SEJARAH TAPEL DAN TOPENG PENINGGALAN DI DESA SINGAPADU

This post was written by bagusadi on April 9, 2018
Posted Under: Tak Berkategori

Sebuah tradisi seni membuat tapel berupa topeng khas Singapadu, memang telah dikenal luas. Seni topeng yang unik dan mempesona itu telah diwarisi secara turun menurun. Perihal budaya topeng di Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar, telah tumbuh dan berkembang sejak lama dan diduga sekitar awal abad ke-18. Pada awalnya, dirintis melalui tapel Barong, satu topeng berwujud mahluk mitologis yang diyakini berkekuatan magis. Dalam perjalanan, topeng-topeng telah mengalami transformasi bentuk, seeprti kehadiran topeng berwujud manusia, yang ditampilkan lewat dramatari topeng.

Dalam proses sejarah panjang itu, topeng bukan hanya sekadar kebanggaan masyarakat Singapadu, melainkan dipandang sebagai jiwa dan taksu desa mereka. Segala upaya dilakukan agar budaya topeng ini tumbuh dan berkembang selaras dengan zaman. Guna mengapresiasikan seni warisan tradisi tersebut,serta mengenal lebih dekat tradisi seni membuat topeng, maka Asosiasi Seniman Singapadu (ASS) bekerjasama dengan Bentara Budaya Bali (BBB) menggelar pameran retrospektif topeng.

Pameran yang bertemakan ‘Topeng: Taksu Singapadu’ digelar mulai Jumat (4/11) hari ini hingga Minggu (13/11) mendatang. Rencanya, pameran akan dibuka langsung Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. Pembukaan pameran ini akan diramaikan pementasan topeng yang dibawakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia dipadu dengan kreativitas gong Sekaa Gong Lango Murti Singapadu.“Selama pameran berlangsung, setiap harinya akan diadakan workshop atau demonstrasi pembuatan topeng oleh seniman-seniman yang tergabung dalam ASS.

Bagi siapa saja yang ingin mengenal, mengetahui, atau hendak mempelajari cara pembuatan topeng, silakan datang pada pameran di BBB,” ujar I Made Supena, S.Sn., seniman yang juga konseptor pameran bersama Prof. Dr. I Wayan Dibia. Supena juga menjelaskan dalam pameran ini nantinya akan digelar juga diskusi seni rupa dan mengulas sejarah topeng Singapadu yang bertajuk ‘Barong dan Topeng Jiwa Taksu Singapadu’ pada Minggu (13/11) pukul 17.00. Diskusi ini akan membedah budaya topeng Singapadu, dengan pembicara Prof. Dr. I Wayan Dibia dan Ketut Kodi, S.Sp., M.Si. “Selain topeng-topeng klasik, akan ditampilkan juga topeng-topeng modern dan kontemporer,” ujar Putu Aryastawa, pekerja budaya BBB.

Para seniman topeng yang ditampilkan karya-karyanya dalam pameran ‘Topeng: Taksu Singapadu’ di Bentara Budaya Bali:Cokorda Oka Tublen (alm), I Wayan Tedun (alm), I Wayan Tangguh, I Gusti Putu Brata, I Ketut Sarwa, Cokorda Raka Tisnu, I Nyoman Renung (alm), I Nyoman Repot (alm), I Made Hartawan, I Wayan Tebe Gunastra, I Wayan Pugeg, I Ketut Muja.

Asosiasi Seniman Singapadu menyelenggarakan pameran retrospektif topeng bertajuk “Topeng: Taksu Singapadu”. Pameran bekerjasama dengan Bentara Budaya Bali ini dibuka Bupati Gianyar Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. Jumat ini. Pameran yang akan berlangsung hingga 13 November 2011 ini diwarnai pementasan yang berangkat dari seni topeng. Tarian tersebut dibawakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia dipadu dengan kreativitas gong dari Sekaa Gong Lango Murti Singapadu.

Selama pameran berlangsung, setiap hari juga akan ada workshop atau demonstrasi pembuatan topeng oleh seniman-seniman anggota Asosiasi Seniman Singapadu. “Jadi, bagi siapa saja yang ingin mengenal, mengetahui, atau hendak mempelajari cara pembuatan topeng, silakan datang pada pameran di BBB.” ujar I Made Supena, S.Sn., seniman yang juga konseptor pameran bersama Prof. Dr. I Wayan Dibia. Sebagai sebuah desa budaya, Singapadu dikenal mewarisi seni-seni tradisi Bali mumpuni seperti seni topeng unik dan mempesona ini. Budaya topeng di Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, telah tumbuh dan berkembang sejak berabad lalu. Budaya ini sudah ada sejak sekitar awal abad XVIII, dirintis melalui tapel Barong, satu topeng berwujud makhluk mitologis yang diyakini berkekuatan magis.

Seiring perubahan, topeng-topeng mengalami transformasi bentuk. Hadir topeng berwujud manusia lewat dramatari topeng. Dalam proses sejarah panjang itu, topeng bukan sekadar kebanggaan masyarakat Singapadu, melainkan dipandang sebagai jiwa dan taksu desa mereka. Segala upaya dilakukan agar budaya topeng ini tumbuh dan berkembang selaras zaman. Selain topeng-topeng klasik, ditampilkan juga topeng-topeng modern dan kontemporer. Pameran untuk umum akan digelar sedari pukul 10.00 hingga 18.00 Wita di Bentara Budaya Bali. Selama pameran akan dipresentasikan karya-karya seniman sepuh, bahkan yang telah meninggal, juga buah cipta seniman-seniman terkini. Misalnya Cokorda Oka Tublen (alm), I Wayan Tedun (alm), I Wayan Tangguh, I Gusti Putu Brata, I Ketut Sarwa, dan lain-lain.

Sederetan topeng membentur mata.  Ada topeng ekspresif, tatapan tajam  berwibawa; topeng tua dengan sorot pandang memudar atau bermimik jenaka; juga tak ketinggalan topeng barong berwajah angker nan mistis laiknya “penguasa’ desa. Puluhan topeng itu hadir di Bentara Budaya Bali, mulai tanggal 8 hingga 13 Nopember 2011 pada pameran bertajuk “Topeng: Taksu Singapadu.

Topeng-topeng karya seniman Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar ini, mengajak kita merunut jejak sejarah hingga ke zaman kerajaan Klungkung abad 18, di mana sang penguasa waktu itu mengutus salah seorang putranya, Dewa Agung Anom, diiringi abdi dalem, para penari, dalang, dan pengukir, guna membabat alas di Timbul, kelak tersohor sebagai pusat kerajaan Sukawati. Giliran masa berikutnya, sang raja baru tersebut mengirim salah seorang putranya, Dewa agung Api ke wilayah Singapadu, lengkap pula dengan segenap ahli seni kerajaan.
Fenomena ini bermakna luas dan berdampak jauh, bahkan hingga era kontemporer ini. Bila diingat bahwa kerajaan Klungkung adalah lanjutan kerajaan Gelgel, yang didirikan

menyusul kekalahan Bedahulu/Bali oleh tentara Patih Gajah Mada, terlihat dengan jelas proses yang merupakan keajaiban mendasar kebudayaan Bali: bagaimana budaya istana dari Majapahit telah, di Bali, melalui alih kekuasan dalam unit yang semakin kecil, menjadi suatu budaya pedesaan yang tetap hidup hingga kini. Singapadu, Sukawati dan seabrek desa lainnya di Bali adalah tempat-tempat di mana kaum tani, bergandengan dengan bangsawan setempat, adalah pewaris langsung kebudayaan asal –Majapahit yang tetap terjaga dalam kenyataan mitis, ritual dan seni pedesaan masyarakat setempat.

Terlebih terbukti topeng-topeng itu bukan hanya mempesona mata, melaikan sekali-kali lekat pada wajah penari;  yang mengekspresikan geraknya secara magis disertai denting gamelan, kepulang asap dupa melangit, serta membawa para pemirsa nun ke  suasana mistis tempo dulu; di mana diyakini para leluhur berkenan hadir di antara para sentananya. Itulah beberapa pikiran terbersit dalam benak ketika menyaksikan pembukaan pameran istimewa ini. Apalagi sewaktu mendengar sambutan pembukaan pameran dari Bupati Gianyar, Cok “Ace“ Sukawati yang juga penari topeng mumpuni itu. Terbayang sang satria “Dalem Sukawati“  –nama klennya–, berpakaian lengkap laksana tumenggung zaman dahulu, bertopeng “pajegan“, tengah menari di Pura Mandara Giri, di kaki Gunung Semeru, di mana melalui tarian sakral tersebut, secara simbolis dirinya  “luluh menyatu“ bersama para leluhur dari Jawa dan Bali, dengan para Dewata  Gunung Mahameru, lalu kemudian manunggal dengan Sang Maha Meru itu sendiri.

Kebudayaan yang semakin “men-Desa“, tak pelak bertolak belakang dengan kebudayaan Barat/modern yang lahir dari Kota. Agama yang berupacara dalam kesenian –bertolak belakang dengan kecenderungan “abstrak“ agama-agama lainnya. Dengan kata lain, Pameran topeng Singapadu adalah peluang yang baik untuk merenungkan keunikan dan ketahanan kebudayaan pedesaan Bali.  Fenomena komunal-kreatif itu begitu mengemuka di desa tersebut. Tak kurang dari 30 seniman ambil bagian, wewakili semua banjar desa itu.

Paling senior  tampil  topeng klasik tarian atau topeng barong ritual; mereka mengikuti kaidah ikonografis warisan kerajaan lama, lengkap dengan mengupacarai kayu dan mengikuti ketentuan “dewasa“nya (pilihan hari baik) demi “taksu“ gaib yang diharapkan hadir pada karyanya; I Wayang Tangguh, Cokorda Raka Tisnu, I Gusti Putu Brata adalah wakil dari tradisi “asli“ yang konon lahir dari tangan Dewa Agung Api dan diturunkan hingga kini melalui tangan Cokorda Oka Tumblen (1899-1983).  Dihadirkan pula para kreator muda yang membuat topeng dengan tujuan kreatif dan/atau komersial, sesuai dengan kebutuhan zaman; oleh karena tidak ada ketentuan ritual, ikonografinya lebih bebas; bahannya, selain kayu, juga aneka bahan komposit, seperti halnya Barong Ket raksasa yang menghiasi ruang pameran. Di antara seniman kreatif itu dapat disebut beberapa nama yang karya terpujikan: pematung tradisonal I Ketut Muja dan I Wayan Pugeg. Adapun Made Supena, yang juga co-curator pameran ini, adalah seniman pelukis merangkap pematung yang sudah menasional.

Sayangnya, pameran topeng kali ini hanya dapat menghadirkan segi “seni rupa“ tradisional dan pasca-tradisional dari “republik budaya“ Singapadu. Segi itu sejatinya tidak penuh hadir bila tidak ditopang oleh sejumlah faktor lainnya, yang sebagian terancam oleh kemajuan zaman. Pertama seni topeng Singapadu didukung oleh ketahanan kultus para leluhur serta kultus kekuatan alam sebagai wujud Widhi (Tuhan). Bila tiba saat upacara odalan di merajan agung (pura keluarga besar), atau pada kesempatan lainnya, tak sedikit keluarga, baik di Singapadu maupun tempat lainnya, terpanggil untuk “menurunkan“ atau mengundang hadir para leluhur melalui tarian topeng. Tak sedikit pula desa yang merasa terpanggil meremajakan bentuk Barong pelindung desa.

Jadi tetap ada permintaan masyarakat Bali bagi hasil karya seniman topeng dan barong. Selain itu, Singapadu mempunya suatu tradisi tari yang “lengkap“, mencakupi Barong, topeng, opera Arja dan lain-lain. Sanggar lokal kerap dipanggil untuk melayani upacara adat atau bahkan menari di hotel-hotel –tanpa lupa, tentu saja, pertujunkan barong Kunti Sraya yang diselenggarakan setiap hari di banjar Sengguan. Hal-hal seperti ini memberikan kepada “tradisi“– baik berupa seni karawitan (musik dan tari) maupun seni patung (topeng, patung) suatu citra yang, hingga belakangan ini, kelangsungan kreasinya beberapa puluh tahun mendatang.

Faktor lain yang turut memberikan citra pada tradisi di Singapadu ialah munculnya beberapa figur desa yang telah menjadi pelaku utama dari kebijakan kebudayaan pada taraf lokal (Bali) dan bahkan nasional, terutama Prof. Bandem dan Prof Dibia, keduanya bekas rektor ISI Denpasar. Salah satu kebijakan yang disokong mereka selaku rektor adalah perumusan dan penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali. Boleh jadi PKB itu dikritik seniman modern sebagai ajang kesenian yang telah mengabaikan problematika sosial –sesuatu yang tak terelakkan sewaktu Orde Baru, tetapi tak terbantahkan bahwa PKB telah mendorong pelestarian memori “tradisional“ di antara masyarakat Bali yang bergegas urban itu –suatu fenomena yang amat unik dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Menyaksikan I Ketut Kodi, pematung topeng merangkap dalang dari Singapadu, memerankan, sebagai juru cerita, tokoh-tokoh Mahabharata pada kesempatan tarian massal di PKB, adalah suatu pengalaman tersendiri.

Namun kini problematika lebih kompleks. Tak ayal memori kultural generasi muda cenderung semakin lepas dari simbolisme lokal dan semakin terbentuk oleh konsep, simbol dan ikon yang bersirkulasi di media-media modern. Meskipun demikian, hemat saya, over-idealisasi dan, akibatnya, ideologisasi dari tradisi tidak mungkin merupakan resistensi yang produktif:  Membentengi diri secara ideologis di belakang tradisi adalah “ostrich politics“ –[politik burung unta]. Tidak hanya karena menekankan etnisitas secara berlebihan di antara lapis-lapis identitas lainnya, terutama lapis nasional, tetapi juga menutup kemungkinan untuk membangun konsep-konsep kebijakan, dan kemudian simbol-simbol kultural, yang bakal efisien di dan untuk masa depan.

Adalah menarik mencatat disini garis kuratorial Bentara Budaya Bali. Lembaga yang kerap menyelenggarakan pameran kontemporer dan diskusi-diskusi hangat tentang masalah kekinian, justru kini mengajak kita untuk berenung sejenak tentang masa lalu yang kekal dari desa Singapadu. Itulah cara menautkan dalam keberlanjutan  apa dipandang lampau dengan sesuatu yang didambakan sebagai masa depan.

Tetapi, lebih jauh, bukankah kini sudah tiba saatnya, demi melestarikan kultur Singapadu dan desa serupa lainnya, untuk mencatat secara sistematis, di dalam sebuah “museum digital“, tradisi-tradisi lama yang masih hidup memorinya pada orang pedesaan yang lebih dari 50 tahun umurnya –yaitu yang memori kulturalnya sepenuhnya dibentuk oleh dunia pra-TV–. Ide “Museum Digital“ini pernah dilontarkan pada penulis oleh seorang pelukis Bali ternama, Mangu Putra.

Bukankah justru karena karyanya yang kontemporer, dia lebih peka terhadap keperluan untuk menyambungkan “yang lalu“, bukan saja dengan yang bakal datang, tetapi dengan yang bakal dibangunnya.  Itulah cara yang tepat guna merawat  dan mengembangkan warisan luhur  masa lalu, di mana kearifan tradisi sungguh-sungguh hidup dalam kenyataan, bukan sekadar citraan imajiner belaka.

 

Topeng Singapadu Dalam Konsep

I Made Puji Astawa

 

Dalam sejarah perkembangan Desa Singapadu khususnya Seni, baik seni pertunjukan maupun seni rupa bergeliat seiiring dengan perjalanan waktu. Dengan potensi Desa yang terdiri dari 2 Desa Pakraman Singapadu dan Desa Pakraman Kebon mempunyai potensi seni khususnya di dunia seni topeng atau pertopengan sangatlah maju. Singapadu adalah sebuah Desa di Kabupaten Gianyar yang amat kaya dengan warisan seni dan budaya. Salah satu warisan budaya yang amat dibanggakan oleh masyarakat Desa Singapadu, karena telah membuat desa ini di kenal masyarakat Bali, Indonesia bahkan luar negeri adalah seni topeng. Desa yang terletak di kecamatan Sukawati ini memiliki budaya topeng yang sudah tumbuh dan berkembang melalui beberapa generasi sejak beberapa abad yang lalu. Dalam perkembangan dan perjalanan sejarahnya seni topeng telah menjadi budaya kebanggaan masyarakat Singapadu. Bahkan topeng di desa ini di anggap sebagai jiwa dan taksu Desa Singapadu. Perkembangan topeng di desa ini telah terbentuk sejak lama. Ini terbukti dengan ukiran topeng barong ket ( wajah barong ) di dua kori agung areal Pura Puseh dan Desa Desa Pakraman Kebon tidak menggunakan boma dengan dua telapak tangannya serta disejumlah bangunan pura termasuk candi bentar di pura ini juga dihiasi dengan karang-karang tapel menggunakan muka barong ket. Kehadiran budaya topeng di Desa Singapadu sejak abad ke XVIII, di mulai dari tapel barong, topeng yang berwujud makluk mitologis yang diyakini memiliki kekuatan magis, yang kemudian disemarakan oleh pembuatan tapel topeng, topeng berwujud manusia yang biasa digunakan dalam drama tari topeng.

 

Berdasarkan beberapa catatan yang dikumpulkan generasi pertama pembuat topeng di Singapadu adalah I Dewa Agung Api dari Puri Singapadu yang merupakan salah satu putra dari I Dewa Agung Anom alias Sri Aji Wirya Sirikan Raja atau Dalem Sukawati yang berasal dari Puri Klungkung. Berdasarkan Babad Sukawati putra I Dewa Agung Jambe ini pindah ke tanah Timbul Sukawati sekitar abad ke XVIII. Pembuat barong dari generasi ke-3 adalah Ida Cokorda Oka Tublen, di kalangan para seniman lebih di kenal Dewa Agung Singapadu. Kepiawaiannya membuat barong diwarisinya dari leluhurnya Dewa Agung Geni. Berbeda dengan dua pendahulunya, Dewa Agung Singapadu termasuk pembuat topeng yang sangat kreatif dan produktif. Tak terhitung jumlahnya topeng barong yang telah dihasilkan Cokorda Oka Tublen  dan karya-karyanya hampir tersebar ke seluruh pelosok pulau Bali. Sebagian besar karyanya dijadikan sesungsungan ( barong keramat )  dan hingga kini topeng terbut masih di puja dan disucikan oleh warga masyarakat setempat. Belum lagi karya-karya topengnya untuk patopengan yang dimiliki oleh hampir semua penari-penari topeng ternama di daerah ini termasuk kolektor topeng dari luar daerah maupun luar negeri. Budaya Topeng di Desa Singapadu tidak bisa dilepaskan dengan dua jenis seni pertunjukan tradisional Bali, dramatari barong ket dan drama tari topeng, yang hingga kini masih hidup dan tetap dipertahankan oleh warga masyarakat di desa ini . Hampir semua masyarakat di desa ini memiliki barong. Lantas bagaimana tantangan ke depan bagi perkembangan topeng Singapadu ?. Dengan lahirnya pelaku dan pembuat topeng muda berbakat dan kreatif, ke depan budaya topeng di Singapadu akan terus berkembang sejalan dengan dinamika perkembangan seni budaya di Bali. Di masa mendatang tantangan akan datang baik secara internal maupun eksternal. Secara internal para seniman topeng di Singapadu harus senantiasa meningkatkan kualitas diri sehingga mampu menghasilkan karya-karya topeng baik tradisional maupun modern yang berkualitas. Para seniman topeng singapadu hendaknya tetap berkarya tanpa harus mengorbankan jati diri. Upaya-upaya inovasi yang kreatif perlu terus dilakukan sehingga akan lahir bentuk-bentuk topeng yang mencerminkan cita rasa baru tanpa kehilangan identitas budaya bali.

 

Secara eksternal tantangan datang dari seniman-seniman topeng dari desa lain termasuk luar daerah dan luar negeri. Kemajuan yang di capai oleh para seniman dari desa lain seyogyanya dapat dijadikan rangsangan untuk berkreativitas guna melahirkan karya-karya yang lebih bermutu. Komersialisasi karya yang berlebih-lebihan kiranya perlu di hindari agar karya-karya yang dihasilkan tidak menjadi karya-karya seni yang berkelas “ pasaran “. Segala tantangan yang mungkin datang akan dapat diatasi jika para seniman pembuat dan pelaku topeng tetap berkarya atas prinsip kejujuran, mempertahankan kualitas dan atas dasar rasa pengabdian kepada jagat seni, niscaya jiwa dan taksu Singapadu akan tetap terpancar melalui seni topeng khususnya dari kelompok bebarongan dan pertopengan,

Barong dan topeng adalah 2 warisan budaya tradisional yang telah menjadi bukan saja kebanggaan melainkan jiwa, prabawa dan taksu Desa Singapadu di Kabupaten Gianyar. Seni topeng ini telah menjadikan desa ini bukan saja di kenal di seluruh Pelosok Pulau Bali melainkan juga keluar daerah  bahkan ke luar negeri Ke depan dengan adanya peran serta dari para seniman pembuat dan penari topeng di ‘ bumi jagaraga “ ini terus berkembang dan memancarkan sinar taksu ke sseantero jagadraya. ( Di kutif dari tulisan Prof. I  Wayan Dibia dalam bukunya Mask Taksu Of Singapadu ).

 

Comments are closed.

Previose Post: