TARI LEGONG RAJA CINA

  • Pengertian Filsafat Seni

Filsafat seni adalah salah satu cabang filsafat khusus yang membicarakan persoalan mengenai penciptaan seni, pengalaman seni, kritik seni, nilai seni dalam kehidupan manusia, dan hubungan seni dengan kegiatan dan kepentingan manusia lainnya. Langer dalam Problem of Art menyatakan bahwa filsafat seni menjawab konsep-konsep pokok dalam seni secara konsisten, seperti konsep wujud atau citra, ekspresi, rasa, motif, transformasi, dan yang konsep-konsep lain yang sebenarnya satu sama lain saling berkaitan.

  • filsafat seni Tari Legong Raja Cina

Tarian yang terdapat di Bali beragam jenisnya mulai dari tari tunggal sampai dengan tari berkelompok atau masal, Tari yang berfungsi sebagai Wali, Bebali, dan sebagai sarana hiburan. Berikut ini adalah pembahasan tentang Tari Legong Raja Cina.

Tari Legong Raja Cina ini merupakan Akulturasi budaya atau perpaduan antara dua budaya yang menghasilkan budaya baru tetapi tidak terlepas dari unsur klasik atau aslinya. Makna dari Tari Legong Raja Cina ini adalah terkait dengan akulturasi budaya Bali Cina yaitu untuk mengingat hubungan antara Bali dan Cina maka dibuatlah sebuah Tarian ini.     Menurut bapak Agung Giri Putra ini dahulu sudah pernah ada Tari Legong Raja Cina ini Cuma keberadaannya dan tahun berapa itu tidak dijelaskan oleh almarhum bapak Agung Giri Putra ini dengan jelas. Menurut sang narasumber legong juga sudah ada sebelum rokondusi dia menjelaskan menurut cerita almarhum Bapaknya. Karena bapak Agung ini sudah meninggal maka Rekondusi bisa dijalankan waktu itu menurut narasumber yang saya wawancarai.

Narasumber tetap ingin merekondusi untuk membangun tarian Legong ini karena pernah ada dan akhirnya narasumber melakukan penelitian tentang apa itu sebenarnya Raja Cina. Narasumber ini tidak pernah  mengenal yang namanya putus asa untuk membangun atau mengetahui apa sebenarnya maksud dari Raja Cina ini karena keinginan sang Narasumber adalah membangun kembali tarian ini. Nama Tari Legong Raja Cina ini adalah diambil dari cerita seorang raja Bali yang menikah dengan wanita Cina. Setelah menemukan inti dari cerita ini narasumber mulai membahas dan menganalisis bagaimana perannya, peran-peran apa saja yang dimasukan, membuat strukturnya, menambahkan gending,dan proses latihannya. Tokoh yang terdapat pada tarian ini yaitu ada Dewi Danu, Raja Jaya Pangus, Khang Ching Wei. Tari Legong Raja Cina ini pernah di pentaskan di Art Center pada acara Pesta Kesenian Bali pada tahun 2012.

Tari Legong Raja Cina ini dapat juga diambil dari cerita raja Jayapangus dengan istirinya Dewi Danu yang sudah lama menikah tetapi belum dikaruniai seorang anak. Dan Raja  Jayapangus ini memutuskan unntuk melakukan persemedian di Gunung Batur dan akhirnya disana Raja Jayapangus beretemu dengan Khang Ching Wei. Setelah selesai melakukan persemedian akhirnya Khang Ching Wei dan Raja Jayapangus berbincang-bincang berdua disinilah Raja Jayapangus mulai tertarik dengan kecantikan Khang Ching Wei. Karena Dewi Danu merasa curiga dengan kepergian suaminya yang bertahun-tahun lamanya akhirnya Dewi Danu memutuskan untuk menyusul suaminya dan setibanya disana dilihatnya Raja Jayapangus dan Khang Ching Wei sudah menikah. Karena merasa kesal akhirnya Dewi Danu mengutuk Raja Jayapangus dan Khang Ching Wei menjadi barong landung.

  • Iringan Tari Legong Raja Cina

Iringan tabuh dari Tari Legong Raja Cina menggunakan gamelan pelegongan, yang berlaras pelog 5 nada menggunakan patet selisir pada umumnya di gunakan untuk mengiringi tari. Pada pementasan dalam acara PKB, tari Legong Raja Cina ini menggunakan gamelan Semara Pegulingan, karena tari Legong ini dipentaskan pada acara parade semar pegulingan. Semar pegulingan pun hampir sama dengan gamelan pelegongan hanya saja nada yang terdapat pada gamelan semar pegulingan  berjumlah 7 bilah yang terdiri dari beberapa patet. Adapun Struktur atau susunan gending dari iringan Tari Legong Raja Cina ini meliputi, kawitan, ginem, pengawak, batel, pesiat, dan pengecet.

 

Pengaruh Gong Kebyar Terhadap Gamelan Lainnya di Bali

Telah menjadi keyakinan uumum bahwa dalam akulturasi kebudayaan dan dalam hubungan antar kebudayaan, kebudayaan yang kuat akan selalu menguasai.Kebudayaan yanglemah lama-kelamaan menyesuaikan diri terhadap yang kuat dalam prosesnya memasuki jalur peradaban yanglebih dominan.Cepat atau lambat hokum ‘pengaruh-mempengaruhi” ini akan menunjukkan dampak bagi perkembangan sebuah sistem budaya. kontinuitas masih dapat dipertahankan, akan tetapi tidak jarang menjadi terkubur oleh keasyikan budaya jamannya. Melalui tulisan ini saya mencoba mengungkap sebuah fenomena budaya yang terjadi dalam kehidupan seni pertunjukan Bali denganmengangkat topik pengaruh seni kakebyaran terhadap seni pertunjukan lainnya di Bali. Kakebyaran yang dimaksudkan di sini men dua pengertian yaitu tentang dan sekitar Gong Kebyar.

Sekelumit Tentang Kemunculan Gong Kebyar

Pada tahun-tahun permulaan abad beberapa seni Bali Utara telah terjadi pembaharuan dalam bidang karawitan (McPhee, 1966:328). Pembaharuan tersebut ditandai dengan adanya pengalihan atau perubahan bentuk dai dengan kebutuhan yangbaru, yanglebih presentasi estetisdan kreativitas.Instrumen gangsa jongkok yang berbilah besar dan berat dikembangkan gangsa pacek gantung yang berbilah lima, sembilan, sepuluh namun dengan bilah yang lebih kecil. dikurangi ukurannya, ditata kembali sehingga Bentuk barungan yang baru inilah kemudian dikenaldengan nama gernelan Gong Kebyar. Kebyar Selain menjadi sebuah barungan gamelan Gong juga lahir dengan ban, permainan bentuk pola garap dan teknik 50 yang baru.

Keunikan lain yang dapat diamati darisistem pelarasan gamelan Gong Kebyar adalah adanya variasi dalam embat.Gong Kebyar menyebutkan adanya tiga embat yang dikenal yaitu embat begbeg, embatsedeng, dan embat tinus.Begbeg berarti lurus atau sejajar, tirus berarti menciut atau convergens (Toth 1993:102) sedangkan cmbat sedeng adalah yang berada diantara embat begbeg dantirus.Gamelan dengan embat lebih cocok untuk membangunnuansa megah, berat, truslebih cocok untuk manis, embat bisa romantis,sedan memilikiembatsedeng digunakan gkan untuk mem keduanya.bangun

Pengaruh Gong Kebyar Ada beberapa Terhadap Gamelan Lainnya pengaruh segi yang bisa diamati untuk melihat gamelan Gong Kebyar terhadap repertoar, ungkapan musikal, motiflagu, dan tata penyajian. Beberapa jenis gamelan yang akan dijadikan contoh bahan kajian adalah dan Smar Pagulingan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode komparasi yaitu kepentingan adanya kesamaan beberapa unsur, terutama ekarema musikal, antara amelan Gong Kebyar dengan gamelan Bali lainnya yang mempengaruhinya.

 

 

Perkembangan yang begitu pesat dari pada gamelan gong kebyar ini ternyata membawa pengaruh yang cukup besar, tidak hanya terhadap jenis gamelan bali akan tetapi juga terhadap jenis seni pertunjukan bali lainnya. Dalam tabuh-tabuh gamelan gong kebyar itu sendiri dalam perkembangannya dari fase ke fase berikut juga telah banyak terjadi pembaharuan – pembaharuan sesuai dengan selera masyarakat pemdukungnya.
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa sebelum munculnya gamelan gong kebyar dibali sudah hidup dan berkembang berbagai jenis gamelan bali yang masing-masing mempunyai bentuk barungan serta fungsi tersendiri didalam kehidupan social dan agama di kalangan masyarakat. Dari barungan gamelan-gamelan itu ada yang merupakan barungan gamelan yang besar seperti : gemelan Gong Gede, gamelan Pelegongan, gamelan semar pagulingan dan lain sebagainya dan ada juga yang merupakan barungan kecil seperti : gamelan Geguntangan, gamelan Gambang, gamelan Bebonangan dan lain-lainnya. Masing-masing jenis gamelan tersebut memiliki suatu sisitim permainan yang berbeda satu sama lain, memiliki suasana yang berbeda-beda serta bahan instrumennya pun berbeda.
Dengan adanya kekhasan pada masing-masing gamelan Bali ini membuat para penikmatnya mendapat kesan yang berbeda-beda pula manakala mendengarkan lagu-lagu dari masing-masing jenis gamelan Bali ini. Munculnya gamelan gong kebyar dan kemudian berkembang dengan pesatnya hampir ke seluruh pelosok bali bahkan kini sudah sampai keluar bali/ diluar negeri, ternyata akhirnya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan gamelan bali yang sudah ada sebelum gamelan gong kebyar ini. Pengaruh-pengaruh dari pada gamelan gong kebyar ini tidak hanya tampak pada segi teknik permainan, dinamika dan tempo lagu akan tetapi juga dalam segi instrumentasi dengan segala perubahan-perubahan (peleburannya).
Gamelan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Gong Gede yang merupakan barungan gamelan Bali yang ikut membentuk Gong Kebyar ini kemudian menjadi berbalik kemasukan pengaruh Gong Kebyar. Gender Wayang yang semula sangat menonjolkan sistim gegenderan (ubit-ubitan), semar pegulingan disana yang sudah biasa dengan bentuk lagunya yang tenang namun sekarang sudah ikut ngebyar sehingga rasa lagu yang ditimbulkan menjadi sama dengan rasa kekebyaran. Dinamika gamelan gong kebyar dengan perubahan tempo cepat-lambat dilakukan secara kompak oleh seluruh instrument dalam barungan gong kebyar kini sudah diterapkan pula pada barungan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain-lainnya.
Gamelan Geguntangan atau Pengarjaan yang semula sangat menonjolkan jalinan yang rapat antara dua buah guntang, dua kendang kecil yang diikat oleh instrument suling kini sudah menampilkan system kekebyaran sekalipun dengan mempergunakan alat gamelan yang memang telah ada dalam geguntangan. Gamelan Angklung, Joged Bumbung, tingklik gebyoh kini sudah biasa dengan ngebyar dang ending-gendingnya pun banyak yang mengam bil gending-gending dalam barungan gamelan gong kebyar.
Dalam hal instumentasi jenis-jenis gamelan Bali itu sudah hidup sebelum munculnya gamelan Gong Kebyar ini sangat banyak yang terkena pengaruh dari Gong Kebyar. Sudah cukup banyak gamelan-gamelan yang lainnya yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar yang mengakibatkan jumlah barungan Gong Kebyar semakin bertambah dan jumlah barungan gamelan Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain sebagainya semakin berkurang. Selain itu banyak para banjar atau desa yang dengan segala upayanya membeli barungan gamelan gong kebyar sekalipun sesungguhnya banjar atau desa tersebut masih memiliki barungan gamelan Bali yang lainnya. Munculnya gamelan angklung kebyar, Gong Suling adalah juga sebagai ukuran berrpa besarnya pengaruh munculnya gamelan gong kebyar di Bali. Namun sekarang sudah banyak pula yang kembali muncul gamelan seperti : Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan.

 

 

Pengaruh Gong kebyar terhadap gamelan Joged Bumbung

 

Pengaruh Gong Kebyar terhadap gamelan Joged Bumbung banyak terjadi di Bali Utara(buleleng ) dan Bali Barat (Tabanan atau jembrana). Di daerah Bali Timur (Bangli,karangasem. klungkung,dll) , dan Bali selatan (Badung,Gianyar, Denpasar,dll). Suasana lagu, karakter musical, serta penyajian gamelan Joged bumbung di daerah Bali selatan dan timur lebih menyerupai Joged pingitan yang kemungkinan merupakan awal atau asal muasal Joged Bumbung.

 

Di Bali utara misalnya pengaruh gong kebyar terhadap jogged bumbung terjadi dengan adanya pengadopsian lagu, penambahan instrument reyong dan Jublag, gaya ungkap yang dinamis. Beberapa lagu iringan tari seperti margapati, wiranata, panji semirang, dll

 

 

 

SEJARAH TAPEL DAN TOPENG PENINGGALAN DI DESA SINGAPADU

Sebuah tradisi seni membuat tapel berupa topeng khas Singapadu, memang telah dikenal luas. Seni topeng yang unik dan mempesona itu telah diwarisi secara turun menurun. Perihal budaya topeng di Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar, telah tumbuh dan berkembang sejak lama dan diduga sekitar awal abad ke-18. Pada awalnya, dirintis melalui tapel Barong, satu topeng berwujud mahluk mitologis yang diyakini berkekuatan magis. Dalam perjalanan, topeng-topeng telah mengalami transformasi bentuk, seeprti kehadiran topeng berwujud manusia, yang ditampilkan lewat dramatari topeng.

Dalam proses sejarah panjang itu, topeng bukan hanya sekadar kebanggaan masyarakat Singapadu, melainkan dipandang sebagai jiwa dan taksu desa mereka. Segala upaya dilakukan agar budaya topeng ini tumbuh dan berkembang selaras dengan zaman. Guna mengapresiasikan seni warisan tradisi tersebut,serta mengenal lebih dekat tradisi seni membuat topeng, maka Asosiasi Seniman Singapadu (ASS) bekerjasama dengan Bentara Budaya Bali (BBB) menggelar pameran retrospektif topeng.

Pameran yang bertemakan ‘Topeng: Taksu Singapadu’ digelar mulai Jumat (4/11) hari ini hingga Minggu (13/11) mendatang. Rencanya, pameran akan dibuka langsung Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. Pembukaan pameran ini akan diramaikan pementasan topeng yang dibawakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia dipadu dengan kreativitas gong Sekaa Gong Lango Murti Singapadu.“Selama pameran berlangsung, setiap harinya akan diadakan workshop atau demonstrasi pembuatan topeng oleh seniman-seniman yang tergabung dalam ASS.

Bagi siapa saja yang ingin mengenal, mengetahui, atau hendak mempelajari cara pembuatan topeng, silakan datang pada pameran di BBB,” ujar I Made Supena, S.Sn., seniman yang juga konseptor pameran bersama Prof. Dr. I Wayan Dibia. Supena juga menjelaskan dalam pameran ini nantinya akan digelar juga diskusi seni rupa dan mengulas sejarah topeng Singapadu yang bertajuk ‘Barong dan Topeng Jiwa Taksu Singapadu’ pada Minggu (13/11) pukul 17.00. Diskusi ini akan membedah budaya topeng Singapadu, dengan pembicara Prof. Dr. I Wayan Dibia dan Ketut Kodi, S.Sp., M.Si. “Selain topeng-topeng klasik, akan ditampilkan juga topeng-topeng modern dan kontemporer,” ujar Putu Aryastawa, pekerja budaya BBB.

Para seniman topeng yang ditampilkan karya-karyanya dalam pameran ‘Topeng: Taksu Singapadu’ di Bentara Budaya Bali:Cokorda Oka Tublen (alm), I Wayan Tedun (alm), I Wayan Tangguh, I Gusti Putu Brata, I Ketut Sarwa, Cokorda Raka Tisnu, I Nyoman Renung (alm), I Nyoman Repot (alm), I Made Hartawan, I Wayan Tebe Gunastra, I Wayan Pugeg, I Ketut Muja.

Asosiasi Seniman Singapadu menyelenggarakan pameran retrospektif topeng bertajuk “Topeng: Taksu Singapadu”. Pameran bekerjasama dengan Bentara Budaya Bali ini dibuka Bupati Gianyar Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. Jumat ini. Pameran yang akan berlangsung hingga 13 November 2011 ini diwarnai pementasan yang berangkat dari seni topeng. Tarian tersebut dibawakan oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia dipadu dengan kreativitas gong dari Sekaa Gong Lango Murti Singapadu.

Selama pameran berlangsung, setiap hari juga akan ada workshop atau demonstrasi pembuatan topeng oleh seniman-seniman anggota Asosiasi Seniman Singapadu. “Jadi, bagi siapa saja yang ingin mengenal, mengetahui, atau hendak mempelajari cara pembuatan topeng, silakan datang pada pameran di BBB.” ujar I Made Supena, S.Sn., seniman yang juga konseptor pameran bersama Prof. Dr. I Wayan Dibia. Sebagai sebuah desa budaya, Singapadu dikenal mewarisi seni-seni tradisi Bali mumpuni seperti seni topeng unik dan mempesona ini. Budaya topeng di Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, telah tumbuh dan berkembang sejak berabad lalu. Budaya ini sudah ada sejak sekitar awal abad XVIII, dirintis melalui tapel Barong, satu topeng berwujud makhluk mitologis yang diyakini berkekuatan magis.

Seiring perubahan, topeng-topeng mengalami transformasi bentuk. Hadir topeng berwujud manusia lewat dramatari topeng. Dalam proses sejarah panjang itu, topeng bukan sekadar kebanggaan masyarakat Singapadu, melainkan dipandang sebagai jiwa dan taksu desa mereka. Segala upaya dilakukan agar budaya topeng ini tumbuh dan berkembang selaras zaman. Selain topeng-topeng klasik, ditampilkan juga topeng-topeng modern dan kontemporer. Pameran untuk umum akan digelar sedari pukul 10.00 hingga 18.00 Wita di Bentara Budaya Bali. Selama pameran akan dipresentasikan karya-karya seniman sepuh, bahkan yang telah meninggal, juga buah cipta seniman-seniman terkini. Misalnya Cokorda Oka Tublen (alm), I Wayan Tedun (alm), I Wayan Tangguh, I Gusti Putu Brata, I Ketut Sarwa, dan lain-lain.

Sederetan topeng membentur mata.  Ada topeng ekspresif, tatapan tajam  berwibawa; topeng tua dengan sorot pandang memudar atau bermimik jenaka; juga tak ketinggalan topeng barong berwajah angker nan mistis laiknya “penguasa’ desa. Puluhan topeng itu hadir di Bentara Budaya Bali, mulai tanggal 8 hingga 13 Nopember 2011 pada pameran bertajuk “Topeng: Taksu Singapadu.

Topeng-topeng karya seniman Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar ini, mengajak kita merunut jejak sejarah hingga ke zaman kerajaan Klungkung abad 18, di mana sang penguasa waktu itu mengutus salah seorang putranya, Dewa Agung Anom, diiringi abdi dalem, para penari, dalang, dan pengukir, guna membabat alas di Timbul, kelak tersohor sebagai pusat kerajaan Sukawati. Giliran masa berikutnya, sang raja baru tersebut mengirim salah seorang putranya, Dewa agung Api ke wilayah Singapadu, lengkap pula dengan segenap ahli seni kerajaan.
Fenomena ini bermakna luas dan berdampak jauh, bahkan hingga era kontemporer ini. Bila diingat bahwa kerajaan Klungkung adalah lanjutan kerajaan Gelgel, yang didirikan

menyusul kekalahan Bedahulu/Bali oleh tentara Patih Gajah Mada, terlihat dengan jelas proses yang merupakan keajaiban mendasar kebudayaan Bali: bagaimana budaya istana dari Majapahit telah, di Bali, melalui alih kekuasan dalam unit yang semakin kecil, menjadi suatu budaya pedesaan yang tetap hidup hingga kini. Singapadu, Sukawati dan seabrek desa lainnya di Bali adalah tempat-tempat di mana kaum tani, bergandengan dengan bangsawan setempat, adalah pewaris langsung kebudayaan asal –Majapahit yang tetap terjaga dalam kenyataan mitis, ritual dan seni pedesaan masyarakat setempat.

Terlebih terbukti topeng-topeng itu bukan hanya mempesona mata, melaikan sekali-kali lekat pada wajah penari;  yang mengekspresikan geraknya secara magis disertai denting gamelan, kepulang asap dupa melangit, serta membawa para pemirsa nun ke  suasana mistis tempo dulu; di mana diyakini para leluhur berkenan hadir di antara para sentananya. Itulah beberapa pikiran terbersit dalam benak ketika menyaksikan pembukaan pameran istimewa ini. Apalagi sewaktu mendengar sambutan pembukaan pameran dari Bupati Gianyar, Cok “Ace“ Sukawati yang juga penari topeng mumpuni itu. Terbayang sang satria “Dalem Sukawati“  –nama klennya–, berpakaian lengkap laksana tumenggung zaman dahulu, bertopeng “pajegan“, tengah menari di Pura Mandara Giri, di kaki Gunung Semeru, di mana melalui tarian sakral tersebut, secara simbolis dirinya  “luluh menyatu“ bersama para leluhur dari Jawa dan Bali, dengan para Dewata  Gunung Mahameru, lalu kemudian manunggal dengan Sang Maha Meru itu sendiri.

Kebudayaan yang semakin “men-Desa“, tak pelak bertolak belakang dengan kebudayaan Barat/modern yang lahir dari Kota. Agama yang berupacara dalam kesenian –bertolak belakang dengan kecenderungan “abstrak“ agama-agama lainnya. Dengan kata lain, Pameran topeng Singapadu adalah peluang yang baik untuk merenungkan keunikan dan ketahanan kebudayaan pedesaan Bali.  Fenomena komunal-kreatif itu begitu mengemuka di desa tersebut. Tak kurang dari 30 seniman ambil bagian, wewakili semua banjar desa itu.

Paling senior  tampil  topeng klasik tarian atau topeng barong ritual; mereka mengikuti kaidah ikonografis warisan kerajaan lama, lengkap dengan mengupacarai kayu dan mengikuti ketentuan “dewasa“nya (pilihan hari baik) demi “taksu“ gaib yang diharapkan hadir pada karyanya; I Wayang Tangguh, Cokorda Raka Tisnu, I Gusti Putu Brata adalah wakil dari tradisi “asli“ yang konon lahir dari tangan Dewa Agung Api dan diturunkan hingga kini melalui tangan Cokorda Oka Tumblen (1899-1983).  Dihadirkan pula para kreator muda yang membuat topeng dengan tujuan kreatif dan/atau komersial, sesuai dengan kebutuhan zaman; oleh karena tidak ada ketentuan ritual, ikonografinya lebih bebas; bahannya, selain kayu, juga aneka bahan komposit, seperti halnya Barong Ket raksasa yang menghiasi ruang pameran. Di antara seniman kreatif itu dapat disebut beberapa nama yang karya terpujikan: pematung tradisonal I Ketut Muja dan I Wayan Pugeg. Adapun Made Supena, yang juga co-curator pameran ini, adalah seniman pelukis merangkap pematung yang sudah menasional.

Sayangnya, pameran topeng kali ini hanya dapat menghadirkan segi “seni rupa“ tradisional dan pasca-tradisional dari “republik budaya“ Singapadu. Segi itu sejatinya tidak penuh hadir bila tidak ditopang oleh sejumlah faktor lainnya, yang sebagian terancam oleh kemajuan zaman. Pertama seni topeng Singapadu didukung oleh ketahanan kultus para leluhur serta kultus kekuatan alam sebagai wujud Widhi (Tuhan). Bila tiba saat upacara odalan di merajan agung (pura keluarga besar), atau pada kesempatan lainnya, tak sedikit keluarga, baik di Singapadu maupun tempat lainnya, terpanggil untuk “menurunkan“ atau mengundang hadir para leluhur melalui tarian topeng. Tak sedikit pula desa yang merasa terpanggil meremajakan bentuk Barong pelindung desa.

Jadi tetap ada permintaan masyarakat Bali bagi hasil karya seniman topeng dan barong. Selain itu, Singapadu mempunya suatu tradisi tari yang “lengkap“, mencakupi Barong, topeng, opera Arja dan lain-lain. Sanggar lokal kerap dipanggil untuk melayani upacara adat atau bahkan menari di hotel-hotel –tanpa lupa, tentu saja, pertujunkan barong Kunti Sraya yang diselenggarakan setiap hari di banjar Sengguan. Hal-hal seperti ini memberikan kepada “tradisi“– baik berupa seni karawitan (musik dan tari) maupun seni patung (topeng, patung) suatu citra yang, hingga belakangan ini, kelangsungan kreasinya beberapa puluh tahun mendatang.

Faktor lain yang turut memberikan citra pada tradisi di Singapadu ialah munculnya beberapa figur desa yang telah menjadi pelaku utama dari kebijakan kebudayaan pada taraf lokal (Bali) dan bahkan nasional, terutama Prof. Bandem dan Prof Dibia, keduanya bekas rektor ISI Denpasar. Salah satu kebijakan yang disokong mereka selaku rektor adalah perumusan dan penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali. Boleh jadi PKB itu dikritik seniman modern sebagai ajang kesenian yang telah mengabaikan problematika sosial –sesuatu yang tak terelakkan sewaktu Orde Baru, tetapi tak terbantahkan bahwa PKB telah mendorong pelestarian memori “tradisional“ di antara masyarakat Bali yang bergegas urban itu –suatu fenomena yang amat unik dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Menyaksikan I Ketut Kodi, pematung topeng merangkap dalang dari Singapadu, memerankan, sebagai juru cerita, tokoh-tokoh Mahabharata pada kesempatan tarian massal di PKB, adalah suatu pengalaman tersendiri.

Namun kini problematika lebih kompleks. Tak ayal memori kultural generasi muda cenderung semakin lepas dari simbolisme lokal dan semakin terbentuk oleh konsep, simbol dan ikon yang bersirkulasi di media-media modern. Meskipun demikian, hemat saya, over-idealisasi dan, akibatnya, ideologisasi dari tradisi tidak mungkin merupakan resistensi yang produktif:  Membentengi diri secara ideologis di belakang tradisi adalah “ostrich politics“ –[politik burung unta]. Tidak hanya karena menekankan etnisitas secara berlebihan di antara lapis-lapis identitas lainnya, terutama lapis nasional, tetapi juga menutup kemungkinan untuk membangun konsep-konsep kebijakan, dan kemudian simbol-simbol kultural, yang bakal efisien di dan untuk masa depan.

Adalah menarik mencatat disini garis kuratorial Bentara Budaya Bali. Lembaga yang kerap menyelenggarakan pameran kontemporer dan diskusi-diskusi hangat tentang masalah kekinian, justru kini mengajak kita untuk berenung sejenak tentang masa lalu yang kekal dari desa Singapadu. Itulah cara menautkan dalam keberlanjutan  apa dipandang lampau dengan sesuatu yang didambakan sebagai masa depan.

Tetapi, lebih jauh, bukankah kini sudah tiba saatnya, demi melestarikan kultur Singapadu dan desa serupa lainnya, untuk mencatat secara sistematis, di dalam sebuah “museum digital“, tradisi-tradisi lama yang masih hidup memorinya pada orang pedesaan yang lebih dari 50 tahun umurnya –yaitu yang memori kulturalnya sepenuhnya dibentuk oleh dunia pra-TV–. Ide “Museum Digital“ini pernah dilontarkan pada penulis oleh seorang pelukis Bali ternama, Mangu Putra.

Bukankah justru karena karyanya yang kontemporer, dia lebih peka terhadap keperluan untuk menyambungkan “yang lalu“, bukan saja dengan yang bakal datang, tetapi dengan yang bakal dibangunnya.  Itulah cara yang tepat guna merawat  dan mengembangkan warisan luhur  masa lalu, di mana kearifan tradisi sungguh-sungguh hidup dalam kenyataan, bukan sekadar citraan imajiner belaka.

 

Topeng Singapadu Dalam Konsep

I Made Puji Astawa

 

Dalam sejarah perkembangan Desa Singapadu khususnya Seni, baik seni pertunjukan maupun seni rupa bergeliat seiiring dengan perjalanan waktu. Dengan potensi Desa yang terdiri dari 2 Desa Pakraman Singapadu dan Desa Pakraman Kebon mempunyai potensi seni khususnya di dunia seni topeng atau pertopengan sangatlah maju. Singapadu adalah sebuah Desa di Kabupaten Gianyar yang amat kaya dengan warisan seni dan budaya. Salah satu warisan budaya yang amat dibanggakan oleh masyarakat Desa Singapadu, karena telah membuat desa ini di kenal masyarakat Bali, Indonesia bahkan luar negeri adalah seni topeng. Desa yang terletak di kecamatan Sukawati ini memiliki budaya topeng yang sudah tumbuh dan berkembang melalui beberapa generasi sejak beberapa abad yang lalu. Dalam perkembangan dan perjalanan sejarahnya seni topeng telah menjadi budaya kebanggaan masyarakat Singapadu. Bahkan topeng di desa ini di anggap sebagai jiwa dan taksu Desa Singapadu. Perkembangan topeng di desa ini telah terbentuk sejak lama. Ini terbukti dengan ukiran topeng barong ket ( wajah barong ) di dua kori agung areal Pura Puseh dan Desa Desa Pakraman Kebon tidak menggunakan boma dengan dua telapak tangannya serta disejumlah bangunan pura termasuk candi bentar di pura ini juga dihiasi dengan karang-karang tapel menggunakan muka barong ket. Kehadiran budaya topeng di Desa Singapadu sejak abad ke XVIII, di mulai dari tapel barong, topeng yang berwujud makluk mitologis yang diyakini memiliki kekuatan magis, yang kemudian disemarakan oleh pembuatan tapel topeng, topeng berwujud manusia yang biasa digunakan dalam drama tari topeng.

 

Berdasarkan beberapa catatan yang dikumpulkan generasi pertama pembuat topeng di Singapadu adalah I Dewa Agung Api dari Puri Singapadu yang merupakan salah satu putra dari I Dewa Agung Anom alias Sri Aji Wirya Sirikan Raja atau Dalem Sukawati yang berasal dari Puri Klungkung. Berdasarkan Babad Sukawati putra I Dewa Agung Jambe ini pindah ke tanah Timbul Sukawati sekitar abad ke XVIII. Pembuat barong dari generasi ke-3 adalah Ida Cokorda Oka Tublen, di kalangan para seniman lebih di kenal Dewa Agung Singapadu. Kepiawaiannya membuat barong diwarisinya dari leluhurnya Dewa Agung Geni. Berbeda dengan dua pendahulunya, Dewa Agung Singapadu termasuk pembuat topeng yang sangat kreatif dan produktif. Tak terhitung jumlahnya topeng barong yang telah dihasilkan Cokorda Oka Tublen  dan karya-karyanya hampir tersebar ke seluruh pelosok pulau Bali. Sebagian besar karyanya dijadikan sesungsungan ( barong keramat )  dan hingga kini topeng terbut masih di puja dan disucikan oleh warga masyarakat setempat. Belum lagi karya-karya topengnya untuk patopengan yang dimiliki oleh hampir semua penari-penari topeng ternama di daerah ini termasuk kolektor topeng dari luar daerah maupun luar negeri. Budaya Topeng di Desa Singapadu tidak bisa dilepaskan dengan dua jenis seni pertunjukan tradisional Bali, dramatari barong ket dan drama tari topeng, yang hingga kini masih hidup dan tetap dipertahankan oleh warga masyarakat di desa ini . Hampir semua masyarakat di desa ini memiliki barong. Lantas bagaimana tantangan ke depan bagi perkembangan topeng Singapadu ?. Dengan lahirnya pelaku dan pembuat topeng muda berbakat dan kreatif, ke depan budaya topeng di Singapadu akan terus berkembang sejalan dengan dinamika perkembangan seni budaya di Bali. Di masa mendatang tantangan akan datang baik secara internal maupun eksternal. Secara internal para seniman topeng di Singapadu harus senantiasa meningkatkan kualitas diri sehingga mampu menghasilkan karya-karya topeng baik tradisional maupun modern yang berkualitas. Para seniman topeng singapadu hendaknya tetap berkarya tanpa harus mengorbankan jati diri. Upaya-upaya inovasi yang kreatif perlu terus dilakukan sehingga akan lahir bentuk-bentuk topeng yang mencerminkan cita rasa baru tanpa kehilangan identitas budaya bali.

 

Secara eksternal tantangan datang dari seniman-seniman topeng dari desa lain termasuk luar daerah dan luar negeri. Kemajuan yang di capai oleh para seniman dari desa lain seyogyanya dapat dijadikan rangsangan untuk berkreativitas guna melahirkan karya-karya yang lebih bermutu. Komersialisasi karya yang berlebih-lebihan kiranya perlu di hindari agar karya-karya yang dihasilkan tidak menjadi karya-karya seni yang berkelas “ pasaran “. Segala tantangan yang mungkin datang akan dapat diatasi jika para seniman pembuat dan pelaku topeng tetap berkarya atas prinsip kejujuran, mempertahankan kualitas dan atas dasar rasa pengabdian kepada jagat seni, niscaya jiwa dan taksu Singapadu akan tetap terpancar melalui seni topeng khususnya dari kelompok bebarongan dan pertopengan,

Barong dan topeng adalah 2 warisan budaya tradisional yang telah menjadi bukan saja kebanggaan melainkan jiwa, prabawa dan taksu Desa Singapadu di Kabupaten Gianyar. Seni topeng ini telah menjadikan desa ini bukan saja di kenal di seluruh Pelosok Pulau Bali melainkan juga keluar daerah  bahkan ke luar negeri Ke depan dengan adanya peran serta dari para seniman pembuat dan penari topeng di ‘ bumi jagaraga “ ini terus berkembang dan memancarkan sinar taksu ke sseantero jagadraya. ( Di kutif dari tulisan Prof. I  Wayan Dibia dalam bukunya Mask Taksu Of Singapadu ).

 

TARI KEKEBYARAN

  1. Tari Kupu-Kupu Tarum
    1. Sinopsis

      Tari kupu-kupu atau tari kupu-kupu tarum adalah salah satu dari sekian banyak tarian yang berasal dari Bali. Keberadaan Bali dalam sisi seni budaya, keindahan alam dan religiusitasnya telah diakui dan dikenali oleh masyarakat Internasional. Maka tak heran jika banyak budayawan dan seniman Bali yang terkenal dalam pentas dunia seni internasional. Tarian kupu-kupu adalah jenis tarian grup putri yang dimainkan oleh lima orang perempuan atau lebih. Tarian ini menggambarkan kupu-kupu berwarna biru tua atau tarum yang sedang terbang dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.

      Secara filosofis, tarian kupu-kupu adalah penggambaran keindahan, kedamaian dan eksotoknya pulau Bali. Gerakan yang gemulai dengan komposisi gerak yang dinamis dan menawan, menjadikan tarian kupu- sedikit berbeda dengan nuansa yang diciptakan oleh tarian Bali pada umumnya sehingga lebih terkesan nuansa damai saat menontonya. Serta perpaduan warna kostum antara kain berwarna gelap dan terang seperti biru, kuning emas, dan hijau tua serta mahkota yang berkilauan dengan pernak-pernik keemasan, menggambarkan keindahan dalam kontrasnya perbedaan. Seperti keindahan alam, kondisi sosial, ragam karya seni, budaya serta keyakinan masyarakat Bali yang bersatu dalam keharmonisan gerak. Iringan musiknya pun, meski dengan alat yang sama yakni gamelan Bali, ada harmoni nada dengan birama yang lembut.

  1. Pencipta
  1. Penata Tari

I Wayan Beratha

  1. Penata Tabuh

I Wayan Beratha

  1. Tahun

Tarian ini diciptakan pada tahun 1960

  1. Kostum

Adapun kostum yang di pakai adalah kamen, gelungan, kostum yang menyerupai sayap kupu-kupu, tapih,

Gambar : Tari Kupu-Kupu Tarum

  1. Tari Belibis
    1. Sinopsis

Ada beberapa versi tarian Belibis diantaranya:

  • Menggambarkan kehidupan sekelompok burung belibis yang dengan riangnya menikmati keindahan alam. Mereka tiba-tiba dikejutkan oleh munculnya seekor burung belibis jadi-jadian yang merupakan penjelmaan dari Prabu Angling Dharma setelah terkena kutukan dari istrinya yang sakti (dalam cerita Tantri).
  • Dalam pengembaraannya, Angling Dharma bertemu dengan seorang putrid raksasa pemakan manusia. Raksasa merasa khawatir rahasianya diketahui oleh Angling Dharma, dikutuklah Angling Dharma menjadi seekor burung Belibis yang hidup di air.
  • Mengisahkan Prabu Angling Dharma yang dikutuk istrinya menjadi seekor burung belibis. Dalam pengembaraannya, ia bertemu dengan sekawanan burung belibis, namun ia tidak diterima dalam kelompok itu karena bisa berbicara seperti manusia.

  1. Pencipta
    1. Penata Tari

Swasthi Wijaya Bandem

  1. Penata Tabuh

I Nyoman Windha

 

  1. Tahun

Tarian ini diciptakan pada tahun 1984

  1. Kostum

Adapun kostum yang dipakai dalam tarian ini adalah badong, gelung, antol, ampok ampok.

Gambar : Tari Belibis

 

 

 

 

BIOGRAFI

TOKOH SENIMAN TARI

  1. Identitas Tokoh
    1. Nama : I Wayan Masna
    2. TTL    :Gianyar, 24 maret 1960
    3. Alamat : Br samu Singapadu Kaler
  2. Riwayat Pendidikan
    1. SD Negeri 2 Singapadu Kaler
    2. SMP Negeri 2 Singapadu
    3. SMK Negeri 3 Sukawati
  3. Riwayat Prestasi
    1. Pendiri, pemilik, dan pembina Sanggar Tari yang didirikan pada 15 April 1984
  4. Pengalaman pertama di Dunia Tari

Pada awalnya bakat Seni Tari Beliau datang sedari Leluhur Beliau yang memiliki seperangkat gamelan di rumahnya yang sekian lama vakum dan tidak difungsikan. Akhirnya beliau kembali mengelola dan menciptakan sanggar tari ,sanggar tari tersebut yang memotivasi beliau sehingga bakat Tari pada diri Beliau sedikit demi sedikit tumbuh dan berkembang hingga latihan ke beberapa tempat latihan ataupun Sanggar. Selain itu Beliau juga berlatih dari Banjar ke Banjar lain, ngayah ke Pura dan akhirnya hingga tampil dalam acara Festival.

Kulkul Sebagai Warisan Budaya yang Berperan dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

Angklung (dikenal sebagai Angklung Kelentungan) adalah suatu jenis alat musik tradisional yang terbuat dari empat kepingan logam, menghasilkan empat nada. Jenis gamelan seperti ini menghasilkan nada sedih, melankolis, dan lulling dinamis. Angklung merupakan bentuk gamelan tertua di Bali, berasal dari abad ke-10. Umumnya, Angklung dimainkan untuk mengiringi suatu upacara kremasi. Secara fisik pada awalnya angklung menggunakan empat bilah nada, kemudian para senimannya pada perkembangannya menambahkan lagi beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu.

Perubahan atas bertambahnya bilah nada dalam gamelan angklung adalah tidak terlepas dari factor terkena imbas dari pengaruh gender wayang dan dan factor kedua adalah karena ada difungsikan untuk mengiringi Joged Bumbung. Beberapa instrument juga terkadang ditambahkan seperti jublag, kendang gupekan, kempur,kemong,dan gong. Secara umum tungguhan gamelan angklung pada waktu lampau masih berbentuk lelengisan, dan hanya dipernis, tetapi dewasa ini kita lihat sudah diprada sebagaimana gong kebyar.

Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka (berupa not) dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung berarti angka yang rusak. Dalam sejarah perkembangan musik Angklung, bentuknya yang sekarang merupakan adaptasi bentuk alat musik dari Filipina. Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu berasal dari bambu wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul. Permainan bambu tersebut bermula untuk menghormati binatang totem dan untuk menghormati dan menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan kesejahteraan.

Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal. 4).Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang sudah  berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.

Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya, Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.

Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin Bharata Yuda.Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha Kediri

Dalam perkembangannya musik angklung perlahan mulai berubah dan beradaptasi dengan perkembangan jamannya. Mulai dari jaman dimana manusia memanfaatkan bambu sebagai alat utama mereka untuk bertahan hidup, masuknya budaya China, penyiaran agama Islam, masuknya budaya barat ke Indonesia, sampai pada jaman modern ini.

  1. Fungsi Gambelan Angklung
  2. Fungsi Upacara

Fungsi gamelan angklung  dibanjar Tegeh adalah  mengiringi upacara pitra yadnya dan selain itu  juga dipakai mengiringi upacara Dewa Yadnya serta tari-tarian gong selendro yang sering juga menghidangkan gending-gending perangklungan 4 nada.

Satu barungan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali menggunakan  alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat Bali sebagian besar mengenal bahwa angklung dipergunakan dan berfungsi mengiringi upacara Pitra Yadnya (Ngaben).

Di desa adat Samu, gamelan angklung didukung oleh sebuah organisasi yang bersifat tradisional yang bertujuan sosial.  Sekee angklung Sekar mas nama organisasi yang menaungi kebersamaan sekee angklung ini dengan anggota kurang lebih 50 orang. Sekee ini berada di lingkungan Banjar Samu Singapadu Kaler. Rasa kebersamaan dan memiliki sesama anggota sekhee dengan tujuan membantu tanpa pamrih terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuan bila memiliki kepentingan upacara untuk mengupah (menyewa) angklung.

Tapi seiring dengan perkembangan modernisasi dan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang pula struktur sekaa angklung menjadi lebih professional dan mulai ada perjanjian ataupun sewa menyewa untuk kegiaan pentas dan sebagainya yang tentunya di luar konteks Ngayah. Di era belakangan ini gamelan angklung mengalami perubahan yang bukan saja dari bentuk fisik instrumentasi, tetapi juga terjadi perkembangan repertoar dan fungsi, di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat di Bali. Dan saat ini gamelan angklung telah diangkat untuk ajang sebuah kreativitas, lahan seni artistic bagi seniman-seniman kreatif dengan tampil sebagai angklung kebyar dan angklung dengan kreativitas seni modern.

Dan di beberapa daerah di Bali baik organisasi, maupun pemaksan dadya dan sebagainya tidak jarang gamelan angklung juga mengiringi tari-tarian untuk menggantikan gamelan lainnya dalam rangka upacara Dewa Yadnya termasuk juga gamelan kekebyaran yang dewasa ini sedang digemari di Bali.

Sebuah organisasi seperti Sekee Angklung Sekar Mas ini bersifat tradisional dan dibentuk untuk tujuan-tujuan sosial pada awal pendiriannya. Warga yang memiliki kepentingan terhadap jasa penggunaan gamelan ini untuk kepentingan upacara hanya mendapat sekedar minum atau makanan sebagai ungkapan terima kasih serta sesari banten gong atau batu-batu, begitu disebut dan disediakan sekedarnya.

Hal ini merupakan cerminan rasa kebersamaan dan gotong royong serta kerukunan interaksi sosial masyarakat Banjar Tegeh. Namun seiring dengan perkembangan globalisasi dan perubahan budaya akibat arus modernisasi serta system teknologi yang canggih menggeser juga nilai serta fungsi sosial dari Sekee angklung ini. Tuntutan kehidupan bermasyarakat yang semakin kompleks mengubah pula pola perkembangan kesenian sekee angklung ini.  Saat ini untuk kegiatan ngayah tanpa upah seperti dulu sangat jarang didengar lagi, namun dalam kenyataannya kini mulai diberlakukan sistem sewa atau memberi upah untuk sekali pelaksanaan menggunakan gamelan angklung untuk kegiatan yadnya dan lainnya.

Sekhee  Angklung Sekar Mas selain menampilkan tabuh-tabuh juga menampilkan tarian-tarian. Adapun tari-tarian yang dipentaskan dengan iringan angklung kebyar skhee Sekar Mas antara lain, Tari Barong, Baris tunggal, Jauk manis, Panyembrahma,dan tari Calonarang. Respon masyarakat pendukung dan penikmat seni cukup besar dalam pentas kesenisn tersebut . Hal ini dibuktikan dengan kehadiran penonton yang membludak.

Selain itu ditemukan pula angklung sering digunakan untuk mengiringi wayang kulit di beberapa daerah di Bali. Jadi kesenian angklung sampai saat ini memiliki arti penting baik dalam konteks kebutuhan masyarakat yang menunjang atau berfungsi upacara maupun sosial ekonomi dan hiburan.