SEJARAH DAN MAKNA TARI TENUN

TARI TENUN

 

Tari tenun merupakan tarian yang menggambarkan perempuan Bali dalam membuat kain tenun (sejenin kain tradisional Bali Timur). Dan membuat kain tenun mulai dari proses memintal benang sampai pada menenun dengan perasaan tenang dan gembira. Tarian ini pada umumnya dibawakan oleh tiga orang penari atau lebih. Tari tenun diciptakan oleh I Nyoman Ridet dan I Wayan Likes pada tahun 1962.

Tari ini menggambarkan bahwa Bali memiliki kebudayaan dan kegiatan yang unik dalam bermasyarakat. Dalam tari ini disimbolkan betapa harmonisnya dan giatnya rakyat Bali dalam kehidupan. Dari  sejarah ini terdorong inspirasi bagi pengarang Tari Tenun ini untuk menciptakan maha karya tari yang sampai sekarang ini masih dilestarikan oleh generasi muda Bali demitetap eksisnya kebudayaan di Bali. Dengan ini, dapat mendatangkan ketertarikan para wisatawan dengan adanya kesenian yang unik contohnya tari tenun.
Fungsi Tari Tenun
Tari tenun berfungsi untuk melestarikan kebudayaan tenun-menenun yang ada di Bali dan juga melestarikan alat-alat tradisional yang dipergunakan dalam menenun.

Bentuk Penyajian
Pada umumnya, tari tenun ditarikan lebih dari 1 orang, untuk itu bentuk penyajiannya akan menggunakan bentuk penyajian berkelompok. Di dalam menyajikan tarian apapun, diperlukan kekompakan yang sangat baik begitu pula dalam penyajian tari tenun, karena jika antara penari yang satu dengan penari yang lainnya tidak melakukan gerakan dengan serempak, maka penyajiannya akan terlihat kurang baik.

Susunan Gerak
Susunan gerak pada Tari Tenun adalah sebagai berikut :
1.    Ngumbang,ngeseh, mungkang lawang, agem kanan, sledet kanan, nrudut, kemudian sledet pong.
2.    Tangan kiri menik benang ke kiri, nrudut, sledet pong, ombak angkel, ngeseh.
3.    Agem kiri kemidian agem kanan, ngelung kanan, ngelung kiri, ngumat ngutik, nyeleog ke belakang.
4.    Ngumbang luk penyalin ke belakang, ngangsel putar ke depan.
5.    Di ikuti oleh penari selanjutnya, jalan ke kanan dan kiri, agem, duduk.
6.    Seleog kanan, seleog kiri, nyalut pelan, suntil ke kiri, seleog kanan, seleog kiri, nyalut cepat dilanjutkan dengan memutar kapas berulang-ulang, setelah itu lakukan ngumbang dan kembali memutar kipas, ngangget, ambil taruh dibawah dilanjutkan dengan memutar kipas. Dan terakhir bangun dan terjadi perubahan posisi.
7.    Seleog kan, seleog kiri, nyalut pelan, suntil ke kiri, seleog kanan, seleog kiri, nyalut cepat dilanjutkan dengan tangan ngejer ke kiri, kemudian pindah ke kanan berulang-ulang, ngangget taruh di atas, ambil taruh di tengah, taruh atas, dan terakhir ileg-ileg 3kali.
8.    Bangun dan ubah posisi menjadi diagonal, nyalut kaki kiri, agem kiri, dan nganyinin, tangan kiri di pinggang, dan lagi nganyinin, tangan buka dan tutup, dan nganyinin lagi.
9.    Ubah posisi menjadi segi empat atau segitiga, nyalut kaki kanan dorong, ileg-ileg, di ulangi lagi, nyeregseg ke kiri dan ke kanan, nyalut kaki kiri, angkat kanan ubah posisi membelakangi pasangan.

  1. Nyalut kaki kanan dorong, ileg-ileg, diulangi lagi, nyeregsegke kiri dank e kanan, nyalut kaki kiri, angkat kanan, ubah posisi penari pindah ke depan.
    11.    Duduk kaki kiri jinjit, tangan kanan masukkan benang 3kali, ulangi dengan tangan kanan jinjit. Kemudian, kerincing2 tekan kanan ke bawah ke kiri dank e kanan , dorong dan lepaskan , ulangi lagi dari tangan jinjit. Sampai lepaskan , setelah selesai gamelan cepat lanjut dengan bangun 2 atau 3 penari pulang,
    12.    Dan penari yang terakhir ngeseh balik ke depan ngakub bawa, selesai.
    Busana Tari Tenun

    Kepala memakai lelunakan.Ø
    Pakaiannya terdiri dari tapih, kamen, dan selendang yang di lilitkan di dada serta sabuk prada.Ø
    Tata rias hampir sama dengan tarian lain.Ø
    Bunga sandat 3buah di kenakan di kepala.Ø
    Bunga yang berwarna merah, juga di kenakan di kepala.Ø
    Bunga semanggi di kenakan di kepala.Ø

    Alat-Alat Musik
    Tari Tenun di iringi oleh gamelan gong, yang terdiri dari :
    Beberapa genderv
    Kendangv
    Ceng-cengv
    Riongv
    Kempurv
    Kempluk, danv
    Sulingv

 

 

GONG GEDE SEBAGAI BARUNGAN PENUH MAKNA MASYARAKAT BANGLI

Barungan Gong Gede Sebagai Barungan Penuh Makna Masyarakat Bangli

 

Seni karawitan sebagai salah satu warisan seni budaya Bali senantiasa mengalami proses pembaharuan atau inovasi yang ditandai dengan masuknya gagasan baru dalam setiap karya karawitan yang dihasilkan.Hal tersebut merupakan wujud dari suatu proses perubahan yang diupayakan untuk mencapai keadaan yang sesuai tuntutan masyarakat modern.

Namun sebagaimana yang terjadi dalam seni karawitan Bali, akibat terklalu gencarnya para seniman muda saling berlomba untuk membuat hal yang baru, berdampak pengaruh besar terhadap seni karawitan tradisional dimana ha itu menyebabkan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk mempelajari seni karawitan tradisional Bali seperti Gong Gede.

 

Gong Gede merupakan gamelan golongan madya yang di perkirakan telah ada pada abad ke-15 hingga abad ke-16 dan salah satu tempat di Denpasar yang memiliki barungan gamelan Gong Gede adalah Puri Pemecutan yang dulunya merupakan milik Puri Denpasar  (Arya Sugiartha, 2012:23)

Gong Gede tarmasuk barungan ageng namun langka , karena hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan Gong                                       Gede yang terlihat memakai sedikitnya 30 macam instrument berukuran relatif besar.Gamelan yng bersuara agung ini dipakai untuk memainkan tabuh lelambatan klasik yang cenderung formal namun dinamis, dimainkan untuk mengiringi upacara besar di Pura.(Bandem,2013:32)      dan merupakan music tradisi Bali yang memakai laras pelog lima nada atau juga disebut dengan pelog panca nada.

Tehnik permainan yang paling menonjol dari gamelan ini adalah motif kekenyongan yang terdapat pada gangsa jongkok.Tabuh yang disajikan mempunyai sifat yang agung dan hikmat dengan hokum tabuh klasik yang berlaku didalamnya sessuai dengan fungsinya sebagai pengiring upacara Dewa Yadnya.

Bentuk gamelan Gong Gede di Bali terdiri dari beberapa unsur yakni : bentuk esambelisasi ,musikalitas , dan tata penyajian yang dituangkan secara ekspresif di atas pentas.Gamelan Gong Gede tersebut merupakan seni karawitan , dimana perpaduan unsur budaya loka yang sudah terakumulasi dari masa ke masa .Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan busana yang dipergunakan oleh para penabuh.

Keberadaan Gong Gede di Bali dapat dikatakan sedikit peminatnya dikarenakan kurang begitu populer.Daerah yang memiliki perkembangan gamelan gong gede paling banyak adalah Kabupaten Bangli , dapat dilihat dari setiap prosesi keagamaan pasti mengikutsertakan barungan gong gede.

Sejarah perkembangan gong gede di Bangli cukup menarik , bukan hanya sejarah yang di ceritakan turun menurun namun juga terdapat peninggalan sejarah yng menjadi bukti keberadaannya.

 

  • Rumusan Masalah
    • Bagaimana perkembangan gong gede di Bangli?
    • Apa factor yang menyebabkan keberadaan barungan gong gede terjaga keberadaannya
  • Pembahasan
    • Bagaimana perkembangan gamelam gong gede di Bangli?

 

Perkembangan gamelan gong gede di Bangli dapat dikatakan cukup baik karena di setiap desa adat di Bangli pasti mengusahakan akan adanya barungan gong gede pada setiap pelaksanaan upacara yadnya dan setiap sekehe yang dibentuk secara teratur dalam kepengurusan Banjar.

 

Dalam sejarahnya di Bangli bahwa gamelan gong gede tersebut sudah ada pada tahun 1204 masehi tepatnya di Desa Batur Kintamani , pada tahun 1835 Raja Majapahit memberikan 2 instrumen gong , satu buah kempul , dan satu buah bende kepada pengempon pura yang ada di Desa Sinatara(Pura Batur).Setibanya di bali, gong yang suara dan ukurannya lebih besar disimpan di pura ulun danu batur , dan gong yang suara dan ukurannya yang lebih kecil di ambil oleh Raja Bangli.Lama kelamaan gong tersebut disumbangkan kepada Desa Sulahan.Sedangkan lempul dan bende tetap disimpan di Pura Batur di bawah kaki gunung Batur.

 

 

Instrumen yang ada pada waktu berada di Pura Batur di kaki Gunung Batur adalah Terompong Ageng(gede),  Terompong Alit(kecil), empat buah gangsa jongkok penunggal, empat gangsa jongkok pengangkep ageng , empat buah gangsa Jongkok Pengangkep alit(curing), empat buah Penyacah, empat buahJjublag, satu buah Riong Ponggang ,satu buah Kempul, satu pasang Gong ,dan beberapa pasang ceng-ceng kopyak.Instrumen tersebut dibuat oleh pande gamelan desa Sawan Kabupaten Buleleng , pelawahnya dibuat oleh undagi desa Banyuning Kabupaten Buleleng,sedangkan proses pembuatannya dilaksanakan di pura Batur.

 

Keunikan barungan gong gede di bangli juga dapat dilihat dari sisi penataan , dimana posisi jegogan berada paling depan dengan diikuti oleh jublag dan penyacah di belakangnya serta pemain ceng-ceng kopyak bermain di tengah barungan , berbeda halnya dengan posisi barungan gong gede yang berada di Denpasar yaitu penataan gamelan diawali oleh instrument pengangkep alit(curing), pengangkep ageng diikuti jublag dengan penyacah dan di akhiri oleh jegogan , serta pemain ceng-ceng kopyak yang bermain di sisi luar barungan.

 

Gamelan gong gede yang ada di bangli khususnya di pura Batur dibuatkan tempat penyimpanan secara permanen seperti apa yang kita dapat saksikan sampai sekarang. Barungan gamelan gong gede tersebut sangat disakralkan oleh masyarakatnya dan juga disebut dengan istilah due lingsir. Maka pada tahun 1998 dibuatkan duplikat beberapa instrumen yang namanya bebonangan , oleh pande gamelan siddha karya banjar Babakan desa blahbatuh Gianyar (wayan pager) sehingga di pura batur ada istilah tedun bebonangan yang artinya gamelan bebonangan . tedun terompong artinya gamelan gong gede yang komplit(pande mustika:2010)

 

Barungan gong gede di Bangli di desa Batur hanya boleh di mainkan oleh para pria saja , bahkan untuk wanita memijakan kakipun di bale gong tempat barungan tersebut tidak diperkenankan , menurut warga hal tersebut dilakukan untuk menjaga kesucian dari barungan gong gede tersebut,bahkan sekehe pria yang memainkan barungan tersebut juga terlebih dahulu harus nunas tirta pengelukatan setelah prosesi tersebut para pemain baru akan diperkenankan untuk menabuh.

 

Timbulnya gamelan gong gede di desa Batur , belum dapat diketahui secra pasti. Hal mana disebabkan oleh kurangnya data-data yang memuat tentang gamelan tersebut,baik yang berupa lontar , prasasti maupun tulisan lainnya. Sebagai corak kebudayaan yang sifatnyanya oral tradisi ,mereka berikan hanya bersifat perkiraan informasi dari mulut ke mulut orang tertua terdahulu. Mereka mengatakan bahwa gamelan tersebut sudah diembannya sejak dahulu atau mereka mengatakan gamelan warisan dari leluhurnya(tetamian).

 

Berbeda halnya dengan di desa Sulahan meskipun banyak cerita sejarah yang mengaitkan gamelan gong gede di Sulahan dengan Batur namun pengaruh keberadaan gong gede di daerah ini cenderung lebih sedikit di karenakan barungan gong gede di Sulahan  sudah sangat jarang dimainkan karena generasi muda lebih tertarik dengan gamelan gong Kebyar. Gamelan gong gede di Sulahan hampir sama dengan di Batur yaitu terdiri dari instrumen terompong, riong, ponggang , kajar, bende ,kempul, gong, gangsa jongkok penunggal ,gangsa jongkok pengangkep ageng, gangsa jongkok pengangkep alit, jublag, jejogan , kendang , dan ceng-ceng kopyak.

 

Terdapat juga sejarah yang berbeda di desa Sulahan mengenai keberadaan gong gede di percayai gamelan gong gede tersebut adalah warisan leluhur yang mula-mula di buat di banjar Sulahan pada abad ke-XIX Masehi kira-kira pada tahun 1850 atas kehendak masyarakat banjar Sulahan. Namun barungan gede tersebut dirasa belum lengkap ,sehingga pada tahun 1927 beberapa instrumen dilengkapi oleh I Dewa Agung Aji Kembangan. Seiring dengan berjalannya waktu , keberadaan gong gede di desa Sulahan ini bias lengkap menjadi satu kesatuan barungan gamelan gong gede. Dari awal keberadaan gong gede di banjar Sulahan kecamatan Susut Bangli sampai sekarang ,masyarakat desa Sulahan khususnya dan masyarakat Bangli pada umumnya, keberadaan gong gede ini sangat di sakralkan sebagai warisan leluhur dan salah satu aset yang paling berharga yang terdapat di kabupaten Bangli. Oleh karena itu barungan gamelan gong gede ini difungsikan hanya untuk mengiringi tarian sakral , seperti tari rejang dewa, tari pendet, tari baris bedil, tari baris polisi, tari baris gede , tari mabuanganda . Masyarakat banjar Sulahan sangat menghargai dan bersyukur akan keberadaan gamelan gong gede di desa mereka. Dalam pemeliharaan gamelan gong gede di banjar Sulahan ini,adalah semua banjar adat Sulahan yang jumlahnya 275 kepala keluarga .Dari jumlah ini dipilih orang-orangnya yang memiliki bakat dibidang menabuh sebanyak 65 orang dihimpun dijadikan suatu perkumpulan yang dinamakan sekaa gong gede Sekar Sandat. Sekaa ini mempunyai sistem organisasi tertentu yang diatur oleh awig-awig(ardika,2014).

 

Di kabupaten Bangli keberadaan barungan gong gede tidak sulit ditemukan bahkan di setiap banjarpun barungan gong gede sangat mudah ditemukan sebagai pelengkap upacara keagamaan di antaranya br.Selat Peken , br.Selat Kaja Kauh , br.Kawan , br.Nyuhan , Tegal , Bebalang serta masih banyak lagi diseputaran kota Bangli , selain untuk pelangkap upacara keagamaan barungan gong gede juga dipakai untuk mengiringi tari wali seperti topeng sidakarya , baris gede , rejang dewa , serta tari pendet.

 

Permainan gamelan gong gede yang cukup sederhana memberi warna tersendiri dalam seni karawitan Bali, dalam permainanya lebih ditekankan kekompakan atau disebut(incep) dalam istilah balinya sering dipakai untuk menyebutkan hasil tetabuhan yang kompak dan rapi tabuh yang incep biasanya dihasilkan oleh sekehe yang memiliki tehnik menabuh yang baik seperti menggebug(memukul) dan metekep(menutup), dan di tunjang oleh rasa kebersamaan yang tinggi pula(rai,2001:61).

 

1.3.2 Apa yeng menyebabkan gamelan gong gede tatap terjaga keberadaannya?

Terjaganya keberadaan gong gede di bangli sangat     dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat untuk tetap mejalankan tradisi pemilihan sekehe gambel yang secara teratur dilaksanakan oleh setiap banjar yang memiliki barungan gong gede disamping hal tersebut kebiasaan mempergunakan barungan ini sebagai pelengkap upacara yadnya menjadi factor berikutnya kebiasaan mendengar dan kebiasaan melihat warga setempat menjadikan barungan gong gede memiliki tempat dihati masyarakat bangli karena tanpa kehadiran barungan ini di tengah upacara keagamaan terasa ada yang kurang tutur warga setempat.

 

Para sekehe tabuh yang berkewajiban ikut serta dalam memainkan gamelan gong gede di Bangli bukanlah orang-orang yang memang benar-benar berkecimpung dalam bidang seni karawitan, namun karena tanggung jawablah mereka berusaha untuk memenuhi kewajibannya dengan cara megurup panggul dan meguru kuping yang merupakan beberapa bagian dari system  pembelajaran karawitan bali(saba,2006:60)

 

Gamelan gong gede di bali ,sabagai salah satu wujud budaya , yang kehadirannya masih didukung oleh masyarakat bali khususnya masyarakat bangli .Berfungsi sebagai persembahan dalam berbagai keperluan pada kehidupan masyarakatnya, yaitu sebagai persembahan untuk keperluan dewa yadnya .Gamelan gong gede di bangli merupakan integral dari ritual keagamaan yang memiliki ciri-ciri sebagai ritual. Pada prinsipnya eksistensi gamelan gong gede menunjukan ciri-ciri seni ritualistic seperti itu. Selain sebagai ritual , penyajian gamelan gong gede juga pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri sedang berlangsungnya upacara keagamaan.

 

Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni(karawitan), barungan gong gede hamper setiap kegiatan upacara oleh krama yang melaksanakan piodalan di desa pekraman yang belum memiliki gamelan gong gede , sekehe gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang atau lebih dikenal dengan sebutan ngayah.

 

Barungan gamelan gong gede di pandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa keseimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi .Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut rwa bhineda .Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula semangat kebersamaan ,adanya saling keterkaitan , dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan .Konsep rwa bhineda oleh seniman pengrawit dituangkan dalam gamelan bali.Hal ini dapat diamati pada system pelarasan ngumbang-ngisep dan instrumen yang berpasangan(lanang wadon).

 

Istilah ngumbang-ngisep dalam pelarasan gamelan bali adalah dua buah nada yang sama yang secara sengaja dibuat dengan selisih frekuensi yang sedikit berbeda .Kalau kedua naa tersebut di bunyikan secara bersamaan maka akan timbul ombak yang menurut estetika karawitan bali merupakan salah satu keindahan ,sedangkan istilah lanang wadon dipakai untuk menentukan satu pasang kendang dan satu pasang gong yang memiliki ukuran nada yang berbeda(rai,2001:129)

 

1.4 Kesimpulan

 

1.4.1 Di Kabupaten bangli keberadaan gong gede tidak sulit    ditemukan bahkan disetiap banjar pun gamelan ini masih sangat mudah ditemukan, sejarah perkembangan gong gede diBangli cukup menarik ,bukan hanya sejarah yang di ceritakan turun-temurun namun juga terdapat bukti peninggalan yang membuat gamelan gong gede tetap terjaga keberadaanya.

1.4.2 Terjaganya gamelan gong gede di Bangli dapat dikatakan cukup baik karenaa disetiap desa adat di Bangli pasti mengusahakan akan adanya berungan gong gede , disamping hal tersebut partisipasi masyarakat dalam menjaga barungan tersebut agar tetap lestari dengan cara secara rutin melaksanakan regenerasi penabuh sangatlah baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSAKA

 

Arya Sugiartha. I Gede,2012 (kreatifitas music bali) Institut Seni Indonesia Denpasar

Saba.I Ketut,2006 (bheri) Institut Seni Indonesia Denpasar

Rai S.I Wayan,2001 (gong) Bali Mangsi

Bandem. I Made,2013(gamelan bali di atas panggug sejarah)

Pande Mustika. Gede,2010(makala seminar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TABUH NGUNYING SEBAGAI PENGIRING NGUNTAL PITIK DI DESA SELAT PEKEN SUSUT BANGLI

Estetika Tabuh Ngunying Sebagai Pengiring Tradisi Nguntal Pitik Di Desa Selat Peken Susut Bangli

 

PENDAHULUAN

Tabuh ngunying adalah salah satu seni karawitan bali yang terdapat di desa Selat Peken Susut Bangli yang pada pelaksanaanya mengunakan gamelan bebarongan (semar pelinggihan) yang keberadaannya masih utuh hingga sekarang yang di dalam masyarakat sendiri tabuh tersebut merupakan warisan budaya yang di jaga dan di lestarikan oleh masyarakat setempat sebagai pengiring dari tradisi nguntal pitik.

PEMBAHASAN

Tabuh ngunying merupakan salah satu warisan budaya di desa Selat Peken Susut Bangli yang disakralkan oleh warga setempat yang dipercayai tabuh tersebut merupakan tabuh yang sudah ada sejak dari zaman terbentuknya desa Selat Peken dan merupakan sebuah tabuh untuk mengiringi tradisi nguntal pitik sebagai sarana ngeluwur Ida Bethara (memanggil) napak pertiwi (memijak tanah) dan mesolah (menari) di jaba tengah Pura Puseh Bale Agung Desa Selat Peken.Didalam struktur tabuh pada umumnya dibali yang menggunakan konsep tri angga yaitu bagian pengawit ,pengawak dan pengecet.Namun berbeda halnya dengan tabuh ngunying di desa Selat Peken tidak ada yang disebut pengawit tidak ada yang disebut pengawak ataupun pengecet , semuanya berjalan alamiah tanpa adanya patokan dari gending tersebut mengalun mengiringi gerakan penari yang sedang kerasukan (trance) yang sedang asik menari dan melahap atau nguntal pitik (anak ayam) hidup-hidup sambil mengayunkan sebuah keris , dalam buku “Dunia Gaib Orang Bali “ (2006:35) yang ditulis oleh Prof.Dr.I Nyoman Adiputra,MOH,PFK,Sp Erg menyatakan orang yang mengalami kerasukan dalam tradisi ngunying merasakan dirinya sedang berada di alam dimana semua orang di lihat seperti lilipu atau setengah badan saja dan mereka terus berlari mengejar seorang bidadari yang terus menari-nari didepan mereka namun tak pernah dapat diraih, rasa pitik yang biasanya baru berumur 10 hari mereka rasakan seperti memakan buah mentimun muda yang biasanya setiap penari mampu menghabiskan hingga 15 anak ayam , arak dan tuak yang mereka minum dirasakan seperti air tirta dan keris yang dihujamkan ke badan mereka merupakan sebuah luapan rasa bahagia menurut wawancara dengan salah satu tapakan ida bethara atau salah satu penari nguntal pitik.

Menurut seorang narasumber sekaligus pemuka agama di desa selat tersebut mengatakan tidak ada yang tau pasti kapan dan mengapa tabuh tersebut dijadikan sebagai pengiring tradisi nguntal pitik karena pada dasarnya apabila di saat pelaksanaan tradisi tersebut karena tabuh ngunying tersebut salah atau tidak bisa menangkap aksen gerak yang diberikan oleh penari ngunying maka si penari yang sedang ada dalam kondisi kerasukan tersebut akan duka (marah) dan tidak dipungkiri salah satu dari instrument gamelan akan menjadi sasaran dari kemarahan penari tersebut oleh karena itu tidak sembarang orang yang di izinkan menabuhkan tabuh tersebut hanya orang yang telah membersihkan diri (mekala hyang) atau bisa dikatakan masepuh yang boleh memainkannya.

Menurut kepercayaan warga setempat belum ada yang pernah berfikir untuk mengganti tabuh ngunying tersebut dengan tabuh lain dikarenakan tanpa dimainkannya tabuh ngunying tersebut para penari yang kerasukan tidak akan merespon gamelan atau tidak akan mulai menari , di sisi lain menurut salah seorang warga tabuh tersebut merupakkan sebuah warisan budaya yang mesti dilestarikan keberadaannya dan di larang untuk di duplikasi atau di tiru oleh orang luar desa Selat Peken di karenakan tabuh tersebut yang bersifat angker atau di sakralkan oleh warga setempat.

Tabuh ngunying di mainkan pada saat hari raya kuningan tepatnya saniscara kliwon wuku kuningan pada hari dan waktu yang menunjukan saniskala ( sore menjelah malam) yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali seusai pelaksanaan ngerebeg (melancaran keliling desa) yang dilaksanakan di jaba tengah (madya mandala) Pura Puseh Bale Agung Masceti Desa Selat Peken Susut Bangli.

Menurut Prof.Dr.dr.I Nyoman Adiputra,MOH,PFK,Sp Erg yang juga merupakan salah satu pengglingsir di pamekel desa Selat Peken mengatakan bahwa “nike wantah tetamian sire je mai wikan mapi ririh sne bani ngusak ngasik tetamian ide mangde preragan sane ngamolihang sengkale utawi karmannyane” yang artinya siapa saja yang merasa diri pintar merasa diri paling benar dan berani merusak warisan yang diturunka oleh Ida Sesuhunan agar dia sendiri yang mendapatkan celaka atau karmanya , dari pernyataan tersebutlah di yakini tabuh tersebut tidak boleh diubah apalagi diberikan motif yang modern karena dari pendapat beliau tabuh tersebut merupakan sebuah nyanyian niskala sebagai pengiring Ida Bethara Sesuhunan masolah dan hingga saat ini di percaya tabuh tersebut merupakan sebuah wahyu yang di terima masyarakat desa Selat Peken tanpa melalui proses pengenalan ,tanpa melalui proses belajar dan tanpa ada yang mengetahui penciptnya.

Diyakini tabuh ngunying dari pertama kali di ketahui atau tercipta hingga keberadaanya sekarang seiring perkembangan zaman tidak pernah mengalami perubahan sedikitpun di dalamnya.Yang berkembang hanya instrumentnya saja dimana dulu hanya menggunakan bebarongan sederhana (semar palinggihan) yang terdiri dari kendang, kecek , kajar , dua gangsa pemade , dua gangsa kantilan , dua buah calung , klenang , kemong, dan sebuah gong dan kini sudah diperkaya dengan menambahkan dua gangsa pemade ,dua gangsa kantilan , dua buah gender rambat dan dua buah jegogan meskipun dalam segi instrument banyak mengalami perubahan seiring perkembangan zaman namun tidak berdampak pada tabuh ngunying tersebut dimana masih tetap menggunakan pakem-pakem tabuh ngunying terdahulu.

KESIMPULAN

Dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun yang bersifat sacral bersifat turunan atau warisan budaya harus kita jaga keberadaannya di tengah perkembangan zaman dewasa ini dengan baik , tanpa mengurangi rasa hormat dan reiligus dari tradisi tersebut ,salah satunya adalah tabuh ngunying di desa Selat Peken Susut Bangli yang pada sejarahnya tabuh dan tarian ngunying pada saat zaman pemerintahan raja Bangli di pergunakan sebagai penarik masa untuk berkumpul di alun-alun kota Bangli , patut kita tauladani cara berfikit dan antusiasme masyarakat desa Selat Peken , dimana mereka sangat meyakini dan menjaga warisan budaya yang telah dimiliki turun-temurun tersebut sebagai salah satu daya tarik yang dimiliki oleh masyarakat desa dan menjadi harta berharga tanpa ada yang boleh mengambil atau merusaknya.

 

DAFTAR INFORMAN

 

1.Nama            : Prof.Dr.dr.I Nyoman Adiputra,MOH,PFK,Sp Erg

Umur               : 60 tahun

Pekerjaan         :Guru Besar Fakultas Kedokteran UNUD

Alamat                        : Desa Selat Peken

 

2.Nama            :Jro Mangku Nengah Cocol Budiana

Umur               :53 tahun

Pekerjaan         :Pemuka Agama

Alamat                        :Desa Selat Peken

 

3.Nama            :I Nengah Lancar

Umur               :45 tahun

Pekerjaan         :warga

Alamat                        :Desa Pekraman Selat Peken

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!