Ogoh-ogoh Kajeng Kliwon Pamelastali karya STT.Dwi Putra Br.Tegal Agung Desa Pemecutan Kelod

This post was written by adityaperdana on April 25, 2018
Posted Under: Tak Berkategori

Nyepi  merupakan hari raya agama Hindu yang dirayakan setiap satu tahun sekali tepatnya pada tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan tilem kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa  yang berada di samudera yang membawa intisari amerta air hidup.

Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai dari sejak tahun 78 masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru masehi, Tahun Baru Caka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh Agama Hindu khususnya di daerah Bali.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “tilem sasih kesanga”, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di segala tingkatan masyarakat mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Mecaru diikuti oleh upacara pengrupukan, yaitu menyebar nasi tawur, mengobor-ngobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburri rumah dan pekarangan dengan mesiu, dan memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Di Bali pengrupukan biasanya di meriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar.

Bhuta dan kala diimajinasikan sebagai sesuatu yang seram seperti misalnya Kalamretyu (waktu kematian),  Kala Gumarang  (waktu Kegarangan), Kala Agni (api yang berkobar) dll. Serta imajinasi kepada bhuta sebagai wujud material yang member dan membangun Adbhutarasa (rasa ngeri) di dalam diri manusia. Ogoh-ogoh tersebut kemudian mendapat konteks dan posisinya yang tepat dalam prosesi pecaruan atau bhutayajnya.

Disinilah kita melihat bahwa ogoh-ogoh tak terpisahkan dari upacara tersebut terlebih lagi yang menyajikan sebuah renungan yang sangat mendalam tentang ruang dan waktu. Bersama dengan itu generasi muda ingin mendekatkan diri kepada sesuatu yang mengerikan sehingga dia dapat merasakannya. Hal itu tentu sangat berguna dalam pembangunan karakter generasi muda.

 

 

  • Sinopsis Ogoh-ogoh

Diceritakan Raja Kulagiri berkata kepada kedua istrinya Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia bahwa dirinya akan pergi bertapa ke lereng Gunung Semeru. Dewi Sintakasih ditinggalkannya dalam keadaan hamil. Setelah cukup lama waktu berjalan Dewi Sintakasih pun hamil tua. Dewi Sintakasih pun hendak mencari suaminya ke lereng Gunung Semeru.

Dalam perjalanan perut Dewi Sintakasih pun sakit dan ia pun memutuskan untuk beristirahat diatas batu yang datar dan lebar. Lama tak lama kemudian Dewi Sintakasih pun melahirkan seorang anak. Anak itu menimpa batu tersebut dan pecahlah batu tersebut ditimpanya.

Pada saat bersamaan Dewa Brahma pun turun dan bersabda memberikan anugrah tidak terbunuh oleh para Dewa, Denawa, Detya, Manusia. Tak terbunuh pada malam maupun siang hari, dan tidak mati diatas ataupun dibawah. Tidak terbunuh oleh senjata kecuali Dewa Wisnu.

Disaat bersamaan Dewa Brahma pun memberi bayi tersebut nama “I WATUGUNUNG” karena ia terlahir diatas batu. Singkat cerita bayi tersebut tumbuh secara pesat sampai ibunya kewalahan meladeninya. Dan pernah terjadi saat ibunya sedang memasak nasi, Watugunung pun datang untuk meminta makan sedangkan nasi yang dibuat masih mentah, tetapi Watugunung memaksa ibunya karena ia sangat lapar, kemudian dimakanlah nasi tersebut mentah-mentah. Karena marah melihat perilaku anaknya, Dewi Sintakasih melemparkan sutil nasi dan tepat mengenai kepala Watugunung. Kepala Watugunung pun berdarah.

Watugunung pun lari sambil menahan sakit karena lemparan sutil nasi tersebut. Kemudian Ibunya pun meninggalkan Kerajaan menuju Gunung Emalaya. Diceritakan dalam perjalanan  menuju Gunung Emalaya, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar ia merampas makanan masyarakat sekitar. Masyarakat pun heran melihat perilaku anak kecil yang serba berani ini.

Singkat cerita Watugunung sudah memerintahkan seluruh kerajaan karena kekuatannya yang tidak tertandingi, tetapi ada satu kerajaan yang belum dikuasai yaitu sebuah kerajaan yang dipimpin oleh dua orang perempuan yang amat bijaksana dan rupawan bertahta di Kunda Dwipa. Jika dapat menaklukannya ia berpikir untuk menjadikan kedua perempuan itu sebagai permaisurinya.

Watugunungpun menjajah Kerajaan Kunda Dwipa, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Dan akhirnya Kunda Dwipa pun berhasil ditaklukkan oleh Watugunung dan kedua perempuan itu diperistri olehnya. Watugunung tidak mengetahui bahwa kedua istrinya  itu adalah ibunya sendiri.

Pada suatu hari Watugunung meminta istirnya untuk mencari kutu dikepalanya, pada saat itu badai, petir, angin yang berombak-rombak terjadi. Dewi Sintakasih pun terkejut melihat ada bekas luka yang sama dengan anaknya dahulu.

Melihat luka itu Dewi Sintakasih pun ingat tehadap sabda Brahma bahwa Watugunung akan mati oleh Dewa Wisnu. Diperintahkanlah Watugunung untuk mencari istri Dewa Wisnu untuk dijadikan budak dengan alasan Dewi Sintakasih ngidam. Dewi Sintakasih pun menuruti kemauan istrinya tersebut dan bertemulah dengan Dewa Wisnu dialam bawah.

Tanpa basa-basi Watugunung  meminta agar istri Dewa Wisnu untuk dijadikan budak dikerajaannya. Mendengar perkataan Watugunung, Dewa Wisnu pun murka. Tetapi Dewa Wisnu masih berusaha untuk sabar. Watugung pun meninggikan suaranya, jika Dewa Wisnu tidak memberikan istrinya maka Watugunung menantang untuk perang. Mendengar perkataan Watugunung, Dewa Wisnu menyanggupi tantangannya. Terjadilah perang yang sangat dahsyat selama 7 yuga, lalu Dewa Wisnu berubah wujud menjadi kura-kura raksasa berbajra utama dan bersenjatakan cakra.

Watugunung pun kalah dan mati ditangan Dewa Wisnu karena terkena Cakra tepat didadanya. Watugunung pun dicempahkan ke bawah sehingga disebut WATUGUNUNG RUNTUH dan tepat terjadinya KAJENG KLIWON PEMELAS TALI.

 

 

  • Baleganjur yang mengiringi

Baleganjur yang mengiringi ogoh-ogoh ini menggunakan :

  1. 2 pasang kendang jedugan
  2. 1 gong
  3. 1 kempur
  4. 2 ponggang
  5. 4 riong
  6. 2 tawa-tawa
  7. 10 cakup ceng-ceng kopyak

 

  • Peran dan keterlibatan

Keterlibatan saya di dalam ogoh-ogoh  ini adalah saya sebagai bendahara panitia ogoh-ogoh. Di samping itu saya sebagai penabuh yang memainkan  kendang dan sekaligus menjadi pemimpin saat lomba ogoh- ogoh yang di selenggarakan oleh Karang Taruna Desa Pemecutan Kelod.

Karena hampir semua penabuh tidak memiliki keahlian di bidang seni, jadi harus ada salah satu yang memimpin agar pementasan berjalan lancar.

 

  • Kesimpulan

Melestarikan tradisi dan budaya Bali adalah tugas bagi generasi muda seperti Sekaa Truna Truni yang ada di banjar masing-masing. Namun kini banyak tradisi yang kita miliki hampir hilang, contohnya seperti mengarak ogoh-ogoh menggunakan sound dengan alunan house music. Namun di STT.Dwi Putra ini sebisa mungkin tetap menggunakan gamelan baleganjur agar tradisi yang sudah di ariskan kepada kita sebagai generasi muda tidak hilang.

 

  • Sumber acuan

IBG. Agastia, 2005, NYEPI SURYA DAN SUNYA, Denpasar Bali,YAYASAN DHARMA SASTRA.

Blog.isi-dps.ac.id/panyryandhy/hari..

Sejarahbabadbali.blogspot,com/2010/

Comments are closed.