TARI CAK

Rabu, Mei 2nd, 2018

Tari cak merupakan salah satu dari tarian rakyat Bali yang merupakan peninggalan kebudayaan Pra Hindu. Pada mulanya Cak merupakan bagian dari Tari Shang Hyang (tari kerawuhan), tugasnya sebagai koor yang menyanyikan lagu-lagu pemujaan untuk mengundang turunya para leluhur (Bhatara-Bhatari) dalam pertunjukan Shang Hyang, dilakukan oleh 100-150 orang penari. Penari Cak, menyanyi dengan menyuarakan suara “ecak, ecak, ecak” yang dibawakan dengan jalinan ritmis maka dari itu, koor tersebut disebut Cak. Penyebutan nama ini disebut dengan istilah “onomatope” atau memberi nama jenis kesenian atau benda-benda lainya berdasarkan peniruan bunyinya contoh : guwak (gagak), meong (kucing), toke (tokek). Ada pandangan menarik yang perlu disimak untuk menjelaskan makna dari kata cak ini. Kata cak diambil dari bunyi cecak, binatang kecil yang suka merayap didinding atau tembok. Masyarakat bali pada umumya percaya bahwa bunyi cecak, terutama yang terdengar di tempat-tempat suci atau terdengar dari dua arah suci yaitu timur dan utara adalah pertanda baik. Dalam kehidupan sehari-hari hingga kini masih banyak masyarakat desa di Bali yang tiba-tiba menghentikan percakapan mereka jika tiba-tiba terdengar bunyi cecak sambil mengatakan “yang suci” sebagai tanda mensyukuri akan datangnya pertanda baik itu. Karena pada awalnya cak merupakan bagian dari pertunjukan tari Sanghyang, dilakukan di tempat-tempat suci seperti pura, bisa jadi bunyi cak disuarakan untuk memohon anugrah dari dewa-dewa yng berstana di tempat suci tersebut. (Dibia, 2017 : 3).  Pertunjukan Shang Hyang dan Cak berfungsi sebagai penolak wabah penyakit. Dipentaskan setiap sasih keenen (bulan ke enam pada kelender Bali), waktu pementasan ditentukan oleh seorang sadeg (orang yang sudah disakralkan).

Kini Cak telah memisahkan diri dari fungsi semula dan menjadi pertunjukan tersendiri dengan mengambil lakon dari Cerita Ramayana. Cak diduga terjadi di Desa Badulu, Gianyar (1935). Pionir yang mendorong seniman di Bedulu untuk melakukan hal ini adalah derasnya arus wisatawan yang datang ke Bali dan Cak menjadi salah satu hiburan yang paling disukai (menurut Beryl De Zoete dan Walter Sepies, dua orang penulis buku “Dance And Drama In Bali”). Hal tersebut menjadikan eksistensi Cak menjadi meningkat (popular). Sehingga, berkembanglah Cak dibeberapa tempat diantaranya :

  1. Desa Bona (1937)
  2. Kemenuh (1938)
  3. Blega
  4. Singapadu
  5. Batubulan Sumerta
  6. Dan daerah lainnya di Bali

Cak merupakan tarian yang sangat sederhana mulai dari teknik, kostum, perlengkapan maupun gerak tarinya. Penarinya terdiri dari ratusan orang laki-laki yang memakai selembar kain (kamben) yang diikatkan di pinggang, tanpa busana pada bagian atas dan memakai 3 titik putih (urna) di kedua pelipis dan kening. Tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana menggunakan pakaian tradisional Bali. Dewasa ini kostum dari tokoh-tokoh tersebut sudah mulai dikembangkan dengan memakai gelungan, gelang kana, parba, dll, seperti pakaian wayang yang disesuaikan dengan karakter tokoh-tokohnya. Cak dipentaskan pada sebuah kalangan dimana penarinya duduk melingkar berlapis-lapis dari 5-7 lapis. Alat peneranganya adalah lampu sembe.

Pembendaharaan gerak yang digunakan adalah peniruan gerak-gerak seperti gerak api, angin, pohon nyiur melambai, tepukan tangan, gelombang air laut, meloncat-loncat atau gerak binatang dan sebagainya. Tiap gerak diiringi dengan desis atau sorak yang menggaris bawahi gerakan tersebut. Sedangkan tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana, gerak tarinya disesuaikan dengan gerak tari wayang wong dan ada pembendaharaan gerak seperti agem, muring, tandang, tangkep, seledet, cicangan, dan lain sebagainya.

Cak memiliki jenis-jenis ritme yang dipakai dalam pementasanya dimana masing-masing jenis ritme itu memiliki fungsi yang berbeda. Jenis-jenis ritme itu dikelompokan sebagai berikut :

  1. Tabuh Cak Telu (Tiga)
  1. Cak telu dasar (polos)
  2. Cak telu penyangsih
  3. Cak telu pengilit.
  1. Tabuh Cak Lima
  1. Cak lima dasar (polos)
  2. Cak lima penyangsih
  3. Cak lima pengilit
  1. Tabuh Cak Nem (Enan) atau Cak Penyangsot
  2. Tabuh Cak Pitu (Tujuh) atau Cak Ocel
  3. Tabuh Cak Besik (Satu) atau Cak Pengerempen
  4. Tabuh Cak Ngandang (Gandul). Dilakukan oleh penari tokoh tertentu seperti Rawana dan Meganada.

Semua jenis-jenis ritme itu diikat oleh sebuah melodi yang diadopsi dari lagu-lagu pagongan, dengan bentuk ostinato (matranya terdiri dari 8 ketukan dalam setiap pengulangan). Disamping motif motif ritme diatas, Cak juga mempergunakan tembang (Chanting) seperti wirama (dipetik dari kekawin Ramayana), lagu-lagu rakyat (gending-gending Shang Hyang), dll.

Cak menggunakan Bahasa Kawi dan bahasa Bali dalam pementasanya yang digunakan oleh para tokoh seperti Rama, Rahwana, Meganada, Laksamana dan lain-lain sedangkan bahasa Bali digunakan oleh tokoh panakawan. Bahasa Bali juga berfungsi  sebagai penerjemah bahasa Kawi yang diucapkan oleh para tokoh lainya.

Dalam perkembanganya, timbul Cak versi baru gubahan dari Bapak Sardono Winanto, Kusuma, di Teges Kanginan dan Bapak I Wayan Dibia S.ST, di ASTI Denpasar. Dasar dari kreasi kedua tokoh tersebut bukan melihat tari Cak sebagai barang statis tetapi bergerak dalam satu ruangan dengan tempo dan ritme tertentu. Dalam Cak versi baru gubahan Bapak I Wayan Dibia S.ST, lebih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya  dan gerakannya lebih aktif yang dibuat dengan berbagai design seperti, design lantai maupun design atas. Cak ini mengambil cerita Kuntir yang merupakan bagian dari cerita Ramayana.

 

 

PUSTAKAAN :

Bandem, I Made, 1983, Ensiklopedi Tari Bali, Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar Bali.

Dibia, I Wayan, 2017, Kecak Dari Ritual Ke Teatrikal, Yigyakarta, Penerbit Kepel Press.

 

 

Comments are closed.