HISTORIS PERTUNJUKAN BARONG SEBAGAI SENI PERTUNJUKAN SAKRAL DAN PARIWISATA

Rabu, Mei 2nd, 2018

Masyarakat Bali mempercayai adanya sosok mahkuk mitologi yang sering disebut dengan istilah Barong. Istilah Barong sudah cukup tua usianya, seperti yang disebutkan dalam kamus Jawa Kuna-Indonesia, bahwa kata Barwan berarti beruang, dan kata barwan, baron sudah disebutakan pula dalam beberapa karya sastra seperti Sumanasantaka (159.3), Sutasoma (95.6), dan Arjunawijaya (10.14). Dalam Kidung Sunda (2.139) dan Ranggalawe (11.203) ditemukan kata binarwan dan binaron yang berarti tampak galak. (Swasthi Wijdjaja Bandem, 2014 : 6). Dilihat dari wujudnya, barong memang tampak dasyat dan menakutkan. Itulah salah satu sebab mengapa Barong digunakan sebagai pelindung untuk menjauhkan pengaruh kekuatan jahat dari masyarakat penyungsung-nya.

Di Jawa, khususnya di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ditemukan pertunjukan yang berkaitan dengan kepercayaan akan binatang totem yang memiliki kekuatan untuk melindungi. Pertunjukan itu disebut Barongan. Barongan dengan Barong yang ada di Bali memiliki kesamaan latar belakang, yaitu sama-sama binatang totem yang di percaya dapat melindungi masyarakat. Hanya saja di Bali ada figur yang bukan binatang totem, akan tetapi dikaitkan dengan kata barong seperti barong landung yaitu sepasang boneka raksasa berupa manusia tinggi besar yang merupakan benda sungsungan yang di sakralkan. Begitu pula halnya denga barong brutuk, yang ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki, yang masing-masing penariya menggunakan topeng sederhana yang bentuknya mirip topeng-topeng primitif. Kostumnya terbuat dari kraras (daun pisang kering) yang didatangkan khusus dari Desa Pingan, Bayung dan Blandingan di daerah Trunyan. Mengacu kepada keterangan di atas, maka sebutan barong untuk figur yang bukan binatang totem, kemungkinan dikaitkan dengan figur yang disakralkan, penampilannya dilakukan dengan cara digerak-gerakan oleh orang yang berada didalamnya atau diekspresikan oleh orang yang memakai topengnya.

Menurut Jane Belo, bahwa gagasan keberadaan barong yang sampai menjangkau tiga negara yaitu Cina, Jepang dan Indonesia (Bali), kemungkinan karena dilanda pengaruh paham Budha. Topeng yang dimainkan oleh 2 orang ini fungsinya sebagai pertunjukan untuk melindungi dan mengusir kekuatan jahat yang mengganggu masyarakatnya, adalah ciri-ciri yang ditemukan di Cina maupun di Jepang. Jadi kemungkinan sekali pertunjukan topeng berkeliling ini datangnya bersamaan dengan paham Budha yang kemudian menyebar ke berbagai tempat. Barong ket adalah adaptasi barong sae tiongkok. (Swasthi Wijdjaja Bandem, 2014 : 12). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa topeng barong yang di warisi di Bali merupakan transformasi dari barong sae yang ditarikan oleh dua orang penari, namun bentuknya telah disesuaikan dengan budaya Bali. Pengaruh yang datang tidak diambil seperti aslinya, tetapi diolah, dan disesuaikan dengan apa yang sudah menjadi miliknya, dan menghasilkan bentuk barong ket seperti yang diwariskan sekarang.

Keterangan ataupun kepercayaan mengenai penciptaan topeng barong, juga memiliki mitos tersendiri pada masyarakat lokal yang terlibat. Menurut informasi, bahwasanya bentuk punggalan barong yang diwarisi sekarang, diciptakan oleh Cokorda Api. Kisah ini terjadi ketika beliau diminta oleh penyungsung pura Dalem Srongga untuk membuatkan benda sungsungan yang berwujud Banaspati Raja. Untuk mewujudkan keinginan masyarakat Srongga, maka dengan kesaktianya, Cokorda Api ngarad (menarik) roh kayu yang disebut Banaspati Raja dari pohon kepuh yang ada diluar Pura Dalem Srongga. Cokorda api mampu melihat rupanya, dan segera menggambarkan rupa Banaspati Raja itu dengan goresan kakinya di atas tanah. Sesudah itu dibuatlah topeng barong ket berdasarkan visualisasi dari goresan Cokorda Api. Sejak saat itu barong ket hasil daya cipta Cokorda Api itu, menjadi betara sungsungan Pura Dalem Serongga dan menjadi model untuk bentuk barong ket kemudian.

Di Bali Barong dianggap sebagai pelindung bagi masyarakat, yang mana ia mempunyai kekuatan ilmu putih (white majic). (Bandem, 1983 : 30). Maka dari itu hampir sebagian besar Desa yang ada dibali memilliki sesuhunan berupa barong yang kerap diberi sesajen, diarak keliling desa atau dipertunjukan pada setiap hari-hari suci di Bali dengan tujan untuk menangkal pengaruh-pengaruh jahat yang akan menyebabkan malapetaka. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertunjukan barong merupakan pertunjukan yang disakralkan oleh masyarakat Bali. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh pariwisata, fungsi barong pun beralih, bukan hanya sebagai pertunjukan sakral namun juga sebagai pertunjukan pariwisata. Dengan derasnya arus wisatawan yang datang ke Bali, maka pertunjukan Barong menjadi salah satu hiburan yang paling diminati oleh wisatawan dan dianggap sebagai pertunjukan hiburan. Hal terdebut dijadikan peluang oleh para seniman-seniman pertunjukan di Bali untuk memgembangkan seni pertujukan Bali terutama pertunjukan Barong serta menjadikan seni pertunjukan sebagai media untuk berbisnis dengan menjual tiket kepada para wisatawan untuk bisa menyaksikan pertunjukan tersebut sehingga, berkembanglah pertunjukan barong ini menjadi pertunjukan pariwisata dibeberapa daerah di Bali yaitu : Desa Batubulan Gianyar, Desa Singapadu Gianyar, Denpasar, Badung dan daerah lainnya. Dengan berkembangnya pertunjukan barong ini menunjukan bahwa pertunjukan ini sangat diterima sebagai pertunjukan wisata bahkan telah menjadi salah satu ikon Bali dimata dunia kepariwisataan.

PUSTAKAAN

Suasthi Widjaja Bandem, N.L.N, 2014, Barong Kunti Sraya Ikon Seni Pertunjukan Bali Kontemporer, Denpasar, BP STIKOM BALI.

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.

GAMELAN GONG KEBYAR DESA ADAT SEMINYAK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Rabu, Mei 2nd, 2018

Banyak peristiwa penting terjadi di masa lampau seperti munculnya Desa Adat Seminyak, yang sebagian besar masyarakat Seminyak kurang memahami asal muasal terbentuknya peristiwa tersebut, sehingga berlalu begitu saja dan tidak dihiraukan oleh masyarakat hingga saat ini, karena pada saat itu masih kurangnya pemahaman masyarakat untuk memaknai peristwa tersebut beserta kurangnya media untuk mendokumentasikan dan merangkum peristiwa tersebut kedalam sebuah artefak. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dimaksud diatas kini hanya berupa cerita-cerita dari kalangan pemenang yang belum jelas kebenarannya karena tidak ada bukti tertulis atau dokumentasi tentang peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Peristiwa bersejarah tersebut tidak hanya mempersoalkan tentang asal muasal dari Desa Adat Seminyak saja, tapi juga mempersoalkan tentang jenis kesenian yang ada di Desa Adat Seminyak. Wujud kesenian tersebut berupa gamelan dan tarian yang menjadi besiknya masing-masing, kemudian berkembang pada wujud yang lebih populer yaitu ogoh-ogoh. Ketiga wujud kesenian tersebut mencari eksistensinya masing-masing, dan salah satu jenis kesenian yang akan dikaji dewasa ini adalah gamelan gong kebyar.

Gamelan gong kebyar diperkirakan pertama kali muncul pada abad XX di Bali Utara yaitu di Desa Bungkulan (Buleleng Bagian Timur). “Informasi pertama datangnya dari Bapak I Nyoman Rembang seorang guru karawitan pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Denpasar yang dahulunya KOKAR Bali mengatakan bahwa, berdasarkan hasil wawancaranya dengan Bapak I Gusti Bagus Sugriwa (almarhum) yang berasal dari desa Bungkulan Buleleng mengatakan bahwa lagu-lagu gong kebyar diciptakan pertama kali oleh I Gusti Nyoman Panji di Desa Bungkulan pada tahun 1914 dan ketika itu dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang berdomisili di Desa Bungkulan”. (Materi Mata Kuliah Teknik Dasar Garap, hal : 34-35). “Selanjutnya I Gusti Bagus Arsaja BA (guru SMKI) Denpasar dalam kertas kerja bandingannya atas kerja dari Bapak I Wayan Dibia yang berjudul Sejarah Perkembangan Gong Kebyar di Bali, mengatakan bahwa di desa Bungkulan telah diciptakan lagu-lagu (tabuh) kekebyaran sekitar tahun 1910”. (Materi Mata Kuliah Teknik Dasar Garap, hal : 35). Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa gamelan gong kebyar pertama kali muncul di Desa Bungkulan (Buleleng Bagian Timur) pada tahun 1910-1914 karena pada saat itu tabuh-tabuh kekebyaran sudah diciptakan dan dipelopori oleh I Gusti Nyoman Panji. Menurut Colin McPhee dalam bukunya yang berjudul “Music In Bali” menyebutkan bahwa gamelan gong kebyar pertama kali diperdengarkan didepan umum pada bulan Desember 1915, dimana pada saat itu tokoh-tokoh gong Bali Utara mengadakan kompetisi gamelan gong kebyar untuk pertama kaliya di Desa Jagaraga Kecamatan Sawan (Buleleng Bagian Timur). Kemunculan gamelan gong kebyar pertama kali itu membawa pengaruh besar dan mengundang minat masyarakat Bali akan kemunculan kesenian tersebut. Hingga beberapa tahun berikutnya gamelan gong kebyar mulai merambat keseluruh pelosok Bali hingga ke Bali bagian selatan, salah satunya adalah di Desa Adat Seminyak.

Gamelan gong kebyar Desa Adat Seminyak merupakan gamelan gong kebyar gaya Bali Selatan yang menurut hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Mara sebagai mantan Bendesa Desa Adat Seminyak pada periode ke 6, dikediamannya jl. Drupadi no: 2 Seminyak pada tanggal 21 November 2017 pukul 15.00 Wita, beliau mengatakan bahwa, kemunculan gamelan gong kebyar pertama kali diseminyak yaitu pada tahun 1970. Sebelumnya memang sudah ada barungan gamelan gong kebyar di Seminyak, namun belum lengkap yang disebut dengan sebutan gamelan bebarongan oleh masyarakat seminyak pada saat itu dan fungsinya hanya sebagai pengiring upacara adat dan upacara agama di Desa Adat Seminyak. Melihat kondisi gamelan yang tidak lengkap, salah satu tokoh pendiri Desa Adat seminyak yaitu Bapak A.A Ketut Adi Swedandi (almarhum) yang juga pada saat itu menjabat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung merasa prihatin dengan keadaan tersebut karena gamelan tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal karena jumlah instrumen yang terbatas (tidak lengkap) seperti gamelan gong kebyar mini. Karena beliau memiliki jiwa sosial dan kesenian yang sangat tinggi di Desa Adat Seminyak dan juga tuntutan dari pemerintah daerah, bagi setiap desa yang ada di Kabupaten Badung agar bisa mengikuti festifal kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan jenis kesenian di Kabupaten Badung yang pada saat itu memperlombakan jenis kesenian gamelan gong kebyar. Maka dari itu beliau membeli barungan gamelan gong kebyar lengkap di salah satu pengerajin gamelan di desa Belahbatuh, Gianyar yang bernama Bapak Wayan Gabrel seharga Rp 16.000.000,00, beliau membeli gamelan tersebut untuk diserahkan kepada Desa Adat Seminyak pada tahun 1970.

Pada tahun 1970  sudah diserahkan oleh A.A Ketut Adi Swedandi kepada Desa Adat Seminyak berupa gamelan gong kebyar secara utuh dan lengkap tetapi penyerahannya belum sah dan belum sepenuhnya milik Desa Adat Seminyak karena belum ada bukti tertulis sah yang menyatakan penyerahan dan kepemilikan gamelan gong kebyar tersebut secara sepenuhnya kepada Desa Adat Seminyak. Setelah 3 tahun berlalu, Gamelan tersebut kemudian diserahkan sepenuhnya oleh A.A Ketut Swedandi yaitu pada tahun 1973. Pada saat itu dilakukan acara serah terima oleh beliau kepada Desa Adat seminyak dengan diserahkannya bukti-bukti tertulis yang sah mengenai penyerahan dan kepemilikan sepenuhnya atas gamelan gong kebyar kepada Desa Adat Seminyak yang bukti-bukti tersebut masih ada di dalam berkas-berkas desa yang di simpan di kantor BAPEDES Desa Adat Seminyak hingga saat ini. Dari saat penyerahan gamelan gong kebyar oleh A.A Ketut Adi Swedandi kepada Desa Adat Seminyak pada tahun 1970 menjadi cikal bakal munculnya gamelan gong kebyar secara utuh dan lengkap di Seminyak dan menjadi satu-satunya gamelan gong kebyar yang dimiliki Desa Adat Seminyak hingga saat ini.

 

PUSTAKAAN :

Bandem, I Made. 2013. Gamelan Bali Diatas Panggung Sejarah. Denpasar, BP STIKOM BALI.

Bandem, I Made. 1987. Ubit-Ubitan Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Denpasar, JURNAL SENI BUDAYA.

Materi Mata Kuliah Teknik Dasar Garap, 2017.

 

INFORMAN :

I MADE ATMAJAYA, S.E,

I WAYAN MARA

CALONARANG

Rabu, Mei 2nd, 2018

Sebuah dramatari klasik Bali yang memakai lakon calonarang. Dalam pertunjukannya minimal menampilkan peran sebagai berikut :

  1. Rangda, sebagai perwujudan ilmu hitam
  2. Matah Gede, sebagai perwujudan calonarang sebelum memperaktekan ilmu hitam
  3. Sisya, sebagai murid calonarang yang mempelajari ilmu hitam
  4. Pandung, sebagai perwujudan patih kerajaan Kadiri, bertugas untuk membunuh Calonarang
  5. Leak-leakan, sebagai perwujudan ilmu hitam dari sisya.

Calonarang dikatakan sebagai cerita semi sejarah. Kendatipun nama calonarang tidak pernah diungkapkan dalam sejarah. Kejadian diduga terjadi pada zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa Timur) pada abad XI. Dr. R. Goris dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Bali Kuno” halaman 7, menjelaskan bahwa yang menjadi calonarang adalah putri Gunapriya, yang dibuang oleh suaminya karena dituduh melakukan desti (Ilmu Hitam). Dari uraian diatas dikatakan calonarang ialah Sang Ratu Luhur Cri Gunapriya Dharma Patni, istri dari Cri Dharmodayana Warmadewa yang memerintah Bali pada tahun 989 M dan merupakan ibu dari Raja Airlangga yang menjadi tokoh utama dalam cerita Calonarang. Sebagai Tema dari dramatari calonarang di Bali, maka cerita ini dapat dibagi menjadi 3 versi antaralain :

  1. Kadundung (diusirnya) Ratna Mangali
  2. Perkawinan Mpu Bahula (putra Mpu Bharadah) dengan Ratna Mangali
  3. Ngeseng Waringin (membakar pohon beringin) merupakan puncak perkelahian calonarang dengan Mpu Bharadah
  4. Kautus Rarung (rarung diutus untuk menegaskan perkawinan Ratna Mangali dengan Prabhu Airlangga).

Asal Mula Dramatari Calonarang

Menurut informasi I Ketut Rindha, calonarang sudah ada di Gianyar tahun 1825 pada pemerintahan I Dewa Agung Sakti di Klungkung. Penarinya diambil dari penari gambuh Gianyar, Klungkung dan Bangli. Pelatih tarinya adalah I Sabda dan I Goya dan pelatih tabuhnya adalah Dewa Ketut Blancing dan I Gusti Ketut Rencong. Pada saat itu Raja Gianyar merupakan pengayom berbagai jenis kesenian dan seni dramatari calonarang merupakan suatu hal yang mendapat perhatian pada saat itu. Dari sanalah dramatari calonarang berkembang keberbagai daerah diantaranya Blahbatuh, Singapadu, Pagutan, Tegaltamu, Batubulan dll. Pada tahun 1930-an Welter spies melakukan penelitian tentang tari Bali dan saat itu dramatari calonarang sering dipertunjukan untuk touris.

Bagi masyarakat Bali, dramatari calonarang dapat berfungsi sebagai :

  1. Pengiring upakara agama Hindu
  2. Penolak wabah penyakit
  3. Sebagai pendidikan (dilihat dari jalan cerita)
  4. Sebagai hiburan.

Antawacana

Antawacana dilakukan dengan Bahasa Bali dan Kawi (Jawa Kuno). Bahasa Kawi digunakan oleh tokoh-tokoh utama seperti Raja, Calonarang, Patih dsb. Bahasa Bali digunakan oleh tokoh-tokoh pendukung seperti, penakawan dan bondres. Bahasa Bali juga digunakan sebagai penerjemah bahasa Kawi yang diucapkan oleh para tokoh utama.

Pembendaharaan Gerak.

Pembendaharaan gerak yang dipakai dalam dramatari calonarang yaitu mengambil gerak-gerak penggambuhan seperti nyelog, milpil, tetanganan, nayog, nabdab, pinggel, dll.

Busana dan Iringan

Busana dalam dramatari calonarang berupa saput, jaler, kain perada, stagen, stewel, ampok-ampok, gelungan, dan sebagainya sesuai dengan busana dramatari gambuh. Pertunjukan ini diiringi dengan gamelan penyalonarangan, bentuknya serupa dengan gamelan bebarongan atau palegongan.

PUSTAKAAN :

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.

UNSUR INTRINSIK SASTRA

Rabu, Mei 2nd, 2018

Salah satu hasil dari kebudayaan Indonesia yang kerap diterapkan dalam masyarakatnya dengan cara mengungkapkan secara baku apa yang disaksikan, apa yang direnungkan dan apa yang diraskan mengenai segi-segi kehidupan melalui bentuk bahasa dan tulisan disebut dengan sastra. Sastra juga dianggap sebagai bentuk ekspresi dari manusia karena sastra dapat berupa rekaan melalui pengalaman batin ( pemikiran dan imajinasinya) dan pengalaman emperik ( sebuah potret kehidupan nyata). Melaui sastra pengarang, sebagai bagian dari masyarakat dapat secara bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dengan interaksinya dengan lingkungan  sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan. Hal tersebut menyebabkan sastra tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, namun belakangan ini, sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat saat ini sedang mengarah kemasyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berhubungan dengan sains, teknologi dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. fenomena tersebut menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai apa itu sastra, bentuk-bentuk sastra, ciri-ciri sastra dan unsur-unsur yang terkandung dalam sastra, bahkan banyak pula yang meyamakan antara sastra dan bahasa. Maka dari itu penting dan perlu dilakukan sebuah analisa yang bertujuan untuk mengkaji sastra tersebut secara mendalam agar nantinya masyarakat benar-benar memahami sastra dan mempermudah dalam mempelajari sastra itu sendiri. Adapun definisi dan unsur-unsur intrinsik sastra adalah sebagai berikut :

DEFINISI SASTRA DAN KESUSASTRAAN

1. Sastra

Secara etimologis kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kehidupan. Akar kata bahasa Sansekerta itu adalah “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar, dan memberi petunjuk atau intruksi. Sedangkan akhiran “tra” mengandung arti yang menunjukan alat atau sarana. Dengan demikian sastra berarti alat untuk mengajar atau buku petunjuk dan intruksi. (Emzir dan Rohman, 2015 : 5). Dari keterangan diatas dapat disimpulkan sastra merupakan sebuah ajaran atau pengajaran yang didalamnya mengandung makna-makna dan petunjuk kehidupan.

2. Kesusastraan

Kesusastraan berasal dari kata susastra. Akar “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar, dan memberi petunjuk atau intruksi. akhiran “tra” mengandung arti yang menunjukan alat atau sarana. Sedangkan awalan “su” yang berarti keindahan. (Mursal, 2013 : 1). Jadi dari keterangan diatas dapat disimpulkan kesusastraan memiliki arti segala hasil cipta manusia dengan bahasa sebagi alatnya yang indah dan baik isinya sehingga dapat meningkatkan budipekerti manusia.

Dari penjelasan diatas terdapat perbedaan dari pengertian sastra dan kesusastraan yaitu, sastra merupakan sebuah ajaran dan juga cabang kesenian yang menggunakan bahasa sebagai medium atau sarananya, sedangkan kesusastraan merupakan kumpulan karya sastra atau hal-hal yang berkenaan dengan sastra.

BENTUK-BENTUK DAN JENIS-JENIS KESUSASTRAAN

Adapun bentuk dan jenis kesusastraan adalah sebagai berikut :

1. Bentuk kesusastraan  (Mursal, 2013 : 6).

  1. Puisi
  2. Cerita rekaan (fiksi)
  3. Esay dan kritikan
  4. Drama

2. Jenis kesusastraan

  1. Jenis naratif ( novel, cerpen)
  2. Jenis dramatik ( naskah drama)
  3. Jenis puitis

 

UNSUR INTRINSIK SASTRA

Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam seperti :

  1. Tema
  2. Amanat
  3. Alur atau Plot
  4. Penokohan atau Perwatakan
  5. Latar atau Setting
  6. Sudut Pandang

Tema

Tema atau ide pokok merupakan sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karya sastranya.

Amanat

Amanat adalah pesan dan kesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karya sastra. Amanat dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan atau sesuatu yang bermakna dalam hidup dimana dapat memberikan kepuasan, dan kekayaan batin terhadap kehidupan.

Alur atau Plot

Merupakan jalan cerita atau rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.

  • Macam-macam alur
  1. Alur maju yaitu peristiwa-peristiwa yang diutarakan dari awal sampai akhir atau masa kini menuju masa yang akan datang.
  2. Alur mundur (Flash Back) yaitu peistiwa-peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu, setelah itu baru kemudian menceritakan peristiwa-peristiwa pokok melalui kenangan / masa lalu salah satu tokoh.
  3. Alur gabungan ( Campuran ) yaitu peristiwa – peristiwa pokok diutarakan. Dalam pengutaraan peristiwa – peristiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa – peristiwa yang lampau , kemudian mengenang peristiwa pokok ( dialami oleh tokoh utama ) lagi.

Perwatakan / penokohan, adalah bagaimana pengarang melukiskan watak tokoh.

Pelaku / tokoh dalam cerita

  1. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama dalam cerita dan selalu hadir / muncul pada setiap satuan kejadian.
  2. Pelaku pembantu, adalah pelaku yang berfungsi membantu pelaku utama dalam cerita. Bisa bertindak sebagai pahlawan mungkin juga sebagai penentang pelaku utama.
  3. Pelaku protagonist adalah pelaku yang memegang watak tertentu yang membawa ide kebenaran ( jujur, setia, baik hati, dll)
  4. Pelaku antagonis adalah pelaku yang berfungsi menentang pelaku protagonist ( penipu, pembohong, dll )
  5. Pelaku tritagonis adalah pelaku yang dalam cerita sering dimunculkan sebagai tokoh ketiga yang biasa disebut dengan tokoh penengah.

Latar / setting, yaitu sesuatu / keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita.

Macam – macam latar :

  1. Latar tempat, yaitu latar dimana pelaku berada atau cerita terjadi ( di sekolah, di kota, di rungan, dll )
  2. Latar waktu, yaitu kapan cerita itu terjadi ( pagi, siang, malam, kemarin, besok, dll)
  3. Latar suasana, yaitu dalam keadaan dimana cerita terjadi ( sedih, gembira, dingin, damai, sepi, dll)

Sudut pandang pengarang

Sudut pandang adalah posisi / kedudukan pengarang dalam membawakan cerita.

Sudut pandang dibedakan atas :

  1. Sudut pandang orang kesatu, yaitu pengarang berfungsi sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam cerita , terutama sebagai pelaku utama. Pelaku utamanya ( aku, saya, kata ganti orang pertama jamak : kami, kita)
  2. Sudut pandang orang ketiga, yaitu pengarang berada di luar cerita, ia menuturkan tokoh – tokoh di luar, tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya ( ia, dia, mereka, kata ganti orang ketiga jamak, nama – nama lain ).

 

 

SIMPULAN

  1. sastra merupakan sebuah ajaran dan juga cabang kesenian yang menggunakan bahasa sebagai medium atau sarananya, sedangkan kesusastraan merupakan kumpulan karya sastra atau hal-hal yang berkrnaan dengan sastra.
  2. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam seperti :
  1. Tema
  2. Amanat
  3. Alur atau Plot
  4. Penokohan atau Perwatakan
  5. Latar atau Setting
  6. Sudut Pandang

 

PUSTAKAAN

Emzir, Prof. Dr. 2015, Teori dan Pengajaran Sastra, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada

Esten, Mursal.  2013, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, Bandung, CV Angkasa.

https://www.google.co.id/amp/s/jelajahduniabahasa.wordpress.com/2011/04/13/unsur-intrinsik-dan-ekstrinsik-karya-sastra/amp/

CAKEPUNG

Rabu, Mei 2nd, 2018

Merupakan tari pergaulan rakyat yang terdiri dari 10-20 orang laki-laki. Penari cakepung duduk melingkar sambil bernyanyi, membaca lontar tembang, menirukan bunyi instrument dan kemudian berteriak menyatakan kegembiraan. Cakepung hanya terdapat didaerah Karangasem diantaranya di Desa Sidemen, Bugbug dan Kota Amlapura.

Cakepung mempunyai persamaan dengan cak yang ada didaerah Badung dan Gianyar. Persamaan terlihat dari koor atau tembang-tembang yang dinyanyikan dan motif-motif ritme yang dipakai dalam pementasan cakepung yang hampir sama dengan motif dan ritme cak. Perbedaannya terletak pada penggunaan instrument rebab dan suling sebagai pembawa melodi dalam cakepung, sedangkan cak melodinya dibawakan oleh penari itu sendiri.

Mengenai bentuk tari dalam cakepung lebih banyak merupakan improvisasi, gaya bebas perseorangan yang sangat sukar untuk menentukan pembendaharaan gerak tarinya. Namun, sering pula ikut penari-penari topeng dan gambuh yang kemudian memasukan gerak tari topeng dan gambuh dalam tari cakepung. Hal yang terpenting dari gerak tari cakepung ini adalah penggunaan ekspresi kegembiraan, sedih dan rasa pengabdian kepada para leluhurnya. Cakepung dipertunjukan untuk upakara-upakara yang berhubungan dengan musim panen, dipertunjukan pada malam hari dimana para penarinya sudah berisap-siap dari rumahnya masing-masing dengan membawa makanan seperti kacang, tuak, arak, lawar dan makanan lainya. Busananya sangat sederhana dengan menggunakan pakaian adat Bali antara lain lelancingan, baju kemeja dan destar (ikat kepala).

Ada seorang tokoh cakepung yang sangat pandai yaitu Ida Bagus Kompyang, dari Sidemen. Beliau adalah ahli tari gambuh, sehingga sekeha cakepung yang berada dibawah asuhannya mendapat pengaruh dari tari gambuh dan meningkatkan mutu dari tari cakepung khususnya dalam gerak tarinya. Didalam koornya penari cakepung bernyanyi dengan menyuarakan “cak pung, cak pung, cak pung, cak pung” sehingga tari itu disebut cakepung.

 

PUSTAKAAN :

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.