HISTORIS PERTUNJUKAN BARONG SEBAGAI SENI PERTUNJUKAN SAKRAL DAN PARIWISATA

Rabu, Mei 2nd, 2018

Masyarakat Bali mempercayai adanya sosok mahkuk mitologi yang sering disebut dengan istilah Barong. Istilah Barong sudah cukup tua usianya, seperti yang disebutkan dalam kamus Jawa Kuna-Indonesia, bahwa kata Barwan berarti beruang, dan kata barwan, baron sudah disebutakan pula dalam beberapa karya sastra seperti Sumanasantaka (159.3), Sutasoma (95.6), dan Arjunawijaya (10.14). Dalam Kidung Sunda (2.139) dan Ranggalawe (11.203) ditemukan kata binarwan dan binaron yang berarti tampak galak. (Swasthi Wijdjaja Bandem, 2014 : 6). Dilihat dari wujudnya, barong memang tampak dasyat dan menakutkan. Itulah salah satu sebab mengapa Barong digunakan sebagai pelindung untuk menjauhkan pengaruh kekuatan jahat dari masyarakat penyungsung-nya.

Di Jawa, khususnya di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ditemukan pertunjukan yang berkaitan dengan kepercayaan akan binatang totem yang memiliki kekuatan untuk melindungi. Pertunjukan itu disebut Barongan. Barongan dengan Barong yang ada di Bali memiliki kesamaan latar belakang, yaitu sama-sama binatang totem yang di percaya dapat melindungi masyarakat. Hanya saja di Bali ada figur yang bukan binatang totem, akan tetapi dikaitkan dengan kata barong seperti barong landung yaitu sepasang boneka raksasa berupa manusia tinggi besar yang merupakan benda sungsungan yang di sakralkan. Begitu pula halnya denga barong brutuk, yang ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki, yang masing-masing penariya menggunakan topeng sederhana yang bentuknya mirip topeng-topeng primitif. Kostumnya terbuat dari kraras (daun pisang kering) yang didatangkan khusus dari Desa Pingan, Bayung dan Blandingan di daerah Trunyan. Mengacu kepada keterangan di atas, maka sebutan barong untuk figur yang bukan binatang totem, kemungkinan dikaitkan dengan figur yang disakralkan, penampilannya dilakukan dengan cara digerak-gerakan oleh orang yang berada didalamnya atau diekspresikan oleh orang yang memakai topengnya.

Menurut Jane Belo, bahwa gagasan keberadaan barong yang sampai menjangkau tiga negara yaitu Cina, Jepang dan Indonesia (Bali), kemungkinan karena dilanda pengaruh paham Budha. Topeng yang dimainkan oleh 2 orang ini fungsinya sebagai pertunjukan untuk melindungi dan mengusir kekuatan jahat yang mengganggu masyarakatnya, adalah ciri-ciri yang ditemukan di Cina maupun di Jepang. Jadi kemungkinan sekali pertunjukan topeng berkeliling ini datangnya bersamaan dengan paham Budha yang kemudian menyebar ke berbagai tempat. Barong ket adalah adaptasi barong sae tiongkok. (Swasthi Wijdjaja Bandem, 2014 : 12). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa topeng barong yang di warisi di Bali merupakan transformasi dari barong sae yang ditarikan oleh dua orang penari, namun bentuknya telah disesuaikan dengan budaya Bali. Pengaruh yang datang tidak diambil seperti aslinya, tetapi diolah, dan disesuaikan dengan apa yang sudah menjadi miliknya, dan menghasilkan bentuk barong ket seperti yang diwariskan sekarang.

Keterangan ataupun kepercayaan mengenai penciptaan topeng barong, juga memiliki mitos tersendiri pada masyarakat lokal yang terlibat. Menurut informasi, bahwasanya bentuk punggalan barong yang diwarisi sekarang, diciptakan oleh Cokorda Api. Kisah ini terjadi ketika beliau diminta oleh penyungsung pura Dalem Srongga untuk membuatkan benda sungsungan yang berwujud Banaspati Raja. Untuk mewujudkan keinginan masyarakat Srongga, maka dengan kesaktianya, Cokorda Api ngarad (menarik) roh kayu yang disebut Banaspati Raja dari pohon kepuh yang ada diluar Pura Dalem Srongga. Cokorda api mampu melihat rupanya, dan segera menggambarkan rupa Banaspati Raja itu dengan goresan kakinya di atas tanah. Sesudah itu dibuatlah topeng barong ket berdasarkan visualisasi dari goresan Cokorda Api. Sejak saat itu barong ket hasil daya cipta Cokorda Api itu, menjadi betara sungsungan Pura Dalem Serongga dan menjadi model untuk bentuk barong ket kemudian.

Di Bali Barong dianggap sebagai pelindung bagi masyarakat, yang mana ia mempunyai kekuatan ilmu putih (white majic). (Bandem, 1983 : 30). Maka dari itu hampir sebagian besar Desa yang ada dibali memilliki sesuhunan berupa barong yang kerap diberi sesajen, diarak keliling desa atau dipertunjukan pada setiap hari-hari suci di Bali dengan tujan untuk menangkal pengaruh-pengaruh jahat yang akan menyebabkan malapetaka. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertunjukan barong merupakan pertunjukan yang disakralkan oleh masyarakat Bali. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh pariwisata, fungsi barong pun beralih, bukan hanya sebagai pertunjukan sakral namun juga sebagai pertunjukan pariwisata. Dengan derasnya arus wisatawan yang datang ke Bali, maka pertunjukan Barong menjadi salah satu hiburan yang paling diminati oleh wisatawan dan dianggap sebagai pertunjukan hiburan. Hal terdebut dijadikan peluang oleh para seniman-seniman pertunjukan di Bali untuk memgembangkan seni pertujukan Bali terutama pertunjukan Barong serta menjadikan seni pertunjukan sebagai media untuk berbisnis dengan menjual tiket kepada para wisatawan untuk bisa menyaksikan pertunjukan tersebut sehingga, berkembanglah pertunjukan barong ini menjadi pertunjukan pariwisata dibeberapa daerah di Bali yaitu : Desa Batubulan Gianyar, Desa Singapadu Gianyar, Denpasar, Badung dan daerah lainnya. Dengan berkembangnya pertunjukan barong ini menunjukan bahwa pertunjukan ini sangat diterima sebagai pertunjukan wisata bahkan telah menjadi salah satu ikon Bali dimata dunia kepariwisataan.

PUSTAKAAN

Suasthi Widjaja Bandem, N.L.N, 2014, Barong Kunti Sraya Ikon Seni Pertunjukan Bali Kontemporer, Denpasar, BP STIKOM BALI.

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.

Comments are closed.