WAYANG KULIT BALI KARYA AGUNG BUDAYA DUNIA

BERGULAT DIANTARA TRADISI DAN INOVASI

Oleh :

I Bagus Wijna Bratanatyam

2007.03.001

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

DENPASAR

2010

LEMBAR PENGESAHAN

KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA BERPRESTASI

TAHUN 2010

1. Judul                                               :  Wayang Kulit Bali Karya Agung Budaya Dunia Bergulat Diantara Tradisi dan Inovasi

2. Penulis

Nama Lengkap                        :  I Bagus Wijna Bratanatyam

NIM                                        :  200703001

Denpasar, 26 April 2010

Menyetujui

Pembantu Rektor                                            Dosen Pembimbing

Bidang Kemahasiswaan

Drs. I Made Subrata, M.Si I Kadek Widnyana, SSP.,M.Si

NIP. 1950211980031002                               NIP. 196612271992031004

i

KATA PENGANTAR

Atas Asung Wara Lugra Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, penulis memanjatkan puji syukur karena akhirnya dapat meyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Wayang Kulit Bali Karya Agung Budaya Dunia Bergulat Diantara Tradisi dan Inovasi”. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu persyaratan untuk mengikuti seleksi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tahun 2010.

Tersusunnya Karya Tulis Ilmiah ini karena atas bantuan dan dorongan moril dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini kami tak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

  1. Bapak I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn, selaku Dekan Fakultas Seni Pertunjukan
  2. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana, SSP, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan Bidang Pendidikan yang
  3. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.pd selaku Ketua Jurusan Pedalangan, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
  4. Bapak I Nyoman Sukerta, SSP, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Pedalangan
  5. Kepada Bapak I Kadek Widnyana, SSP, M.Si  selaku Pembimbing karya tulis, penulis ucapkan terima kasih karena tidak bosan-bosannya membimbing penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
  6. Kepada Bapak I Wayan Nartha dan Bapak I Nyoman Ganjreng yang bersedia sebagai informan, penulis ucapkan banyak–banyak terima kasih atas informasinya yang telah diberikan untuk tersusunya karya tulis ilmiah ini
  7. Kepada Bapak Kadek Suartaya, SSKar, M.Si penulis ucapkan terima kasih atas masukan-masukanya dalam peyusunan karya tulis ilmiah ini.
  8. Dan pihak-pihak lain yang penulis tidak dapat sebutkan namanya satu-persatu, yang telah membantu memberikan dukungan moril dan material, kami ucapkan terima kasih.

Semoga semua bantuan dan dukungan yang penulis terima diridoi Hyang Maha Kawi.

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Judul ……………………………………………………………………………………………………….      0

Lembar Pengesahan …………………………………………………………………………………..       i

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………      ii

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………….      iii

Ringkasan ………………………………………………………………………………………………..      iv

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………      1

1.1  Latar Belakang ………………………………………………………………………….      1

1.2  Rumusan Masalah ……………………………………………………………………..      3

1.3  Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………….      3

1.4  Manfaat Penulisan …………………………………………………………………….      3

BAB II TELAAH PUSTAKA ……………………………………………………………………      4

BAB III METODE PENULISAN ……………………………………………………………..      5

BAB IV ANALISIS …………………………………………………………………………………      6

4.1.1 Tradisi ngayah para dalang Sukawati ………………………………………..      6

4.1.2 Regenerasi Dalang Wayang Kulit Sukawati ……………………………….      7

4.1.3 Kreasi dan Inovasi seniman pedalangan Sukawati ………………………      9

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………………………….     13

5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………     13

5.2 Rekomendasi ……………………………………………………………………………     13

Daftar Pustaka

Daftar Informan

iii

RINGKASAN

Wayang kulit adalah salah satu seni pertunjukan Indonesia yang masih lestari dan terus dikembangkan khususnya di Jawa dan Bali. Wayang Kulit Bali selain dinikmati sebagai seni tontonan, kesenian yang menggunakan boneka-boneka pipih dua dimensi ini termasuk disakralkan. Masyarakat Bali menghormati wayang sebagai Sanghyang Ringgit yang bermakna seni pertunjukan yang bernilai tinggi anugrah Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi perubahan yang dasyat dan cepat yang terjadi di tengah masyarakat, juga tak urung menurunkan karisma pertunjukan wayang. Keberadaan Wayang Kulit Bali kini bukan hanya semakin jarang dijumpai sebagai seni tontonan namun juga kian senjang dengan psiko-relegi masyarakatnya. Kegelisahan memang kini sedang dirasakan kalangan penggiat seni pertunjukan wayang kulit Bali. Para dalang di Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, kini semakin jarang terlihat menyajikan Wayang Kulit di tengah masyarakat. Realita termarginalnya seni pentas wayang di tengah masyarakat Bali memang merisaukan para dalang (serta pemain gamelannya), kendati mereka masih tampak tabah melakoni profesinya. Dalang-dalang itu tetap tulus ngayah—pentas tanpa imbalan finansial–dalam konteks upacara keagamaan. Melihat kontribusi para seniman pedalangan Sukawati terhadap eksistensi Wayang Kulit Bali maka karya tulis ini akan difokuskan  untuk membahas, pertama, bagaimana tradisi ngayah para dalang Sukawati; kedua, bagaimana regenerasi dalang Wayang Kulit Sukawati; dan ketiga, bagaimana kreasi dan inovasi para seniman pedalangan Sukawati. Karya tulis ini sumber datanya dikumpulkan secara langsung dari lingkungan nyata dalam situasi sebagaimana adanya dimana subyek melakukan kegiatannya sehari-hari yaitu di Bali dan khususnya di Desa Sukawati yang dijadikan fokus pengamatan.

iv

Berkesenian adalah keseharian masyarakat Bali. Hidup matinya kesenian Bali berkaitan erat dengan denyut ritual agama Hindu masyarakat pulau ini. Ngayah menari, menabuh gamelan,  makidung, ngewayang dan seterusnya dalam upacara keagamaan hingga hari ini tetap lestari sebagai ekspresi psiko-relegi masyarakatnya. Kaderisasi secara no-formal seniman seni pertunjukan wayang kulit masih berdenyut di beberapa sudut Bali, salah satunya adalah di Desa Sukawati, Gianyar. Di Banjar Babakan, Sukawati, alih generasi seni pertunjukan wayang kulit Bali berlangsung secara alamiah. Kantong seni pedalangan ini telah melahirkan dalang-dalang yang dikagumi masyarakat Bali. Wayang Kulit adalah salah satu seni tradisi yang dulu amat berwibawa kini termasuk lemas lunglai diremas hegemoni sajian hiburan media elektronik modern. Apresiasi masyarakat Bali terhadap wayang sebagai seni pentas tontonan yang sarat tuntunan ini kian pupus. Akan tetapi di tengah lesunya pementasan   Wayang   Kulit  Bali tersebut, beberapa tahun belakangan ini muncul garapan wayang dengan semangat kreatif dan inovatif yang dikobarkan oleh kalangan seniman muda. Di lumbung seni  pedalangan  Bali,  Desa Sukawati,  Gianyar,  bahkan telah muncul beberapa  bentuk  kreasi wayang yang eksistensinya telah diakui oleh masyarakatnya. Wayang Kulit Bali dilestarikan para dalang Desa Sukawati melalui tradisi ngayah dalam upacara keagamaan yaitu mempertunjukan wayang secara tulus tanpa mengharapkan bayaran. Kaderisasi Wayang Kulit Bali di Desa Sukawati berlangsung secara alamiah dari generasi ke generasi. Kreasi yang dilakukan oleh para dalang Wayang Kulit Bali Desa Sukawati dipelopori oleh I Wayan Wija yang menggagas lahir Wayang Tantri dan I Ketut Klinik yang menciptakan Wayang Babad.  Sedang inovasi yang dilakukan oleh para dalang Desa Sukawati dipelopori oleh dalang-dalang muda yang sempat mengenyam pendidikan formal seni pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

SUMMARY

Wayang Kulit is one of Indonesia art performance which is still preserved and further developed, especially in Java and Bali. Wayang Kulit Bali enjoyed as an art spectacle, art using dolls compressed in two dimensions including sacred. Balinese society respecting puppets as Sanghyang Ringgit meaningful performing arts high value gift Ida Sang Hyang Widhi Wasa or God Almighty. But the intense and rapid changes occurring in society, also could not help lower the charisma of puppet performance. The existence of Wayang Kulit Bali has not only less frequently encountered as an art spectacle but also growing gap with the psycho-relegi society. Anxiety is now being felt among the activist art of Balinese Wayang Kulit performances. The mastermind in Sukawati village, Gianyar regency, are now increasingly rarely seen presents Wayang Kulit in the community. Reality termarginalnya performing arts center of the Balinese Wayang Kulits at the puppet masters are indeed troubling (and gamelan player), although they still looked steadfastly melakoni his profession. Puppeteers remain sincere ngayah-stage without financial reward – in the context of religious ceremony. Seeing the artists contributing to the existence of puppetry Wayang Sukawati Bali then this paper will focus on discussing, first, how the tradition of the puppet masters ngayah Stanger, secondly, how the regeneration of Wayang Kulit Dalang Stanger; and third, how creative and innovative puppetry artists Stanger. This paper is a source of data was collected directly from the real environment as they are in a situation where the subjects perform the daily activities of the Bali and especially in the village of  Sukawati is used as the focus of observation.

Balinese art is everyday life. Balinese artistic life and death is closely related to religious ritual of Hindu society pulse of this island. Ngayah dancing, beating the gamelan, makidung, ngewayang and so on in the religious ceremonies to this day preserved as an expression of psycho-relegi society. Is no formal succession planning-the art leather puppet performance artists are still pulsing in some corners of Bali, one of which is in the village of Sukawati, Gianyar. In Banjar Babakan, Stanger, over generations of Balinese art of Wayang Kulit performances take place naturally. Bag puppetry art has given birth puppeteers who admired the people of Bali. Wayang Kulit is one of the very old artistic tradition of authoritative today include crushed limp limp hegemony of modern electronic media entertainment. Balinese people’s appreciation of the performing arts spectacle of puppets as a full tutorial on this increasingly disappear. But amid the slowing down of the Balinese shadow play performances, in recent years concern puppet show with creative and innovative spirit kindled by the young artists. In the barn puppetry arts of Bali, Sukawati village, Gianyar, has even appeared some form of puppet creations whose existence has been recognized by the community. Balinese Wayang Kulit Dalang Village preserved the tradition ngayah Stanger through the religious ceremony that is genuinely puppet demonstration without expecting payment. Wayang Kulit Bali cadre in the village of Sukawati progress naturally from generation to generation. Creations made by the puppeters Sukawati Village I Wayan Wija spearheaded by the initiated born Puppet Tantri and I Ketut Klinik that created Wayang Babad. Innovation is being done by the puppet masters Sukawati Village spearheaded by young puppeteers who had a formal education in puppetry arts Indonesian Arts Institute (ISI) Denpasar.

v

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Wayang kulit adalah salah satu seni pertunjukan Indonesia yang masih lestari dan terus dikembangkan khususnya di Jawa dan Bali. Unesco, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah menetapkan wayang Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia Non Bendawi (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa wayang Indonesia adalah karya budaya autentik bangsa Indonesia. Piagam penghargaan Unesco untuk wayang Indonesia sebagai karya agung budaya dunia itu diserahkan pada tanggal 21 April 2004 (Sena Wangi, 2005: 16).

Seni  pertunjukan wayang  sudah dikenal pada abad ke-11 semasa kejayaan Airlangga di Jawa  Timur. Hananonton ringgit menangis asekel muda hidepan huwus wruh  tuwin yang  walulang  inukir  molah angucap hatur  ning  wang  tresneng wisaya  malaha  ta wihikana ri tatwa nyan maya  sehana-hana  ning bawa  siluman. Terjemahan bebas petikan puisi Arjunawiwaha  yang ditulis  dalam  bahasa Jawa Kuno oleh Mpu  Kanwa  ini  menuturkan bahwa  bagaimana pertunjukan  wayang kulit  mempesona  penonton sampai kehilangan keseimbangan emosinya.

Teater Wayang Kulit, oleh Boas, disebut sebagai salah  satu kebudayaan asli bangsa Indonesia, merupakan sebuah seni pentas terindah di dunia. Kesenian Wayang Kulit hanya terdiri dari boneka-boneka yang terbuat dari kulit  sapi atau kerbau. Anehnya  ia mampu membuat  orang  tertawa,  marah, benci, sedih  bahkan menangis. Bukan  hanya  itu. Wayang  juga mencurahkan  siraman  rohani, petuah dan  nasihat,  motivasi  dan semangat  hidup, kearifan dan pengetahuan.

Sebagai  sebuah seni pertunjukan, wayang terbukti  memiliki daya tahan  yang mengagumkan terhadap   terjangan   berbagai perkembangan situasi-kondisi dan dinamika zaman. Namun demikian, harus kita  sadari  bahwa  perubahan-perubahan yang dahyat dan cepat yang mengepung kita juga tak  kalah gencarnya. Sebab dengan bergesernya tata  nilai,  tentu berimbas  terhadap  letupan besar dan kecil  pada dinamika pola berfikir  masyarakat. Ini berarti persepsi, visi,  prilaku  hidup ikut  pula berkembang dan berubah. Wayang Kulit yang dulu pernah sangat karismatik sebagai seni tontonan dan  tuntunan kini semakin jarang disimak masyarakat penonton. Tokoh-tokoh ceritanya yang dulu  jadi  idola  kini mulai asing ditelinga–bukan  hanya  di kalangan  kaum  muda–namun juga pada sebagian  besar masyarakat kita, kalah  pamor dengan hero-hero video game  atau bintang-bintang televisi.

Wayang Kulit Bali selain dinikmati sebagai seni tontonan, kesenian yang menggunakan boneka-boneka pipih dua dimensi ini termasuk disakralkan. Masyarakat Bali menghormati wayang sebagai Sanghyang Ringgit yang bermakna seni pertunjukan yang bernilai tinggi anugrah Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi perubahan yang dasyat dan cepat yang terjadi di tengah masyarakat, juga tak urung menurunkan karisma  pertunjukan wayang. Masyarakat Bali tidak lagi begitu menyatu dengan pementasan Wayang Kulit. Keberadaan Wayang Kulit Bali kini bukan hanya semakin jarang dijumpai sebagai seni tontonan namun juga kian senjang dengan psiko-relegi masyarakatnya.

Kegelisahan memang kini sedang dirasakan kalangan penggiat seni pertunjukan wayang kulit Bali. Para dalang di Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, yang dikenal sebagai salah satu kantong Wayang Kulit Bali juga semakin jarang mendapat undangan pentas, baik untuk upacara agama maupun sebagai sajian seni tontonan. I Wayan Nartha (68 tahun), dalang senior Banjar Babakan, Sukawati, mengungkapkan sepinya permintaan untuk pentas telah dirasakan sejak sepuluh tahun terakhir ini (Wawancara, 24 April 2010: pukul 16-17 Wita). Para dalang setempat seperti I Wayan Wija, I Nyoman Ganjreng, I Made Juanda, I Wayan Warga, I Wayan Mahardika, I Ketut Sudiana, I Wayan Mayun, I Wayan Suwija, dan I Ketut Darsana kini semakin jarang terlihat menyajikan Wayang Kulit di tengah masyarakat.

Realita termarginalnya seni pentas wayang di tengah masyarakat Bali memang merisaukan para dalang (serta pemain gamelannya), kendati mereka masih tampak tabah melakoni profesinya. Dalang-dalang itu tetap tulus ngayah—pentas tanpa imbalan finansial–dalam konteks upacara keagamaan. Dalang sepuh  I Wayan Nartha masih tampak bersemangat membimbing orang-orang yang ingin menimba keterampilan mendalang pada dirinya. Selain mengawal kelestarian Wayang Parwa (bersumber cerita Mahabharata) dan Wayang Ramayana (bersumber darai epos Ramayana), para seniman wayang kulit di Banjar Babakan itu juga melakukan langkah-langkah kreatif dan inovatif yaitu menciptakan Wayang Kulit kreasi dan mementaskan wayang dengan memanfaatkan alat-alat multimedia modern.

Kelesuan eksistensi pementasan Wayang Kulit Bali pada umumnya dan kegairahan melestarikan dan mengembangkan seni boneka pipih dua dimensi yang mengemuka di Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, seperti telah diuraikan tadi merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati. Melihat kontribusi para seniman pedalangan Sukawati terhadap eksistensi Wayang Kulit Bali maka karya tulis ini akan difokuskan  untuk membahas, pertama, bagaimana tradisi ngayah para dalang Sukawati; kedua, bagaimana regenerasi dalang Wayang Kulit Sukawati; dan ketiga, bagaimana kreasi dan inovasi para seniman pedalangan Sukawati.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan hal diatas tiga hal yang diangkat dalam rumusan masalah adalah :

1.2.1        Bagaimana tradisi ngayah para dalang Sukawati ?

1.2.2        Bagaimana regenerasi dalang Wayang Kulit Sukawati ?

1.2.3        Bagaimana kreasi dan inovasi para seniman pedalangan Sukawati ?

1.3  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :

1.3.1        Untuk mengetahui tradisi ngayah para dalang Sukawati?

1.3.2        Untuk mengetahui regenerasi dalang Wayang Kulit Sukawati?

1.3.3        Untuk mengetahui kreasi dan inovasi para seniman pedalangan Sukawati

1.4  Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan karya ilmiah ini adalah :

1.4.1        Mengetahui tradisi ngayah para Sukawati

1.4.2        Mengetahui regenerasi dalang Wayang Kulit Sukawati

1.4.3        Mengetahui kreasi dan inovasi para seniman pedalangan Sukawati

BAB II

TELAAH PUSTAKA

Teori yang menjadi payung utama karya tulis adalah teori perubahan. Tempus mutantur, et nos mutamur in illid. Waktu berubah, dan kita (ikut) berubah juga di dalamnya. Demikian pepatah latin kuno yang mungkin masih kita temukan aktualitasnya hingga sekarang. Waktu berubah dan tata cara manusia mengekspresikan dirinya, menelusuri jejak pencarian makna tentang siapakah dirinya, orang lain dan dirinya bersama orang lain (masyarakat) juga berubah. Jika dikatakan tidak ada yang tetap di dunia ini mungkin yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Seturut dengan konteks zaman yang berubah, orang-orang dengan alam pikir dan rasa, karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan, serta budaya pun ikut berubah (Sutrisno, 2005:7).

Beberapa referensi yang relevan dengan topik yang diajukan berorientasi dari sumber pustaka seperti buku, skripsi, dan jurnal ilmiah.  Sumber buku diantaranya adalah buku Konggres Sena Wangi VII 2006 melaporkan tentang Penghargaan Unesco PBB kepada Wayang Indonesia sebagai “Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Buku berjudul  Pewayangan Bali karya Drs. I Ketut Rota memberikan pengantar umum tentang aspek estetika, etika, dan logika dalam seni pewayangan Bali. Buku karya Sal Murgiyanto berjudul Tradisi dan Inovasi yang mengupas tentang perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam seni pertunjukan Indonesia. Selain tiga buku tersebut, sebuah skripsi berjudul Kaderisasi Seniman Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali pada Keluarga Dalang I Wayan Nartha di Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, yang melaporkan tentang regenerasi para dalang di Desa Sukawati memiliki relevansi signifikan dengan topik karya tulis ini.

BAB III

METODE PENULISAN

Karya tulis ini sumber datanya dikumpulkan secara langsung dari lingkungan nyata dalam situasi sebagaimana adanya dimana subyek melakukan kegiatannya sehari-hari yaitu di Bali dan khususnya di Desa Sukawati yang dijadikan fokus pengamatan. Teknik pengumpulan datanya berangkat dari pengalaman langsung keterlibatan penulis di lapangan yang diperkuat dari sumber pustaka. Keabsahan data diperiksa dengan jalan menelusuri beberapa kali sumber data untuk memperoleh pemahaman dan keyakinan yang mantap terhadap keberadaan Wayang Kulit Bali di Desa Sukawati. Setelah seluruh data pustaka dan lapangan dianalisis, baru kemudian disusun menjadi karya tulis yang intinya menjabarkakan tentang pelestarian Wayang Kulit Bali di Desa Sukawati dalam tradisi ngayah untuk ritual keagamaan, memaparkan tentang kaderisasi Wayang Kulit Bali di Desa Sukawati, dan menyajikan tentang kreasi dan inovasi para seniman pedalangan di Desa Sukawati.

BAB IV

ANALISIS

4.1. Tradisi ngayah para dalang Sukawati

Berkesenian adalah keseharian masyarakat Bali. Hidup matinya kesenian Bali berkaitan erat dengan denyut ritual agama Hindu masyarakat pulau ini.. Ngayah—menari, menabuh gamelan,  makidung, ngewayang dan seterusnya—dalam upacara keagamaan hingga hari ini tetap lestari sebagai ekspresi psiko-relegi masyarakatnya. Di Bali, berkesenian adalah sebuah persembahan bahkan totalitas hidup itu sendiri. Budaya ngayah dalam konteks seni persembahan kiranya turut berperan menyangga eksistensi pesta seni tersebut.

Budaya ngayah selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam  gerak laku masyarakatnya. Dalam bidang kesenian  misalnya, semua orang  merasa memiliki peran. Dalam konteks ritual keagamaan, tradisi ngayah tersebut begitu eksplisit terlihat. Mereka yang tak  bisa  menari, mendalang, menabuh atau makidung, mungkin  ngayah menata atau  mengerjakan dekorasi panggung. Membantu  para penari mengenakan  kostum tarinya  pun sudah termasuk berperan. Mengangkat gamelan dan mengurus konsumsi penari dan penabuh juga termasuk ngayah.

Kesenian Bali berkaitan erat dengan agama Hindu yang dipeluk mayoritas  penduduknya.  Maka tak  salah  bila  dikatakan  bahwa eksistensi kesenian Bali banyak terkondisi oleh tradisi  ngayah. Seorang seniman seni rupa  akan  merasa  bahagia  bila sempat menyumbangkan kebolehannya dalam membuat benda-benda  keagamaan. Seorang  penari Topeng Pajegan akan merasa  puas  batinnya  bila sempat unjuk kemampuan saat prosesi upacara sedang  berlangsung. Para  seniman karawitan akan merasa berperan bila ikut memberi suasana hikmat lewat permainan gamelannya. Prof. Dr. I Made Bandem, seorang pakar seni pertunjukan Bali, menyimpulkan bahwasanya tak ada upacara agama yang selesai dan dianggap sempurna tanpa kehadiran tari-tarian, bunyi gamelan, pengkisahan dalam teater wayang, dan kumandang kidung atau kekawin. Begitu menyatunya agama dan seni sering membuat orang luar Bali kagum menyaksikan gemuruh pementasan seni di tengah religiusitas upacara agama.

Salah satu kesenian yang sering tampil dalam upacara agama Hindu adalah Wayang Lemah. Wayang Lemah pada umumnya dipentaskan siang hari, wayang ini dipentaskan tanpa kelir atau layar dan lampu belencong Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayangya pada benang tukelan (seutas benang tukelan) sepanjang sekitar satu setengah meter yang diikat pada kayu dadap di tancapkan pada batang pisang di kedua sisi dalang. Gamelan pengiringya adalah gender wayang yang berlaras selendro (lima nada). Wayang Lemah sangat dibutuhkan dalam Upacara Panca Yadnya, salah satu dari kelima yadnya yang memerlukan pementasan Wayang Lemah dalam prosesi upacaranya adalah Dewa Yadnya. Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan ke hadapan ida Sang Hyang Widhi  melalui sinar suci-Nya yang disebut dewa-dewi. Pemujaan kehadapan para dewa menyebabkan adanya upacara Dewa Yadnya.

Selain tampil dalam bentuk Wayang Lemah, beragam ritual keagamaan di tengah masyarakat Bali juga lazim menyuguhkan Wayang Kulit sebagai seni tontonan. Beberapa bentuk Wayang Kulit Bali, selain Wayang Parwa dan Wayang Ramayana juga dipentaskan bentuk-bentuk wayang lainnya seperti Wayang Tantri, Wayang Arja, Wayang Calonarang, Wayang Babad dan sebagainya. Namun Wayang Parwa yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Wayang Ramayana yang mengangkat cerita Ramayana adalah dua bentuk wayang tontonan yang sering disajikan dalam upacara keagamaan. Bila tampil dalam upacara keagamaan, para dalang di Desa Sukawati mementaskan wayang dengan tulus dalam persembahan ngayah alias pentas tanpa menerima bayaran.

4.2 Regenerasi Dalang Wayang Kulit di Desa Sukawati

Dibandingkan dengan seni tari dan karawitan, kaderisasi dalam seni pertunjukan wayang kulit Bali termasuk sangat mengkhawatirkan. Generasi muda yang berminat berkecimpung dalam bidang seni pedalangan kian langka. Padahal di tengah masyarakat Bali, kesenian ini masih cukup fungsional khususnya dalam konteks ritual keagamaan.

Pertunjukan wayang kulit adalah sebuah nilai estetik masyarakat Bali yang tak hanya  menjadi  objek tontonan  namun termasuk kesenian yang disakralkan. Namun perubahan-perubahan yang dahsyat  dan cepat di tengah atmosfir transformasi budaya ini mendistorsi posisi pertunjukan wayang di tengah pendukungnya. Masyarakat Bali tidak lagi begitu akrab dengan tontonan wayang kulit. Ironisnya, generasi muda yang berminat mempelajari seni pertunjukan ini tak begitu banyak. Ini terlihat misalnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Program Studi Pedalangan di lembaga-lembaga pendidikan formal kesenian ini hanya dimasuki segelintir peminat.

Beruntung kaderisasi secara no-formal seniman seni pertunjukan wayang kulit masih berdenyut di beberapa sudut Bali, salah satunya adalah di Desa Sukawati,  Gianyar. Di Banjar Babakan, Sukawati, alih generasi seni pertunjukan wayang kulit Bali berlangsung secara alamiah. Kantong seni pedalangan ini telah melahirkan dalang-dalang yang dikagumi masyarakat Bali. Di desa yang terkenal dengan pasar seninya ini, seni pertunjukan wayang kulit telah dikenal pada akhir abad ke-19. Alkisah seorang bangsawan, Ida Anak Agung Anom dari kerajaan Klungkung, datang ke Timbul–nama kuno desa Sukawati–diiringi oleh dua ratus orang yang terdiri dari brahmana, wesya, warga pande, pulasari, nginte, dan termasuk seniman seni pertunjukan wayang kulit.

Konon sejak itu secara berkesinambungan dari generasi ke generasi bermunculan dalang-dalang yang dikenal bukan saja oleh masyarakat Sukawati namun juga di seluruh Bali. I Wayan Tukrukan adalah dalang terkenal Sukawati yang berjaya pada tahun 1888, zaman kejayaan kerajaan Gianyar I Dewa Agung Manggis.

Anak dalang Tukrukan, I Wayan Krekek, kemudian juga menjadi dalang yang sangat dikagumi masyarakat. Begitu hebatnya pementasan wayang kulit Wayan Krekek, hingga masyarakat wong samar pun dikabarkan sering mengundangnya pentas. Seni pertunjukan wayang Sukawati kian dikenal luas sejak munculnya dalang I Nyoman Geranyam, anak dalang I Wayan Krekek. Masa kejayaan I Nyoman Geranyam berlangsung sekitar tahun 1930-1960.

Kemasyuran wayang kulit Sukawati bukan hanya disebabkan oleh nama besar I Nyoman Geranyam saja. Dalang-dalang seangkatan Geranyam yang muncul di Banjar Babakan saat itu adalah I Wayan Gayung (kakak tertua dalang Geranyam), I Made Rawa, I Wayan Cedug, I Wayan Gombloh, dan I Nyoman Lolet. Dalang-dalang ini memiliki ciri khas tersendiri. Gayung terkenal sebagai spesialis wayang Ramayana yang memiliki suara kera, ngore, yang riuh dan melengking. I Cetug dikenal sebagai dalang wayang Parwa yang menonjol dengan suara gemuruh tokoh-tokoh raksasanya. I Rawa dikenal sebagai dalang wayang Parwa yang humoristis lewat tokoh-tokoh punakawannya. Dan Geranyam sendiri dikenal sebagai dalang yang mampu mengucurkan air mata penonton saat menyajikan adegan sedih.

Pada tahun 1960-an, di Banjar Babakan muncul dalang muda belia I Ketut Madra. Dalang Madra yang ketika pentas pertama kali baru berumur sembilan tahun itu oleh masyarakat Bali dikenal dengan sebutan “Dalang Jengki” yang maknanya adalah dalang cilik—saat itu sedang trend mode celana panjang yang kakinya sempit alias kecil. Nama Desa Sukawati sebagai lumbung seni pewayangan Bali kian harum ketika pada tahun 1970, Ketut Madra keluar sebagai Juara I dalam Festival Wayang Kulit se-Bali.

Kaderisasi seniman seni pertunjukan wayang kulit di Banjar Babakan terus berlanjut. Dalang-dalang generasi tahun 1980-an adalah I Ketut Klinik, I Made Juanda, I Ketut Sudiana, I Wayan Warga,   I Wayan Mardika, dan I Ketut Darsana. Para dalang yang disebut terakhir ini tertempa secara non formal dan  menguak secara alamiah di tengah masyarakat. Dalang muda Sukawati angkatan tahun 2000 adalah  I Bagus  Wijna Bratanatyam (20 tahun) yang kini juga menimba ilmu pedalangan secara formal di ISI Denpasar.

4.3 Kreasi dan Inovasi para Dalang Wayang Kulit di Desa Sukawati

Tahun 1970-an, pementasan wayang kulit di tengah masyarakat Bali masih mengundang takjub. Saat itu, sebuah rencana pagelaran teater wayang merupakan kabar yang menggembirakan yang pementasannya ditunggu-tunggu. Para penonton menyaksikan dengan penuh perhatian keseluruhan proses dan detail pementasan, baik yang disajikan dalam konteks ritual keagamaan maupun pertunjukan wayang dalam ajang profan. Bagaimana aksi dalang di balik layar dalam meragakan boneka pipih dua dimensi itu tak luput dari perhatian penonton. Bagaimana asyiknya penonton menyimak adegan demi adegan sepanjang 3-4 jam dan kemudian mendiskusikan seusai pementasan, menunjukan begitu karismatiknya kesenian bayang-bayang ini.

Pesona wayang kulit Bali terasa mulai redup ketika industri budaya global seperti film, video, dan media televisi merambah seluruh sudut dunia. Kehadiran media elektronik modern yang menerobos ruang-ruang keluarga hingga kamar-kamar pribadi itu mengguncang stabilitas dan integralitas masyarakat dengan nilai-nilai budayanya, termasuk juga terhadap ekspresi kesenian yang menjadi identitas etniknya. Pentas wayang kulit Bali kiranya juga didera involusi, tergerus zaman yang dengan gencar menawarkan beragam bentuk  budaya instant. Revolusi televisi yang menyatukan masyarakat dunia dengan kemasan informasi, dan terutama homogenitas budaya populernya sungguh memporakporandakan sikap dan keragaman budaya yang sebelumnya dikawal  komunitasnya dengan penuh kebanggaan.

Tereduksinya kebanggaan itu terjadi terhadap hampir sebagian besar jagat seni tradisi. Kini, eksistensi seni tradisi, termasuk seni pertunjukan, khususnya ungkapan seni sebagai tontonan, pada umumnya kalah saing dengan kemasan tontonan media elektronik televisi. Media massa televisi yang berkembang pesat di tanah air  dengan beragam sajian hiburannya telah menyita begitu banyak waktu masyarakat kita sehingga tak berkesempatan dan mungkin kurang berminat lagi mencari kepuasan batin yang sebelumnya diberikan seni tradisi.

Di Bali, belakangan, sudah lazim terjadi pagelaran Arja, Drama Gong, dan Wayang Kulit misalnya, sepi penonton karena kebetulan pada jam yang sama sedang ditayangkan acara musik atau sinetron favorit. Wayang Kulit adalah salah satu seni tradisi yang dulu amat berwibawa kini termasuk lemas lunglai diremas hegemoni sajian hiburan media elektronik modern. Apresiasi masyarakat Bali terhadap wayang sebagai seni pentas tontonan yang sarat tuntunan ini kian pupus.

Akan tetapi di tengah lesunya pementasan  Wayang   Kulit  Bali tersebut, beberapa tahun belakangan ini muncul garapan wayang dengan semangat kreatif dan inovatif yang dikobarkan oleh kalangan seniman muda. Di lumbung seni  pedalangan Bali,  Desa Sukawati,  Gianyar,  bahkan telah muncul beberapa  bentuk  kreasi wayang yang eksistensinya telah diakui oleh masyarakatnya. Sebut saja apa yang dilakukan oleh dalang terkenal I Wayan Wija dan  I Ketut Klinik.

Pada tahun 1980, Wija telah melahirkan wayang Tantri. Wayang kulit ini kini sedang digemari masyarakat. Masih di Desa Sukawati juga ada kreator wayang kulit yang lain yaitu  I Ketut  Klinik (almarhum) yang menciptakan wayang  babad  pada tahun 1987. Wayang kulit yang berangkat dari sumber cerita semi sejarah lokal  ini kini diteruskan oleh dalang muda setempat,  I  Ketut Sudiana  dan I Made Juanda. Wayang babad pun kini  mulai  digandrungi oleh masyarakat Bali.

Para seniman Bali dikenal sebagai insan-insan seni yang kreatif. Mereka begitu fleksibel dan terbuka merespons berbagai gagasan,  termasuk kreativitas seni. Sejarah keberadaan wayang kulit di Bali, juga karena sikap terbuka orang Bali. Diduga kuat, wayang kulit yang di Bali dibagi menjadi  wayang  parwa (Mahabharata) dan  wayang Ramayana  ini, merupakan pengaruh dari Jawa, pada era keemasan Hindu Majapahit. Releif-releif  yang melukiskan figur-figur wayang di  candi  Jago dan  Karawana yang hampir sama dengan bentuk-bentuk figur  wayang kulit  Bali yang  berproporsi  realistis seperti apa  adanya, memperkuat  dugaan  bahwa  orang  Bali  menerima dengan lapang pengaruh budaya Jawa, dalam hal ini wayang kulit.

Adalah  Ketut  Kodi  (35 tahun)  telah  bereksperimen  pada tahun  1989  dengan  menyebut garapannya. Wayang Layar Lebar yang memanfaatkan lampu-lampu warna-warni  elektrik modern. Menyusul pada tahun-tahun berikut muncul pula Wayang  Layar Agung karya I Gusti Putu Sudharta, I Made Sidia dengan Wayang Layar Berkembang, dan Wayang Golek Gede garapan I Ketut Sudiana yang semuanya disajikan saat menempuh ujian akhirnya di STSI (kini ISI) Denpasar. Kemudian di tengah masyarakat Bali melejit dalang fenomenal I Wayan Nardayana yang pementasannya tersohor dengan sebutan Wayang Cenk-Blonk (baca: cengblong) yang memadukan wayang tradisi dalam kemasan inovatif. Wayang Cenk-Blonk mulai naik daun sekitar lima tahun terakhir. Sebutan wayang Cenk-Blonk diambil dari dua tokoh rakyat yang berbentuk karikaturis, Ceng dan Eblong, wayang yang hadir dengan berbagai kelucuannya. Dua tokoh yang mewakili rakyat jelata khas wayang kulit style Tabanan ini menjadi maskot pementasan wayang Nardayana.

Di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) wayang inovasi mendapat perhatian antusias penonton. Dalam PKB XXX tahun 2008 misalnya pementasan wayang klasik-inovasi dalang muda Desa Sukawati  I  Bagus  Wijna Bratanatyam disaksikan dengan tekun oleh ratusan penonton tua dan muda. Wayang kulit klasik-inovasi atau “Klas-In” ini idenya memadukan seni tradisi wayang kulit Bali dengan media elektronik computer dan LCD proyektor. Tata garap “Klas-In” tetap mengacu kepada pakem klasik wayang kulit. Kemampuan skil dalang seperti tetikesan (keterampilan memainkan wayang), nyepala (teknik memberi hentakan dengan kaki), menembang, bercerita, dan lain-lainnya, didukung oleh seting artistik dan tata warna dramatik di hamparan kelir (layar) yang dipancarkan melalui LCD proyektor dalam olah kendali computer.

Adapun lakon yang disuguhi dengan judul Tumpah Darah Karna. Alkisah, perang saudara di medan Kuruksetra antara Pandawa dan Korawa telah menelan korban dari kedua belah pihak. Demi harga diri dan kebenaran serta demi kekuasaan dan ketamakan mereka saling membunuh. Darah telah tumpah dan dendam kesumat membara. Karna yang sejatinya anak Dewi Kunti, ibu Pandawa, yang diberikan kedududkan empuk oleh orang Korawa maju sebagai panglima perang. Ditunjuknya Karna sebagai senapati pihak Korawa oleh Duryadana sudah diduga oleh Yudistira dan adik-adiknya. Atas saran dari penasihat Pandawa, Kresna, didaulatlah Arjuna untuk menghadapi Karna. Menurut Kresna, hanya Arjuna yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan  Karna khususnya dalam kehebatan menggunakan senjata panah. Akhirnya adu kesatian pun berlangsung dengan sengitnya antara Karna dan Arjuna. Ketika akan berlaga dalam perang menggunakan kereta, Karna meminta Salya menjadi kusirnya. Sedangkan Arjuna tampil diatas kereta yang dikendalikan oleh Kresna. Dalam sebuah pertempuran yang dahyat dan berimbang, akhirnya Arjuna dapat menaklukkan Karna. Sebuah panah sakti Arjuna memisahkan tubuh Karna dari kepalanya.

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

Wayang Kulit Bali dilestarikan para dalang Desa Sukawati melalui tradisi ngayah dalam upacara keagamaan yaitu mempertunjukan wayang secara tulus tanpa mengharapkan bayaran. Adapun pertunjukan Wayang Kulit yang ditampilkan dalam ritual keagamaan adalah Wayang Lemah dan wayang sebagai tontonan seperti Wayang Kulit Parwa (cerita Mahabharata) dan Wayang Kulit Ramayana (epos Ramayana).

Kaderisasi Wayang Kulit Bali di Desa Sukawati berlangsung secara alamiah dari generasi ke generasi. Dalang tertua yang dikenal masyarakat Sukawati adalah I Tukrukan yang kemudian menurunkan dinasti dalang I Nyoman Geranyam. I Ketut Madra yang dikenal sebagai Dalang Jengki adalah generasi dalang yang terkenal pada tahun 1970-an. Di bawah era Madra kemudian bermunculan dalang-dalang I Wayan Wija, I Made Juanda, I Ketut Sudiana, I Wayan Mardika yang semuanya dikenal sebagai dalang setia tampil dalam ritual keagamaan maupun juga kreatif menyajikan pementasan wayangnya.

Kreasi yang dilakukan oleh para dalang Wayang Kulit Bali Desa Sukawati dipelopori oleh I Wayan Wija yang menggagas lahir Wayang Tantri dan I Ketut Klinik yang menciptakan Wayang Babad. Sedang inovasi yang dilakukan oleh para dalang Desa Sukawati dipelopori oleh dalang-dalang muda yang sempat mengenyam pendidikan formal seni pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. I Ketut Sudiana menciptakan Wayang Golek Agung, I Wayan Warga menggagas Wayang Kaca, dan Bagus Bratanatyam membuat Wayang Klasik-Inovasi.

5.2 Rekomendasi

Seiring dengan kodrat dari perubahan yang abadi itu, wayang sebagai ekspresi kebudayaan juga bertransformasi dan berkompromi dengan dinamika sosial yang menjadi penyangganya. Fenomena popularitas Wayang Cenkblonk (baca: cengblong) sejak tiga tahun belakangan ini dapat dimaknai sebagai sebuah kreativitas yang ditawarkan seorang Wayan Nardayana terhadap masyarakat sekelilingnya yang jika kemudian terobosan kreatifnya direspon positif masyarakat luas Bali, berarti telah terjadi pergesaran dan perkembangan cara pandang penonton masa kini terhadap seni pertunjukan wayang. Mungkin penonton masa kini lebih menyukai kontekstualisasi moral cerita yang kekinian, baik dalam ungkapan kritik sosialnya maupun dalam lontaran humornya, yang dalam pementasannya didukung oleh menataan artistik panggung wayang nan megah serta efek dramatik lampu listrik warna-warni.

Hadirnya semangat kreatif dan inovatif pada jagat seni wayang di Bali merupakan sebuah pernyataan dan perjuangan untuk terus hidup selaras dengan semangat zaman.  Mudah-mudahan kreativitas dan inovasi seni pertunjukan wayang kulit Bali ini, adalah sebuah strategi atau kail untuk memancing kembali para penonton wayang untuk berasyik masyuk dengan dimensi kontekstual dan adiluhung yang dipancarkan jagat wayang.

DAFTAR  PUSTAKA

Clara, Victoria M. 1987. Dalang Di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Haryanto, S. 1988. Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mulyadi. 1999. Antropologi untuk Siswa Sekolah Menengah, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: CV Haji Masagung.

Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi. Beberapa masalah Tari di Indonesia, Jakarta : Wedatama Widya Sastra.

Murgianto, Sal. 1993. Multikulturalisme dalam Seni Pertunjukan. Jakarta : Jurnal Seni Budaya Kalam.

Rota, Ketut. 1978. Pewayangan Bali ; Sebuah Pengantar, Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar.

Senawangi, Kongres. 2006. “Laporan Senawangi Masa Bakti 1999-2005”, Jakarta

Suartaya, Kadek. 2003.“Bali Post” Edisi April Denpasar Bali.

Sudiasih, Ni Made. 2003. “Kaderisasi Seniman Pertunjukan Wayang Kulit Bali pada  Keluarga Dalang I Wayan Nartha di Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar’’, Skripsi S1 Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik IKIP PGRI Bali.

Sutrisno, Muji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Kanisius, Yogyakarta.

Wirosardjono, Soetjipto. 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Semarang :  Dahara Prize.

Yayasan Pewayangan Daerah Bali.1986/1987. Ensiklopedi Mini Pewayangan Bali. Denpasar : Proyek Penggalian Seni Budaya Klasik dan Baru.

DAFTAR INFORMAN

Nama                  :  I Wayan Nartha

Jenis Kelamin     :  Laki-aki

Umur                  :  68 Tahun

Pekerjaan            :  Dalang Wayang Kulit

Alamat               :  Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati

Nama                  :  I Nyoman Ganjreng

Jenis Kelamin     :  Laki-laki

Umur                  :  66 Tahun

Pekerjaan            :  Dalang Wayang Kulit

Alamat               :  Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati.