Resensi Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali

Posted by Arsa Wijaya on April 05, 2012
Tulisan

Judul               : Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan

  Klasik Pagongan Daerah Bali

Penulis             : I Nyoman Rembang

Penerbit           : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan

  Proyek Pengembangan Kesenian Bali

Tahun              : 1984/1985

Halaman          : XIII + 162 halaman

            Gamelan Bali khususnya pagongan merupakan suatu khasanah budaya Bali yang erat sekali kaitannya dengan upacara agama Hindu dan berfungsi sebagai sarana penunjang jalannya upacara yadnya. Gending-gending yang dikategorikan gending lelambatan klasik, berasal dari gending-gending gamelan Gong Gede atau Gong Gangsa Jongkok. Walaupun kini gamelan Gong Gede telah sebagian besar berubah bentuk menjadi bentuk Gong Kebyar, namun gending-gending tersebut tidak berubah ciri khasnya bila diperdengarkan menggunakan gamelan Gong Kebyar. Suasana yadnya yang megah dan agung tetap terasa dan membawa orang akan terbayang dengan kedamaian masa purba. Oleh karenanya gending-gending tersebut hingga kini diperlukan sebagai pendukung upacara. Jenis gending lelambatan ini sebenarya banyak sekali jumlahnya, namun melihat keadaannya dewasa ini yang semakin jarang muncul menimbulkan rasa khawatir akan kepunahan. Karena hal tersebut, penulis memandang perlu mendokumentasi dalam bentuk notasi lagu. Lagu-lagu yang dinotasi adalah lagu yang namanya pernah beredar dikebanyakan sekhe Gong yang ada di Bali dan penciptanya kebanyakan anonim, kecuali beberapa buah lagu yang di ketahui penciptanya antara lain, Semarandana Tabuh Pat oleh I Nyoman Nyebleg dari Gladag, Ginanti Tabuh Pat oleh I Gusti Pt. Made Geria dan kawan-kawan dari Buagan, dan Pengisep  Galang Kangin oleg I Wayan Berata dari Belaluan. Adapun sumber-sumber yang dijajagi antara lain adalah Banjar Geladag, Banjar Tengah Sesetan, Sidakarya, dan Belaluan serta dari beberapa sekeha Gong yang ada di lingkungan Denpasar, di daerah lain seperti Kubu dan Sulahan Bangli dan beberapa dari kabupaten lainnya di Bali.

            Adapun gending-gending yang dinotasi, Tabuh Pisan (Bebarongan, Gagak, Kedodong, Langsing Tuban, dan Pisang Bali), Tabuh Telu (Buaya Mangap, Cerukcuk Punyah, Den Bukit, Lempung Gunung, Lilit, Gajah Nongklang, Sekar Gadung, dan Semara Pita), Tabuh Pat (Banda Sura, Beramara, Berare, Buaya Mangap, Cangak Merengang, Cara Manis, Eman-eman, Ginanti, Jagul, Keroda, Mangong, Manggis Kuning, Manggis Masem, Munduk, Pangelong Jiwa, Sarwa Manis, Sekar Layu, Semarandana, Subandar, Tapa Tangis, Tunjur, dan Wiralodra), Tabuh Nem (Galang Kangin, Kebo Landung, Kembang Koning, dan Gadung Melati), dan Tabuh Kutus (Bendu Semara, Dangdang Gendis, Lasem, dan Pelayon).

            Simbol yang dipakai berasal dari sandang aksara Bali yang disebut ulu (3 dibaca ding), tedong (4 dibaca dong), taleng (5 dibaca deng), suku (7 dibaca dung), dan carik (1 dibaca dang). Titik diatas simbol berarti nada lebih tinggi dari nada normal dan titik dibawah simbol berarti nada lebih rendah dari nada normal. Tanda ketokan sebagai mat ditulis tanda strip pendek ( – ), tanda setengah ketukan ditulis   , tanda seperempat ketukan ditulis        , tanda pengulangan ditulis [ – – – – ], tanda melodi pindah (    > nyalit, nyalit    >, penyalit     >), Jegogan ( ^ ), Kempur ( + ), Kempli (     ), Gong ( ( – ) ), Kendang Wadon ( _ dibaca Ka, o dibaca Dag), dan Kendang Lanang ( __ dibaca Pak, ^ dibaca Dug).

            Secara umum, bahwa yang dimaksud tabuh hubungannya dengan gamelan adalah memebu nyikan atau menyuarakan gamelan. Mungkin dengan cara  memukul, meniup, dan meggesek. Tetabuhan diartikan alunan suara gamelan yang sedang dalam pergelaran, mungkin sebagai pendukung upacara atau iringan tari. Khusus  didalam pengertian karawitan Bali, bahwa yang dimaksud tabuh adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoire dinggap sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Apabila terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam penampilan suatu repertoire, maka para ahli karawitan Bali akan mengatakan bahwa tabuhannya yang rusak. Pemain gamelan yang demikian itu dianggap tidakmengerti tabuh yang sebenarnya. Mereka dianggap tidak tahu tata cara membawakan suatu komposisi lagu. Yang indah adalah yang harmonis,seimbang dan sesuai dengan karakter lagu.

            Istilah tabuh juga dipakai istilah bentuk kerangka dasar gending-gending lelambatan klasik, misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem,dan tabuh kutus. Dengan demikian timbul anggapan bahwa nama tabuh tersebut dibuat demikian disebabkan oleh banyaknya jumlah pukulan Kempur dan Kempli didalam satu Gong. Dugaan atau anggapan tersebut adalah belum tepat, sebab yang diatur dalam komposisi gending-gending lelambatan tradisional itu bukan hanya pukulan Kempur dan Kempli saja, melainkan semua pukulan jenis-jenis instrumen. Istilah tabuh yang dilengkapai dengan nama-nama bilangan adalah suatu modus yakni cara membedakan nama bentuk yang satu dengan yang lainnya.

            Tabuh Telu merupakan gending yang ukurannya paling pendek diantara gending-gending yang termasuk dalam kategori lelambatan. Gending Tabuh Telu dapat dipakai berdiri sendiri  misalnya untuk tabuh pembukaan atau untuk pengisi waktu yang singkat. Disamping itu gending Tabuh Telu dipakai sebagai pengecet bagian terakhir gending-gending Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan Tabuh Kutus. Dalam hal komposisi, gending Tabuh telu dapat dibagi menjadi dua macam bentuk, yaitu bentuk tunggal dan bentuk ganda. Tabuh Telu bentuk tunggal ialah gending yang terdiri dari kawitan dan pengawak saja, dan bagian pengawaknya dimainkan berulang-ulang, contohnya adalah Tabuh Telu Buaya Mangap. Tabuh Telu bentuk ganda adalah gending yang memakai dua bagian putarannya yaitu ada pengisep dan ada pengawaknya, contohnya adalah Tabuh Telu Sekar Gadung.

            Tabuh Pisan merupakan gending yang panjang melodi pengawak dan pengisepnya terdiri dari 16 x 4 ketokan didalam satu Gong. Tetapi satu pengawak terdiri dari dua Gong yang melodinya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula halnya bagian pengisepnya. Namun ada pula gending Tabuh Pisan yang pengawaknya terdiri dari tiga Gong.

            Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan  Tabuh Kutus memiliki pola dasar yang serupa. Bentuk keranka dasar lagunya mapun kendangannya semua sama, yang berbeda adalah panjang ukuran melodinya di dalam satu Gong. Tabuh Pat ukurannya sedang, Tabuh Nem agak panjang, dan Tabuh Kutus terpanjang. Pada umumnya gending-gending lelambatan klasik pegongan itu tersusun sedemikian rupa dan terdiri dari bagian-bagian yang disebut Kawitan, Pengawak, Pengisep, Pengecet, dan Tabuh Telu.

            Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali merupakan buku yang sangat bermanfaat sekali. Didalamnya terdapat penjelasan simbul notasi dan penjelasan tentang berbagai macam tabuh lelambatan klasik. Selain itu, di dalam buku ini terdapat notasi gending-gending lelambatan. Hal tersebut memudahkan seseorang yang ingin mempelajari tabuh lelambatan klasik dan juga buku ini merupakan buku yang dibuat untuk melestarika tabuh lelambatan klasik agar tetap bisa di ingat di kalangan seniman masyarakat Bali.

55 Comments to Resensi Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali