DRAMA TARI GAMBUH

Kamis, Mei 3rd, 2018

Bentuk drama tari tertua di Bali yang muncul pada abad ke XIV-XV. Sebagai bahasa Nusantara, kata “gambuh” terdapat hampir disetiap kepulauan di Indonesia seperti Jawa, Bali, Sunda, Sulawesi, Lombok, Madura dimana disetiap daerahnya memiliki arti yang berbeda seperti :

 

 

Jawa    ;  sejenis kidung (vocal ) dan juga nama seekor binatang bebalang.

Sunda  :  sebuah hiasan kepala yang disebut “tekes” yang dipakai saat pertunjukkan topeng Sunda yang menggunakan lakon Panji.

Bali     :  sebuah cerita drama tari yang menamai kalok Panji (malat). Yang beretika pada zaman kerajaan.

 

Dalam tari pegambuhan mempergunakkan gerakkan alam seperti gerakan binatang yaitu ngeraja singa, gelatik nuut papah, buta nawa sari, kidang rebut muring, dan lain sebagainya.

Kepercayaan masyarakat terhadap animisme dan totenisme menyebabkan tarian mereka memiliki nilai magis. Contohnya tari Sang Hyang (tari kerauhan) yang diiringi cak. Pada zaman feudal abad VIII-XX, kebudayaan Bali dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa dan berkembang dengan sangat lamban dimulai dari abad ke VIII. Adapun bukti-bukti peninggalan purba yang dijumpai di Tirtha Empul ( Tampaksiring ) tertanda 962M. setelah itu terjadi perkawinan anatara Raja Udayana dengan Mahendradata di Jawa Timur yang melahirkan putra bernama Airlangga yang menjadi Raja Jawa Timur. Semenjak itu hubungan Jawa dan Bali menjadi erat dan lebih dipererat lagi oleh Patih Gajah Mada ( abad XIV ) sewaktu menaklukan Bali bersama Majapahit.

Demikian perkembangan sementara tentang munculnya tari gambuh di Bali. Kendati masih ada unsur-unsur yang menyebutkan bahwa Gambuh sudah berada di daerah Bali pada pemerintahan Raja Udayana.

Drama tari Gambuh mengambil lakon cerita Panji yang mengisahkan kehidupan, peperangan dari raja atau kaum bangsawan di Jenggala, Kediri, Gegelang, yang juga disebut Matahari dan Bulan. Di Bali cerita Panji dikenal dengan nama Malat dengan Panji Inu Kertapati sebagai lakon utama. Gambuh dalam cerita Panji, mendapat pengaruh Pra-Hindu yang terjadi pada abad ke XIV di jawa Timur. Damar Wulan sebagai kesatrya ( pahlawan ) menyamar sebagai seorang pelayan dan berhasil memenangkan sayembara yang diadakan oleh Ratu Kencanawungu dari Majapahit. Dimana Damarwulan berhasil membunuh Manak Jingga dari Blangbangan dan dia mendapatkan hadiah sebagai suami Ratu Kencana Wungu.

 

Gambuh dipertunjukkan pada upacara Odalan seperti Panca Wali Krama Ekadasa Ludra, Karya Pedanan, Galungan dan Kuningan. Tari ini juga dipentaskan di kraton-keraton pada upacara perkawinan, palebon, dan upacara lainnya yang tercakup dalam upacara Panca Yadnya. Pertunjukkan ini berlangsung dari satu hingga 6 jam terus menerus sampai beberapa hari. Pementasan dilakukan pada siang hari kecuali pada akhir-akhir ini gambuh dipentaskan malam hari sebagai hiburan para wisatawan.

 

Pelaku-pelaku

Gambuh dianggap sebagai dramatari yang terutama di Bali, masih mempergunakan title dan nama-nama kaum bangsawan dari kerajaan Jawa Timur pada abad XIV. Yang dimana nama-nama tersebut masih terdapat pada relief candi Jawa Timur. Adapun nama namanya adalah Demang Sampigontak, Tumenggung, Macan Mengelur, Patih Rangga Toh Jiwa, Arya Kebun Anggun-Anggun, Ken Bayan, Ken Sangit, Ken Prabangsa, Kebo Tanmundur, dan sebagainya. Salah satu batu tertulis dijumpai oleh Dr. Stuterhein berangka tahun 1335, menunjukkan dimana Panji bersama empat panakawannya, Punta, Jerudeh, Prasanta dan Kartala sedang duduk ditengah hutan yang sangat lebat. Bukti lain ditemukan oleh Dr. Cohen Stuart, yaitu sebuah relief yang mengurai tentang pertemuan Panji dengan Martalangu, mereka duduk berpacaran diikuti oleh panakawannya.

 

Pada awal mulanya tari ini ditarikan oleh penari laki-laki dikarenakan para wanita pada masa itu dilarang menari dengan beranggapan mengurangi kehormatan mereka sebagai wanita teristimewa bagi kaum raja. Penari dan penabuh gambuh merupakan orang-orang desa, yang hidup sebagai petani, pemahat, pelukis, pedagang dan lainnya. Mereka juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang filosofi, sejarah, literature, folklore dan mitologi. Mereka harus pasih berbahasa kawi ( jawa kuno ) yang selalu dipakai dalam dialog tari Gambuh kecuali panakawan yang boleh berbahasa bali sebagai penerjemah kepada penonton.

 

 

Pertunjukkan gambuh yang lengkap mempergunakan 25 – 40 penari laki-laki dan wanita. Di desa pedungan dan bunutan, dijumpai lebih dari 100 buah gelungan (hiasan kepal). Pada umumnya Gambuh memakai tokoh-tokoh sebagai berikut :

Satu orang     :  Condong (seorang pelayan wanita )

Empat orang  :  Kakan-kakan ( wanita yang ikut dengan condong mengiringi putri )

Satu orang     :  Putri ( raja muda putri )

Delapan orang :  Kade-kadean (keluarga Raja, utusan dan tentara yang disebut Arya arya)

Dua orang     :  Demang dan Temenggung ( bupati atau penguasa satu daerah didalam kerajaan)

Satu orang     :  Panji ( raja muda )

Patih Tua (pengiring/penasehat panji yang disebut Rangga)

Satu orang     :  Prabangsa ( keluarga raja )

Empat orang  :  Potet ( balatentara dari Prabangsa )

Satu orang     :  Prabu Keras ( raja keras )

Empat orang  :  Penasar  (pelayan laki-laki raja disebut semar, togog, jurudeh, dan punta)

 

Busana.

Busana adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam dramatari Gambuh. Busana juga memeberi akibat penting terhadap gerak tertentu , misalnya :

Nyambir     :     gerakkan pada waktu penari memainkan saputnya (kain)

Nambdab Gelung     :     penari meneraba gelungnya atau mahkotanya dengan satu atau dua tangannya.

Pakaian dramatari gambuh dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok putra dan putri. Adapun busana yang termasuk busana laki-laki, yaitu :

saput (kain yang dipulas dengan prada atau cat emas), kancut (kain putih panjang yang diikat dibadan dibawah lutut), jaler (celana panjang), bapang, baju (jiket), setagen (ikat pinggang yang panjang), keris, setewel (penutup betis), gelang kana (perhiasan lengan dan pergelangan tangan), angkep bullet (penutup bullet), awiran (dua helai kain sebagai penghias keris), tutup pala ( penutup bahu), sabuk kancing (ikat pinggang) dan gelungan (hiasan kepala yang bermacam jenisnya).

Adapun busana yang tergolong busana putri, yaitu :

Kamben prada (kain yang dipakai pada bagian bawah penuh), setagen (ikat pinggang yang panjang), sabuk prada (ikat pinggang yang panjang dipakai setelah setagen), lamak (apron penutup bagain muka dari penari dan digantung pada dada), ampok-ampok (hiasan pinggang), gelang kana (hiasan lengan dan pergelangan tangan), subeng (hiasan telinga) dan gelung (hiasan kepala yang bermacam-macam).

 

Iringan

Music yang mengiringi dramatari gambuh disebut Gamelan gambuh. Jenis-jenis gending gamelan gambuh terdengar pada gamelan lainnya seperti : gamelan Semarpegulingan, gamelan Palegongan, gamelan Bebarongan, gamelan Penyalonarangan, dan lain sebagainya. Gendingan gambuh dimainkan secara terus-menerus dan setiap tarian memiliki gending yang sesuai dengan tokoh masing-masing. Ditengah penabuh duduk seorang juru Tandak ( penyanyi pria tunggal yang fungsinya menggrisbawahi dramatari dalam pegambuhan ). Bahasa yang dipakai oleh juru tandak adalah bahasa Kawi dan kadang-kadang diterjemahkan kedalam bahasa Bali agar dimengerti penonton. Di Bali Utara tandak ini dipetik dari cerita Malat, sedangkan di Bali Selatan teksnya sangat bebas dan tidak jarang diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana. Seringkali juga juru tandak itu berfungsi sebagai creator terhadap gamelan dan penari jika ada sesuatu yang salah dengan mudah dibetulkan melalui tandakannya (nyanyiannya). Instrumen gamelan Gambuh terdiri dari :

4 buah suling besar ( identik dengan suling Gambuh )

2 buah rebab

2 buah kendang krumpungan

1 buah klenang

1 buah kempul

1 buah kajar

1 pasang rincik

2 tungguh kenyir

2 pasang gumanak

1 gentorang

 

Mengenai lagu yang dimainkan dalam drama tari Gambuh dapat digolongkan menjadi dua yaitu gending alus ( untuk mengiringi tokoh manis ), dan gending keras ( mengiringi tokoh keras atau gagah ).

 

PUSTAKAAN :

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.

Comments are closed.