Gending Sekatian atau Nyekati. Secara etimologi, Gending Sekatian dapat dibagi menjadi dua arti kata, yaitu Gending dan Sekatian. Gending merupakan sebuah lagu atau mengandung suatu pengertian memiliki bentuk dan komposisi (Aryasa, 1985:91). Sedangkan Sekatian memiliki kata dasar “kati” apabila ditinjau dalam kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia (1985:55) berarti satuan ukuran. Sekatian memiliki awalan “se” pun dalam istilah Bali digunakan untuk penyebutan angka yang artinya satu. Oleh sebab itu, jika diamati dari arti Sekatian bahwasannya merujuk pada ukuran atau jumlah yang menjadi satu kesatuan.
Kata yang mirip dengan kata Sekatian atau Sekati adalah kata Saketi, yang memiliki kata dasar keti yang berarti satus tali (seratus ribu), jadi kata saketi dengan dibaca seketi adalah hitungan nominal seratus ribu. Dalam kesempatan penelitian ini, tidak ada kaitan dengan hitungan tersebut (Saketi/Seketi), karena topik penelitian adalah Sekatian yang digunakan dalam ritual keagamaan (dewa yadnya) di Desa Adat Tejakula Kabupaten Buleleng.
Berbicara mengenai Sekatian di Bali, selama melakukan penelusuran di lapangan nampaknya mengarah pada tiga bentuk pokok diantaranya, yaitu (1) Sekatian dalam bentuk perangkat gamelan, (2) sebuah teknik permainan dan (3) sebuah gending. Sekatian dalam bentuk gamelan salah satunya terdapat di Desa Temega Kabupaten Karangasem. Menurut Jro Mangku Raka (dalam Kusuma Adi 2006), dinyatakan bahwa gamelan yang berada di Desa Temega ini disebut sebagai gamelan Sekati dan ditemukan sekitar 4 abad yang lalu (tahunnya tidak diketahui) di area Pura Telaga Mas. Berawal dari niatan untuk membuat kolam air suci (telaga) di area Pura Telaga Mas, ketika itu air secara terus menerus keluar dari gundukan tanah yang kemudian air tersebut sampai saat ini diyakini sebagai air suci (tirta) oleh masyarakat setempat. Sehingga diadakannya pengambilan keputusan (paruman) secara musyawarah dengan beberapa pihak terkait untuk menggali lubang di area tersebut. Pada saat lubang yang digali semakin diperlebar, nampak seperangkat gamelan beserta benda lainnya seperti 2 keris, genta, nar, pasepan dan kemal yang berisi prasasti. Seperangkat gamelan ini terdiri dari 2 instrumen gangsa jongkok, 1 instrumen gong, instrumen trompong, beberapa cng-cng kopyak serta alat tabuhannya.
Jro Mangku Raka lebih lanjut mengatakan, ketika suara instrumen gong dari gamelan sekati ini terdengar sampai ke Puri Karangasem yang jaraknnya puluhan kilometer dari Pura Telaga Mas, menyebabkan Raja Karangasem pertama meminta agar gong tersebut dibawa ke Puri. Akan tetapi, setelah diboyong ke dalam Puri gong tersebut beberapa kali dipukul namun tidak mengeluarkan bunyi yang terdengar seperti ketika berada di Pura tersebut. Oleh sebab itu, gong tersebut dikembalikan ke Pura dan sesampainya di Pura, anehnya gong tersebut kembali mengeluarkan bunyi seperti semula. Kemudian, Raja memerintahkan untuk kembali dibawa ke Puri. Namun, sesampainya di Puri gong tersebut tetap tidak mengeluarkan bunyi dan pada akhirnya gong tersebut diminta untuk ditanam disebuah perempatan jalan. Akan tetapi, sangat disayangkan keberadaan gong tersebut hingga saat ini tidak diketahui oleh masyarakat setempat dimana letak perempatan jalan yang dimaksud. Singkat cerita, setelah peristiwa Gunung Agung meletus pada tahun 1963, banyak para pengempon Pura Telaga.
berpindah ke Sulawesi dan menetap disana. Hal ini menyebabkan kondisi yang sangat memperihatinkan terhadap Gamelan Sekati ini, karena tidak ada satupun yang merawat dan hingga saat ini beberapa instrumen tersebut masih mengalami kerusakan.
Berdasarkan cerita tersebut di atas, Sekatian sebagai bentuk perangkat gamelan jelas adanya dan masih disimpan oleh masyarakat di Desa Adat Temega sampai saat ini. Gamelan Sekati hanya dapat dikeluarkan dari tempat penyimpanan pada saat melaksanakan upacara keagamaan khususnya yang diadakan di area Pura Telaga Mas dengan menggunakan sesajen yang lumayan banyak. Rangkaian upacara yang biasa dilaksanakan ialah selama 3 hari yang juga disertakan dengan pertunjukan tari rejang. Untuk itu, dari segi kontekstual penggunaannya memang tidak diperkenankan secara sembarang, karena gamelan ini sarat akan nilai sakral. Namun sangat disayangkan, karena pemain dari gamelan ini kebanyakan mereka yang tidak mengenal atau mempelajari tentang gamelan secara intens. Sehingga mengakibatkan gending Gamelan Sekati yang disajikan tanpa arah atau tidak membentuk suatu struktur komposisi yang utuh dan seolah-olah gamelan ini agar tetap menghasilkan bunyi ketika melaksanakan upacara. Sulitnya untuk memperoleh dokumentasi secara musikalitas tentang gending dari gamelan ini dikarenakan tidak pernah diadakannya rekaman ataupun latihan.
Selanjutnya Sekatian sebagai teknik permainan yang menurut Bandem (2013:69) menyatakan bahwa ketika Gamelan Gong Gede bertransformasi menjadi Gong Kuna, yang mana ketika itu Gong Kuna mulai memainkan gending lelambatan mepayas serta ditemukan identitas baru antara lain seperti adanya teknik pukulan kakenyongan dikembangakan menjadi oncang-oncangan, pukulan rèyong yang awalnya bersifat sekatian atau sekaten kemudian dikembangkan menjadi kotekan atau ubit-ubitan. Sesuai yang telah disebutkan di atas, bahwasannya ciri munculnya beberapa identitas ini merupakan suatu kebutuhan estetis musikalitas dari Gong Kuna tersebut. Selain itu, Herbst (2014:15) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, hal paling mendasar yang
mencirikan gamelan sekati/sekatian, yaitu kehadiran rèyong dengan dua belas nada, penambahan bilah pada gangsa (alat gamelan terbuat dari perunggu) dari lima menjadi tujuh atau sepuluh bilah untuk memperlebar cakupan tangga nadanya serta keberadaan oncangan atau kembangan gending yang dimainkan oleh pemain gangsa. Apabila dilihat dari segi musikalitasnya, yaitu teknik pukulan gangsa pada Gending Sekatian yang berkembang di Buleleng saat ini, sangatlah relevan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh kedua sumber informasi di atas.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu pada point ketiga bahwa Sekatian di Bali selain sebagai perangkat gamelan dan teknik permainan juga memiliki bentuk gending. Seperti salah satu Sekatian yang ada di Desa Adat Tejakula Kabupaten Buleleng dengan bentuk dan ciri khas dalam penyajian gendingnya. Masyarakat setempat biasanya menyebut Sekatian sebagai sebuah gending tradisional atau gending upacara yang ditampilkan secara instrumental untuk mengiringi upacara ritual dewa yadnya. Penyajiannya menggunakan seperangkat Gamelan Gong Kebyar yang di dalamnya menggunakan instrumen trompong dimainkan oleh tiga orang dan menggunakan satu instrumen kendang yang dipukul menggunakan panggul (alat pukul) (Sukerta, 2010).
Sajian Gending Sekatian di Desa Adat Tejakula selain menggunakan Gamelan Gong Kebyar untuk kepentingan upacara di Pura Dangka salah satunya, yaitu Pura Maksan yang dipuja oleh krama pemaksan (se- kelompok orang), menurut cerita dari Pande Gede Mustika (wawancara pada tanggal 24 September 2018) mengatakan bahwa kemungkinan dahulu Gending Sekatian ini ditampilkan menggunakan barungan gamelan Kembang Kirang. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan pelawah gamelan tersebut yang sampai saat ini masih tersimpan di Desa Adat Tejakula. Sukerta, (2010) menyatakan bahwa istilah Kembang Kirang kadang-kadang digunakan untuk menyebutkan barungan gamelan Semar Pegulingan Saih Lima (lima nada) seperti yang ada di Banjar Kubu Kelod Desa Bungkulan Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng juga sering digunakan oleh masyarakat setempat untuk menampilkan Gending Sekatian. Selain itu, di Desa Adat Tejakula terdapat barungan
Gamelan Gong Gede yang juga biasanya digunakan sebagai media untuk menyajikan Gending Sekatian ketika melaksanakan upacara dewa yadnya di Pura Kahyangan Tiga yang bertujuan untuk memberikan nuansa religius dan keagungan, mengingat keberadaan pura ini kasungsung (dipuja) oleh semua masyarakat yang beragama Hindu di Desa Adat Tejakula Kabupaten Buleleng.