Home
Laman Contoh
adisuyoga
Blog
Popular Posts
Latest Posts
GEDUNG I WAYAN BERATHA
Sejarah dan Dokumentasi Wayang Calonarang “Desa Sibanggede “
Sejarah dan Dokumentasi Gamelan Batel ” Desa Sibanggede”
Teknik Dasar Semarpegulingan
Halo dunia!
Cari untuk:
Komentar Terbaru
Arsip
April 2019
Kategori
Tak Berkategori
Meta
Masuk
Feed entri
Feed komentar
WordPress.org
Archives
April 2019
Sejarah dan Dokumentasi Gamelan Batel ” Desa Sibanggede”
This post was written by adisuyoga on April 29, 2019
Posted Under:
Tak Berkategori
https://youtu.be/9X1oykNwvvo
Sejarah Gamelan Batel di Desa Sibanggede
.
Asal usul Gamelan Batel di desa Sibanggede secara rangkaian waktu secara jelas tidak dapat diungkap. Hal itu disebabkan oleh minimnya data yang didapat. Pendekatan sejarah dalam hal ini dilakukan dengan mempelajari cerita orang tua yang masih mampu mengingat perkembangan seni Gemelan Batel yang ada di desa Sibanggede. Dalam beberapa kali dengar pendapat bersama informan di desa Sibanggede diketahui hanya ada tiga barung gamelan batel yaitu di Banjar Sri Jati, Banjar Parekan, dan di Puri Sibanggede.
Keberadaan Gamelan Batel tersebut diceritakan mulai dipelajari seniman di desa Sibanggede atas kebutuhan yang dirasa sangat penting di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu Gamelan Batel di Sibanggede mempunyai fungsi yang sangat erat hubungannya dengan upacara keagamaan Hindu. Dalam upacara dewa yadnya misalnya, di masing-masing rumah atau di pura-pura
pemaksan
(
paibon)
, dalam prosesi upacara keagamaan Hindu masyarakat Sibanggede selalu melibatkan gamelan batel ini. Dalam upacara keagamaan di Sibanggede lebih sering menggunakan gamelan batel, dikarenakan pada saat itu jarang ditemui gamelan lain, seperti halnya gong kebyar. Mungkin saat itu gamelan gong kebyar menjadi barungan yang langka dijumpai di Sibanggede.
Kemampuan masyarakat Sibanggede pada saat itu tidaklah sama secara ekonomi, gamelan yang memiliki barungan yang lebih banyak seperti gong kebyar tidak mudah untuk dibeli. Jadi ada kemungkinan langkanya gamelan-gamelan lain yang ada di Sibanggede juga disebabkan oleh kemampuan masyarakat yang tidak memadai untuk membeli gamelan. Ketertarikan untuk memiliki gamelan yang memiliki barungan besar seperti gong kebyar mungkin saja ada namun kemampuan masyarakat dalam menggunakan juga terbatas sehingga nyaris kesempatan untuk menggunakan gamelan gong kebyar di dalam kegiatan upacara keagamaan sangat kecil.
Keadaan seperti itu menjadikan beberapa seniman memilih untuk mengembangkan barungan-barungan gamelan yang bersifat lebih praktis. Apalagi kemampuan yang dimiliki oleh para seniman Sibanggede saat itu memang ada. Keberadaan gamelan batel di Sibanggede juga didorong oleh dalang yang saat itu ingin melakukan perubahan dalam pertunjukannya. Mengiringi pertunjukan wayang kulit dengan
gender
saja mungkin sudah dianggap sebagai suatu pertunjukan yang monotun oleh para dalang sehingga butuh pengembangan yang lebih memungkinkan agar diperoleh inovasi yang lebih menggairahkan.
Kondisi itu juga didorong oleh talenta turunan yang kadang mendukung terjadinya penguasaan instrument seperti gamelan gender secara lebih cepat dari orang-orang biasa. Kemampuan tersebut memancing kesadaran para seniman
gender
untuk memiliki
gamelan gender
. Perubahan barungan dari
gender
menuju gamelan batel juga di dorong oleh kemampuan para seniman gender wayang di dalam menggabungkan beberapa instrument ke dalamnya sehingga kemudian muncul gamelan batel yang dianggap cocok dan memiliki perbedaan mendasar dengan
gender
sebagai pengiring dari wayang kulit.
Di samping itu di era tahun empat puluhan kondisi desa di Sibanggede sebagaimana diceritakan informan bahwa keadaan desa tidaklah sama majunya seperti saat ini. Kondisi masyarakat yang masih jarang dengan kontur desa yang belum tersentuh oleh teknologi menyebabkan kehidupan masyarakat secara alami masih jauh dari kesibukan. Di satu sisi kegiatan keagamaan yang mendominasi kesibukan masyarakat seringkali tidak melupakan keberadaan seni untuk dilibatkan di dalamnya. Keyakinan dan kepercayaan yang berbalut pada nilai filosofi yang tinggi di dalam ajaran agama Hindu menjadikan masyarakat Hindu untuk selalu loyal di dalam melibatkan bentuk kesenian di dalam setiap kegiatan keagamaan. Keadaan itu menjadikan seni selalu dibutuhkan oleh masyarakat Hindu yang ada di Sibanggede. Hal itu juga mempengaruhi seniman yang ada di Sibanggede untuk memikirkan gamelan yang praktis untuk dapat digunakan melayani kebutuhan ritual masyarakat.
Sejak tahun 1940 keinginan berkesenian di desa Sibanggede mulai menunjukan adanya kemajuan dari tahun itulah ada seorang tokoh di Sibanggede yang bernama I Made Rata (almarhum) berniat untuk membuat gamelan batel. Hal itu didorong oleh kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi untuk menggunakan wayang kulit sebagai bagian pelengkap dari upacara. Di samping itu oleh nasehat I Made Retig (almarhum), yang disampaikan kepada anaknya yang bernama I made Mandra mengatakan:
“bahwa untuk memberikan warna dan karakter gender yang mampu untuk bisa tampil berbeda harus dipikirkan beberapa instrument yang mampu disesuaikan karakteristiknya dengan warna bunyi gender. Hal itu disebabkan karena gamelan gender telah memiliki pakem yang sangat kuat, namun dibeberapa ruas gending ada celah yang dapat disisipkan pola-pola baru yang dapat dimainkan sebagai suatu bentuk kreatif.”
Keinginan yang sudah kuat dari Made Reta untuk mengambil gender wayang sudah semakin tidak terbendung, kemudian beliau mendatangi seorang kenalan (dilupakan namanya) yang berasal dari daerah Kutri Singapadu. Setelah maksudnya dipahami maka disepakati bahwa proses pembuatan gender itu di lakukan di di rumah I Made Rata sendiri di desa Sibanggede. Kesederhanaan dalam proses itu adalah bahwa di dalam pembayarannya seorang Made Reta yang tidak cukup banyak memiliki uang untuk memenuhi harga gender akhirnya memohon agar dapat dilakukan dengan menukarkan
gabah
(padi) yang dilakukan setiap panen tiba. Perjanjian itu disetujui oleh pembuat gender karena pada zaman itu sistem
barter
sebagai alat pertukaran memang dianggap sah dalam proses jual beli.
Dalam proses pembuatannya diawali dengan pembuatan empat
tungguh
gender wayang, seperti yang diketahui sekarang ini gender wayang adalah barungan yang menjadi tulang punggung atau pokok melodi dalam barungan gamelan batel
.
Gender Wayang pun mampu dirampungkan. Hal itu tidak menjadikan Made Rata puas karena intinya adalah melakukan perubahan dalam mengiringi wayang kulit yang ada di Sibanggede seperti permintaan sang dalang. Pengetahuan seni gamelan seorang Made Rata di dalam melihat peluang untuk menggabungkan instrument lain di dalam gender wayang cukup diterima masyarakat.
Perubahan yang dirasakan juga oleh para penabuh gamelan batel yakni dengan menambahkan beberapa instumen seperti kendang
krumpungan
atau kendang
batel
dan instrument batel lainnya menjadikan perubahan tidak saja terjadi pada alat namun juga diikuti oleh perubahan lain seperti jumlah penabuh dan juga karakter
gending
atau lagu.
Semenjak kehadiran gamelan batel di dalam mengiringi pertunjukan wayang kulit baik oleh dalang dan juga masyarakat saat itu sudah dianggap sebagai suatu yang berbeda dari sebelumnya dilakukan dalam tradisi wayang kulit. Diakui bahwa perubahan yang terjadi bagi para seniman gender yang serius mengakui adanya pertentangan yang mungkin dianggap merusak tatanan yang sudah ada. Tetapi sampai saat ini gamelan batel tetap di pergunakan untuk mengiringi wayang kulit di Desa Sibanggede. (wawancara,29 Desember 2019)
INFORMAN
I NYOMAN SURIANTA S.sn M.sn
Comments are closed.
Next Post:
Sejarah dan Dokumentasi Wayang Calonarang “Desa Sibanggede “
Previose Post:
Teknik Dasar Semarpegulingan
Subscribe to Feeds
RSS FEEDS
Search for:
What We’re Reading
Depdiknas
DIKTI
E-journal DIKTI
Helpdesk/FAQ
ISI Denpasar
ISI Denpasar | Facebook Group
ISI Denpasar | Facebook Pages
Sistem Informasi Akademik
Webmail
Categories
Tak Berkategori
Meta
Masuk