Seni Tari Legong Raja Cina

Tari legong Raja Cina ini diciptakan di Puri Taman Saba oleh dan di rekontruksi ulang pada tahaun 2012 oleh. Tari Legong Raja Cina ini mengisahkan tentang raja bali yaitu Sri Jaya Pangus dengan putri cina Kang Cing Wie sehingga menjadi akulturasi budaya di bali. Perkawinan Raja Jaya Pangus dan putri Kang Cing Wie tidak di karuniai keturunan sehingga Jaya Pangus memutuskan untuk pergi bertapa di Gunung Batur. Diceritakan Kang Cing Wie bertahun-tahun menunggu kedatang suaminya, akhirnya dia pun pergi ke Gunung Batur untuk menemui suaminya. Sampai di gunung batur betapa terkejutnya Kang Cing Wie melihat suaminya telah menikah dengan Dewi Danu dan memiliki seorang anak yang bernama Maya Denawa. Seketika itu datanglah Dewi Danu melihat Jaya Pangus dan Kang Cing Wie yang sedang bermesraan sehingga itu Dewi Danu pun marah lalau membakar mereka berdua dengan kesaktian mata ketiganya, pada saat yang sama datang masyarakat Balingkang Jaya Pangus dan Kang Cing Wie dihidupkan kembali. Dewi Danu memberikan anugerah pada mereka berdua agar selalu hidup di hati masyarakat Bali melalui perwujudan Barong Landung. Kesenian tari bagi masyarakat Bali memang tidak bisa dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong, Janger, Baris, Kecak, adalah tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930 . Adapun pertunjukan Tari Tradisional Bali terutama di daerah Saba diadakan berbagai macam tarian Bali dari berbagai sanggar tari, biasanya tarian yang populer dikalangan para wisatawan antara lain yaitu tari Legong raja cina tari Kecak, tari Barong, dan lain-lain. Tari Legong raja cina yang menjadi salah satu tarian favorit yang ditonton oleh para wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan Mancanegara merupakan tarian yang dikembangkan dikeraton atau istana-istana di Bali. Tari Legong raja cina ditarikan oleh sekelompok gadis dan tari Legong raja cina sendiri mempunyai banyak ragam atau macamnya.

SEJARAH TABUH TELU GESURI

Tabuh Telu Gesuri di ciptakan oleh (alm) I Wayan Beratha tahun 1964. Gesuri singkatan dari Genta Suara Revolusi, Karya seni tabuh yang terinspirasi dari semangat pahlawan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan RI.Sejarah terciptanya Tabuh Telu Gesuri.Almarhum I Wayan Beratha lahir dari lingkungan seniman di Banjar Belaluan, Denpasar pada tahun 1924. Kesenimanannya diturunkan oleh kakeknya I Ketut Keneng yang memiliki keahlian di bidang sastra. Sang Ayah I Made Regog dan ibu Ni Made Rerod telah membimbing I Wayan Beratha dengan sentuhan seni gamelan. Ayahnya, I Made Regog, adalah salah seorang tokoh seniman tabuh yang mengembangkan Gong Kebyar di Bali Selatan. Tabuh Kebyar Ding Sempati karya I Made Regog yang telah direkam dalam piringan hitam Odeon dan Beka pada tahun 1928 menjadi tonggak perkembangan tabuh-tabuh kreasi pagongan di bali.
Sebagai tokoh seni tabuh di Banjar Belaluan I Wayan Beratha menekuni gamelan sejak usia delapan tahun. Melihat bakat seni anaknya I Made Regog kemudian mengantarkan I Wayan Beratha untuk berguru kepada Ida Boda, Nyoman Kaler, dan I Made Gerebag. Sejalan dengan usianya yang menginjak dewasa I Wayan Beratha tidak hanya terampil memainkan gamelan Gong Kebyar, Bakat seni yang telah ditanamkan oleh orang tuanya terasah semakin matang dalam menciptakan seni tabuh dan tari-tarian.Pada tahun 1964, I Wayan Beratha melawat ke negri Paman Sam, dalam rangka New York Fair. Kehadirannya saat itu sebagai pemimpin teknis pada seksi Bali, Guna memperkenalkan Revolusi Indonesia di Luar Negri, Pada saat itulah iya berkesempatan menyajikan eksperimen gambelan Bali lewat Tabuh Telu Gesuri yang berarti Genta Suara Revolusi.(Bentuk dan Struktur gending dalam Pengawit Tabuh Telu Gesuri.)Pengawit di dalam sebuah struktur komposisi lagu lelambatan pagongan menjadi bagian yang paling awal dimana pada bagian ini terdapat sebuah kalimat lagu/melodi yang menandakan mulainya sebuah komposisi. Melodi yang di sajikan berupa rangkaian nada-nada yang dimainkan dengan mempergunakan komposisi gamelan awal yang diakhiri dengan gong.Tabuh Telu Gesuri pada bagian pengawit ini terdapat bagian yang dinamakan gineman.Pada tabuh telu Gesuri ini ada 3 bentuk gineman yaitu gineman gangsa, gineman riong dan gineman terompong. Gineman gangsa yaitu motif permainan gangsa serta didukung oleh beberapa instrumen dalam gamelan gong kebyar yang dimainkan secara bersama-sama dengan berbagai variasi teknik gegebug sehingga menghasilkan jalinan jalinan melodi yang dinamis. Biasanya di dalam gineman gangse terdapat pengrangrang terompong yang merupakan variasi teknik gegebug terompong yang dimainkan secara solo/tunggal. Dalam penyajian tabuh Telu Gesuri, untuk mengawali sebuah komposisi selalu diisi dengan gineman terompong. Dimainkannya pengrangrang ini memiliki arti yang sangat penting yang biasanya dipergunakan sebagai kode persiapan kepada para penabuh akan dimainkannya sebuah komposisi.

SEJARAH TRADISI MEKOTEK DI DESA MUNGGU

Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron
Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”.Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut.Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut

BALEGANJUR GENI ANGLAYANG

Beleganjur Geni anglayang ini digarap oleh Komang Winantra, beliau merupakan mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar semester 8 saat ini beliau berasal dari desa Batuan kecamatan Sukawati Gianyar. Beleganjur Geni Anglayang ini menceritakan tentang perjuangan penduduk asli Gianyar untuk merebut desa kliki dari tangan puri mengwi. Terinspirasi dari cerita tersebut penggarap membangun sebuah garapan tabuh beleganjur dengan merangkai jalinan melodi yang harmonis, dinamika yang penuh fariasi serta permainan tempo dan aksen yang dikuatkan dengan keterampilan memainkan alat music diatonic. Keutuhan penampilan juga didukung dengan kreatifitas gerak yang lincah dan penuh makna, Baleganjur Geni Anglayang ini menggambarkan seaamngat, harapan dan cita-cita yang tinggi dalam kehidupan, namun tiupan angin kehidupan akan memberikan dinamika dalam perjalanan untuk mencapainya oleh karna itu dibutuhkan kekuatan untuk selalu berpikir, berkata dan berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban untuk mencapai sebuah keberhasilan. Baleganjur Geni Anglayang juga tidak lepas dari konsep komposisi karawitan yaitu Tri Angga yang terdiri dari Pengawak, Pengawit serta pengecet.

SEJARAH TARI MARGA PATI

Tari marga pati adalah tari tunggal yang ditarikan oleh pria dan bisa dibawakan oleh perempuan .Tari marga pati perasal dari kata Mraga yang berti binantang dan pati berarti raja,tarian ini melukiskan gerak – gerik seekor raja hutan yang sedang berkelana ditengah hutan untuk memburu mangsanya .Tarian ini termasuk tari kekbyaran yang di ciptakan oleh I Nyoman Kaler pada tahun 1942. Ada pun struktur dari tari marga pati yaitu berupa kawitan, Pepeson ini dimulai dengan permainan instrumen ugal sebagai pengawit pepeson dan diikuti oleh instrumen jegog, dimana bagian ini memainkan melodi yang dihiasi ritme dari instrumen riong, kendang dan ceng – ceng ricik. Instrumen gangsa dan kantilan mengikuti permainan melodi yang menggunakan motif pukulan gegejer, setelah itu motif pukulan gangsa dan kantilan berubah menjadi motif pukulan netdet. Pengawak dimana bagian motifpukulan gangsa dan kantil norot pelan serta ritme dari instrumen riong dan kendang menghiasi dibagian pengawak, dan tempo mulai sedikit naik dan beralih ke bagian pengecet, dimana dibagian pengecet ini tempo lebih cepat dari bagian pengawak. Dibagian ini dihiasi dengan pola-pola oncang-oncang atau ngoncang dari instrumen gangsa dan instrumen kantil serta pola-pola ritme instrumen riong dan kendang . Tempo mulai cepat seperti bagian pepeson ,dimana dibagian ini masih pengecet,dan tempo sedikit demi sedikit mulai pelan dan dilanjutkan dengan pola-pola ritme dari instrumen riong dan kendang yang diikuti permain melodi dan permainan pola-pola gangsa netdet dan ngucek atau kebelet,dan setelah itu tempo mulai naik atau cepet hingga akhirnya pada bagian pekaad. Pada bagian pekaad pola-pola pukuln gangsa dan kantil memainkan motif pukulan gegejer dan instrumen riong menggunakan motif pukulan norot. Berakhirlah menjadi tari margaa pati .