Perkembangan gong kebyar di Kabupaten Buleleng
Posted Under: Tulisan
FENOMENA DIBALIK
KEJAYAAN GONG KEBYAR :
KHUSUSNYA GONG KEBYAR GAYA BULELENG
2.1.
Berdasarkan hasil penelitian Gong Kebyar lahir di daerah
Bali Utara (Kabupaten Buleleng) di Desa Bubunan, Ringdikit, dan
Busungbiu dengan melalui proses waktu yang sangat panjang sehingga
mewujudkan sebarung gamelan Gong Kebyar yang seperti diamati
sekarang. Dari Desa Bubunan, Ringdikit, dan Desa Busungbiu, Gong
Kebyar berkembang ke daerah Tabanan, Badung, dan Gianyar.
Selanjutnya Gong Kebyar berkembang ke daerah Jembrana,
Klungkung, Bangli, dan Karangasem yang dikembangkan oleh
seniman-seniman dari tiga daerah tersebut, yaitu seniman dari daerah
Buleleng, Tabanan, dan Badung. Perkembangan Gong Kebyar tersebut
merupakan tanda kesuburan sehingga secara garis besar muncul empat
gaya Gong Kebyar, yaitu Gong Kebyar Gaya Buleleng, Tabanan,
Badung, dan Gong Kebyar Gaya Gianyar. Dari keempat gaya tersebut,
Gong Kebyar Gaya Buleleng yang paling menonjol perbedaannya yang
dapat dilihat dari segi tungguhan dan sajian gendingnya.
Barungan gamelan Gong Kebyar Gaya Buleleng berkembang ke
daerah-daerah perbatasan, yaitu daerah Karangsem, Tabanan, dan
Bangli. Saat Gong Kebyar Gaya Buleleng mengalami kehidupan yang
subur disertai munculnya ungkapan para seniman yang bersifat
emosional yang merupakan cerminan estetik sebagai identitas Gong
Kebyar Gaya Buleleng. Namun sekarang Gong Kebyar Gaya Buleleng
kehidupannya sangat memprihatinkan karena ketidakmunculnya unsurunsur
yang membentuk gaya Gong Kebyar Buleleng. Hal ini terjadi
karena adanya pergeseran tuntutan para seniman dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Buleleng. Hal ini sangat nampak pada Pesta
Kesenian Bali. Untuk melestarikan Gong Kebyar Gaya Buleleng, perlu
melakukan langkah-langkah pelestarian
Kata Kunci : Ungkapan para seniman, Gaya, dan Gong Kebyar Gaya
Buleleng
Dalam percaturan karawitan Bali, baik pertemuan yang berbentuk
sarasehan maupun seminar atau yang sejenis, belum ada yang menjelaskan
dimana dan kapan Gong Kebyar diciptakan. Memang selalu dikatakan
bahwa Gong Kebyar dilahirkan di Buleleng yang informasinya merujuk
dari tulisan Colin Mc Phee dalam bukunya Music In Bali (1966 : 328)
mengatakan bahwa tahun 1915 Gong Kebyar digunakan mebarung di Desa
Jagaraga, Buleleng. Selanjutnya informasi tersebut digunakan sebagai
1
acuan dan malahan lebih dikembangkan lagi sehingga dikatakan bahwa
Gong Kebyar muncul di Buleleng tahun 1915. Informasi yang lain
dikatakan bahwa Gong Kebyar lahir di Desa Bungkulan. Almarhum I
Nyoman Rembang (1977 : 4) juga mengatakan bahwa kemunculan Gong
Kebyar sesudah zaman penjajahan, maka tidaklah mustail kalau ada
kecenderungan para analisis berpendapat bahwa inspirasi yang
membangkitkan ide Gong Kebyar ada hubungannya dengan masuknya
kebudayaan yang dibawa masuk oleh penjajah. Tetapi benar atau tidaknya
persoalannya demikian, belumlah dapat dipastikan. Dari beberapa informasi
tersebut belum memberikan gambaran kapan dan dimana Gong Kebyar
lahir. Informasi tentang kelahiran Gong Kebyar sangat perlu diinformasikan
kepada masyarakat luas, meskipun belum selengkap seperti yang
diharapkan.
Permasalahan yang lain adalah krisisnya kehidupan Gong Kebyar
Gaya Buleleng saat sekarang. Pengamatan ini hampir dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat Buleleng khususnya dan Bali umumnya
sehingga berdampak hilangnya gaya–gaya Gong Kebyar yang pernah hidup
dan berkembang pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu sekitar 1970-an.
Adanya krisis kehidupan Gong Kebyar di Bali, kemudian muncul
keseragaman yang dapat diamati pada setiap festival Gong Kebyar pada
even Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan setiap tahun sekali.
Berdasarkan analisa, munculnya keseragaman Gong Kebyar dalam Festival
Gong Kebyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) disebabkan adanya
pergeseran tuntutan seniman dan Pemerintah Daerah Buleleng untuk
memperoleh juara dengan cara “apa pun”, di antaranya dengan
menggunakan pelatih serta menyajikan karya-karya yang disusun seniman
dari daerah lain yang sering memperoleh juara. Hal seperti ini patut
disayangkan karena berdampak kurang menguntungkan bagi kehidupan
kesenian di Bali. Sekeha-sekeha Gong Kebyar dari Buleleng yang tampil
dalam PKB sebagai duta Kabupaten Buleleng tidak luput dari virus
keseragaman ini. Munculnya keseragaman Gong Kebyar di Bali, kiranya
tidak perlu menyalahkan perorangan, kelompok atau instansi yang penting
bagaimana cara menyikapinya.
Kedua permasahan tersebut mempunyai sifat yang berbeda, yaitu
permasalahan pertama merupakan informasi tentang kelahiran Gong
Kebyar yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam hal ini informasi
kelahiran sangat penting diketahui bersama karena dengan memahami
sejarah akan lebih mantap melakukan pelestarian. Permasalahan kedua
merupakan masalah kehidupan yang dialami Gong Kebyar Gaya Buleleng
yang sangat memprihatinkan sehingga perlu dicarikan solusinya. Dengan
mengetahui perkembangan Gong Kebyar Gaya Buleleng juga akan lebih
mantap melakukan pelestarian.
2
Pembahasan
Pembahasan pertama dalam tulisan ini tentang kelahiran Gong Kebyar.
Kelahiran atau terbentuknya barungan gamelan Gong Kebyar tidak seperti
kelahiran seekor kambing artinya begitu lahir sudah bisa bergerak atau
jalan layaknya kambing yang sudah dewasa melainkan harus mengalami
berbagai proses dan waktu yang cukup lama.
Satu tulisan Balyson dari Belgia dalam majalah Bhawanagara tahun
1934 menjelaskan bahwa terbentuknya barungan gamelan Gong Kebyar
diawali dengan mengubah jenis-jenis tungguhan gangsa, yaitu menambah
bilah yang awalnya menggunakan lima bilah kemudian ditambah satu
bilah, dua bilah, tiga bilah sehingga akhirnya tungguhan gangsa
menggunakan sepuluh bilah. Perubahan dilakukan secara bertahap dan
waktunya relatif lama karena setiap perubahan penggunaan jumlah bilah
selain menambah bilah juga mengganti pelawahnya. Terjadinya perubahan
didasarkan atas pertimbangan estetik, yaitu penggunaan lima bilah pada
tungguhan gangsa dirasakan sangat terbatas untuk menyajikan jenis-jenis
candetan. Perubahan bilah ini dikutip dari majalah Bhawanagara sebagai
berikut.
Itoelah sebabnja, bahwa lambat laoen banjak boenga-boenga pada
tiap-tiap gangsa bertambah-tambah, menjadi enam bilah, toedjoeh
bilah dsb. Sebeloem Boeboenan meletakkan djabatannja sebagai
gong, ia mengeloearkan pendapatannja jang lain dari pada
“frctiesoli”, jaitoe banjak bilah boenga pada gangsanja……
sembilan : 1° 2° 3° 4° 5° 6° 7° 8° 9° (ding), dang, doeng, deng,
dong, ding, dang, doeng, deng, (digangsa letaknya dibalik)
(Bhawanagara, Tahoen IV, Juni 1934: 8).
Selain itu perubahan disebabkan juga dari karakter masyarakat Buleleng
yang selalu ingin berubah seperti yang juga diungkapkan oleh Balyson
sebagai berikut.
…publiek Boeleleng berpenyakit “Caprice Boelelengais” jang saja
salin dengan “penjakit bosan”, ingin mendengar segala apa-apa
yang bersifat aneh dan baroe (Bhawanagara, 11-12 April-Mei,
Tahoen III, Juni 1934 halaman 191)
Istilah “Caprice Boelelengais” mempunyai pengertian orang Bali bilang
jani kene nyanan keto, tusing enteg, celiak celiuk, ngeliunang bikas.
Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa sifat orang Buleleng adalah
tidak mempunyai pendirian yang tetap dalam arti selalu tidak puas
dengan apa yang telah dihasilkan. Ketidakpuasan tersebut dilandasi
sifat keberanian dan kreativitas yang tinggi atau selalu menginginkan
perubahan. Dari faktor-faktor tersebut muncul ciri khas khususnya
dalam karawitan (gamelan).
3
Pada saat sekeha gong Desa Ringdikit dan Desa Bubunan mengadakan
perubahan, sekeha gong dari Desa Busungbiu juga mengadakan perubahan
langsung jenis tungguhan gangsanya diubah sehingga menggunakan
sepuluh bilah. Ketiga desa tersebut (Desa Ringdikit, Desa Bubunan, dan
Desa Busungbiu) letaknya berdekatan sehingga dapat melakukan
perubahan dalam waktu yang relatif bersamaan seperti yang dikutip dalam
Bhawanagara sebagai berikut.
Pada zaman jang terbelakang ini banjaknja boenga gangsa
sepoeloeh bilah: Boesoengbioe, penggantinja Boeboenan
memboeboehi ”dong” rendah pada sembilan bilah itoe, sehingga
sekarang tiap-tiap gangsa mengandoeng sepoeloeh boenga atau 2
oktaaf (Bhawanagara, Tahoen IV, Juni 1934 : 8).
Menurut Bapak I Putu Suweca salah satu anggota sekeha gong Desa
Bubunan mengatakan bahwa dahulu (tahunnya tidak diketahui) barungan
gamelan yang ada di Desa Bubunan awalnya adalah milik tiga orang, yaitu
Guru Gede Merta, Kaki Tilem, dan Kaki Madu kemudian diserahkan
kepada desa sehingga menjadi milik desa. Konon di Desa Bubunan hanya
ada satu barung gamelan. Informasi lain yang diketahui oleh I Putu Suweca
bahwa dia pernah melihat ada dua tungguh gender rambat di Desa Bubunan,
tetapi sekarang kedua tungguh gender rambat tersebut sudah tidak ada atau
hilang.
Informan yang lain adalah Gede Kuwat Kusnadi dari Desa Busungbiu
mengatakan bahwa kakeknya pernah berceritra bahwa di Busungbiu ada
satu barung gamelan yang disebut gamelan Semar Pagulingan. Pernyataan
ini digarisbawahi oleh kelian gong Desa Busungbiu bernama Gede Ratep
mengatakan bahwa sekitar tahun 1979-an salah satu jenis tungguhan
gamelan Semar Pagulingan Saih Lima, yaitu jenis tungguhan gender rambat
dilebur dijadikan salah satu jenis tungguhan yang digunakan dalam
barungan gamelan Gong Kebyar. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa terbentuknya barungan gamelan Gong Kebyar di daerah Buleleng
khususnya di Desa Bubunan, Busungbiu disebabkan adanya perubahan dari
satu barung gamelan yang menggunakan laras pelog lima nada, yaitu
barungan gamelan Semar Pagulingan Saih Lima.
Dengan penambahan bilah ini, masyarakat lebih senang mendengarkan
gending-gending yang disajikan karena menggarap gending dengan
berbagai jenis candetan. Hal ini diungkapkan dalam majalah Bhawanagara
sebagai berikut.
Akan tetapi lama-kelamaan banjak boenga-boenga gangsa
bertambah-tambah, tidak lain sebabnja, melainkan otjet-otjetan
menjadi lebih digemari orang (si tukang main dan si penonton)
(Bhawanagara, Tahoen IV, Juni 1934: 8).
4
Sekeha gong dari Desa Ringdikit tidak hanya menambah bilah pada
tungguhan gangsanya sesuai dengan perkembangan pada saat itu, malahan
menambah satu jenis tungguhan lain, yaitu dua tungguh gender telulas
dengan alasan agar suara secara keseluruhan kedengarannya lebih merdu
dan manis. Pernyataan ini dapat dikutip dari Bhawanagara, Juni 1934
Tahoen IV halaman 11 sebagai berikut.
… apakah sebabnja Ringdikit memboebohi gender teloelas pada
gongnja. Pendapatan ini besar djasanja. Sebeloem gender teloelas
datang, boenji gong seanteronja agak keras (Belanda :
metaalachting, Bali : tengal, katos), dan sekarang lebih merdoe dan
manis karena boenji gender-gender gantoeng itoe.
Perkembangan selanjutnya tungguhan gangsanya gamelan dari Desa
Busungbiu menggunakan sepuluh bilah seperti yang ada pada tungguhan
gangsa Gong Kebyar sekarang dengan susunan nadanya sebagai berikut.
dong, deng, dung, dang, ding, dong, deng, dung, dang, ding
Dari pernyataan Balyson kemudian diadakan pengecekan ke lapangan
yang hasilnya adalah tungguhan gangsa yang menggunakan enam bilah
sudah tidak ada lagi karena dilebur untuk mengikuti proses terbentuknya
Gong Kebyar berikutnya. Tungguhan gangsa yang menggunakan tujuh
bilah, menurut almarhum I Gusti Bagus Nyoman Panji (almarhum)
mengatakan bahwa Desa Bungkulan pernah memiliki gamelan yang
tungguhan gangsa menggunakan tujuh bilah, namun sudah dilebur tahun
1942. Tungguhan gangsa yang menggunakan delapan bilah, masih terdapat
di Desa Gobleg dan Desa Kayu Putih. Di Desa Kalianget pernah memiliki
barungan gamelan yang menggunakan tungguhan gangsa delapan bilah
namun dilebur tahun 1965 menjadi Gong Kebyar.
Tungguhan gangsa yang menggunakan delapan bilah di Desa Gobleg
dan Kayu Putih merupakan salah satu jenis tungguhan yang digunakan pada
barungan gamelan Gong Duwe yang susunan nadanya sebagai berikut.
dung, dang, ding, dong, deng, dung, dang, ding
Barungan gamelan “baru” yang ada di sekitar Desa Busungbiu
didengar oleh desa tetangga di antaranya Desa Bantiran, kemudian Desa
Bantiran membuat barungan gamelan Gong Kebyar meskipun tidak
selengkap sekarang yang dilakukan secara bertahap yang pelatihnya dari
Desa Kedis.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wayan Begeg,
mengatakan bahwa tahun 1915 di Puri Subamia mengadakan upacara
plebon, kemudian sekeha Gong Kebyar Desa Bantiran diminta untuk
pentas selama tiga hari dalam upacara tersebut. Saat pergelaran senimanseniman
dari Tabanan banyak yang menonton di antaranya I Nengah
5
Ngayi, I Wayan Gejir, dan I Mario. Pada saat menyaksikan pergelaran
ketiga seniman tersebut tercengang melihatnya. Setelah melihat pergelaran
tersebut, kemudian barungan Gamelan Gede yang digunakan Banjar
Pangkung (pinjaman dari Puri Kaleran) yang awalnya tungguhan
gangsanya menggunakan lima bilah, kemudian atas ijin pemiliknya khusus
tungguhan gangsanya diubah menggunakan sembilan bilah dengan urutan
nadanya sebagai berikut.
deng, dung, dang, ding, dong, deng, dung, dang, ding
Dengan adanya gamelan tersebut diubah tungguhan gangsanya maka
seluruh gamelan di daerah Tabanan diubah tungguhan gangsanya
menggunakan sembilan bilah. Dari perubahan ini, banyak munculnya
gending-gending Gong Kebyar di antaranya gending Jerbu yang disusun
atas hasil kerjasama antara I Wayan Gejir (dari Tabanan) dan I Wayan
Sembah (dari Buleleng).
Dalam waktu yang tidak begitu lama, gamelan ini menyebar ke daerah
Badung, dimulai dari Dalung dan akhirnya sampai Banjar Belaluan
Denpasar. Gong Kebyar semakin berkembang di tiga daerah tersebut yang
kemudian berkembang ke daerah lainnya seperti Jembrana, Gianyar,
Klungkung, Bangli, dan Karangasem. Bapak Wayan Begeg mengatakan
bahwa penyebaran Gong Kebyar di Bali berbentuk “segi tiga“ artinya
dilakukan oleh seniman dari tiga daerah, yaitu Buleleng, Tabanan, dan
Badung. Dampak dari penyebaran Gong Kebyar tersebut muncul empat
gaya Gong Kebyar, yaitu Gong Kebyar Gaya Buleleng, Gong Kebyar
Gaya Tabanan, Gong Kebyar Gaya Badung, dan Gong Kebyar Gaya
Gianyar.
Dari paparan tentang kelahiran Gong Kebyar di atas, dapat disimpulkan
bahwa Gong Kebyar lahir atau diciptakan di daerah budaya dauh enjung
Buleleng, yaitu Desa Bubunan dan Ringdikit. Bentuk awal Gong Kebyar
tidak seperti yang diamati sekarang, dilakukan secara bertahap dengan cara
penambahan bilah jenis tungguhan gangsa (dalam sumber tidak
menyebutkan tahunnya). Penambahan bilah pada tungguhan gangsa
dilakukan berdasarkan kebutuhan estetik yang dilandasi oleh karakter
masyarakatnya. Salah satu bukti terjadinya penambahan bilah adalah
adanya barungan gamelan Gong Duwe yang menggunakan jenis tungguhan
gangsa delapan bilah.
Penyebaran Gong Kebyar diawali dari Desa Bantiran, kemudian tahun
1915 menyebar ke seluruh daerah Tabanan dan Badung. Penyebaran Gong
Kebyar di Bali dilakukan oleh para seniman dari tiga daerah, yaitu
Buleleng, Tabanan, dan Badung. Dari penyebaran Gong Kebyar tersebut,
muncul empat gaya, yaitu Gong Kebyar Gaya Buleleng, Gong Kebyar
Gaya Tabanan, Gong Kebyar Gaya Badung, dan Gong Kebyar Gaya
Gianyar.
6
Permasalahan yang kedua adalah tentang Gong Kebyar Gaya
Buleleng yang kehidupannya sangat memprihatinkan. Telah disebutkan di
atas bahwa di Bali terdapat empat gaya Gong Kebyar. Sementara yang
diketahui Gong Kebyar Gaya Buleleng memiliki subgaya Gong Kebyar,
yaitu subgaya Gong Kebyar Gaya Buleleng Dangin Enjung dan subgaya
Gong Kebyar Buleleng Dauh Enjung. Kedua subgaya Gong Kebyar
tersebut masih dalam satu nafas, yaitu Gong Kebyar Gaya Buleleng.
Dari hasil analisis bahwa Gong Kebyar Gaya Buleleng mempunyai
perbedaan yang menonjol yang dapat dilihat dari barungan gamelannya dan
tetabuhannya. Barungan gamelan Gong Kebyar Gaya Buleleng yang ada
sekarang merupakan hasil dari berbagai perubahan yang dilakukan oleh
seniman kita yang dilandasi oleh sifat jengah pada saat kegiatan mebarung,
yaitu :
1. Jenis tungguhan gangsa pemade kebanyakan atau hampir
seluruhnya dalam satu barungan gamelan Gong Kebyar
menggunakan delapan tungguh.
2. Ukuran pencon yang digunakan pada tungguhan trompong,
barangan, dan gong relatif lebih besar dari pencon tungguhan
trompong dan barangan atau riyong Gong Kebyar daerah
lainnya.
3. Penggunaan ceng-ceng kecek juga lebih banyak dari Gong
Kebyar daerah lainnya.
2.2 jumlah dan ukuran dalam gong kebyar
Jumlah dan ukuran tungguhan yang digunakan dalam Gong Kebyar
Gaya Buleleng berdampak pada estetika atau keindahan yang dimiliki oleh
sajian gending Gong Kebyar Gaya Buleleng berupa penonjolan-penonjolan
sebagai ciri, yaitu :
1. Suara Gong Kebyar Gaya Buleleng dirasakan lebih rendah
dibandingkan dengan suara Gong Kebyar gaya lainnya.
2. Sajian gending-gending Gong Kebyar Gaya Buleleng lebih
“rame” dibandingkan dengan sajian gending-gending Gong
Kebyar gaya lainnya, sehingga jenis-jenis tungguhan kempul,
kenong, dan tungguhan ketuk mempunyai nada yang tidak sama
dengan nada jenis tungguhan lainnya. Sadar atau tidak sadar hal
ini dilakukan supaya kedengaran lebih jelas (ngilis).
3. Penggunaan bentuk bilah belahan penjalin pada tungguhan
gangsa mepacek, berdampak konsentrasi penabuh pada pukulan
(tidak pada tutupan) sehingga gending yang disajikan bisa
relatif lebih cepat dibandingkan dengan sajian gending dari
Gong Kebyar daerah lainnya yang menggunakan bilah usuk
yang dipasang dengan cara digantung.
4. Nada tungguhan barangan lebih rendah satu oktaf maka tabuhan
tungguhan barangan khususnya tabuhan pemetit lebih menonjol.
7
pemetit mempunyai tingkat atau predikat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penabuh lainnya.
5. Adanya bentuk kekendangan Pengundang Taksu dengan maksud
untuk menunjukkan kualitas kendang yang digunakan dan
kemampuan pengendangnya. Kekendangan pengundang taksu
disajikan sebelum sajian gending di mulai. Akhir dari
kekendangan pengundang taksu disertai dengan satu kali
tabuhan gong.
6. Perbedaan suara kendang lanang dan kendang wadon sangat
jauh. Perbedaan kedua suara kendang tersebut, merupakan
aplikasi dari konsep ngilis agar suara kendang lanang menonjol.
Dengan adanya ciri-ciri yang dimiliki oleh Gong Kebyar Buleleng
maka merupakan identitas daerah Buleleng.
Kehidupan Gong Kebyar Gaya Buleleng pada saat itu sangat subur
sehingga penyebarannya sampai ke daerah lain yang memiliki budaya yang
berbeda, yaitu Gong Kebyar Gaya Buleleng di daerah Tabanan terdapat di
Desa Bantiran berupa barungan gamelan dan gending-gendingnya, daerah
Bangli terdapat di daerah Kecamatan Kintamani (bagian utara) seperti
Dausa, Bantang, dan lain-lainnya, di daerah Badung terdapat di Banjar
Belaluan, dan di Karangasem di antaranya terdapat di Desa Munti,
Kecamatan Tianyar. Persebaran Gong Kebyar Gaya Buleleng disebabkan
oleh para pelatih yang melatih di daerah-daerah tersebut.
Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Gong Kebyar
Gaya Buleleng mempunyai identitas atau ciri yang dapat dilihat dari
barungan gamelan dan tetabuhannya yang dibentuk oleh sifat jengah. Gong
Kebyar Gaya Buleleng menyebar ke daerah lain yang mempunyai budaya
yang berbeda.
Roh Gong Kebyar Gaya Buleleng, sudah dirasakan secara
mendarah daging oleh masyarakat pendukungnya sehingga muncul
ungkapan-ungkapan emosional dari para senimannya yang merupakan
cerminan estetik sebagai identitas Gong Kebyar Gaya Buleleng. Adapun
ungkapan para seniman Buleleng antara lain :
a. Oon sing taen seger, artinya badannya dirasakan lemas seperti
orang tidak pernah sehat atau dapat diartikan loyo. Ungkapan ini
muncul pada saat seniman-seniman atau para penabuh Buleleng
menyajikan gending-gending yang tempo sajiannya pelan dan
volume tabuhannya juga relatif lirih, seperti jenis gending-gending
Palegongan, yaitu gending Kuntir, Kuntul, Playon, Jobog, dan
sebagainya. Ungkapan ini muncul karena tidak sesuai dengan
ekspresi musikal atau karakter yang dimiliki sebagai seniman
Buleleng yang relatif lebih dinamis dibandingkan dengan seniman
dari daerah gaya lain.
8
b. Bayu sube seger buin siamin, artinya tenaga sudah besar lagi
disirami. Ungkapan ini merupakan ungkapan yang digunakan untuk
menunjukkan semangat para penabuh menyajikan repertoar yang
sesuai dengan karakternya, misalnya menyajikan gending tari
Tarunajaya, para penabuh seniman-seniman Gong Kebyar Buleleng
muncul semangat karena gending tari Tarunajaya disajikan dengan
cepat dan volume keras.
c. Menurut almarhum Gede Manik, setelan tungguhan kendang
gupekan dalam barungan gamelan Gong Kebyar Buleleng, suara
kendang gupekan yang dapat diucapkan berbunyi Gede Ketut (de
tut), de pengucapan suara kendang gupekan wadon, sedangkan tut
pengucapan suara kendang gupekan lanang. Suara kendang
gupekan de tut menunjukkan jarak suara kendang lanang dan
wadon relatif jauh sehingga tampak jelas perbedaannya, sedangkan
setelan kendang gupekan pada Gong Kebyar Bali Selatan dapat
diucapkan berbunyi Gede Putu (de tu), de pengucapan suara
kendang gupekan wadon dan tu suara pengucapan kendang gupekan
lanang. Suara kendang gupekan de tu menunjukkan jarak suara
kendang lanang dengan kendang gupekan wadon relatif dekat
sehingga perbedaannya kurang menjolok.
d. De patuhange duren Buleleng ajake duren Badunge, artinya
jangan disamakan buah durian dari Kabupaten Buleleng dengan
buah durian dari Kabupaten Badung. Isi dari ungkapan tersebut
terkait dengan gaya bahwa jangan disamakan Gong Kebyar Gaya
Buleleng dengan Gong Kebyar Gaya Badung, karena kedua gaya
tersebut mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Dari
ungkapan tersebut, almarhum I Gede Manik sangat fanatik dengan
gaya Gong Kebyar yang dimiliki sehingga beliaunya berprinsip
jangan menyamakan gaya Buleleng dengan gaya Badung.
Pengertian gaya disini diibaratkan dengan buah durian.
e. Pade ngabe sikut, artinya sama-sama mempunyai ukuran.
Ungkapan ini juga terkait dengan gaya yang terkait dengan garapan
(teknik) bahwa masing-masing gaya mempunyai “ukuran” yang
berbeda terutama yang bersifat substansi seperti rasa gending.
Selain itu juga dalam hal penggarapan volume, kecepatan, dan
teknik tabuhan, demikian ungkapan I Gede Manik (alm.).
f. Sajian gending-gending Gong Kebyar Gaya Buleleng dengan Gong
Kebyar Bali Selatan Bapak Gede Adnya mengibaratkan rasa
makanan, yaitu sajian gending-gending Gong Kebyar Gaya
Buleleng sebagai lalahe tabie (pedasnya lombok) yang langsung
dirasakan pedas pada mulut, sedangkan gending-gending Gong
Kebyar Bali Selatan diibaratkan lalahe merice (pedasnya merica),
9
artinya rasa pedas dirasakan setelah ditelan (setelah makanan
berada dalam perut).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa
Sehingga dapat menyelesaikan paper ini dengan baik dan lancar serta selesai tepat pada waktunya. Paper ini dibuat untuk memenuhi persyaratan perkuliahan jurusan seni karawitan semester 1 pada mata kuliah antropologi di sekolah perguruan tinggi institut Seni indonesia.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurnma mengingat kemampuan yang penulis miliki sangat terbatas untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan tulisan ini di masa mendatang.
Denpasar, januari 2012
Penulis