa yang berada diatas (lebih utama) dari kehidupan manusia; “alam tengah” (Buah Loka) adalah Bumi, tempat manusia hidup; dan “ alm bawah ( Bhur Loka) adalah alamnya para mahluk rendahan. Ketiga alam ini merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan, bagaikan ruang dalam pakeliran wayang kulit. Segala sesuatu yang ada dalam yang satu, harus ada dalam yang lain, termasuk sifat Dewata, Bhuta, Manusia dan sebagainya.

Sistem nilai budaya kesenian sacral ini maknanya adlah hakekat hidup manusia, hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hakekat persepsi manusia dengan waktu, hakekat karya manusia, dan hubungan manusia dengan sesame manusia. Kiranya tepat bahwa pertunjukan Wayang Sapuh Leger berkaitan dengan upacara Manusa Yadnya, yaitu ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia. Wayang Sapuh Leger kalau diamati dari aspek filosopisnya, ia mengikuti konsep yang berorientasi spasial, temporal, dan spiritual. Secara temporal pertunjukan Wayang Sapuh Leger diselenggarakan pada saat tertentu saja yaitu pada saat Tumpek Wayang menurut kalender/pawukon Bali. Mitologi Sapuh Leger mengharuskan masyarakat umat Hindu di Bali percaya bahwa dilarang bepergian pada tengai tepet (siang hari), sandyakala (sore hari) dan tengah lemeng (tengah malam), karena diyakini bahwa waktu-waktu tersebut adalah waktu trasisi yang sering mengancam keamanan seseorang yang melakukan perjalanan. Tumpek Wayang itu sendiri merupakan tumpukan dari waktu-waktu transisi dan hari itu jatuh pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon Wuku Wayang, dimana Sabtu merupakan hari terkhir dalam peritungan Sapta Wara; Kajeng adalah hari terakhir dalam peritungan Tri Wara; dan Kliwon menjadi hari yang terakhir dalam kaitannya dengan perhitungan Panca Wara. Sedangkan Tumpek Wayang adalah Tumpek terahir dari urutan enam Tumpek yang ada dalam siklus Kalender Pawukon Bali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Tumpek Wayang menjadi hari yang penuh dengan waktu-waktu peralihan, dan oleh karnanya anak-anak yang lahir pada saat ini ditakdirkan menderta karena mengalami gangguan emosi dan menyusahkan orang lain. Untuk melawan akibat keadaan yang tidak menguntungkan itu, orang Bali melakukan upacara “ penebuisan dosa khusus “ yang dinamakan lukatan Sapuh Leger, dengan harapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa) akan menganugrahkan nasib baik pada anak itu dan menjamin bahwa hari “ lahir yang tidak baik “ itu tidak akan berpengaruh buruk pada perkembangan selanjutnya.

Sebagai sajian ritual, nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah nilai religius yang diolah sedemikian rupa oleh pencipta seni pertunjukan (dalang). Nilai-nilai religius yang sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Bali, menyebabkan kesenian ini masih memiliki kemantapan dalam kehidupan masyarakat Bali. Kata “Kala” secara etimologi berarti waktu, ketika, saat, jaman. Jadi Bhatara Kala artinya Dewa Waktu atau penguasa waktu. Dari asal-usul etimologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sapuh Leger (Murwakala) mengandung ajaran, petunjuk dan pesan yang berdimensi temporal, yakni hendaklah orang dapat menguasai waktu (nya sendiri) dan tidak membuang-buang waktu yang tidak bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas, mengatur waktu dengan sebaik-baiknya, niscaya akan besar sekali pengaruhnya bagi keselamatan dan kesejahteraan. Amanat yang terkandung di dalamnya adalah bersifat korektif  berupa peringatan bagi manusia untuk menghargai waktu (kala), dan mewaspadai pertemuan “transisi” dua kutub, akibatnya membawa pengaruh positif maupun negative.

 

 

Written by in: Tak Berkategori |
Jan
11
2012
1

KISAH GUGURNYA BIMANYU

KISAH GUGURNYA BIMANYU MERUPAKAN SURI TAULADAN BAGI GENERASI MUDA SEPERTI SEKARANG INI DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA

 

Yudistira tercengang menyaksikan strategi perang pihak Korawa dengan gelar cakra byuha siasat perang resi Drona. Sementara Bima dan Arjuna tak berada di sampingnya karena berperang jauh di sebelah selatan dan utara gunung medan perang Kuruksetra. Maka majulah Bimanyu, anak Arjuna yang sanggup menggempur dan memasuki susunan siasat perang tersebut, namun Ia belum tahu bagaimana caranya untuk keluar dari susunan siasat perang tersebut. Maka Yudistira menyusun gelar Makara Byuha, dimana Drestadyumna dan Gatotkaca berada pada sapit, Satyaki berada di mulut, Nakula – Sahadewa berada di mata, Yudistira di kepala, sedangkan Bimanyu menempati hidungnya.

Sang Bimanyu segera membelah dan menerjang pasukan Korawa dengan dasyatnya dan berhasil mendekati senapati Drona. Jayadrata yang merupakan ujung lingkaran roda, segera menutup barisan sehingga Bimanyu terjebak, sehingga Ia sendirian menghadapi perwira – perwira Korawa. Bimanyu dikeroyok dan diserang dengan anak panah yang sangat gencar, namun Ia tak takut malahan makin mendesak dan melepaskan panah – panahnya. Dalam keterdesakan, Bimanyu mampu membunuh pahlawan Korawa antara lain : Kretasuta, Wredhabala, Satyasrawa, dan Lesmana Kumara, anak Duryudana.

Raja Duryudana sangat marah dan dendam menyaksikan anak kesayangannya gugur, segera Ia memerintahkan seluruh ksatria dan balatentara Korawa mengurung dan membunuh Bimanyu bersama- sama. Mereka beramai – ramai mengarahkan busurnya, maka hampir seluruh badan Bimanyu dipenuhi anak panah, terlebih lagi Jayadrata menghantamkan gadanya ke kepalanya. Ia sempat menjerit memanggil ayahnya, Arjuna dan memaki-maki para Korawa karena melanggar aturan perang dengan cara mengeroyok dirinya. Bimanyu gugur sebagai pahlawan yang berani di medan perang Kuruksetra ( Bharatayuddha ).

Jika kita melihat strukturnya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Tema dari cerita Karebut Bimanyu adalah jiwa kepahlawanan seorang ksatria yang tidak mengenal rasa takut dalam membela kebenaran dan rela berkorban demi nusa dan bangsa.

Amanat yang dapat kita petik dari cerita Karebut Bimanyu adalah : kita harus senantiasa memupuk jiwa patriotisme dalam membela nusa dan bangsa, rela berkorban demi kepentingan bersama dan belajar dengan sungguh-sungguh agar berguna bagi bangsa dan Negara. Berjuang bukan berarti harus gugur dalam peperangan, rajin belajar, ikut serta dalam pembangunan merupakan bagian dari nilai-nilai patriotisme dalam membela Negara.

 

Written by in: Tak Berkategori |
Jan
03
2012
0

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!

Written by in: Tak Berkategori |

Powered by WordPress | Theme: Aeros 2.0 by TheBuckmaker.com