Gandrung Sakral Duwe Pura Majapahit Banjar Munang-Maning Pemecutan Kelod

This post was written by adityaperdana on Mei 3, 2018
Posted Under: Tak Berkategori

Asal-usul Gandrung Pura Majapahit banjar Munang-maning.

Di desa Pemecutan Kelod, tepatnya di daerah banjar Munang-Maning yang terletak di jalan Iman Bonjol Denpasar Barat, terdapat pura yang konon katanya merupakan peninggalan kerajaan Majapahit pada masa lampau, dan di emong oleh dua banjar yaitu banjar Munang-Maning dan banjar Samping Buni. Namun pada jaman dulu hanya ada satu banjar, yaitu banjar Munang-Maning. Karena banyaknya masyarakat yang ada, banjar ini di bagi menjadi dua. Namun tetap banjar Munang-Maning sebagai pokok pengemong Pura Majapahit.

Menurut penuturan narasumber yang bernama Jro Mangku Garu, pada saat itu tepatnya berapa ratus tahun silam, masyarakat banjar Munang-Maning sedang berada pada keadaan yang tidak seimbang, banyak warga yang terserang wabah penyakit, banyak hama yang menyerang tanaman sekitar, hingga para petani gagal panen dan daerah banjar Munang-Maning menjadi kekeringan. Sehingga masyarakat Munang-Maning mengalami kebingungan, dan pada akhirnya saat beberapa anak kecil bermain di areal Pura Majapahit, salah satu anak yang sedang bermain itu mengalami “trance” atau dalam istilah balinya disebut dengan kerauhan, kemudian anak-anak yang lain berlari dan berteriak meminta tolong pada warga sekitar, kemudian datanglah masyarakat banjar Munang-Maning ke Pura Majapahit untuk melihat keadaan anak tersebut. Anak yang mengalami “trance” tersebut dengan lincahnya menari tanpa henti dengan keadaan mata yang terpejam, dan dengan langkah yang bgitu energik. Setelah di tanyalah siapa yang merasuki tubuh anak tersebut oleh pemangku yang ada di Pura Majapahit. Dan anak yang sedang mengalami “trance” itupun menjawab,

“Titiang niki ratu pregina mapangawak Gandrung (joged pingit). Titiang kayun mapangawak, lan kayun masolah angge ngeruat sakancaning malapataka puniki, solahang titiang ring purnama sasih keenem ring piodalan Pura Majapahit puniki, rereh gelungan titiang ring Pura Tengkulung” (wawancara dengan Jro Mangku Garu selaku jro mangku gede Pura Majapahit, tanggal 7 Januari 2017).

Joged pingit merupakan tarian joged yang di tarikan penari wanita yang di pingit dan diiringi oleh Semara Palinggian yang umumnya terbuat dari bilah bambu dngan menggunakan laras pelog lima nada.

Namun lain halnya dengan gandrung, tarian gandrung Munang-Maning ini mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu, tarian gandrung ini di tarikan oleh penari laki-laki yang belum mengalami masa dewasa (pubertas). Namun seiring berjalannya waktu, gandrung sudah mulai di tarikan oleh wanita juga. Masyarakat banjar Munang-Maning tidak mempersalahkan tentang itu. Yang penting tarian gandrung ini tetap di pentaskan atau mesolah setiap purnama keenem atau 2 hari setelah odalan di Pura Majapahit.Gamelan gandrung yang di gunakan untuk mengiringi tarian gandrung dan gamelan Semara Palinggian hampir sama secara struktur dan bentuknya. (wawancara dengan I Ketut Godra, tanggal 6 Januari 2017).

Maka sejak kejadian itulah masyarakat mulai mengadakan pertunjukan gandrung tersebut. Setelah gandrung ini di pentaskan, keadaan masyarakat banjar Munang-Maning kembali membaik, tanaman mulai tumbuh subur dan tidak kekeringan lagi, dan wabah penyakit mulai menghilang. Karena hal inilah masyarakat banjar Munang-Maning terpoteksi dengan keberadaan gandrung ini. Kepercayaan masyarakat yang begitu besar dengan ajaran tattwa ini mengakibatkan masyarakat begitu percaya bahwa di dalam jiwa yang bersih, tulus dan ikhlas akan selalu di lindungi oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya.

Keunikan gamelan gandrung di banjar Munang-maning.

Ada satu keunikan pada barungan gamelan gandrung Pura Majapahit ini. Di dalam satu barungan gandrung yang ada di Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini, terdapat patung kakek-kakek yang membawa damar/sentir. Yang bermakna bahwa “gandrung ini layaknya damar/sentir yang menerangi di saat gelap, sama seperti gandrung ini yang menghilangkan wabah penyakit dan membuat keadaan masyarakat banjar Munang-Maning menjadi lebih baik” (wawancara dengan I Ketut Godra, tanggal 6 Januari 2017). Meski tidak berfungsi sama seperti instrumen yang lain, namun patung ini harus tetap di bawa kemanapun barungan gandrung ini berada. Karena patung ini berfungsi sebagai pngijeng dari gamelan gandrung ini.

Sempat pada tahun 1947, sekaa Gandrung ini ngayah di daerah Banjar Buagan Pemecutan, hampir saja patung ini di tinggalkan, lalu salah seorang penabuh pun kesurupan dan memberi tau agar ingat mengajak beliau ikut serta untuk ngayah. Awalnya masyarakat banjar Munang-Maning tidak terlalu percaya akan hal itu, hingga akhirnya terjadi hal serupa pada tahun 1948 , saat sekaa gandrung ini akan ngayah di Tampak Siring Gianyar. Barulah setelah itu masyarakat banjar Munang-Maning percaya akan patung itu. Dan akhirnya patung kakek-kakek yang berfungsi sebagai pengijeng barungan gamelan gandrung ini di sakralkan dan di upacarai. (wawancara dengan I Ketut Godra,tanggal 6 Januari 2017).

Sebelum kami menjelaskan lebih banyak lagi tentang gandrung ini, kami akan membahas tentang bagaimana proses terbuatnya gamelan gandrung di Pura Majapahit ini.

Proses pembuatan gamelan gandrung banjar Munang-maning.

Karena keterbatasan dana yang ada, masyarakat banjar Munang-Maning berusaha agar ada barungan gamelan untuk mngiringi tarian gandrung ini. Lalu kmudian ada usul dari seorang warga banjar Munang-Maning yang tidak di ketahui namanya(karena sudah beratus tahun silam), mengusulkan untuk mencari bambu betung yang akan di gunakan sebagai bilah berbentuk pipih yang hampir sama dengan beberapa instrumen gamelan yang ada, dan akan di gunakan untuk Bumbungnya. Setelah mencari di berbagai tempat, akhirnya di temukanlah bambu betung di daerah Tabanan, namun bambu itu sudah pernah di gunakan (bekas). Setelah di temukannya bambu yang akan di gunakan sebagai bilah, di rendamlah terlebih dahulu bambu betung itu dengan air pantai, agar lebih tahan lama. Setelah selesai proses perendaman, barulah di mulai proses pelarasan. Karena dana yang kurang memadai untuk membeli kayu untuk membuat rangka/plawah dari gamelan gandrung ini, bilah yang tadinya sudah sampai di tahap pelarasan ini akhirnya di simpan dahulu di salah satu tempat yang ada di Pura Majapahit. Dengan perlahan, masyarakat banjar Munang-Maning pun mengumpulkan uang hasil dari menjual hasil kebun mereka, dan pada akhirnya terkumpulah uang untuk membeli kayu yang rencananya akan di gunakan untuk membuat rangka/plawah gamelan gandrung tersebut. Dan akhirnya dengan cara gotong royong, masyarakat banjar Munang-Maning pun membuat rangka/plawah gamelan gandrung tersebut dengan alakadarnya. Karena ingin terlihat agar rangka/plawah gamelan gandrung ini terlihat lebih mewah, warga banjar Munang-Maning pun berinisiatif untuk mencari seorang tukang ukir di daerah Puri Gerenceng Pemecutan. Dan akhirnya jadilah barungan gamelan gandrung yang akan di gunakan untuk mengiringi tarian gandrung tersebut.

Perjalanan sekaa gandrung menuju puncak keemasan.

Dan tepat pada sasih keenem berapa ratus tahun silam, untuk pertama kalinya tarian gandrung di pentaskan di madyaning mandala (jaba tengah) Pura Majapahit. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1945an, kesenian gandrung Munang-Maning menggeliat bangkit dengan polesan seorang maestro seni tari dan tabuh yang bernama I Gst Putu Griya dan I Ketut Bina. Hal ini mendapat respon di hati masyarakat Bali. Kebangkitan tari gandrung di Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini membri nilai tambah bagi kemasyuran enam desa, istilah nglawang dan ngayah mesolah mengiringi perjalanan panjang memasuki masa keemasan sesuai perkembangan jaman yang di tandai dengan kehausan masyarakat Bali  mencari hiburan sebagai pelipur lara, dimana tari gandrung sebagai salah satu tarian primadona pada jaman tersebut. Sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin berputar kearah kemajuan menuju globalisasi, tarian gandrung mengalami masa keemasan. Berikut daftar tempat-tempat ngayah dan nglawang yang pernah di datangi oleh sekaa gandrung banjar Munang-Maning generasi terdahulu :

  1. Tahun 1931 pentas di Pura Majapahit.
  2. Tahun 1947 pentas di banjar Buagan (Denpasar).
  3. Tahun 1948 pentas di Tampak Siring (Gianyar).
  4. Tahun 1949 pentas di Uluwatu (Badung).
  5. Tahun 1950 pentas di Pura Besakih (Karangasem).
  6. Tahun1951 pentas di Kabupaten Negara.
  7. Tahun 1952 pentas di Pura Tengkulung.
  8. Tahun 1953 pentas di Pura Desa Kepaon.
  9. Tahun 1954 pentas di daerah desa Padangsambian.
  10. Tahun 1956 pentas di Puputan Badung dll.
  11. Tahun 1957 sampai sekarang hanya mesolah seperti biasa di Pura Majapahit.

Sekitar tahun 1970 sekaa gandrung ini mengalami kevakuman karena menuanya usia penabuh dan tidak adanya generasi yang menggantikan posisi penabuh yang terdahulu.

Kebangkitan sekaa gandrung banjar Munang-maning.

Namun pada tahun 2002 sekaa gandrung banjar Munang-maning ini mengalami kebangkitan karena sudah ada generasi penerus yang mau belajar dan akan meneruskan perjalanan pinisepuh gamelan gandrung ini untuk melestarikan kesenian gandrung ini.

Khususnya di Pura Majapahit banjar Munang-Maning, memiliki tabuh-tabuh pamungkas yang sering di tabuhkan sebelum penari mulai masuk ke tengah kalangan untuk menari. Adapun jenis-jenis tabuh yang di miliki oleh sekaa gandrung banjar Munang-Maning ini adalah : 1) Jedug tege, 2) Meli nasi, 3) Gandrang bebancihan, 4) Gandrang won, 5) Gandrang gandrung, 6) Cingkrem-cingkrem.

Namun sekaa gandrung generasi sekarang baru mengetahui sedikit tabuh-tabuh yang ada, karena minimnya waktu latian sekaa gandrung ini. Tetapi tabuh-tabuh yang mereka ketahui cukup untuk bekal mengiringi tarian gandrung ini mesolah. Bahkan bekal yang mereka punya sudah pernah di gunakan untuk pentas budaya yang di adakan oleh Kota Denpasar, dan sempat mereka gunakan untuk mewakili Kota Denpasar dalam ajang Pesta Kesenian Bali XXXVIII (PKB ke-38).

Menurut kepercayaan masyarakat banjar Munang-Maning, pada jaman dulu apabila gamelan gandrung ini tidak di pentaskan maka masyarakat banjar Munang-Maning akan kembali terserangwabah penyakit yang mengakibatkan bencana kematian serta kekeringan. Dengan adanya wabah penyakit inilah masyarakat melakukan upacara persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa lewat pertunjukan gandrung ini, dan juga sebagai pengusir wabah penyakit dan penolak bala. Hal tersebut masih di percayai oleh masyarakat banjar Munang-Maning hingga saat ini, meski sudah masuk ke dalam lapisan era globalisasi modern. Karena gamelan gandrung ini memiliki fungsi nilai religius yang sangat tinggi.

“Kepercayaan yang sangat tinggi yang membuat masyarakat banjar Munang-Maning hingga saat ini masih mempertahankan kesucian dan kesakralan gamelan gandrung ini. Meski kalau di lihat dari segi perekonomian, masyarakat banjar Munang-Maning termasuk ke dalam masyarakat yang modern, tetapi untuk hal religius dan kesakralan gamelan gandrung ini masyarakat banjar Munang-Maning sangat fanatik dengan kesenian yang satu ini” (wawancara dengan Jro Mangku Garu selaku pemangku gede Pura Majapahit, tanggal 7 Januari 2017).

 

Pantangan sebelum menabuh gamelan gandrung Munang-maning.

Ada suatu pantangan yang harus di perhatikan dan di laksanakan sebelum memainkan/menabuh gamelan gandrung ini yaitu, penabuh atau penari yang akan mementaskan gandrung ini sama sekali tidak di perkenankan menyantap daging babi. Kenapa seperti itu ?

Seperti yang kami jelaskan di atas. Pura Majapahit ini adalah salah satu pura peninggalan kerajaan Majapahit. Tentu teman-teman sekalian sudah tau bahwa kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang menganut aliran “hindu kejawen”, dan tentu teman-teman sekalian sudah tau jika umat Islam sangat tidak di perbolehkan untuk menyantap daging babi, karena haram hukumnya. Sama seperti hal tersebut, maka dari itu penabuh dan penari yang akan mementaskan tarian gandrung ini sangat tidak di perbolehkan untuk menyantap daging babi.

Namun hal ini hanya berlaku sebelum pementasan tarian gandrung ini di pentaskan. Pada hari-hari biasa, masyarakat banjar Munang Maning seperti biasa menyantap daging babi, kata bapak I Ketut Godra “tidak ada yang bisa mengalahkan lezatnya daging babi, apalagi kalau sudah di guling. Jadi kami para penabuh dan penari gandrung terdahulu hanya melakukan pantangan itu jika akan menabuh atau menarikan tarian gandrung itu tersendiri”. Dan karena kepercayaan masyarakat banjar Munang-Maning amatlah besar terhadap hal itu, maka kepercayaan itu masih tetap ada hingga sekarang, dan tidak ada yang berani melanggarnya. (wawancara dengan I Ketut Godra, tanggal 6 Januari 2017).

Apa yang terjadi jika ada yang melanggar pantangan agar tidak menyantap daging babi sebelum pementasan Gandrung ini ?

Menurut salah seorang penabuh sekaa Gandrung anak-anak yang akan di pentaskan pada parade kesenian Kota Denpasar yang di adakan di lapangan Puputan Badung, ada salah seorang dari mereka sempat menyantap daging babi. Dan apa yang terjadi ? Pementasan yang sudah di persiapkan berbulan bulan, dengan waktu latian yang lumayan lama, seketika hancur. Dan ada juga kejadian lain yang terjadi selain itu. (wawancara dengan I MadeWisnu Anggara Putra, tanggal 8 Januari 2017).

Dulu sempat ada teman dari salah seorang penabuh ikut serta ngayah menabuh untuk mengiringi tarian Gandrung ini. Mungkin karna dia tidak tau akan pantangan yang ada. Ternyata dia sempat menyantap daging babi. Dan saat dia menabuh tiba-tiba saja dia mendadak sakit, entah karena apa. Dan karena lama tidak sembuh salah seorang dari keluarganya ia minta agar matur piuning di Pura Majapahit, sebelum salah seorang keluarganya matur piuning, salah seorang keluarga penabuh itu sempat berbincang dengan pemangku yang ada di Pura Majapahit, lalu kemudian di beritaukanlah semua pantangan itu oleh pemangku Pura Majapahit. Pemangku Pura Majapahit juga memberitahu, jika sudah terlanjur masih ada cara menangkal agar tidak terjadi kejadian yang serupa, dengan cara minum air kepala (bungkak nyuh gading) dan di mintakan tirta dari sanggah/pemerajan masing-masing. (wawancara dengan I Gede Putra Mahayasa, tanggal 8 Januari 2017).

Keterkaitan gamelan gandung dan tarian gandrung.

Gamelan gandrung di Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini memiliki keterkaitan dengan penari gandrung, yang merupakan satu kesatuan yang sangat erat, yang mana saat penari laki laki ini mulai menari, banyak orang yang menonton pertunjukan ini menjadi “trance” (kerauhan), seolah-olah mereka melihat seorang gadis yang sangat cantik, sehingga mereka yang mengalami trance tersebut tertarik jiwanya untuk menari bersama. (wawancara dengan Jro Mangku Garu selaku pemangku gede Pura Majapahit, tanggal 7 Januari 2017).

Sekaa gandrung Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini mengalami pasang surut karenasetelah generasi I Ketut Godra  hampir tidak ada penabuh gandrung untuk melanjutkan perjuangan I Ketut Godra mengenalkan gandrung Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini ke masyarakat. Namun dengan semangat dan rasa percaya diri yang tinggi, pinisepuh gandrung yaitu I Ketut Godra dan I Made Manda terus mengajak masyarakat Munang-Maning untuk melestarikan tarian gandrung ini agar tidak punah di makan jaman. Dan pada akhirnya, generasi muda banjar Munang-Maning yang sekarang mau mempelajari, melestarikan dan mengenalkan gandrung Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini ke masyarakat dengan mengikuti beberapa pementasan yang ada di kota Denpasar hingga di provinsi Bali. Terbukti dengan mengikuti pentas seni yang di adakan oleh kota Denpasar dan sempat mewakili kota Denpasar dalam ajang Pesta Kesenian Bali tahun 2016, sekaa gandrung Pura Majapahit banjar Munang-Maning ini mampu mengenalkan tarian gandrung ini ke masyarakat luas. Namun tidak hanya sampai disana, akhir-akhir ini tim pengurus gamelan gandrung ini sedang gencar-gencarnya mencari bibit untuk menggantikan generasi yang sekarang, karena generasi sekarang mulai hilang sedikit demi sedikit, karena mungkin sibuk, dan sudah ada berkerja.

Begitu pula dengan penari-penari gandrung, sama halnya dengan penabuh gandrung, mereka juga mengalami pasang surut, namun saat ini sudah banyak mempunyai bibit penari di banjar Munang-Maning.

Pembuatan gelungan duplikat gandrung Munang-maning.

Sehubungan dengan adanya pementasan-pementasan seperti di Puputan Badung dan di Art Centre, maka di buatlah gelungan gandrung duplikat yang bertujuan agar tidak menggunakan gelungan duwe, jika menggunakan gelungan duwe maka akan besar kemungkinan banyaknya ada pengibing bahkan penari yang akan mengalami kerauhan. Namun hal itu tidak seperti yang perkiraan masyarakat Munang-Maning, meski para penari yang mementaskan tarian gandrung ini menggunakan gelungan duplikat hal itu tetap terjadi, para penonton yang mengibing dan para penari tetap mengalami kerauhan. Menurut penuturan Jro Mangku Garu selaku pemangku gede Pura Majapahit, salah sorang penari yang mengalami kerauhan itu menuturkan.

“Di manapun gandrung ini di tarikan, meskipun menggunakan gelungan duplikat Ratu Pregina mapangawak gandrung akan mengikuti karena jiwa beliau juga sudah ada di dalam patung kakek-kakek tua membawa damar/sentir yang ada di dalam barungan gamelan gandrung ini” (wawancara dengan Jro Mangku Garu, tanggal 7 Januari 2017).

Pernah saat pementasan tarian gandrung ini pada sasih keenem lalu, karena mungkin salah satu penari kebesaran gelungan duwe. Lalu di gunakanlah gelungan duplikat agar tidak terlalu kebesaran gelungan, namun belum seberapa tarian, gelungan duplikat itu terlepas, dan salah satu pemangku yang ada di ajeng pura mengalami kerauhan dan mengatakan.

“Kenapa gandrung ini di pakaikan gelungan duplikat ? ini adalah saat pementasan Ratu Pregina mapangawak gandrung ini mesolah, seberapapun besarnya gelungan duwe itu tidak akan lepas di gunakan menari. Karena memang itulah busana/atribut asli Ratu Pregina mapangawak gandrung ini, dan jangan pernah mencoba untuk merubahnya”

Pementasan ini sempat molor hingga 30 menitan, namun karena perintah Ratu Pregina mapangawak gandrung ini, penari yang tadinya menari dengan gelungan duplikat, kembali menari tetapi sekarang menggunakan gelungan duwe.

Perkembangan dan pelestarian tarian ini tidak dapat di pisahkan dari pembinaan yang di lakukan secara berkelanjutan. Proses pelestariannya di lakukan oleh pinisepuh tari gandrung banjar Munang-Maning yaitu bapak I Ketut Godra dan I Made Manda. Beliau membrikan curahan hati kepada pemuda dan anak-anak di lingkungan banjar Munang-Maning untuk melaksanakan pembiaan dan pelatihan gamelan gandrung yang di wariskan oleh nenek moyang yang adi luhung. Hasilnya dapat kita nikmati sekarang bahwa tari gandrung Pura Majapahit banjar Munang-Maning masih tetap eksis sampai jaman sekarang. Berdasar keinginan untuk ngayah dan beryadnya, para pinisepuh gamelan gandrung tetap yakin bahwa perkembangan dan pelestarian kesenian langka yang ada di Kota Madya Denpasar ini akan selalu mendapat perhatian dari pemrintah dalam upaya menciptakan Kota Madya Denpasar yang berbasis kota budaya. Kendatipun demikian, besar harapan dari masyarakat banjar Munang-Maning agar pelestarian kesenian langka ini, tetap menjadi ikon positif dalam hal mengimplementasikan pembinaan tarian langka dan sakral. Dengan di laksanakannya pembinaan yang berkelanjutan, maka pelestariannya akan terwujud. Apresiasi tertinggi dari masyarakat banjar Munang-Maning dapat di sampaikan melalui pelaksanaan gelar seni sebagai wujud pelestarian, pembinaan dan pengayoman kepada kesenian langka dan sakral agar tidak punah di telan perkembangan jaman glolisasi serta pengaruh teknologi yang semakin pesat dan canggih.

Comments are closed.