kekawin

Tahun              : 1988

Penerbit          : Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah tingkat I Bali

Halaman         : 130 halaman

Buku yang sampul depannya bergambarkan sosok tokoh Arjuna membawa panah, memuat kisah perjalanan Arjuna dalam usahanya untuk mendapatkan senjata ampuh guna membantu saudaranya Yudistira untuk menaklukkan musuhnya serta memakmurkan Dunia. Disamping itu juga berisi filsafat ke-Tuhanan yang sangat tinggi dan tak ternilai harganya. Ceritra tersebut digubah dalam bentuk Kakawin/Wirama.

Kakawin Arjuna Wiwaha dengan terjemahannya dalam bahasa Bali Aksara Bali ini merupakan sajian kedua dalam usaha terjemahan dan penerbitan kakawin yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah tingkat I Bali.

Sesuai dengan kata pengantar dari buku ini, bahwa naskahnya diambil dari sebuah lontar, tetapi disana-sini diadakan  perbaikan agar Guru Laghunya tepat kalau dibaca dengan Wirama. Dalam terjemahannya juga dibandingkan dengan terjemahan yang dilaksanakan oleh Dr. R.NG. Poerbatjaraka dan Sanusi Pane serta  kamus Jawa Kuno yang ada.

Kakawin Arjunawiwāha adalah kekawinpertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.

Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Maheru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakwaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini. Oleh para pakar ditengarai bahwa kakawin Arjunawiwaha berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga Mahabrata.

Dalam buku ini terdapat 36 Pupuh dengan wirama yang berbeda, tetapi yang sangat menarik bagi penulis adalah Wirama Kilayu Manedeng, Pupuh ke-23. Dalam pupuh ini disebutkan beberapa alat-alat musik atau Karawitan, yaitu tepatnya pada bait kedua. Berikut salinan Wirama Kilayu Manedeng bait kedua dan terjemahannya terdiri dari empat baris.

Wirama Kilayu Manedeng

“Siddaresi guna pada sumungsunging, gagana gurnita majaya-jaya”

“Lumrang sura kusuma lawan udan, ksanikatan pejalada tumiba”

“Akweh wihaganira, sarira,kampasuba manggalani lakunira”

“Wuntung buwana tekapikang mredangga, kal beri murawa kumisik”

Terjemahannya :

Baris pertama        : Dewa resine sami memendak ring ambarane, umung nguncarang weda astuti.

Artinya : Para Dewa dan Resi menyambut Dewa Siwa sebagai Dewa tertinggi sambil mengucapkan mantra-mantra pemujaan.

Baris kedua           : Sambeh sekar watek dewatane maduluran sabeh, ajahan tanpa gulem mawastu tedun.

Artinya : Para Dewa menaburkan bunga yang berupa rintikan hujan, walaupun tanpa adanya mendung tetapi hujan tersebut bias turun.

Baris ketiga           : Katah cin ida, anggane makedutan, becik wiakti cirin pemargin idane.

Artinya : Banyak Tanda turunya Dewa Siwa, salah satunya seluruh tubuh bergetar, memang itulah tanda terbagus.

Baris keempat       : Empeng jagate olih suaran kendang, bende, gong beri, reyong mebyayuhan.

Artinya : Jagat raya dipenuhi dengan gemuruh suara kendang, bende, gong beri dan riyong.

Dalam Wirama ini disebutkan beberapa instrument Karawitan, seprti Meredangga ( kendang ), Kala ( bende ), beri ( gong Beri ), Murawa ( reyong ). Instrumen-instrumen tersebut dibunyikan sebagai pertanda turunya Dewa Siwa. Demikian pentingnya fungsi instrument tersebut, sesuai dengan yang di ungkapkan dalam wirama ini.

Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca, tidak hanya bagi penggemar karya sastra, akan tetapi bagi semua kalangan, karena dalam kakawin ini terkandung tentang fisafat hidup, pendidikan pekerti, pengetahuan serta berbagai ajaran kebenaran yang bersumber Dharma dari Agama Hindu. Selain itu bagi jurusan karawitan, buku ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sebuah literature karena didalamnya disebutkan beberapa instrument-instrumen karawitan dan fungsinya.

 

resensi buku filsafat seni

Apakah seni itu? Ini merupakan pertanyaan filosofis jika kita mencoba menjawab pertanyaan itu secara hakiki, mendasar, dan radikal. Buku ini merupakan usaha memahami secara mendasar gejala yang disebut seni itu. Dan gejala seni adalah gejala tentang nilai. Apakah nilai seni itu ada pada benda seni itu sendiri? Atau justru berasal dari para penanggap seni? Lalu, adakah hubungan antara nilai seni pada benda dan nilai masyarakat di tempat benda seni tersebut diciptakan?

Lalu, bagaimana pula hubungan antara nilai masyarakat dan seniman serta penanggap seni? Semua pertanyaan tadi menghasilkan sebuah persoalan yang telah dicoba dijawab oleh para filsuf seni di dunia ini. Persoalan itu menyangkut kreatifitas, pengalaman seni, ekspresi seni, jarak estetik, struktur dan bentuk seni, material dan medium seni, interpretasi seni, seni rakyat, seni massa, seni elit budaya, dan sejumlah persoalan lainnya lagi. Semua jawaban filsafat seni yang amat beragam itu memaksa kita untuk menentukan pilihan sendiri.

Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang seni sakral pada pembaca. Namun juga memberitahukan filsafat seni, pengertian seni, jenis-jenis seni. Buku ini patut diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si pembaca yang mengakui bahwa buku ini, bisa memeberikan penegetahuan pada masyarakat awam mengenai apa itu seni?, mulai dari pendahuluan, seni itu apa, seni sebagai ekspresi, dll.

Di dalam buku ini tidak hanya membicarakan filsafat tentang seni, namun juga berisi tentang ilmu-ilmu seni. Ilmu seni harus dibedakan dengan seni. Seni itu soal penghayatan, sedangkan ilmu adalah soal pemahaman. Seni untuk dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami. Apa sajakah ilmu seni itu? Seperti berbagai obyek lain dalam lingkungan hidup manusia, seni juga dapat menjadi obyek ilmu. Seni juga dapat ditinjau dari segi estetikanya, yang berarti menjadi objek ilmu sekaligus filsafat. Seni juga dapat dianalisis berdasarkan bentuk formalnya. Selain itu seni dapat pula menjadi objek sejarah.

Buku ini pada bagian akhirnya juga dilengkapi dengan kesimpulan tentang isi buku dari awal sampai akhir dirangkum menjadi dua halaman. Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, dri isian buku yang menarik, kurang adanya gambar-gambar untuk membuat sipembaca lebih senang membacanya, kemasan sampulnya terlalu polos.

Buku ini dapat dibaca oleh semua orang, karena buku adalah sumber ilmu, terutama seniman. Karena dalam buku ini membahas tentang Seni secara kesulurah. Yang bisa menambah ilmu atau pengetahuan bagi seniman. Dengan memahami ilmu-ilmu seni secara benar, maka akan diketahui pula beberapa jumlah jenis-jenis seni dalam setiap cabang seni.

Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan tentang apa itu seni, seni sebagai ekspresi, seni sebagai benda, seni sebagai nilai, seni sebagai pengalaman, publik seni, dll, di dalam buku “FILSAFAT SENI”.

Gamelan Gong Kebyar Banjar Luglug

Sebelum penulis menguraikan mengenai sejarah Gamelan Gong Kebyar yang ada di Br.Luglug, Lembeng, Ketewel, penulis akan sedikit mengulas kemunculan Gamelan Gong Kebyar. Gamelan – gamelan Bali khususnya tentang Gong Kebyar sudah banyak ada yang menelitinya, baik oleh para penulis dalam negeri ataupun  penulis asing. Namu masalah asal mula Gamelan Gong Kebyar belum dapat terungkap secara jelas dan lengkap. Untuk mengungkap dan menguraikan asal mula Gamelan ini memang merupakan tugas yang tidak begitu mudah. Penulis menyadari begitu sulitnya menelusuri asal mula daripada gamelan ini, yang mana disebabkan sangat sedikitnya terdapat data – data mengenai asal mula gamelan ini, terutama data – data tertulis yang dapat dijadikan pegangan menelusuri asal mula gamelan ini lebih lanjut. Data – data yang berhasil dikumpulkan hanyalah besifat informasi.

Gamelan Gong Kebyar yan apabila dilihat berdasarkan skema semua dari pada semua jenis gamelan Bali yang ada di Bali dimana di dalam skema itu terdapat gamelan golongan tua, golongan madya dan golongan baru/muda. Nampak secara jelas bahwa Gamelan Gong Kebyar adalah tergolong gamelan Bali yang sangat muda usianya, temasuk kelompok gamelan Bali baru. Disini sedikit lebih tua dari gamelan jejangeran jejogedan dan lain sebagainya yang sama – sama tergolong kolompok gamelan Bali Baru.

Asal Mula Gamelan Gong Kebyar di Br. Luglug, Lembeng, Ketewel

Untuk mengungkap sejarah asal mula suatu kesenian seperti seni gong kebyar di Banjar Luglug, Lembeng, Ketewel, sungguh tidak mudah. Kesulitan-kesulitan yang menyebabkannya adalah kurangnya data-data mengenai gamelan tersebut dan hampir tidak ada data-data tertulis yang memuat tentang gamelan gong kebyar tersebut.

Namun demikian dari beberapa informasi yang penulis hubungi, telah berhasil penulis kumpulkan sejumlah informasi baik dari anggota sekaa maupun informan-informan luar yang mampu memberikan keterangan mengenai data-data tentang asal mula dari gamelan gong kebyar ini.

Misalnya : I Made Jegog yang menjadi anggota sekaa gong di Banjar Luglug(wawancara pada tanggal 25 April 2013 di rumahnya banjar Luglug, Lembeng) menerangkan bahwa gamelan gong kebyar yang ada di Banjar Luglug sekarang sudah berumur 43 Tahun. Karena Gamelan Gong Kebyar tersebut memang ada sejak dulu dan bentuk bilahannya yang dalam istilah balinya disebut metundu klipes, gong kebyar di banjar Luglug ini sudah ada sejak tahun 1970, gong kebyar yang ada di Banjar Luglug ini dulunya merupakan gamelan gong kebyar yang pertama ada di Desa Lembeng, yang dahulu Banjar Luglug ini mempunyai pasewitran (persaudaraan) dengan Banjar Biaung. Terbentuknya sekaa gong untuk gamelan gong kebyar ini karena ketertarikan animisme masyarakat untuk mengenal dan memahami gamelan yang termasuk dalam gamelan golongan baru ini, kemudian sekaa ini diberi namak sekaa gong sekar sandat dan kelian gong pertama pada waktu itu I ketut ning, pelawah gong tersebut pada waktu itu masih polos belum diukir maupun di prada dan diprakarsai oleh Imade Jambot, pada tahun 2005 karena sudah banyaknya ada gamelan gong kebyar yang diukir, sekaa gong yang kebanyakan mayoritasnya menjadi tukang ukir, berminat mengukir gamelan tersebut. Gamelan tersebut di ukir, di cat, dan di prada oleh seluruh anggota sekaa, dan dimodali oleh kas simpanan banjar, yang bertujuan agar menarik minat para remaja untuk mengembangkan jiwa seninya terutama pada bidang seni karawitan,dan akhirnya sekaa gong tersebut benar-benar menjaga gong tersebut di bawah naungan kelihan banjar dan kelihan sekaa sampai sekarang. Pada tahun 2010 sekaa mempunyai simpanan uang, gamelan gong kebyar yang ada di banjar di tambahkan dua buah penyacah.

Demikianlah secara singkat dapat diungkapkan tentang sejarah gamelan gong kebyar di Desa Petang.

Fungsi Dalam Upacara Agama

Kesenian Bali seni karawitan (gamelan) seni tari dan seni vocal (tembang) kesemuanya tidak bisa lepas dari upacara keagamaan (Agama Hindu) dalam uraian buku seni sacral dalam hubungannya dengan agama hindu di jelaskan sebagai berikut :

Seni Wali (Socred), relijius yaitu seni yang dilakukan di Pura-Pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara keagamaan sebagai pelaksana upacara dan upakara agama.

Bentuk Alat

Gamelan gong kebyar merupakan seperangkat gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi upacara keagamaan khususnya agama Hindu dan mengiringi tari-tarian. Instrumen-instrumen gamelan gong kebyar di Banjar Luglug terdiri dari sebuah terompong, satu buah riong, dua buah ugal, empat buah ganse, empat buah kantil, dua buah jegog, dua buah jublag, dua buah kendang, satu buah ceng-ceng, satu buah kajar, satu buah kempli, dua buah gong, satu buah kempur, satu buah klemong, dua buah penyacah, dan satu buah bende.

Profil I Ketut Suanda

I Ketut Suanda (Cedil)

I Ketut Suanda, seorang seniman tari dan karawitan yang juga pelawak Bali (Cedil), adalah pimpinan dari Sanggar Gamelan Cendana. Ia berasal dari Br. Batur, Desa Batubulan, Gianyar. Sudah sejak masa anak anak Suanda menekuni dunia seni. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan desanya, Batubulan, sebuah desa yang masyarakatnya sangat aktif berkecimpung di dunia seni.

Sejak umur lima tahun Suanda sudah menunjukkan bakatnya dalam berkesenian. Meskipun masih anak-anak, tapi ia dikenal sebagai bocah kecil yang mampu memainkan bagian-bagian tabuh Sendratari dan Ramayana dengan baik, hingga membuat banyak orang keheranan. Selain itu dalam masa anak-anak ini Suanda juga pernah terlibat sebagai penari Sendratari dan memerankan tokoh rakyat. Dari masa-masa inilah Suanda telah menemukan kesenangannya yang ia geluti sampai sekarang.

Masa remaja adalah masa-masa yang juga sangat memberikan pengalaman berarti bagi Suanda. Setelah tamat SMP, ia melanjutkan sekolahnya ke SMKI (sekarang SMK Negeri 3 Sukawati), selain belajar di sebuah sekolah formal, disini ia juga bisa lebih mengekspresikan dirinya dalam berkesenian, baik dibidang tari, karawitan, atau kesenian lainnya bersama para seniman pelajar di sekolah ini.

Dimata teman-temannya I Ketut Suanda adalah sosok seniman yang serba bisa. Selain tari dan karawitan Bali ia juga aktif terlibat dalam aktifitas band, tarian Breakdance, dan Pantomim. Setelah tamat dari SMKI, ia pun melanjutkan sekolahnya ke ASTI (kini ISI), dengan jurusan Karawitan.

Semangat dan ketekunannya belajar tari membuahkan hasil. Di usianya yang relatif muda Suanda beberapa kali pernah meraih Juara dalam berbagai perlombaan tari dan festival budaya. Diantaranya peraih Juara 2 Lomba Tari Jauk Manis pada PKB Tahun 1990, dianugrahi penghargaan oleh Gubernur Bali. Dan pada tahun yang sama Peraih Juara 1 Festival Kesenian Rakyat Tingkat Nasional, yang ketika itu menampilkan tari Baris Gede Batur, di Istana Negara, Jakarta.

Pada masa kuliah, meskipun Suanda memiliih jurusan karawitan, namun kegiatan menari tetap ia tekuni. Beberapa kali ia tampil memperkuat Duta Gong Kebyar Kabupaten Gianyar dalam Pesta Kesenian Bali baik sebagai penari maupun penabuh. Selain itu Suanda juga beberapa kali pernah tampil di tingkat internasional. Pada tahun 1994, 1996, bersama tim STSI Suanda melakukan lawatan kesenian ke Eropa, dan di tahun 1997 ke Jepang, serta di tahun yang sama bersama Pemerintah Daerah Gianyar ke India.

Meskipun Suanda aktif di bidang karawitan dan tari, namun tahun-tahun belakangan ini ia lebih dikenal publik Bali dengan sosok pelawak Cedil, dengan penampilannya yang has dan suaranya yang unik. Cedil, sosok yang sangat fenomenal. Suanda tampil pertama kali ke publik dengan sosok Cedil pada tahun 1998 dalam suatu pementasan drama gong HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia), di Jagapati, Badung.

Di tahun-tahun berikutnya, kegiatan berkesenian Suanda disibukkan dengan sosok Cedil ini. Ia tampil di berbagai pentas lawak dan ikut mewarnai dunia lawak Bali. Sosok Cedil juga tampil sampai ke mancanegara, dan dalam beberapa kesempatan ia juga tampil bersama dengan para seniman Bali lainnya. Tahun 2005 ke Perancis menampilkan kesenian Calonarang. Dan pada tahun 2009 diundang oleh komunitas seniman dari Jepang. Disini ia tampil sebagai komedian Bali dan memberikan workshop berkesenian di hadapan para akademisi, seniman, dan tokoh seni. Ketika melakukan lawatan ini para tokoh seni Jepang mengapresiasi Cedil dan menempatkannya di titik pertemuan tradisi dan modern, yang berarti ia mampu mencitrakan tradisi Bali nya yang masih melekat dalam dirinya, disisi lain Cedil juga bertempramen global.

Filsafat Gamelan Semar Pegulingan

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang.

Secara  arafiah kata filsafat beraal dari kata’ filos” dan ‘ sofos” artinya merenung, memikirkan dan mencari, kemudian “sofos” artinya kebenaran sehinga filsafat sring di artikan sebagai usaha mencari dan menemukan suatu kebenaran. Ketika manusia hidupnya masih sederhana dan bersahaja yang artinya ngat terikat oleh alam maka keinginan manusia untuk menemuka siatu kebenaran sangat di ikat oleh mitos-mitos alam, sehingga filsafat di rumuskan sebagai usaha spekulatif. Stelah manusia mampu meggunakan intelektualnya  maka usaha manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran sangatditentukan oleh  kegiatan intlektualnya.

Filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengandung mencari dan mendapatkan keterangan yang sedalam-dalamnya mengenai realitas dan menggunakan akal budi. Oleh karena itu filsafa ilmu pengetahuan sering di kaitkan dengan filsafat akal budi.

Sedangkan Seni di rumuskan sebagai hasil keterampilan, technik, kejuruan yang didorong oeh kreatifitas dan konstruksi, pada tataa  snisebagai techne, hamper setiap gerak dan sikap manusia yang di ekspresikan  secara teratur dan tesusun di sebut dengan seni, termasuk seniberpidato, seni politik, seniberdeklamasi dan lein-lain.

Dalam seni karawitan, filsafat juga menjadi bagian-bagian dari seni karawaitan Bali, yang begitu kental dengan sejarah-sejarah atau mitos-mitos dari kemunculan barungan-barungan gambelan yang ada di Bali.

 

2 Rumusan Masalah

2.1  Filsafat gambelan Bali………?

2.2  Filsafat dalam gambelan semar pegulingan….?

3 Tujuan.

3.1 Untuk mengetahui filsafat  Gambelan Bali.

3.2 Untuk mengetahui filsafat pada gambelan semar pegulingan.

4 Manfaat.

Adapun manfaat yang di proleh dari penulisan karya tulis ini adalah menambahnya pemaham pnulis tentang filsafat-filsafat yang terkandung dalam seni karawitan Bali.

 

PEMBAHASAN

1 Filsafat Gambelan Bali

Gambelan Bali merupakan warisan budaya dari nenek moyang pada zaman dahulu, yang berupa seprangkat alat bunyi-bunyian yang di mainkan pada waktu-waktu tertentu, dapat di lihat yang demikian banyaknya barungan dan jenis dari gambelan Bali yang beraneka ragam, begitu pula dengan sejarah kemunculan masing-masing dari gambelan tersebut sangat beraneka ragam, dan kebanyakan berupa mitos-mitos alam, dan sampai sekarang mitos tersebut masih kental dalam anggapan masyarakat, dan menjadikan  gambelan sebagai media persembahan yang disakralkan.

Uraian mengenai filsafat dalam gambelan Bali , Di mulai dengan terciptanya bunyi, suara, nada, dan ritme oleh sang hyang tri wisesa, di mana nada- nada itu di wujudkan dengan simbul,” panganggening aksara” seperti bisah, taleng, dan cecek. Gambelan sebagai musical instrument atau sebagai musik tak dapat dipisahkan dari konsep keseimbangan hidup manusia dengan sesamanya,

Orang Bali , dimana pun ia berada dan apapun yang ia kerjakan,konsep keseimbangan hidup ini ajan menjadi dasar perbuatannya. Sesuai dengan dasar filsafat yang tercantum dalam lontar Prakempa.

Menurut falsafah Prekempe bahwa bunyi mempunyai kaitan yang erat dengan dengan konsepsi lima dimensi yang di namakan panca maha butaha( pertiwi, akasa ,bayu, teja apah) bunyi dan warnanya  masing-masing meyebar ke bumi, dan membentuk sebuah lingkaran yang di sebut dengan   pengider buana.

Pencipta dari bunyi it barnama bagawan Wiswakarma da ciptaan beliau mengambil dari ide dari bunyi 8 pejuru dunia yang sumbernya berada pada dasar bumi, suara itudi bentuk menjadi sepuluh(10) nada yaitu 5 nada yang disebut dengan laras pelog dan 5 nada yang di sebut dengan laras selendro, nada-nada itu berkaitan denga panca tirta dan paca geni, dua sumber keeimbangan hidup manusia.

Laras pelog mempunyai hubungan dengan panca tirta dan laras selendro berkaitan dengan panca geni, panca tita merupakan manimfestasi dari sang hyang samara, dan panca gen merupakan  manimfestasi dari bethari Ratih, dari sepuluh nada yang dijiwai oleh bathara samara dan bathari ratih sebagai dewa percintaan bersumber pada tujuh nada yang urutannya sebagai berikut: ding, dong deng, ndung, dung, dang, nding, ketujuh nada di atas merupan sumber dari bunyi gambelan yang ada di bali dan menurut Prekempa bunyi itu di sebut dengan gente pinara pitu( bunyi berjarak tujuh) ( alenia:7:10).

Disamping itu tercipta pelog 5 nada, selendro 5nada dan pelog tujuh nada, Prakempe juga menyebut tiga nada yang berkaitan dengan tri aksara( ang, ung, mang) dan selendro 4nada yang berkaitan dengan catur loka pala( indara, yama, kwera, baruna) .

2 Filsafat Pada Gambelan Semarapegulingan.

Semar pegulingan adalah merupakan gambelan yang berlaraskan pelog 7 nada, dimana kemunculan gambelan samar pegulingan ini merupakan gambelan golongan madya, semar pegulingan merupakan transformasi dari pegambuhan, dalam ajaran catur muni-muni, yang artinya: catur artinya empat, muni-muni artinya bunyi-bunyian, ada empat bunyi-bunyian yaitu :

1 . Smar pegulingan, artinya Dewa Asmara tidur, gendingnya pegambuhan untuk mengiringai barong singa .

2  Semar patangian, artinya Dewa asmara bangun, gendingnya pasesendonan untuk mengikuti tarian legong.

3  Smar palinggihan, artinya Dewa asmara duduk , gendingnya pagagudenan untuk mengikuti tarian jogged yang di pingit .

4  Smar padirian, artinya Dewa asmara berdiri, gendingnya pakakinongan untuk mengiringi barong keket.

Ada pun bunyi- bunyian itu , yakni:

1 Smar pegulingan di tiru dari indra loka.

2 Smar petangian di tiru dari yama loka,

3 Semar pelinggihan di tiru dari  kwera loka.

4 Smar pandirian ditiru dari baruna loka.

Bunyi-bunyian yang empat macam inilah yang di pakai dalam istana raja, sebab kalau di dunia raja itulah sama dengan Dewa caten-loka-phala (Indra, Yama, Kwera, Baruna.) ke utamaan beliau adalah di alam gaib.

Ada pun deretan titi laras empat macam bunyi-bunyian itu, sama dengan pelog tidak lain, hanya titi larasnya ada 5,6, dan 7. manakah yang di gemari.  Kalau  bertiti laras lima kedengaran:  dang, ding, dong deng, dung. Kalau bartiti laras enam, bertambah lagi satu, ada suara kedengaran miring(bero) sebagai suara yang kelima tadi, bersayu padu dengan suara dang besar. Dalam titi laras tujuh, bertambah lagi satu ada kedengeran suara miring kecil ( bero alit) sebagai tadi berpadu dengan suara dong kecil,

Inilah klompok( babanengan) bunyi-bunyian yang sesuai dengan tata kawannya: kalau semar pegulingan yaitu: kempul, kempungan, kajar,  seruling,

terompong, jublag, penyahcah, gangsa besar, gangsa menengah, gangsa kecil, gumanak , kangsi, ricik,

Jika semar petangian  ; yaitu: kempul, kemong, kajar, gupekan, rebab, suling, gender, jegogan , jublag , penyahcah, kantila, gangsa, gumanak, gente arag, kecek.

Jika samara palinggihan,yaitu: kempul, dengung, kemong, kendang lalanangan, rebab, suling, trompong, curing, jegogan , jublag, penyahcah , gangsa, gumanak, kangsi, ricik.

Jika semar pandiryan,yaitu: kempul, dengung, kemprung, kemong, kendang, kala-kala, rebab, suling, jegogan, jublag , penyahcah, kantilan gangsa , gumanak, gente arag, kocak,

Dapun dahulu sebangsa orang yang bertapa di hutan pegunungan di pertapaannya ada kelihatan bunyi-bunyian, ; gender, trompong, curing, curing itu yang berdaun kayu yang dinamai apil, gendernya memakai pelawah bambu, terompongnya memakai pelawah batok kelapa, itu ketiganya di namai bunyi-bunyian salunding.

Adapun patuan titi laras bebonangan dan gong. Sesuai juga dengan tit laras pelog, yaitu: dang, dimg, dong, deng, dung, gendingnya bebonangan dinamai “Ketug Bumi”, atau debaran bumi. Kalau suara yang dinamai: “ Ora Okaca”, angkasa lengkap. Adapun riwayat bebonangan itu, meniru dasar bumi, tatkala sebangsa buta kala berkumpul, paa saat itu di pukul bubonangan itu, gemetar perasaan dunia olehnya, itulah sebabnya bebonangan di pakai mengupacarai senjata segala perlengkapan raja danpada waktu melatih barisan senjata.

Adapun riwayatnya gong, ditiru dari atas angkasa, tatkala dewa-dewa nawa sanga  di langit dan para rsi berkumpul pada waku itu di pukul bunyi-bunyian gong itu , merasa seakan akan akan roboh angkasa olehnya, membuat kecut hati. Sebab itu suara gong di pakai bunyi-bunyian tatkala tamu dating, dan pada waktu datang orang untuk mengelu-elukan raja.

Adapun kelompok bebarungan gong bebonangan: gong, kempul, bebende, pongang, kemong , kemprung, rariong, kendang, rebab, suling , jegogan, jublag, penyahcah, gangsa, gumanak , ceng-ceng.

 

PENUTUP

Kesimpulan.

Filsafat gambelan bali di mulai dari terciptanya bunyi, suara, nada, dan ritme oleh sang hyang tri wisesa, dimana nada-nada itu di wujudkan dengan simbul penganggening aksara(bisah, taleng, cecek)

Pencipta dari bunyi adalah bagawan wiswakarma, ciptaan beliau mengambil dari 8 penjuru dunia dan di bentuk menjadi 10 nada, yaitu 5 nada pelog berhubungan dengan panca tirta, manimfestasi dari bathara samara dan 5 nada selendro berhubungan dengan panca geni manimfestasi dari bhatari ratih.

1 . Smar pegulingan, artinya Dewa Asmara tidur, gendingnya pegambuhan untuk mengiringai barong singa .( di tiru dari: Indara loka)

2  Semar patangian, artinya Dewa asmara bangun, gendingnya pasesendonan untuk mengikuti tarian legong.(di tiru dari : Yama loka)

3  Smar palinggihan, artinya Dewa asmara duduk , gendingnya pagagudenan untuk mengikuti tarian jogged yang di pingit .(di tiru dari:Kwera loka)

4  Smar padirian, artinya Dewa asmara berdiri, gendingnya pakakinongan untuk mengiringi barong keket.( di tiru dari: Baruna loka)

III. Saran-saran

Hendaknya perlu di pembahasan khusus tentas filsafat baik yang mengacu tentang karawitan, sehingga mahasiswa lebih memahami tentang filsafat itu.

 

                                               DAFTAR PUSTAKA

Ariyasa, I Nyoman,1976/1977, Perkembangan Seni Karawitan Bali, Denpasar, Proyek sasana budaya Bali.

Bandem, I Made,1986, Prakempa (Sebuah Lontar Gambelan Bali).Denpasar, STSI.

Seramasara, I G N,2004, Modul Filsafat Seni, denpasar,STSI