CONTOH RECOUNT TEXT : MY EXPERIENCE

Mari berbagi pengalaman 🙂

 

Good Morning, Om Swastyastu. Thank you very much for the chance given to me, know I’ll tell you about one of much my experience.

Any good or bad experiences have a reason that we can’t guess. I have a unique experience when first time I must choose the studies program in Senior High School. When that time, I was very confused about what I’ll become after finish my study three years later. I was though must be in language class because I love language lesson, music, and I attracted with the Balinese culture. Because a lot of information and feedback that I heard, there is the bright and the dark side about that studies program. My parents handed me the full right to choose the studies program, they just suggested me to choose what I love and where my passion. It’s made me more confused and lost my spirit for a while until I got sick

Brother provide the solutions, that I have to be a natural science (science class). He told me, the graduate of natural science have many opportunities to get into public universities. That opinion was opening my mind. Beside it, I attracted with Math, Biologic, Physic and I learned the Language too. So, I decided to be a natural science’s boy.

Well as time goes by, appears my dislike towards biology. I don’t know why that happened. I Though Biology was too much memorization. Until one day I feel be a foolish in my class about Biology. I was so disappointed after that.

Then I though in my heart, “How could this happen? What did I do wrong?” . After that, I tried to rise, forget the frustration by more seriously learning biology. I studied half to death to be able to understand biology lesson. It is a good path until now I prefer biology. Until now I choose Biology for the National Exam Test.

Ok that’s all about my experience. Thank you for your attention. OM SANTHI SANTHI SANTHI OM. Have a nice day

Comments

PIDARTA BAHASA BALI

Sebagai orang Bali, wajib hukumnya kita agar dapat berbahasa Bali yang baik dan benar, berikut adalah contoh pidato Bahasa Bali (pidarta) yang penulis karang sendiri,
semoga bermanfaat

NGELESTARIANG SENI LAN BUDAYA BALI

Kepala SMA Negeri 1 Mengwi sane dahat kesumayang titiang.
Bapak lan ibu guru SMA Negeri 1 Mengwi sane wangiang titiang.
Para sisya SMA Negeri 1 Mengwi sane tresnasihin titiang.

            Pinih ajeng, lugrayang titiang ngaturang angayubagia majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, santukan asung kertha waranugrahan Ida, titiang sareng ida dane sami mangkin prasida polih mekunyit dialas ring Aula SMA N 1 Mengwi niki. Sedereng titiang ngawitang pidarta ne mangkin, ngiring ulengan pikayun melarapan antuk pangastungkara panganjali umat “OM SWASTYASTU”

Ida dane sareng sami sane kesumayang titiang, ring galah sane becik puniki titiang jagi matur nganinin indik “Ngelestariang Seni & Budaya Bali”. Seni budaya Bali sampun makembang becat gati wireh prasida wenten sane saking alit sampun kapicayaning seni, baik seni musik tradisional Bali, seni Tari, utawi seni lukis Bali. Napi malih ring jagat sekadi mangkin, kesenian Bali punika sane jakti ngranayang Bali terkenal ring dura negara mawit kacingak ring Internet, taler sane ngranayang tamu dura negara punika melancaran ka jagat Baline. Akeh contoh sane prasida kecingak ring parindikan sekadi mangkin, minakadi tradisi budaya Baline sane kalalian, minakadi alit-alit sane nenten resep ring anggah ungguhing basa bali napi malih ring nyurat aksara bali.

Contoh ring ungkur punika prasida ngranayang budaya Bali ne sayan-sayan surup utawi ilang. Mangda nenten sekadi punika, ngiring sareng sami ngelestariang Budaya lan Seni Baline mangda tetep urip lan me-Taksu tur lestari.

Inggih Ida dane sareng sami sane wangiang titiang, dumogi napi sane kabaktayang tityng mapikenoh majeng ring ida dane sareng sami. Wantah asapunika sane antuk titiang ngaturang. Akeh tityang matur, tur akeh iwang tityang, yening sekadi punika titiang nunas geng rena sinampura ring wenten karaos titiang sane nenten manut ring manah. Sineb titiang antuk Parama Shanti “OM SANTHI SANTHI SANTHI OM”

Comments

SULING BALI & TEKNIK PERMAINANNYA

  1. KARAWITAN BALI

Musik merupakan sesuatu hal yang sudah mempengaruhi, bahkan ikut berkembang bersama, mengikuti peradaban manusia. Sehingga timbul analogi peradaban manusia bergandengan dengan musik atau musik bergandengan dengan peradaban manusia. Di Bali musik mempunyai istilah lain yaitu karawitan yang berasal dari kata rawit yang berarti halus, diawali dengan awalan ke- dan akhiran –an. Karawitan Bali digolongkan menjadi dua yakni, karawitan vokal (tembang) dan karawitan instrumen (gamelan). Karawitan berarti seni suara instrumental dan vokal yang menggunakan laras (tangga nada) pelog & slendro. Istilah pelog adalah tangga nada (laras) dalam Karawitan Bali yang jarak nadanya berjauhan (1 . 3 4 5 . 7 1 atau do . mi pa sol . si do atau 1 . 3 4 5 . 7 1), sedangkan istilah slendro adalah tangga nada (laras) dalam Karawitan Bali yang jarak nadanya berdekatan (1 2 3 . 5 6 . 1 atau do re mi . sol la . do atau 1 . 3 4 5 . 7 1).

  1. SULING KARAWITAN BALI

Suling merupakan seperangkat gamelan yang menggunakan seruling besar, menengah, dan kecil, untuk memainkan lagu-lagu kebyar, kecuali kendang, kempur dan ceng-ceng. Muncul di Mengwi pada tahun 1952 dikenal dengan nama gamelan Gong Suling. (Bandem, 285: 2013) Gamelan Gong Suling, instrumentasi dari gamelan ini meniru instrumentasi dari gamelan Gong Kebyar dengan nama instrumen pokoknya dibuat dari suling bambu. Instrumen-instrumen itu meliputi 1 (satu) buah suling ugal, 4 (empat) buah suling pemade, 4 (empat) buah suling kantil, 2 (dua) buah suling calung, 2 (dua) buah suling jegogan, 2 (dua) buah kendang palegongan, 1 (satu) buah kajar, 1 (satu) buah rincik, 1 (satu) buah klentong, dan 1 (satu) buah gong pulu. Ansambel (barungan) berlaras pelog yang suaranya agak melodis ini digunakan juga untuk mengiringi tari-tari kebyar dan Legong Keraton. (Bandem, 40: 2013) Gong Suling diperkirakan lahir sesudah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1952 di Mengwi, Kabupaten Badung. (Bandem, 72: 2013)

Suling Bambu, merupakan alat yang dibuat dari bambu yang menggunakan enam buah lubang nada dan satu lubang pemanis untuk menimbulkan bunyi. Suling Bali menggunakan siwer dan prinsipnya adalah end blown flute. Teknik permainan suling bali dinamakan ngunjal angkihan, meniup secara terus menerus (circural breathing). Ketika suling itu ditiup, jari-jari tangan menutup lubang-lubang nada untuk menimbulkan nada tertentu dan system itu disebut tetekep. Untuk keperluan berbagai barungan, suling Bali dibuat dalam ukuran berbeda: besar, menengah, kecil. (Bandem, 130: 2013)

Dalam perkembangan zaman, pengeksplorasian kebaruan dalam mencipta lagu oleh komposer dengan memanipulasi fungsi pokok suatu instrumen pun dibutuhkan. Suling bambu yang fungsinya pembawa hiasan-hiasan lagu, memaniskan melodi, kini bermain ubit-ubitan seperti layaknya reyong atau gangsa pemade dan kantil. Munculnya gamelan Gong Suling sekitar tahun 1952 memberi fungsi yang beranekaragam untuk suling, seperti fungsi instrument suling dalam gamelan Gong Kebyar. (Bandem, 171: 2013)

  1. CARA MENGUASAI TEKNIK NGUNJAL ANGKIHAN
  • Harus mempunyai suling, baik yang berukuran sedang, menengah, maupun besar, namun sangat disarankan untuk menggunakan suling yang berukuran kecil karena tidak terlalu memerlukan volume udara yang besar untuk meniupnya
  • Memegang & menutup lobang suling dengan benar, ibu jari berada di bagian bawah suling dan 3 jari kanan dan 3 jari kiri memegang suling sekaligus menutup lubang-lubang depan suling yang akan menghasilkan nada-nada yang berbeda.
  • Meniup suling, tiupan suling ada 2 (dua), ada meniup normal (meniup dengan volume udara sedang dan ringan sehingga menghasilkan nada rendah), ada meniup “nelik” (meniup suling dengan volume udara yang lebih besar dan kuat sehingga menghasilkan nada yang tinggi).
  • Ngunjal angkihan, meniup secara terus menerus (circural breathing). Menarik udara dari hidung sejalan dengan menghembuskan sisa udara di mulut.

berikut video teknik ngunjal angkihan, cek it dot!

YouTube Preview Image

Comments

KEBUDAYAAN INDONESIA MENJELANG JAMAN MADYA

Kebudayaan Indonesia jaman purba, perkembangannya erat sekali dengan jalannya sejarah kuno Indonesia. Sifat serta kuatnya pengaruh dari luar yang meresapi kebudayaan, tidak akan mati selama masyarakat pendukungnya semula masih berlanjut. Pengaruh India terhadap Kebudayaan Indonesia sangat meluas dan mendalam, sampai bahkan menentukan arah perkembangan serta coraknya kepada Kebudayaan Indonesia jaman purba. Sejak jaman prasejarah sudah ada titik-titik persamaan antara Kebudayaan India dengan Kebudayaan Indonesia, dan juga antara kedua bangsa itu sudah ada perhubungan melalui jalur laut. Maka bertemunya kedua kebudayaan itu sudah menjadi hal yang wajar. Sementara itu di India mengalami perkembangan kebudayaan yang sangat pesat, hal itu diakibatkan karena bercampurnya bangsa Dravia dan Arya sehingga kebudayaan-kebudayaan lainnya di Asia Tenggara jauh tertinggal.

Kebudayaan Indonesia yang mempunyai corak-corak kehinduan berlangsung sekitar 15 abad. Huruf Pallawa segera diindonesiakan menjadi huruf Kawi. Sejak Prasasti Danoyo huruf Kawi ini menjadi huruf yang dipakai di Indonesia, dan menjelang akhir abad ke-8 maka bahasanya pun bukan lagi Bahasa Sansekerta sebagai Bahasa resmi, melainkan Bahasa Kawi. Dari prasasi-prasasti para raja Cailendra, nampak juga bahwa dalam hal pemerintahan dan kemasyaratan sifat-sifat Indoneisanya tetap bertahan. 

Dalam hal seni bangunan, yang tidak terpisahkan dari soal keagamaan dan alam pikiran, dan dapat dilihat juga bahwa candi dalam maknanya yaitu khusus konsepsi Indonesia, candi bukanlah kuil tempat orang memuja dewa seperti di india, akan tetapi lebih lebih tempat bertemunya rakyat dan nenek moyangnya. Dalam hal ini seni hias nampak jelas anasir-anasir indianya. Akan tetapi, dalam keseluhurannya, hiasan-hiasan itu bukanlah hiasan India, bukan pula rangkaian atau penyusunan begitu saja dari pola hiasan India, melainkan sudah berupa ragam hias Indonesia. Demikian selayang pandang kebudayaan Indonesia dalam jaman purba. Nyata bahwa di dalam babakan waktu sejarah kebudayaan ini corak serta sifatnya ini di tentukan oleh pengaruh-pengaruh india, sebaliknya nyata pula, bahwa betapa juga corak-corak kehidupan itu, kebudayaan indonesia tidak kehilangan kepribadiannya.

DOKUMENTASI FOTO

gambar 1 : jalur perdagangan India-China

gambar 2 : prasasti dinoyo/danoyo

gambar 3 : candi borobudur

KEPUSTAKAAN

  • SOEKMONO, DR.R. 1973. PENGANTAR SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA 2. Yogyakarta: Kanisius.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur
  • https://www.vebma.com/opini/Kesamaan-Negara-Indonesia-Dengan-India/2926
 

Comments

GAMELAN PALEGONGAN & BENTUK GENDING PALEGONGAN

Menurut lontar “Tutur Catur Muna-Muni”, gamelan Smar Pegulingan digunakan untuk membawakan gending Tari Barong Singa, gamelan Smar Petangian digunakan untuk membawakan gending Legong Kraton (Palegongan), Smara Palinggihan digunakan untuk membawakan gending Tari Joged Pingitan, Smara Palinggihan digunakan untuk membawakan gending Tari Barong Ket. (Bandem, 1986: 81). Hal ini membuktikan bahwa adanya fungsi gamelan Bali untuk membawakan gending tari. Dalam pembahasan kali ini, pencarian informasi menggunakan metode kualitatif dengan cara wawancara dan Hal yang akan dibahas meliputi: Gamelan Palegongan, Bentuk-bentuk Gending Palegongan, Tabuh Pisan Palegongan (Sisya), Tabuh dua Palegongan (Legong Kreasi Wargasari), Tabuh Telu Palegongan (Legong Lasem), alasan digunakannya Legong Kreasi Wargasari untuk dianalisa karena gending tarinya merupakan gending kreasi legong dan ada hal-hal menarik yang ada dalam gendingnya terutama dalam pengawak gending.  Pembuatan laporan ini bertujuan untuk menambah informasi baik bagi penulis maupun pembaca mengenai gamelan palegongan dan tabuh pisan, dua, telu palegongan.

GAMELAN PALEGONGAN SECARA UMUM

Gamelan Palegongan berasal dari dua istilah yakni Gamelan dan Palegongan. Gamelan ialah sebuah orkestra yang terbuat dari batu, kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog dan slendro. Istilah gamelan dipakai juga untuk menyebutkan musik (gending-gending) yang dihasilkan oleh permainan instrument-instrumen di atas. Palegongan berasal dari istilah Legong imbuhkan awalan pa- dan akhiran –an. Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata “leg” yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan “gong” yang identik dengan gamelan. “Legong” dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gending tarinya atau gamelannya. Palegongan merupakan sebuah konsep yang instrumennya gamelan semar petangian dan menurut lontar ”tutur catur muna-muni” instrumen yang digunakan untuk membawakan gending palegongan adalah Semara Petangian yang sekarang lumrahnya disebut gamelan palegongan.

Gamelan palegongan jika dilihat dari bangun instrumennya kemudian bentuk-bentuk gendingnya yang menunjukan ciri-ciri keaslian, maka dapat diyakinkan bahwa gamelan palegongan tidak termasuk pada kelompok gamelan golongan tua namun merupakan gamelan golongan madya. Gamelan palegongan itu baru ada setelah adanya gamelan semarpagulingan yang berlaras pelog 7 nada. Pada gamelan semarpagulingan masih banyak terlihat adanya pengaruh-pengaruh dari gamelan jawa dalam hal ini yaitu pengaruh Mojopahit, tetapi pada gamelan palegongan hal itu sudah amat tipis. Diyakinkan gamelan semarpagulingan itu diciptakan di Bali dan mungkin pertama dibuat di Puri Semarapura di Klungkung pada saat perpindahannya dari Puri Linggarsapura di Gelgel. Menurut seorang informan asal kamasan menyatakan bahwa semarpagulngan yang asli milik Raja Klungkung sudah tidak ada lagi sekarang, sedangkan gamelan semarpagulingan yang ada di Kamasan telah dibuat sekitar tahun 1920 oleh Keluarga Pande Aseman dari Tiyingan. Pada mulanya gamelan semarpagulingan hanya ada di puri-puri saja dan tidak pernah digunakan untuk mengiringi tari-tarian atau juga bisa dibilang tidak difungsionalkan sebagai tontonan umum, namun gamelan semarpagulingan hanya digunakan untuk kepentingan upacara-upacara adat/ agama saja. Berbeda dengan gamelan semarpagulingan, gamelan palegongan sifatnya sangat umum untuk masyarakat dalam artian sudah dari dahulu tersebar luas dimasyarakat dan milik rakyat dan digunakan untuk mengiringi tari-tarian legong. Seiring berjalannya waktu, sejak berkembangnya pengaruh gamelan gong kebyar di Bali yaitu pada jaman penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945 banyak sekali gamelan palegongan tersebut yang dilebur kembali untuk dijadikan gong kebyar. Adapun wujud barungan gamelan palegongan yang terdiri dari berbagai instrumen dan masing-masing fungsi yang berbeda:

  • Gender rambat, istilah gender rambat ini berasal dari gender embat. Gender ialah gamelan yang berbentuk bilah. Dan istilah embat diambil dari pukulan ngembat (sistem pukulan yang menggunakan kedua tangan dengan masing-masing tangan memegang panggul/pemukul yang memukul nada-nada mengapit 4(empat) nada didalamnya. Jadi gender rambat adalah pengembangan kata dari gender embat. Gender rambat memakai 13/ 14/ 15 bilah. fungsi gender rambat meliputi: untuk permainan bebas sebelum mulai gending (pengrangrang), mulai/ngawit gending, menjalankan melodi gending.
  • Gender barangan memiliki fungsi: mengisi rongga permainan gender rambat, membuat jalinan-jalinan.
  • Gangsa jongkok, ialah bilah-bilah yang lubang bilahnya dipatok dengan paku untuk menahan bilah diatas pelawahnya. Terdiri dari pemade dan kantilan. Fungsi gangsa jongkok untuk membuat jalinan-jalinan melodis.
  • Gangsa gantung, ialah instrumen berbilah yang bilah-bilahnya digantung dengan jangat (tali yang terbuat dari kulit sapi) pada pelawahnya. Instrumen ini biasa disebut dengan penyacah. Fungsinya adalah pembawa gending dan pukulannya melipat gandakan pukulan jublag
  • Jublag, instrumen bilah gantung yang berfungsi menjalankan patron-patron gending.
  • Jegog, instrumen bilah gantung yang berfungsi memperjelas tekanan-tekanan gending atau pukulan jatuh pada pukulan jublag yang ke-2(dua).
  • Kemong, instrumen berpencon yang digantung dan berfungsi sebagai mematok ruas-ruas gending yang biasanya dihitung pada gending bagian pengawak.
  • Kempul, instrumen pencon yang digantung yang ukurannya lebih besar dari kemong yang berfungsi sebagai gong (finalis gending)
  • Kajar, instrumen pencon yang tidak digantung namun dipukul diatas pelawahnya dengan cara satu tangan menahan instrumen, satu tangan lagi untuk memegang alat untuk memukul. Fungsinya yaitu sabagai pengatur ritme.
  • Klenang, instrumen pencon yang fungsinya mengisi rongga-rongga mat (ritme)
  • Cengceng gecek, instrumen berupa logam bundar yang berfungsi untuk mengendalikan dan membuat angsel-angsel dengan kendang.
  • Kendang, sepasang kendang kerumpungan (lanang-wadon) yang berfungsi sebagai: penguasa irama, penghubung bagian-bagian gending, membuat angsel-angsel bersama ceng-ceng, mengendalikan lampah gending.
  • Suling, instrumen bambu yang berukuran besar, menengah, dan kecil. Fungsinya sebagai; memperindah bagian gending yang lirih, menghidupkan suasana tegang pada bagian batel.
  • Rebab, Instrumen gesek yang bersumber bunyi dari dawai dan kulit. Fungsinya sama dengan suling.
  • Genta Urag, Instrumen yang terdiri dari banyak genta kecil yang disusun dalam poros melingkar. Fungsinya memperamai kempul sebagai gong (finalis).

BENTUK GENDING PALEGONGAN

Sesuai dengan masing-masing barungan gamelan di Bali yang bentuknya gendingnya mengkhusus, maka gending-gending dari setiap jenis gamelan itu mempunyai pola susunan komposisi berbeda-beda yang menimbulkan bentuk yang khas. Katakanlah gamelan yang termasuk gamelan golongan tua di Bali meliputi: gong luwang, selonding, gender wayang, gambang, semuanya mempunyai kekhasannya masing-masing mulai dari teknik permainan hingga strukur komposisi gending yang berbeda yang mana masing-masing mempunyai keasliannya. Demikian pula halnya gending-gending palegongan mempunyai bentuknya sendiri-sendiri dengan ciri-ciri keasliannya berbeda dengan gamelan yang lainnya. Ciri khas dalam palegongan yaitu penonjolan melodi gender rambat, kemudian ponojolan pukulan kendang pada bagian pengawak gending dan susunan komposisi yang memberikan peluang untuk tandak (olahan seni vokal) yang menghiasi jalan gending dengan mengkomunikasikan alur cerita.

Penyusunan gending dalam palegongan dibakukan dengan tiga unsur pokok yang wajib adanya dalam gending palegongan, yakni: pangawak, pangecet, pakaad. Setelah adanya ketiga unsur pokok tersebut, diantara bagian pokok itu terdapat gending transisi yang sifatnya fakultatif (tidak diwajibkan) karena tidak semua gending palegongan menggunakan gending transisi yang sama. Yang termasuk dalam gending transisi atau juga disebut melodi pelengkap meliputi: pengalihan/ gineman, pangawit, papeson, bapang, lelonggoran, pangipuk, batel, batel maya, pangetog, pamalpal, tangis, transisi pangawak, semi pangecet. Selain penyusunan gending palegongan, terdapat penggolongan ukuran gending atau juga disebut ukuran tabuh yang meliputi: tabuh pisan palegongan, tabuh dua palegongan, tabuh telu palegongan. Pembeda dari ukuran-ukuran gending tersebut dapat dilihat diukuran pengawak gending. Pengawak (awak atau badan), merupakan bagian utama dari sebuah gending dan melalui dari bagian pengawak ini, seseorang akan dapat mengetahui uger-uger (ukuran atau peraturan) dari sebuah gending (Bandem, 2013: 150). Berikut penjelasan tabuh pisan, dua, dan telu:

  1. a) Tabuh Pisan

Jika dilihat dari bagian pangawaknya, Gending sisya dinyatakan sebagai tabuh pisan karena mempunyai ukuran dan syarat sebagai berikut: (a) 48 matra, (b) 15 paniti (pemangku) jegogan, (c) 48 peniti jublag, (d) 96 peniti penyacah, (e) 1 kali pukulan kemong, (f) 1 kali pukulan kajar nerutuk, (g) 1 motif pupuh (kerangka pukulan) kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan nerutuk (kode) sebagai pertanda bahwa gending itu akan mencapai finalis, (h) 1 kali pukulan gong (kempul). Adapun strukur gendingnya meliputi: kawitan, penyalit, pengetog, pengawak, pengecet, pakaad.

Keterangan:

– = ketukan,                3 = ding,               4 = dong,             5 = deng,     7 = dung,     1 = dang,

^ = jegog,                            T = kemong,       (…) = gong,

Warna merah pada font = melodi gender rambat,      Warna hitam pada font = melodi penyacah

4 4 34 5
5 7 5 4 3 5 5 7 1 1 7 5^
4 5 4 3 4 3 4 5 4 3 1 1 7 1 3^
4 3 4 5 4 3 4 5 5 7 1 7 5^
5 5 5 5 5 7 5 4^
4 4 5 3 5 7 1 5^
5 7 1 5 5 4 5 3^
3 1 7 3 3 4 5 3^
4 3 4 3 4 1 3 4^
5 7 5 7 7 5 7 4^
5 4 5 4 4 5 7 4^
7 1 7 1 1 3 4 1^
3 1 3 1 1 3 1 4^
3 5 3 5 5 4 5 3^T
4 3 1 7 3 5 7 4^
5 7 7 5 7 1 5 (7^)

Penjelasan :

Penyacah Jublag Jegogan
80 40 13 Kemong (T)
16 8 2 Gong
Jumlah matra     = 12 x 4                 = 48
penyacah            = 80 + 16              = 96
jublag                    = 40 + 8                = 48
jegogan                = 13 + 2                = 15
kajar                      = 1 + 0                   = 1
kemong               = 1 + 0                   = 1
gong                      = 0 + 1                   = 1Dalam satu pukulan gong (kempul)

b) Tabuh Dua

Jika dilihat dari bagian pengawak gending, gending palegongan Wargasari digolongkan tabuh dua karena pukulan kemong dan pola kendang yang diulang dua kali dengan aturan gending seperti berikut: (a) Jumlah matra 56, (b) pukulan penyacah 78 kali, (c) pukulan Jublag 39 kali, (d) pukulan Jegogan 17 kali, (e) pukulan kajar nerutuk 2 kali, (f) pukulan kemong 2 kali, (g) pukulan gong 1 kali. Gending yang dijadikan tabuh dua disini yaitu Gending Legong Kreasi “Wargasari” karya I Wayan Merta yang menggunakan gamelan palegongan milik Banjar Taman, Sanur. Adapun kekhasan dari gending ini ialah penggunaan suling gambuh. Alasannya karena menurut I Wayan Merta jika gamelan palegongan di Banjar Taman, Sanur ini menggunakan suling ukuran kecil, maka tidak akan enak didengar (terlalu melengking) berkenaan juga dengan suara gamelan palegongan itu dapat dikategorikan sebagai suara gamelan yang lebih tinggi dari ukuran suara gamelan palegongan seperti biasanya, maka digunakan suling gambuh yang bertujuan penyeimbang suara gamelan agar tidak terlalu melengking dan adanya kesan atau suara mendayu-dayu pada saat perangrang yang dihasilkan oleh suling gambuh yang ukurannya relatif besar. muncul dari garapan tersebut. Jika dilihat dari bentuk pengawaknya sangat banyak pengelabuan-pengelabuan gending, seperti motif kendang yang di 2x lipatkan iramanya, beberapa melodi gender rambat yang sengaja dihilangkan dengan kesan penonjolan motif kendang, mengapa digarap seperti itu? Menurut Bliau, Penata Tari Ida Ayu Ratih Wagiswari meinginkan hal yang demikian.

DESKRIPSI WARGASARI

Wargasari berarti kumpulan bunga hati adalah judul dari tari Palegongan yang digarap, dengan mengangkat tema kesetian. Tari Palegongan ini merupakan pengembangan dari tari klasik yang disebut Legong. Meskipun dikatakan tari kreasi, segala pengembangannya baik pola gerak, struktur, kostum, musik iringan dan karakteristik dari tari Palegongan Wargasari ini masih berpijak pada pola-pola tari Palegongan. Karya seni tari ini berbentuk kelompok dengan menggunakan tujuh orang penari putri. Menggambarkan kesetiaan I Gusti Ketut kaler kepada I Gusti Ngurah Kepandean yang bersedia untuk menyupatnya dan bersedia menjadi pendamping dari I Gusti Ayu Bunter untuk dijadikan istri yang akan memerintah kerajaan Intaran selanjutnya.

Karya seni tari ini berdurasi 15 menit yang terdiri dari delapan bagian yaitu pengawit, menggambarkan Ida Pedanda Made Sidemen yang sedang menyurat lontar, yang akan diisi vokal oleh salah satu penari dan juga ada gabungan dari teknologi yaitu proyektor yang akan menampilkan gambaran seorang pendeta yang sedang membuat sebuah karya sastra. Pepeson, menggambarkan rakyat Wana Mimba dengan yang senang gembira karena ada Raja yang sudah memimpin di Desanya. Pengawak, menggambarkan adanya utusan datang dari Puri Pemecutan Denpasar. Pengrangrang, menggambarkan roman antara Gusti Ayu Bunter dengan Gusti Ketut Kaler yang akan ditambah vokal dari penari. Pengetog, menggambarkan kegelisahan I Gusti Ayu Bunter. Pangecet, menggambarkan pohon intaran yang cantik dan senantiasa tetap kokoh walau ditiup angin. Pasiat, menggambarkan terbunuhnya I Gusti Ngurah Kepandean oleh I Gusti Ketut Kaler terjadi peperangan kecil (pesiat) dan akhirnya Raja Kepandean mati di tangan anak dan menantunya, pakaad menggambarkan ketulusan seorang anak dan menantunya melihat I Gusti Ngurah Kepandean sudah mendapatkan Moksa.

Kostum yang akan digunakan, yaitu menggunakan baju berwarna gold, kain (kamen) berwarna hijau yang dikombinasikan dengan warna gold dan merah cabai lamak berwarna merah yang dihiasi warna gold dan hijau, ankin berwarna hijau yang dikombinasikan dengan warna merah cabai serta berisikan prada, gelungan seperti gelungan raja agak tinggi menggunakan kerucut dan pastinya bunga bancangan di sisi kanan dan kiri depan, selain itu kipas sebagai properti berwarna hijau dan merah cabai. Tata rias yang digunakan tata rias putri halus.

Gamelan yang akan dipergunakan untuk mengiringi tarian ini, yaitu Gamelan Palegongan yang gendingnya masih berpijak pada gending-gending Legong pada umumnya atau dapat dikatakan masih bernuansa klasik. Selain gamelan, tari Palegongan ini disertai dengan vokal (tandak) dari dalang dan juga vokal dari penari pada setiap bagian-bagian tertentu, seperti pengawit, pepeson, pengawak, pengrangrang, pengetog, pengecet, pesiati dan pakaad.

Adapun komposisi gendingnya meliputi: pangawit, papeson, pangawak, parangrang, pangetog, pangecet, pasiat, pakaad. Notasi pengawak gendingnya sebagai berikut:

Keterangan:

– = ketukan,                3 = ding,               4 = dong,             5 = deng,     7 = dung,     1 = dang,

^ = jegog,                    T = kemong,       (…) = gong,

Warna merah pada font = melodi gender rambat,      Warna hitam pada font = melodi penyacah

  1 3 1 4
4 34 5 4 54 3 -3 13 4 5 4 34 5^
17 5 13 4 4 54 3^
1 7 57 1 7 5 7 1 3 1 7^
5 7 5 7 5 7 7 4^
5 4 5 7 4 5 7 4^
5 4 5 4 4 5 4 3^
4 3 4 5 7 1 5^T
5 5 71 4 3 5 5 7 5 4 3 5 -5 7 17 5^
5 43 17 3 3 43 5 41 31 71 3^
4 3 4 3 4 3 4 3^
4 3 4 3 3 4 5 3^
4 3 5 7 5 7 5 1^
3 4 3 4 3 5 7 4^T
5 4 5 4 5 4 5 4^
4^
4^
1 3 4 3 4 5 (4^)

penjelasan:

Penyacah Jublag Jegogan
31 16 7 Kemong (T)
32 16 6 Kemong (T)
15 7 4 Gong (…)
Jumlah matra = 14 x 4            = 56

penyacah         = 31 + 32 + 15 = 78
jublag              = 16 + 16 + 7   = 39
jegogan           = 7 + 6 + 4        = 17
kajar                = 1 + 1 + 0        = 2
kemong           = 1 + 1 + 0        = 2
gong                = 0 + 0 + 1        = 1

a) Tabuh Telu
Jika dilihat dari bagian pangawaknya, Gending Lasem dinyatakan sebagai tabuh telu karena mempunyai ukuran dan syarat sebagai berikut: (a) 64 matra, (b) 16 paniti (pemangku) jegogan, (c) 32 peniti jublag, (d) 128 peniti penyacah, (e) 3 kali pukulan klentong, (f) 3 kali pukulan kajar nerutuk, (g) 3 motif pupuh (kerangka pukulan) kendang yang kemudian diteruskan dengan pukulan nerutuk (kode) sebagai pertanda bahwa gending itu akan mencapai finalis, (h) 1 kali pukulan gong (kempul). Adapun strukur gendingnya meliputi: kawitan, pangawak, pangecet, batel maya, gineman, pangipuk, angkat-angkatan, batel maya, gineman, guwak macok, pakaad. Berikut notasi gending bagian pengawak:
Keterangan:
– = ketukan, 3 = ding, 4 = dong, 5 = deng, 7 = dung, 1 = dang,
^ = jegog, T = kemong, (…) = gong,

3 3 1 1 3 4 3 1 3 3 4 54 3^
5 4 3 3 7 7 5 4 3 1 3 3 4 5 4 3^
3 4 4 5 7 1 7 5 74 4^
4 4 5 7 1 7 5 4 3 1 3 4 5 4 3^T
3 3 4 5 7 1 7 5 75 4^
4 4 5 7 1 7 5 4 3 1 3 1 3 4 5^
5 5 4 5 7 5 4 5 7 1 7 5^
7 4 5 7 1 7 5 4 3 4 7 7 5 4^T
4 4 3 4 4 4 5 7 5 4^
7 4 5 7 1 7 5 4 3 4 7 7 5 4^
4 4 1 3 4 5 7 1 7 5 3 7 1 3^
3 4 5 7 5 4 3 1 7 1 3 4 3 1^T
1 1 7 1 3 1 7 1 3 4 3 1^
1 1 3 1 7 5 4 5 7 1 7 5^
5 5 7 4 5 7 1 7 5 7 1 3 1 7^
3 7 1 3 1 3 1 7 1 3 1 3 4 5 4 (3^)

KESIMPULAN

Tabuh Pisan, Tabuh Dua, dan Tabuh Telu Palegongan merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggolongkan suatu gending menurut ukuran gending. Hal spesifik yang membedakan ketiga istilah tersebut dapat dilihat dan didengar pada pengulangan pupuh kendang, bunyi klentong, dalam 1 kali gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh pisan sebanyak 1 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 1 kali klentong dalam 1 gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh dua sebanyak 2 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 2 kali klentong dalam 1 gong. Pengulangan pupuh kendang pada tabuh telu sebanyak 3 kali dilanjuti kode nerutuk dengan 3 kali klentong dalam 1 gong.

 

KEPUSTAKAAN

Bandem, I Made. 2013. GAMELAN BALI di Atas Panggung Sejarah. Denpasar: STIKOM BALI

______________. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar

  1. Perkembangan LEGONG KERATON Sebagai Seni Pertunjukan. Bali: Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya

 

DAFTAR INFORMAN

Nama                    :               I Wayan Merta
TTL                         :               Denpasar, 18 April 1968Lulusan                 :               SMKI (Kokas)
Pekerjaan           :               Seniman
Alamat                  :               Br. Taman, Intaran Sanur, DenpasarPrestasi                :               1. Penabuh GKD Duta Denpasar
2. Komposer tabuh legong Wargasari  2014
Nama                    :               Ida Ayu Ratih Wagiswari
TTL                         :               Denpasar, 29 April 1982
Lulusan                 :               ISI Denpasar
Pekerjaan           :               Pegawai Dinas Kebudayaan
Alamat                  :               Br. Taman, Intaran Sanur, Denpasar
Prestasi                :               Koreografer Tari Legong Wargasari 2014

 

Comments

« Previous entries Laman Berikutnya » Laman Berikutnya »