Mata Kuliah Pengetahuan lakon I

Filed under: Tulisan — wicaksana at 2:53 pm on Rabu, Mei 8, 2013

I. PENDAHULUAN

 

      Paradigma pendidikan saat ini telah mengalami perubahan yang pesat, mulai dari rekonstruksi kurikulum lama menjadi kurikulum yang berbasis kompetensi. Implementasi dari kurikulum ini lebih diarahkan kepada kepentingan mahasiswa dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu dilakukan pembenahan dan penyempurnaan pembelajaran seperti pembuatan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) dan SAP (Satuan Acara Perkuliahan), pemilihan metode pembelajaran, pemilihan media pembelajaran, penggunaan informasi teknologi atau Electrinic Learning dalam pembelajaran dan melakukan evaluasi yang valid dan reliable. Apabila pemahaman dosen tentang paradigma pendidikan masih sangat kurang, maka lulusannya dapat dipastikan mutunya akan sangat rendah.

Paradigma pendidikan yang berbasis kompetensi pada dasarnya mengacu pada kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Kualitas yang dimaksudkan adalah perguruan tinggi harus mengadopsi mutu yang tinggi dalam tri dharmanya (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakatnya). Otonomi berarti perguruan tinggi harus mampu mengembangkan potensi lokalnya secara mandiri, berdiri di atas kaki sendiri tanpa harus selalu membutuhkan subsidi pemerintah ataupun campur tangan pihak-pihak tertentu. Akuntabilitas berarti perguruan tinggi harus bertanggung jawab kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, bangsa dan negara dengan menghasilakn produk sumber daya manusia yang andal. Akreditasi berarti perguruan tinggi harus berani dinilai secara eksternal agar memiliki kepercayaan yang tinggi bagi masyarakat internasional. Evaluasi berarti perguruan tinggi harus berani melakukan evaluasi internal atau evaluasi dirinya dan mampu melakukan koreksi dan pengembangan dirinya dari hasil evaluasi yang dibuatnya sendiri. Ketiga bagian tersebut di atas merupakan paradigma yang menyangkut kualitas, perencanaan, dan pemerataan. Kualitas harus diperjuangkan dengan perencanaan yang baik dan merata memberi kesempatan kepada semua masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Secara sederhana komponen sistem pendidikan tinggi juga dapat dilihat dari input, proses dan out-put serta out-come (Sutjipta, 2006: 1-2).

Elemen kompentensi merupakan salah satu tolok ukur suatu materi pembelajaran yang dianggap bermutu. Adapun elemen kompetensi tersebut meliputi kepribadian, penguasaan ilmu dan ketrampilan, kemampuan dalam berkarya, sikap dalam berkarya, dan kemampuan dalam bermasyarakat. Kepribadian berarti mata kuliah yang diajarkan dapat membentuk pribadi yang berwawasan budaya bangsa sebagai filter dari terjangan budaya negatif yang datang secara revolusioner. Penguasaan ilmu dan keterampilan berarti materi yang diajarkan dapat memberikan sebuah ilmu atau menjadikan mahasiswa tersebut menjadi lebih terampil dari sebelumnya. Kemampuan dalam berkarya berarti dengan ilmu yang diajarkan mahasiswa mampu menciptakan lapangan kerja baru atau setidaknya mampu menerapkan lewat karya-karyanya. Sikap dalam berkarya berarti mahasiswa mampu bersikap profesional, jujur dan bertanggungjawab atas segala hasil karyanya. Kemampuan dalam bermasyarakat berarti pendidikan yang diberikan dapat di implementasikan dan diabdikan untuk kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara.

II. Tabel Contoh Matrik Materi  Kuliah

Mata Kuliah: Pengetahuan Lakon I

 

                   MATERI        ELEMEN KOMPETENSI POKOK BAHASAN SUB POKOK  BAHASAN/KONSEP STRATEGI PEMBELAJARAN
KEPRIBADIAN  Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks
  1. Konflik manusia;
  2. Lakon vs Penulis;
  3. Lakon vs Sutradara/Dalang
  4. Lakon vs publik (penonton).
Ceramah dan peragaan, diskusi
PENGUASAAN ILMU DAN  KETRAMPILAN  Pengetahuan Lakon.
  1. pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon

 

Ceramah, Diskusi.
KEMAMPUAN BERKARYA  Menyusun Lakon –      lakonbaku-      lakon carangan-      Lakon karangan Latihan, Diskusi,  PRPraktek & demonstrasi
SIKAP DALAM BERKARYA  Etika Profesi –      Sikap Profesi dan Sosial-      Sikap Religius  Latihan, Interaktif, Apresiatif
KEMAMPUAN BERMASYARAKAT  Memberi tuntunan kepada masyarakat – Etika, Estetika dan logika, kepemimpinan, pendidikan, Ceramah, praktik, interaktif, pembahasan kasus.

 


IV. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

JURUSAN PEDALANGAN, FAKULTAS SENI PERTUNUJUKAN

ISI DENPASAR

 

Judul Mata Kuliah : Pengetahuan lakon I
Kode Mata Kuliah/SKS : SPD 113/2 SKS
Deskripsi Singkat : Mata kuliah teori dengan pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon yang meliputi pengertian struktur, genre, model-model, dan unsur-unsur lakon guna menunjang penganalisaan ceritera lakon wayang. 
Tujuan Instruksional Umum (TIU) : Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon.

 

No

Pokok Bahasan

Sub Pokok Bahasan

TIK

Estimasi

Waktu

Daftar Pustaka

1

2

3

4

5

6

1.

Pengetahuan Lakon. 

 

  1. Pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon
Pengetahuan C1Pemahaman C2Pemahaman C2

 

20

20

20

1 & 7

1 & 7

1, 3, 4, 7,8

2

Unsur-unsur lakon 

 

 

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan (karakterisasi);
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang
Pemahaman  C2Pemahaman C2

Pemahaman C2

 

Pemahaman C2

Pemahaman C2

 

20

20

20

20

20

1 & 7

1 & 7

1 & 7

1 & 7

1 & 7

3

Ragam dan Jenis lakon  1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;3. Lakon Karangan Penerapan C3Penerapan C3Penerapan C3

20

20

20

2, 3, 6, 7

2, 3, 6, 7

2, 3, 6, 7

4

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks
  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon dengan Penulis;
  3. Lakon dengan Sutradara/ Dalang);
  4. Lakon dengan publik (penonton).
Analisis C4Analisis C4 

Analisis C4

 

Analisis C4

 

 

20

20

20

20

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

1, 2, 5, 6

 

 

Daftar Pustaka:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  7. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985
  8. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

RENCANA EVALUASI PBM

Tujuan Evaluasi

:

Untuk mengetahui kompetensi mahasiswa sampai tingkat penerapan tentang teori-teori lakon
Hal-hal yang Dievaluasi

:

Pemahaman tentang teori-teori lakonKemampuan berkarya: kemampuan menyusun lakon lakon wayangKedisiplinan: tugas rumah dan absensi

Kepribadian dan sikap: partisipasi kelas, komunikasi dan diskusi

Bermasyarakat : kemampuan berkomunikasi di kelas

Evaluator

:

Team teaching
Waktu

:

UTS : Pemahaman teori-teori lakon dengan tingkat Cognitif 4UAS : Kemampuan berkarya yang ditunjukkan dari kemampuan menyusun lakon-lakon wayang dengan tingkat cognitif 4Kedisiplinan, kepribadian dan sikap: dievaluasi selama perkuliahan
Responden

:

Semua mahasiswa
Instrumen

:

UTS : Soal esay take home (40%)UAS : Ujian esay take home (50%)Tugas rumah (10%)

Hasil ujian dianalisis dikatagorikan berdasarkan Penilaian Patokan (PAP)

Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Dosen/Team Teaching

:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M. Hum

 

 

V. SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

I (pertama)
  1. 1. Jurusan

:

Seni Pedalangan, FSP ISI Denpasar
  1. 2.    Dosen

:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

 

 

5. Pokok Bahasan: Kontrak Perkuliahan (pendahuluan).

Kuliah: Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri: 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran Pengetauan Lakon I (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 1. Perkenalan, 2. Absensi/tatap muka, 3. penjelasan mataeri. 4. Tugas-tugas yang disepakati. 5. UTS dan UAS. 6. Bahan bacaan. 7. Sistem penilaian. Persetujuan Kontrak Perkuliahan. 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon.

9. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum maksud kontrak perkuliahan. Mendengarkan. Lembar Kontrak Perkuliahan
Penyajian -perkenalan/asal-usul mahasiswa maupun dosen.-batas minimun dan maksimum tatap muka.-menjelaskan tugas-tugas.

-menjelaskan kapan dan bagaimana sistem UTS dan UAS.

-refrensi yang harus dibaca.

-penjelasan sistem penilaian.

-tanya jawab.

-mendengarkan dan merespon.-diskusi antar teman. 

 

 

 

 

 

-tanggapan.

Lembar kontrak Perkuliahan.

 

Penutup -melakukan absensi.-membaca kembali nama dan Nir. Mahasiswa. -menulis nama dan Nir.-merespon. Buku absen..

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan dua kali ujian yaitu UTS dan UAS dengan dua model soal yaitu soal pilihan (objektif) dan soal uraian (essay).

11. Referensi:

  1. Lembar Kontrak Perkuliahan.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

II (kedua)

5. Pokok Bahasan: Pengertian Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan konsep-konsep dan teori-teori materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum dasar-dasar pengetahuan lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon, dan genre-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi: 1, 3, 4, 7,8

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  3. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985
  4. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

III (ketiga)

5. Pokok Bahasan: Ragam dan Jenis Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan model-model lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Lakon Babon, lakon Carangan, dan Lakon Karangan  Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Ragam dan Jenis Lakon. Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi ragam dan jenis lakon meliputi: lakon babon, lakon carangan, dan lakon karangan-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  7. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  8. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IV (keempat)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan tema dan amanat dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 tema dan amanat lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi unsur-unsur lakon meliputi: tema dan amanat.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

V (kelima)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon. Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon meliputi: eksposisi; komplikasi; klimaks; resolusi; dan kesimpulan-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VI (keenam)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas) Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon wayang dari segi mutu (kualitas) dan jumlah (kuantitas)-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VII (ketujuh)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan alur (plot) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Alur (plot) lakon wayang dari sisi lain Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon wayang dari sisi lain Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi alur (plot) dalam unsur-unsur lakon wayang dari sisi lain meliputi: alur menanjak; menurun; alur maju; mundur; patah; dan periodik-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6.  Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

VIII (kedelapan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon meliputi: tindakan; ujaran/ucapannya; pikiran, perasaan/kehendak; penampilan/fisik.-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IX (kesembilan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum penokohan/watak/karakteristik dalam unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon meliputi: tokoh protagonis; antagonis; tritagonis-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

IX (kesembilan)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan penokohan/watak/karakteristik dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Penokohan/watak/karakteristik dalam perkembangannya Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum penokohan/watak/karakteristik dalam unsur-unsur lakon dalam perkembangannya Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi penokohan/watak/karakteristik unsur-unsur lakon dalam perkembangannya meliputi: tokoh andalan; tokoh bulat; tokoh datar/pipih; durjana; statis; dan utama-melakukan latihan dengan diskusi. 

 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

X (kesepuluh)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan latar (setting) dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Latar (setting) lakon Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi latar (setting) dari unsur-unsur lakon meliputi: ruang, waktu, dan suasana-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XI (kesebelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan latar (setting) dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Latar (setting) lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum unsur-unsur lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi latar (setting) dari unsur-unsur lakon dalam wayang meliputi: sorga dan neraka, mercapada, bawah bumi (triloka: bhur, bwah, swah).-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XII (keduabelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan Suasana/adegan lakon dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Suasana lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Suasana lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Suasana lakon dalam wayang meliputi: suasana agung, tenang, gembira, sedih, romantis, tegang, perang.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

 

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XIII (ketigabelas)

5. Pokok Bahasan: Unsur-unsur Lakon.

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang dari unsur-unsur lakon dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Pembabakan dan adegan lakon dalam wayang meliputi: babak pertama, kedua, dan ketiga dst. Adegan sidang, berangkat, romantis, sedih/mesem, seram/bapang, perang/siat.-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat. 

 

 

 

 

 

 

 

 

-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.

 

Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1998.

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XIV (keempatbelas)

5. Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon konteks dengan konflik manusia dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan konflik manusia Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon konteks dengan konflik manusia Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi Lakon konteks dengan konflik manusia-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.

 

 

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XV (kelimabelas)
  1.  Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon dengan sutradara/dalang); dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan sutradara/ Dalang) Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon dengan sutradara/dalang) Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi lakon dengan sutradara/ dalang)-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  7. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

 

SATUAN ACARA PENGAJARAN

 

1. Mata Kuliah  (MK)

:

Pengetahuan lakon I
2. Kode MK/SKS

:

SPD 113/2 SKS
3. Waktu Pertemuan

:

Kuliah 100 menit latihan terstruktur: 30 menit
4. Pertemuan ke

:

XVI (keenambelas)
  1.  Pokok Bahasan: Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks

Kuliah                    : Semester V

Latihan Terstruktur: 40 menit (ceramah dan diskusi).

Tugas Mandiri        : 60 menit (PR).

6. Tujuan Instruksional Umum (TIU) / (Tujuan Pokok Bahasan):

Setelah menyelesaikan ceramah dan diskusi kontrak perkuliahan pada pertemuan pendahuluan (C), mahasiswa Jurusan Pedalangan smt V (A) diharapkan mampu menjelaskan lakon dengan publik (penonton) dari materi yang telah diberikan (B) dengan target capaian 80 % (D): (C3).

7. Sub Pokok Bahasan:

No

Sub Pokok Bahasan

TIK

Waktu

1 konteks lakon dengan publik (penonton). Memahami peranan daya ingat (otak) bagi seorang mahasiswa 2 x 50 menit = 100 menit.

 

8. Kegitan Belajar:

Tahap Kegiatan

Kegiatan

Pengajar

Kegiatan

Mahasiswa

Media dan

Alat Pengajaran

Pendahuluan Menjelaskan secara umum lakon dengan publik (penonton). Mendengar dan mencatat Bahan ajar
Penyajian -menguraikan materi lakon dengan publik (penonton).-melakukan latihan dengan diskusi. 

-Memperagakan beberapa contoh-contoh terkait dengan materi.

-mendengarkan dan mencatat.-mahasiswa interaktif dengan teman dan dosen.

-mendengarkan dan memahami contoh-contoh yang diberikan.

LapTop/OHP, Papan tulis, Bahan ajar lainnya.
Penutup -Melakukan test ringan.-umpan balik untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dari materi yang telah diberikan.-Tidak lanjut dengan tugas. -merespon.-merespon. 

 

 

 

-merespon dan mencatat tugas yang diberikan.

Bahan ajar.

 

9. Tugas terstruktur/ tugas mandiri/PR: merangkum semua materi yang telah diberikan. Jika dirasa kurang cukup waktu yang tersedia, maka dilanjutkan sebagai PR.

 

10. Evaluasi: menstressing semua materi beserta contoh-contoh yang telah diberikan, dan memberikan beberapa pertanyaan sebagai pancingan terhadap pemahaman dan daya serap mahasiswa terhadap materi yang telah diberikan.

11. Referensi:

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985.
  4. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  5. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi SeniIndonesia, Denpasar, 1998.
  6. Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compedium), Proyek Pembinaan Kesenian Dirpemkes, Dit. Jen. Bud., Depdikbud, Tanpa tahun.

 

Catatan:

  • Lima belas (16) kali tatap muka, ditambah dengan dua kali ujian (UTS dan UAS), menjadi 18 kali pertemuan.
  • materi per SAP di atas, dalam praktisnya terkadang terjadi pengulangan dan juga percepatan, tergantung dari kebutuhan dan kompetensi mahasiswa.

 

VI. KISI-KISI TES OBJEKTIF

 

Program Studi/Jurusan

:

Seni Pedalangan, Fakulatas Seni PertunjukanISI Denpasar
Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Smester/Tahun

:

V (Lima) 2006
Lalam Ujian

:

60 Menit
Tipe Tes

:

Esay
Jumlah Butir Tes

:

20 Butir

 

No

POKOK BAHASAN

DAN

SUB POKOK BAHASAN

JENJANG KEMAMPUAN DAN TINGKAT KESUKARAN

JUMLAH BUTIR SOAL

%

C1 C2 C3 C4,5,6

MUDAH

SEDANG SUKAR MUDAH SEDANG SUKAR

MUDAH

SEDANG

SUKAR

MUDAH

SEDANG

SUKAR

1.

 

Pengetahuan Lakon:

  1. pengertian lakon;
  2. Istilah lakon;
  3. Model-model lakon
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

 

 

 

 

20%

2.

 

Unsur-unsur Lakon:

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan;
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

20%

3.

 

Ragam dan Jenis Lakon:1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;

3. Lakon Karangan

 

 

 

 

6

30%

4.

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks:

  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon dengan Penulis;
    1. Lakon dengan Sutradara/ Dalang);
    2. Lakon dengan publik (penonton).
1 3 2

6

30%

JUMLAH BUTIR SOAL

20

PROSENTASE

100%

KETERANGAN:

Cl         Proses berpikir ingatan

C2        Proses berpikir pemahaman

C3        Proses berpikir penerapan

C4, 5, 6Proses berpikir analisis, sintesis, dan evatuasi

*Mudah, Sedang, Sukar adalah tingkat kesukaran butir soal yang diinginkan. Menentukan tingkat kesukaran ini didasarkan pada pertimbangan pembuatan soal.

*Pokok/Sub Pokok Bahasan di kolom 2 diambil dari GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran), yang ditarik dari Tujuan instruksional Khusus (TIK).


VII. FORMAT KISI-KISI TES URAIAN

 

Program Studi/Jurusan

:

Seni Pedalangan, Fakulatas Seni PertunjukanISI Denpasar
Mata Kuliah

:

Pengetahuan Lakon I
Smester/Tahun

:

V (Lima) 2006
Lalam Ujian

:

60 Menit
Tipe Tes

:

Esay
Jumlah Butir Tes

:

20 Butir

No

POKOK BAHASAN

DAN

SUB POKOK BAHASAN

JUMLAH SOAL PROSES BERPIKIR MAKSIMAL

JUMLAH BUTIR SOAL

%

C2

C3

C4

C5

C6

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1.

Pengetahuan Lakon:1. pengertian lakon;

  1. Istilah lakon;
  2. Model-model lakon

v

v

v

4

20%

2.

 

Unsur-unsur Lakon:

  1. Tema dan amanat;
  2. Alur (plot);
  3. Penokohan (karakterisasi);
  4. Latar (setting);
  5. Waktu dan Ruang

v

v

v

v

v

4

 

20%

3.

Ragam dan Jenis Lakon:1. Lakon Baku;2. Lakon Carangan;

3. Lakon Karangan

v

v

v

6

30%

4.

Lakon ditinjau dari teknik penyajian dan konteks:

  1. Konflik Manusia;
  2. Lakon vs Penulis;
    1. Lakon vs Sutradara/ Dalang);
    2. Lakon dengan publik (penonton).

v

v

v

v

6

30%

JUMLAH BUTIR SOAL

20

PROSENTASE

100

 


VIII. SOAL TES  URAIAN:

 

  1. “Lakon” mempunyai padanan kata dengan “Lampahan”. Coba anda uraikan dan apa artinya kedua kata tersebut ?
  2. Ada 4 (empat) jenis tokoh/peran yang merupakan anasir keharusan kejiawaan dalam lakon seperti, tokoh protagonis; antagonis; tritagonis; dan peran pembantu.
  3. Latar/setting dalam lakon mempunyai 2 aspek: ruang, dan waktu. Coba anda uraikan kedua aspek tersebut ?
  4. Coba anda sebutkan salah satu judul lakon pertunjukan Wayang Kulit serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur judul lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  5. Dilihat dari segi mutu (kualitas), alur dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yakni alur ketat dan alur longgar. Jelaskan kedua hal tersebut!
  6. Sebagai sumber ceritera, lakon wayang terdiri dari: lakon babon, lakon pokok, dan lakon carangan. Jelaskan ketiga kategori lakon tersebut di atas !
  7. Berikan contoh masing-masing 2 judul lakon pokok, dan lakon carangan!
  8. Buatlah salah satu lakon pertunjukan wayang kulit (sinopsis singkat) serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  9. Setiap lakon wayang memiliki makna atau nilai yang terkandung dalam  pertunjukannya. Jelaskan unsur-unsur nilai tersebut di atas!

 

 


IX. KUNCI JAWABAN TES URAIAN:

 

  1. Lakon dari kata “laku” dengan akhiran “an” dan Lampahan dari kata “lampah” dengan akhiran “an” (bahasa Jawa Kuna), artinya kisah yang didramatisasi serta dipentaskan di atas panggung oleh seseorang atau lebih pemain.
  2. Tokoh protagonis artinya peran utam (peran sentral). Tokoh antagonis adalah peran lawan atau penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya konflik. Tokoh tritagonis adalah peran penengah sebagai pelerai; dan peran pembantu adalah peran yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik yang terjadi, tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan ceritera.
  3. Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Aspek  waktu dalam lakon lakon ada 2 yakni, waktu ceritera dan waktu penceriteraan.
  4. Judul lakon pertunjukan wayang kulit “Anta Kusuma”. Temanya adalah pengorbanan dengan alur datar, menanjak, klimak, anti klimak, serta kesimpulan. Adapun tokoh utamanya adalah Gatotkaca (anak Bima), dengan amanatnya keteguhan dan iman.
  5. Alur ketat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu dalam karya sastra, kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan maka keutuhan dan jalannya ceritera akan terganggu. Sedangkan alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu, dengan meniadakan salah satu peristiwa, tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya ceritera.
  6. Lakon babon adalah lakon yang bersumber pada lakon pokok atau sumber aslinya seperti Mahabharata dan Ramayana. Lakon pokok adalah babon yang disesuaikan dengan budaya setempat dengan bahasa daerah setempat, sedangkan lakon carangan adalah lakon yang berpedoman dari lakon pokok namun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
  7. 2 judul lakon pokok adalah: Bharatayuda kakawin, Ramayana kakawin dan lakon carangan adalah Arjuna Wiwaha, Gatotkacasraya.
  8. Buatlah salah satu lakon pertunjukan wayang kulit (sinopsis singkat) serta jelaskan unsur-unsur yang mendukung struktur lakon tersebut (tema, alur, penokohan, dan amanat)
  9. Nilai seni, hiburan, pendidikan dan penerangan, ilmu pengetahuan, kejiwaan/ rokhani, mistik, dan simbolik

 

PEDOMAN PENSEKORAN

 

 

1. Tugas-tugas dan diskusi     : 25 %

2. UTS                                       : 25 %

3. UAS                                       : 30 %

4. Tatap muka dan diskusi     : 10 %

5. Aktivitas dan Disiplin         : 10 %

6. A = 85 -100

7. B = 70 – 85

8. C = 55 – 70

9. D = 35 – 40

10. Soal-soal yang mudah dibuat 25%; soal sukar 25%; dan soal sedang 50%.

 

IX. CONTOH SOAL TES  OBJEKTIF

 

  1. Salah satu di bawah ini tidak termasuk padanan dari kata  lakon!

a. laku     b. lampah     c. drama    d. werdi (50%)

  1. Berikut ini, mana yang merupakan bagian dari tokoh/peran yang merupakan anasir keharusan kejiawaan dalam lakon? (25%)

a. tokoh protagonis  b. tokoh pesimis.  c. tokoh optimis.   d. tokoh egois  (25%)

  1. Aspek yang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon.

a. waktu   b. ruang   c. suasana  d. adegan (25%)

  1. Lakon pertunjukan wayang kulit yang sering dipentaskan para dalang adalah:

a. kuntilanak    b. cinta segi tiga  c. bima swarga   d. cinta di kampus biru (25%)

  1. Di bawah ini alur lakon dengan jalinan peristiwa yang sangat padu dalam karya sastra adalah:

a. alur ketat    b. alur longgar    c. alur naik     d. alur turun (50%)

  1. Lakon babon adalah lakon wayang yang bersumber pada Mahabharata dan Ramayana. Kedua epic ini berasal dari:

a. China    b. Saudi Arabia    c. Jepang    d. India(25%)

  1. Judul lakon-lakon di bawah ini paling sering dipentaskan dalam pertunjukan wayang, keculai:

a. Arjuna wiwaha   b. Gatotkacasraya  c. Sutasoma   d. Superman (25%)

  1. Sebuah gagasan, ide atau pikiran di dalam sebuah karya sastra disebut:

a. tema   b. alur   c. penokohan   d. amanat (50%)

9.  Suasana sedih dalam struktur wayang kulit Bali disebut:

a. petangkilan   b. pangkat    c. rebong    d. mesem (50%)

  1. Sebuah pertunjukan wayang terkadang dalang mengutarakan kesimpulan sebagai bentuk penyelesaian dari akhir pementasannya, dalam drama modern sering disebut:

a. exposition    b complication    c. resolution    d. conclucion (50%)

11.  dst……


X. KUNCI  JAWABAN  TES  OBJEKTIF

 

1. D.

2. A.

3. B.

4. C.

5. A.

6. D.

7. D.

8. A.

9. D.

10. D.

 

XIII. BAHAN AJAR

Lakon dalam pewayangan adalah salah satu unsur yang sangat penting, kalau tidak yang terpenting. Setiap jenis wayang menggunakan lakon tertentu, yang di Bali telah menyatu dengan identitas wayang bersangkutan. Misalnya, Wayang Calonarang pasti menggunakan lakon dari cerita Calonarang; Wayang Arja pasti menggunakan lakon Malat/Panji, dst. Diantara puluhan jenis wayang yang ada di Bali saat ini, Wayang Parwa adalah suatu jenis wayang yang paling populer. Sesuai dengan namanya, wayang ini memakai lakon yang diambil dari Parwa-Parwa (bagian) epos (mahakawya, wiracarita) Mahabrata. Para dalang di Bali mengetahui epos ini kebanyakan melalui Kekawinnya yang berbahasa Kawi; kalaupun mungkin ada yang melalui kitab yang berbahasa Sanskerta, jumlahnya tentu akan sangat sedikit, bila dibandingkan dengan mereka yang mempelajari lewat kekawinnya.

Bila kita melihat ke masa yang lampau, kegiatan mempelajari epos India ini telah lama digemari; ini terbukti dengan adanya proyek “membahasa-jawakan ajaran-ajaran Begawan Byasa” yang dikenal dengan “Mangjawaken Byasamata,” diprakarsai sekitar seribu tahun yang lalu oleh raja Darmawangsa Teguh Ananta Wikarama (Agastia, 1994: 26). Walaupun nama proyeknya hanya menyebutkan karya “Begawan Byasa” akan tetapi kenyataannya saat itu diterjemahkan juga epos Ramayana; entah mengacu versi Begawan Walmiki atapun Bhattikawya, yang jelas tahun 903 masehi Kakawin Ramayana telah ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, bahkan penulisannya 88 tahun lebih awal dari penulisan Kakawin Mahabrata yakni tahun 991 masehi (lihat Mulyono, 1978: 171 & 173). Jadi kedua epos India itu telah banyak ditafsirkan dan diterjemahkan dari bahasa Sanskerta kedalam bahasa Jawa Kuno, sehingga penyebarannya di Indonesia menjadi demikian efektif, terutama di Jawa dan Bali.

Yang perlu disoroti disini adalah adanya sikap dan prilaku kreatif dalam proses transmisi lakon-lakon dari epos India ini, baik dituturkan lewat karya tulis, digubah dari bentuk prosa ke dalam bentuk puisi (Kakawin), maupun direpresentasikan kedalam suatu bentuk teater. Sederetan nama-nama sastrawan kerajaan (mulai dari zaman Diah Balitung, Kediri, Majapahit, hingga Dalem Waturenggong di Bali) terus-menerus melanjut-kembangkan epos itu, dengan melibatkan inspirasi spiritual dan artistiknya masing-masing, sehinga muncullah berbagai lakon-lakon baru yang dalam evolusi seni dikenal sebagai “continuity and change” (perubahan yang berkesinambungan). Seorang sastrawan besar yang bernama Yogiswara misalnya, yang telah berhasil membahasa-jawakan Ramayana kedalam bentuk Kakawin, ternyata tidak sepenuhnya patuh pada Ramayana versi Walmiki, melainkan justru mengambil model atau inspirasi dari Ramayana versi Bhattikawya (Soedarsono, 1990: 335). Kitab Pustaka Raja yang kini diterima sebagai babon dari lakon wayang Purwa versi Jawa dan Kakawin yang dianggap sebagai babon dari lakon-lakon wayng kulit versi Bali, keduanya adalah karya sastrawan Indonesia yang gandrung mengembangkan epos India.

Dari sisi pengembangan lakon, seniman (sastrawan, dalang) amat mirip dengan sarjana; mereka tidak hanya sebagai pemakai fasilitas (teori, lakon) yang sudah ada, melainkan juga mencipta dan melanjut-kembangkan teori/lakon yang telah diketahuinya. Sarjana, setelah membaca beberapa buah buku atau teori, akan terangsang untuk menulis buku atau teori karangannya sendiri; sastrawan ataupun dalang, setelah mengetahui beberapa lakon, akan terangsang untuk mencipta atau pentas dengan lakon baru hasil pengolahannya sendiri, sehingga muncullah berbagai variasi lakon, berbagai versi yang relatif berbeda antara satu lakon dengan lakon lainnya.

Di Jawa, khususnya di Surakarta, variasi atau ragam lakon pewayangan sudah bertambah lagi dua jenis, yakni jenis lakon Kridha dan jenis lakon Jumenengan, hanya dalam 5 tahun terakhir ini saja; sehingga kini ada 8 jenis lakon setelah ditambahkan dengan 6 jenis sebelumnya, yaitu: jenis lakon Lahiran, Ruwatan, Raben, Wahyu, Kraman (pembrontakan), dan Lebet atu Kasepuhan (seperti Dewaruci yang berisi pokok suatu ajaran atau falsafah (Murtiyoso, 1992: 194-196).

Khusus dalam pewayangan, pengolahan lakon ini adalah hasil interpretasi individu dari setiap dalang, dan oleh karenanya semua hasil pengolahan itu dikenal sebagai lakon Kawi Dalang. Sifat-sifat dan cara pengolahan itu sangat bervariasi yang menyebabkan jauh dekatnya hasil olahan dari babonnya menjadi berbeda-beda. Dari pembiakan lakon-lakon itu, kini dikenal banyak jenis-jenis lakon dalam pewayangan Bali. Nama jenis-jenis lakon yang masih simpang-siur dan sukar dibuatkan definisinya itu meliputi: Lakon Baku, Lakon Sempalan, Lakon Carangan, Lakon Babad, Lakon Komik, Lakon Anggit-angitan, dan Lakon Kawi Dalang.

Masalah dan Lingkup Penelitian

Setiap dalang cendrung menamakan hasil olahannya menurut persepsinya masing-masing, sehingga yang (masih menjadi) masalah adalah bagaimana membuat kesepakatan nama ataupun istilah lakon yang spesifik dari setiap jenis pengolahan, serta bagaimana membuatkan definisinya. Karena pengolahan itu terus-menerus dilakukan, maka kadang-kadang terjadi pembauran yang bisa menyulitkan kita dalam mengidentifikasi mana yang pokok dan mana yang pengembangan baru.

Jenis-jenis lakon yang demikian banyak itu: lakon baku, lakon komik, lakon babad, dst. pada dasarnya digunakan oleh para dalang untuk menambah kegirangan, meningkatkan kemantapan, memperluas variasi, dan untuk menyegarkan suasana pertunjukannya. Dengan demikian lakon-lakon itu amat dibutuhkan oleh para dalang. Mereka yang kreatif masing-masing membuat lakon yang relatif baru, baik dengan memodifikasi ataupun dengan cara menggabung-gabungkan unsur-unsur drama dari sumber-sumber yang tiada terhingga banyaknya. Sayangnya, menurut studi awal, kebanyakan dalang-dalang tidak mencatat lakon-lakon olahannya, dan juga tidak biasa mencatat lakon-lakon baru yang didapatinya dari dalang/sumber lain. Akibatnya, beberapa lakon diantaranya menjadi sulit diingat/ direkonstruksi, bahkan ada juga yang hilang terlupakan. Hal ini ikut dibuktikan oleh kenyataan akan kurangnya bahan-bahan tertulis mengenai repertoar lakon.

Sejauh yang menyangkut lakon, para pecinta wayang selalu mengharapkan dalang idolanya tampil dengan lakon yang berbeda-beda, dan akan terasa kurang baik bila dalang menyajikan suatu lakon tertentu lebih dari satu kali ditempat/desa yang sama, kecuali permintaan khusus atau rentang waktu antara pementasan yang satu dengan yang berikutnya cukup panjang. Dalang yang tidak bisa memenuhi harapan ini mungkin akan turun prestisenya, mungkin dikatakan kurang handal atau kurang bermodal. Dengan adanya harapan umum seperti ini, dalang senantiasa dituntut untuk tampil dengan lakon baru, terutama bila pentas ditempat yang sama. Semakin sering dalang pentas ditempat yang sama, maka akan semakin beratlah beban untuk bisa menyampaikan hal-hal yang baru. Hal ini juga berlaku bagi para dalang di Jawa, seperti yang dilaporkan oleh Bambang Murtiyoso bahwa:… mereka [para dalang] sering harus menyajikan suatu lakon yang tidak diduga sebelumnya, atau mendapat permintaan mendadak sesaat sebelum pentas pokok dimulai (Murtiyoso, 1992: 196). Para dalang muda yang belum terbiasa menciptakan lakon baru sering harus bersusah payah membuat variasi lakon, atau sukar mencari lakon baru yang menarik baginya. Akibatnya, permasalahan lakon yang amat mendesak untuk diketengahkan dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana caranya mendapatkan repertoar lakon wayang kulit Parwa yang lebih banyak ?

2. Di antara lakon-lakon olahan baru yang sudah ada, lakon-lakon mana yang bisa direkonstruksi ? Apa nama judul-judul lakon baru itu, siapa dalangnya, apa sumber lakonnya, bagaimana sinopsisnya, apa amanat lakonnya dan bagaimana pembabakannya ?

3. Bagaimana mencari kesepakatan istilah dan definisi setiap jenis lakon ? Ketiga masalah inilah dicoba dicari jawabannya melalui penelitian ini.

Mengingat demikian banyaknya permasalahan dan mendesaknya kebutuhan tanpa diimbangi dengan kemampuan dan kesempatan yang cukup, maka sekup penelitian ini dibatasi dulu hanya pada pengumpulan 50 judul lakon carangan beserta sinopsis-sinopsisnya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara maksimal bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari 3 butir permasalahan yang dipaparkan diatas, yang pada intinya untuk mengetahui dan mencatat sebanyak mungkin lakon-lakon yang sedang aktif terpakai dalam kebanyakan pagelaran wayang kulit. Selanjutnya, laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa kepentingan pembinaan dan mengisi minat-minat seperti berikut:

1. Untuk ikut memperkaya dan memperdalam materi perkuliahan dari klompok mata kuliah keahlian, khususnya mata kuliah Pengetahuan Lakon di Jurusan Pedalangan STSI Denpasar.

2. Untuk ikut membantu para dalang menyiapkan repertoar lakon yang senantiasa dituntut menyajikan lakon baru.

3. Untuk ikut memberikan tambahan bahan bacaan Seni Pedalangan bagi setiap orang yang perlu mengatahui lakon-lakon pewayangan, terutama bagi mahasiswa peserta ujian karya seni yang seringkali cendrung menggarap lakon-lakon pewayangan kedalam karya tari maupun karawitan, disamping Pedalangan. Sinopsis-sinopsis yang mendominasi laporan ini tentunya banyak bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas, termasuk seniman sastra, tari, karawitan, kria, lukis, ataupun bagi yang non-seniman. Melalui sinopsis pembaca akan dapat mengikuti lika-liku lakon dalam garis besarnya.

4. Mencoba mencari, menjelaskan dan merumuskan istilah-istilah lakon beserta definisinya dengan jalan mengamati sifat-sifat konstruksinya.

Metode Penelitian

Kecuali untuk menentukan landasan teorinya, dalam pengumpulan lakon-lakon ini penulis sengaja menghindari “library research,” mengingat lakon-lakon kawi dalang yang masih tercecer dilapangan dan belum tercatat masih amat banyak jumlahnya. Untuk mencegah menghilangnya lakon-lakon yang masih tercecer itu pengumpulan data-data ini sebanyak mungkin dilakukan dengan “field research” dengan mengutamakan teknik interview dan observasi. Deretan nama-nama dalang (informan) yang diwawancara maupun yang diobservasi pertunjukannya meliputi: I Wayan Nartha, I Made Sidja, I Wayan Wija, I Wayan Ganjreng, I Gusti Nyoman Darta, Dalang Brata, Mangku Bretong, I Ketut Kodi, I Made Sidia, I Gusti Nr. Serama Semadi, I Ketut Darya, I Wayan Gunadnya, dan I Made Yudabakti. Iterview kebanyakan dilakukan di rumah-rumah informan/dalang yang bersangkutan, sedangkan observasi hanya terjadi di tempat-tempat pagelaran wayang, seperti: di pura-pura/pamerajan, di rumah-rumah/puri, di balai-balai desa/banjar dan juga di jalan-jalan, di lapangan, serta di pusat-pusat pameran.

Pengumpulan data-data penelitian ini juga dilakukan oleh semua mahasiswa semester VII Pedalangan yang mengambil kelas Pengetahuan Lakon dalam semester ganjil 1994. Sedikitnya 60 % dari seluruh lakon-lakon yang tersurat dalam laporan ini dikumpulkan oleh 7 orang mahasiswa itu selama satu semester, dimulai dari awal bulan September hingga akhir bulan Desemeber 1994. Unsur-unsur yang dicatat dari lakon-lakon ini pada awalnya meliputi: nama lakon, sinopsis, pembabakan, nama dalang beserta umur dan asal tempat kelahirannya.

Adapun nama-nama mahasiswa yang kebanyakan mendapat nilai A dalam kelas Pengetahuan Lakon itu adalah I Ketut Ciptadi, Ida bagus Karawista, I Made Sukadana, I Wayan Sira, I Wayan Mardika Bhuana, I Nengah Darsana, dan I Wayan Meder. Dari mereka penulis punya ekspektasi bahwa sedikitnya mereka akan bisa mengumpulkan 105 lakon-lakon kawi dalang, karena penulis selaku pengajar kelas tersebut menugaskan setiap mahasiswa itu untuk mencari dan mencatat paling sedikit 15 lakon-lakon kawi dalang. Sayang sekali, entah karena disengaja ataukah karena kekurangan lakon, satu lakon yang sama ditulis oleh lebih dari seorang mahasiswa. Oleh karena itu jumlah lakon yang mereka kumpulkan kurang dari jumlah yang penulis prakirakan sebelumnya. Bila semuanya digabungkan dengan jumlah yang penulis sempat kumpulkan, semuanya mencapai 85 buah lakon wayang Parwa, plus beberapa lakon kawi dalang wayang Ramayana. Diantaranya ini, ada juga lakon carangan baru yang dibuat oleh beberapa mahasiswa tersebut diatas, kemungkinan dipaksa penciptaanya untuk bisa mencapai jumlah 15 itu. Mahasiswa yang menyerta-kan olahan lakonnya sendiri dalam pengumpulan lakon ini adalah: Ciptadi, Sira, Karawista, dan Darsana.

 

Tinjauan Teori dan Pengertian Klasifikasi Lakon

Dengan masih simpang-siurnya pengertian ataupun teori mengenai klasifikasi lakon: lakon kawi dalang, lakon carangan, lakon anggit-anggitan, beserta jenis lakon lainnya, perlu kiranya disajikan beberapa teori atau landasan pengertian yang terkait dengan kegiatan pengolahan lakon.

Dari sebuah diskusi informal diantara beberapa dosen STSI Denpasar: Dr. Dibia, Saptono, Sidia, Marajaya, Wiratini, Gulendra, dll. yang penulis adakan pada tgl. 20 Januari 1995, penulis mendapatkan pengertian umum sebagai berikut:

Lakon baku adalah lakon yang mematuhi lakon pokok atau babonnya. Di Desa Sukawati, lakon baku disebut juga lakon “unduk”, yang maksudnya adalah lakon yang mengikuti aturan atau hukum (kakawin); kata “unduk” dalam Bahasa Bali berarti peraturan atau hukum. Ini mungkin bisa diterjemahkan sebagai “source story” dalam Bahasa Inggris “yang berarti lakon sumber”, walaupun sudah jelas diketahui bahwa sumber Mahabrata sebenarnya berasal dari India, dan yang ada di Indonesia adalah yang sudah dibahasa-jawakan sejak pemerintahan Darmawangsa Teguh Ananta Wikrama dengan proyeknya “Mangjawaken Bisamata.” Hanya saja antara Bali dan Jawa terdapat perbedaan materi yang dipandang sebagai babon/pokoknya. Babon menurut dalang-dalang jawa adalah Pustaka Raja yang terdiri dari 27 jilid, Karya Ronggowarsito (Mulyono, 1978: 203). Sedangkan yang dianggap babon atau pokok lakon oleh para dalang Bali adalah Kakawinnya. Jenis lakon lainnya, baik yang pengembangan maupun penyimpangan, dianggap berpusat pada babon ini.

Lakon Sempalan adalah lakon yang digarap ataupun disajikan secara terpotong-potong. Misalnya, setelah adegan pertama menggambarkan Pandawa bermain judi, maka adegan kedua bukannya mengambarkan kehidupan Pandawa yang terbuang 12 tahun mengembara di dalam hutan, melainkan disempal langsung menceritakan Pandawa menyamar di kerajaan Wirata. Lakon seperti ini dalam bahasa Inggris mungkin bisa disebut sebagai “conjunctive story.” Jadi pada “lakon sempalan” ini memang ada bagian-bagian tertentu dari siklus lakon pokok yang dipotong/disempal untuk kemudian disambung kembali dengan potongan yang tidak berurutan, namun diharapkan tetap terkesan berurutan.

Lakon Anggit-anggitan adalah lakon yang diciptakan oleh para dalang dengan mengambil materi dari berbagai sumber yang kemungkinan sangat jauh atapun bahkan terkadang menyimpang dari siklus lakon baku. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “anggit, menganggit” berarti menyusun; ini bisa terlihat dalam kalimat misalnya: “Menganggit lalang akan dijadikan atap”. Dalam bahasa Jawa “anggitan” berarti gubahan atau karangan (Poerwadarminta, 1976: 43). Menurut Saptono, seorang Pangrawit Jawa dan dosen STSI Denpasar, kata “anggit” di jawa berarti membuat, sehingga lakon anggit-angitan memang berarti lakon buat-buatan. Dalam pagelaran wayang, lakon ini sering terkesan sebagai lakon gado-gado; selain materi yang dimasukkan didalamnya berasal dari sumber yang bermacam-macam, elemen-elemen modernpun sering ikut mewarnainya. Lakon Gatutgaca Bersekolah, lakon Pertemuan Bima dengan Anoman, lakon Pertemuan Yudistira denag Subali, dst. dapat dimasukkan kedalam klompok ini.

Lakon Carangan adalah saduran yang masih dekat dan tidak menyimpang dari siklus lakon baku. Misalnya, pada saat upacara pernikahan Bimaniyu dengan Diah Utari disadur / diciptakan satu lakon lagi, yaitu lakon uji-coba kekuatan para putra Pandawa (Lindu Segara, Megawarna, Erawan, Mimaniyu, Gatutkaca, dll.). Jadi esensi lakon Carangan adalah tambahan dari siklus lakon baku, yang bisa diterjemahkan sebagai “branch story.” Pengertian ini sejalan dengan arti dari kata dasarnya dimana kata “carang” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai sulur hijau atau bakal ranting muda yang tumbuh pada batang tumbuh-tumbuhan yang menjalar (Poerwadarminta, 1976: 187). Zurbuchen dalam bukunya yang berjudul The Language of Balinese Shadow Theatre melaporkan bahwa: “carangan [is] branch-like; . . . In wayang, [carangan are] stories created by performers, not part of the original epic text.” (1987: 270). Disamping hasil diskusi tersebut diatas, penulis merasa perlu juga mengetengahkan beberapa konsep lakon yang terangkum dalam buku Lakon Carangan (1986).Paraanggota proyek dokumnetasi lakon carangan di ASKI Surakarta telah mencoba mencari definisi lakon carangan yang membedakannya dengan lakon baku/pokok. Pada jilid I (dari tiga jilid yang dipublikasikan) dari laporan penelitiannya memang sudah banyak diliput pengertian lakon carangan dari beberapa hasil wawancara dan tinjauan pustaka, namun pada intinya dapat diklompokkan menjadi 4 macam pendapat:

Bagian A:

Lakon carangan sebagai suatu ceritera yang lepas, otonom,

berdiri sendiri; lakon pokok sebagai suatu rangkaian

cerita yang berseri, berurutan antara lakon yang satu dengan lainnya.

Bagian B:

Lakon pokok sebagai awal dari suatu siklus ceritera;

lakon carangan/ranting sebagai lanjutan (dalam arti lanjutan waktu) dari bagian awal itu.

Bagian C.1:

Ceritera carangan sebagai penyimpangan dari ceritera

pokok/asli, dibuat untuk menarik perhatian penonton.

Bagian C.2:

Lakon pokok diambil dari epos-epos dalam varsi Jawanya,

atau diambil dari tradisi yang diangap “resmi”, boleh juga

diangap “sejarah nyata”; lakon carangan adalah saduran,

khayalan atau karangan yang boleh dekat atau jauh dari

siklus lakon pokok.

Bagian C.3:

Lakon pokok diambil dari buku Pustakaraja (Ranggawarsita);

lakon carangan adalah saduran, karangan baru.

Bagian C.4:

Lakon carangan adalah cerita yang sumbernya non-Hindu,

tidak diambil dari epos India.

Bagian D.1:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah pernah “dibukukan”;

lakon carangan, yang belum dibukukan.

Bagian D.2:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah tersebar dikalangan

dalang dan sudah lazim dipentaskan oleh dalang banyak;

lakon carangan adalah karangan salah seorang dalang yang

belum lazim dipentaskan dalang banyak.

Bagian D.3:

Lakon pokok adalah lakon yang sudah dianut suatu golongan

dalang didaerah tertentu, tertulis atau diteruskan secara

lisan, dan sudah tersebar paling sedikit dua generasi;

lakon carangan adalah lakon yang dibuat pada waktu pergelaran terjadi atau sebelumnya, terkadang dengan maksud

menyindir keadaan disekitarnya, atau dari niat ki dalang,

atau karena bosan dengan lakon-lakon yang sudah, dll.

(Feinstein, 1986, xxxii -xxxiii).

 

Diskripsi yang lebih lengkap mengenai lakon carangan ini dapat ilihat pada lampiran 1 dan 2 dari buku tersebut diatas. Terutamanya lampiran 2 yang menyajikan kutipan pengertian “carangan” dari beberapa sumber tertulis, baik dari dalam maupun luar negeri, sangat penting untuk diperhatikan. Bila kita bandingkan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat pedalangan Bali, maka beberapa rumusan diatas ada yang tidak cocok dan ada juga yang persis sama/sejalan. Yang diangap tidak cocok adalah rumusan bagian A (kecuali lakon Lubdaka) C.1, C.4 (kecuali Wayang Sasak), dan D.1. Lakon Kawi Dalang adalah semua lakon baru yang disadur atau diciptakan oleh para dalang menurut kemampuan dan rasa artistiknya masing-masing. Seorang ahli linguistik berkebangsaan Amerika, Mary Sabina Zurbuchen, yang pernah meneliti bahasa pewayangan Bali membernarkan pengertian ini dengan menulis “… the Balinese call stories invented by individual dalangs carita kawi dalang” (Zurbuchen, 1987: 227). Ciri yang ditekankan dalam jenis lakon ini adalah “saduran” atau “ciptaan” dalangnya. Dengan demikian berarti lakon kawi dalang meliputi seluruh lakon carangan, lakon sempalan, dan lakon anggit-anggitan, karena ketiga jenis lakon ini adalah saduran para dalang, seperti dijelaskan diatas tadi.

Lakon Komik adalah semua jenis lakon wayang parwa yang diambil dari buku komik pewayangan atau ceritra bergambar wayang. Ini dibenarkan oleh Poerwadarminta yang menyebutkan bahwa “komik” sama dengan “cerita bergambar” (1976: 517). Komik-komik yang disusun oleh RA. Kosasih, Suherla, A. Sulaha dst. ini biasanya disewakan oleh beberapa kios atau toko buku di kota-kota, dengan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat kebanyakan. Komik memang banyak menyajikan lakon-lakon yang sangat menarik, sehingga tidaklah mustahil bila ada beberapa dalang yang memang mengangkatnya kedalam pagelaran wayang. Lakon dari klompok inilah selanjutnya dikenal dengan lakon komik.

Lakon Babad memiliki dua versi. Versi yang pertama menyebutkan bahwa lakon babad adalah lakon yang sesuai dengan dan mengikuti babonnya. Dengan begitu lakon babad dapat disamakan dengan lakon baku. Versi yang kedua menganggap bahwa lakon babad itu adalah khusus mengenai prihal dan asal-usul masyarakat Bali yang kisahnya merupakan percampuran antara sejarah dan mitologi. Kata “babad” itu sendiri mengandung makna campuran antara dongeng dengan sejarah, sehingga babad yang dalam bahasa Inggrisnya “chronical” berkonotasi dengan “zaman” atau “era”. Misalnya Babad Dalem Bedaulu, Babad Blahbatuh, Babad Pasek Gelgel, dst. yang keseluruhannya dikenal pula dengan Purana Tatwa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “babad” berarti sejarah atau riwayat (Poerwadarminta, 1976: 70). Di Bali jenis seni pertunjukan yang selalu mengetengahkan babad sebagai lakon utamanya adalah Dramatari Topeng. Dengan demikian dapat di mengerti bahwa lakon babad itu adalah lakon pokok dalam dramatari Topeng, dan lakon unduk adalah lakon pokok dalam pertunjukan wayang kulit, yang memiliki esensi yang sama, yaitu lakon baku/pokok.

Dari sekian banyak teori, pendapat, ataupun pendapat mengenai klasifikasi lakon, maka dengan memilih lakon-lakon yang “teraktif” seperti yang ditegaskan dalam judul penelitian ini, penulis maksudkan sebagai lakon-lakon yang paling populer atau paling tinggi frequensi penggunaannya, sebelum sempat memerinci katergori dari masing-masing lakon itu.

 

 

XIV. KONTRAK PERKULIAHAN

Nama Mata Kuliah

Kode Mata Kuliah/sks

Pengampu Mata Kuliah

Semester

Hari Pertemuan/Jam

Tempat Pertemuan

 

:

:

:

:

:

:

 

Pengetahuan lakon I

SPD 113/2 SKS

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

V

Senin/8.30 – 9.30 WITA

Ruang Kuliah Semester V Gedung Pedalangan

Kampus ISI Denpasar.

MANFAAT MATA KULIAH

Mata kuliah ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa agar dapat menguasai prinsip-prinsip dasar lakon wayang sebagai sumber penggarapan pewayangan.

 

DESKRIPSI PERKULIAHAN

Mata kuliah teori dengan pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon yang meliputi pengertian struktur, genre, model-model, dan unsur-unsur lakon guna menunjang penganalisaan ceritera lakon wayang.

 

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami berbagai macam dan bentuk lakon wayang sebagai sumber penggarapan lakon (C1).                                            

 

STRATEGI PERKULIAHAN

Pada setiap pertemuan, dosen memberi penjelasan singkat mengenai topik kuliah saat itu.. Mahasiswa dibagi dua kelompok, salah satu kelompok diberi tugas untuk mempresentasikan topik kuliah saat itu. Kelompok lainnya secara aktif bertanya, sehingga terjadi diskusi mendalam terhadap topik kuliah tersebut. Dosen pengajar bertindak sebagai fasilitator dan motivator.

MATERI/BACAAN PERKULIAHAN

  1. Boen, Sri Oemardjati, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, PT. Gunung Agung, Djakara, 1971.
  2. Dru Hendro, S.Sen, Komparasi Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jawa Dan Bali dalam Lakon Arjuna Wiwaha. Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1996.
  3. Feinstein, Alan (Ed.), Lakon Carangan I, Proyek Dokumentasi Lakon Carangan, ASKI Surakarta, 1986.
  4. Gedong Kirtya, Lakon Wayang dan Lakon Gambuh, Tanpa tahun.
  5. Gendra, Jero Dalang (Tamblang), Carita Kawi Padalagan, Gedong Kirtya, Singaraja, 1975
  6. Sudarta, SSP., I Gusti Putu dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., Lakon Antakusuma karya Dalang I Ketut Madra (Alm.): Analisis Struktur Dramatik dan Kajian Nilai Budayanya, Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1998.
  7. Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Diterbitkan olehProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Dirjenkeb. Depdikbud. 1985

TUGAS

 

1.Sebelum kuliah, setiap kelompok mahasiswa sudah harus mengumpulkan ringkasan dan hand-out power point materi kuliah saat itu, dan salah satu kelompok (diundi) untuk mempresentasikan dan mendiskusikannya di depan kelas.

 

2.Selama kuliah, mahasiswa dari kelompok lain, harus aktif dan serius bertanya, supaya terjadi diskusi mendalam terhadap topik tersebut, sehingga tingkat pemaha-man/penguasaan topik tersebut pada setiap mahasiswa menjadi lebih baik.

 

3.Setiap kelompok mahasiswa wajib mendiskusikan  kasus  yang diberikan oleh dosen, pengajar.

 

4.Setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini wajib membuat tugas mandiri yang judul/topiknya ditentukan kemudian. Tugas mandiri tersebut harus sudah dikumpulkan paling lambat saat UTS I (pada pertemuan ke-7)

 

KRITERIA PENILAIAN

Dalam menentukan nilai akhir akan digunakan pembobotan sebagai berikut :

Nilai teori terdiri dari 4 komponen, yaitu :

  • Absensi, presentasi, sikap, tugas, keaktifan ………=  25%
  • Ujian Tengah Semester I   (UTS I) ………………=  25 %
  • Ujian Tengah Semester II  (UTS II) ……………. =  25 %
  • Ujian Akhir Semester (UAS) …………………… =  25%

 

Nilai Akhir = Nilai Teori  (75%) + Nilai Presentasi (25%)

 

Penilaian menggunakan PAP untuk mengukur tingkat kompetensi mahasiswa

Angka                    Mutu

80 – 100                    A

65 – 79                      B

55 – 64                      C

45 – 54                      D

< 45                          E

JADWAL PERKULIAHAN

MINGGU ACARA PENGAJARAN DAN KEGIATAN KELAS KET.
     I Ritual Akademik : pengantar perkuliahan, absensi, dan sistem evaluasi. Senin, 1-2
     II Pemahaman dasar-dasar pengetahuan lakon meliputi: pengertian lakon, genre, model-model lakon, dan unsur-unsur lakon.
     III membicarakan unsur-unsur struktur lakon wayang secara umum meliputi: tema dan amanat, alur (plot). penokohan, latar (setting), waktu dan ruang dengan dilanjutkan diskusi dan tanya jawab.
     IV Membahas alur (plot) dramatik wayang dilihat dari segi mutunya (kualitatif) maupun dari segi jumlah (kuantitatif) serta dari sisi lain seperti: alur menanjak, menurun, maju, mundur, patah dan episodik.
     V Membicarakan penokohan (karakterisasi/perwatakan) wayang meliputi: tokoh protagonis, antagonis, tritagonis, dan dalam perkembangannya yaitu: watak andalan, tokoh bulat, datar/pipih, durjana, statis, dan utama.
     VI Membicarakan latar (setting) dalam arti lengkap meliputi aspek ruang dan waktu yang mendasari suatu lakuan (action) termasuk aspek suasana.
     VII Membahas dan diskusi tentang bagaimana struktur ruang dan waktu dalam lakon wayang.
     VIII Evaluasi tengah semester.
     IX Menyeleksi dan membahas bersama cerita Mahabharata pada majalah Matra oleh sutradara Peter Brook dan Jean Claud Carriere ke dalam teater modern.
     X Membicarakan fungsi dan makna struktur lakon wayang sebagai peng-ungkap tema dan amanat.
     XI Tugas: mencari, membaca dan menulis dalam bentuk paper (makalah) jenis-jenis lakonbaku, lakon carangan maupun lakon-lakon karangan.
     XII Membicarakan lakon ditinjau dari teknik penyajian dan hubungannya dengan konflik manusia, lakon dengan penulis, lakon dengan sutradara (dalang), dan lakon dengan publik (penonton).
     XIII Membicarakan pengertian lakon wayang ditinjau dari segi lakon wahyu, lakon kraman (pembrontakan), lakon perkawinan, lakon kelahiran.
     XIV Melanjutkan pembicaraan minggu XIII dengan menambahkan beberapa lakon yang mengandung ajaran kesempurnaan.
     XV Membicarakan pengertian tentang jenis-jenis dan model-model cerita lakon wayang meliputi, lakonbaku, lakon carangan, lakon karangan berikut contohnya.
    XVI Melanjutkan pembicaraan minggu XV dan menambahkan pengertian lakon sempalan dan unsur-unsur lakon menurut pendapat para pakar/ahliIndonesia maupun asing.
     XVII Minggu tenang untuk persiapan ujian akhir
     XVIII Evaluasi akhir semester

KESEPAKATAN :

  1. Mahasiswa harus mengabsen setiap kuliah, jika absensi kurang dari 75% tidak diijinkan ikut ujian (UTS/UAS)
  2. Setiap mahasiswa wajib memiliki Bahan Ajar yang sudah dirancang oleh team teaching.
  3. Jika karena sesuatu hal dosen berhalangan memberi kuliah, dapat digantikan oleh dosen lainnya dalam team teaching.
  4. Jika karena sesuatu hal perkuliahan tidak dapat dilangsungkan (ada libur mendadak), maka dosen wajib menggantinya di hari lain dengan memberi-tahukan mahasiswa.
  5. Mahasiswa saat kuliah tidak boleh memakai kaos tanpa kerah dan bersandal jepit.
  6. Mahasiswa yang ketahuan menyontek/kerjasama saat ujian dinyatakan gagal dengan nilai E.

 

 

 

MENYETUJUI :

Pengampu MK Peng. Lakon I                              Koordinator Mhs Smt.V Pedalangan

 

 

 

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.            (……….……………………………)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Estetika Wayang Kulit Bali Lakon Bima Swarga

Filed under: Tulisan — wicaksana at 2:38 pm on Rabu, Mei 8, 2013

Estetika Wayang Kulit Bali Lakon Bima Swarga

Karya Dalang I Made Sidja

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana

ABSTRAK

 

Tulisan ini mengkaji nilai estetika wayang kulit lakon Bima Swarga karya pakeliran Dalang I Made Sidja (Bona, Gianyar) yang sempat direkam ke dalam pita kaset audio. Jenis lakon ini dipentaskan Sidja dengan tradisi pewayangan gaya Sukawati (Gianyar) dengan cukup lugas, padat serta apik penyajiannya. Lakon Bima Swarga mengisahkan tentang Bima pergi ke kawah membebaskan ayahnya (Pandu) serta ibu tirinya (Madri) dari siksaan Yamadipati, dan akan dinaiknya kedua orang tua Pandawa ke sorga. Secara struktur, lakon Bima Swarga yang dipentaskan oleh dalang I Made Sidja kurang lengkap karena Bima baru sampai di neraka membebaskan Pandu dan Madri, maka lakon tersebut lebih tepat berjudul Bimaneraka. Namun demikian pemenggalan lakon tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan waktu, ruang, dan kontekstual. sebagai seni pertunjukan, jenis lakon ini mempunyai struktur yang terikat oleh kaidah-kaidah struktur dramatikal dan teatrikal pewayangan tradisi Bali seperti pamungkah, petangkilan, pangkat, pasiat, dan bugari sebagai penutupnya. Bahkan struktur lakon ini mendekati sebuah penulisan ilmiah dengan mengakhiri kesimpulan dan sekaligus konsklusinya.

Secara semiotik, jenis lakon Bima Swarga membentuk struktur global yang mempunyai fungsi dan makna bagi penghayatan dan pengkajian budaya Bali (Indonesia) sebagai sumber inspirasi garapan tema dan amanat. Tema lakon ini adalah `rna/utang` dengan amanatnya hutang seorang anak kepada orang tuannya karena ia dilahirkan dan dibesarkan, maka ia harus berkewajiban membayar dengan cara melakukan bhakti baik secara fisik (mengupacarai) maupun spiritual dengan mencakup-kan tangan `nyumbah`. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam lakon Bima Swarga meliputi, nilai ajaran dharma (kewajiban dan kebajikan); nilai yajnya (korban suci dan ketulusan); dan nilai kesetiaan (satya wacana dan suputra).

Secara filsafati, nilai estetis Wayang Kulit Bali lakon Bima Swarga tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitrayadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat pendukungnya. Dengan konsep taksu dan jengah merupakan dua paradigma yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas lewat kerja keras dan penuh pengabdian pada kesenian, yang pada hakekatnya merupakan pengabdian kepada Tuhan melalui nilai-nilai estetis yang bersifat religius. Secara estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley, bahwa Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya. Adanya keutuhan dalam keanekaragaman, keutuhan dalam tujuan, dan keutuhan dalam perpaduan dapat menambah nilai kompleksitas. Dengan adanya penonjolan-penonjolan dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian penonton pada suatu hal yang dipandang lebih kuat, akan menambah intensitas dari pertunjukan wayang.

 

 

A. Pendahuluan

Estetika atau ilmu keindahan bukanlah pengetahuan tulen (science) saja, tetapi dalam tubuhnya mengandung unsur-unsur falsafah. Unsur sciencenya adalah bagian-bagian yang dapat dikaji dengan perhitungan logis, yang seolah-olah dapat diukur dengan jelas.[1] Sedangkan unsur falsafah tentang keindahan yang selama sejarah telah menelorkan banyak ragam teori dan pandangan, akan bermakna memberi wawasan terhadap kesenian. Apakah dipandang dari sudut benda indah dari benda seni itu sendiri, apakah persepsi dari keindahan dan benda kesenian itu harus dipermasalah-kan sebagai fungsi atau kemampuan yang ada dalam hati sanubari dan jiwa manusia.

Analogi dengan hal tersebut di atas, ada beberapa hipotese yang diharapkan dapat memandu penulis dalam mengamati nilai-nilai estetika Wayang Kulit Bali `Lakon Bima Swarga` karya Dalang I Made Sidja dalam upacara pitrayadnya di Bali. Pertama, tradisi seni pewayangan dan jagad pedalangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai moral budaya para leluhur, dan sampai sekarang wayang berfungsi sebagai sajian untuk mengiringi upacara (wali) dan sekaligus hiburan (balih-balihan). Dengan fungsi seperti itu tentu ada beberapa nilai yang berperan terutama bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini akan didekati melalui estetika falsafah dengan melakukan perbandingan, pengkaitan, persamaan. Pemilihan Dalang I Made Sidja dalam penulisan ini berdasarkan pandangan bahwa, beliau termasuk salah seorang dalang `suhu` (panutan) di wilayah Bona, Blahbatuh khususnya dan Gianyar pada umumnya, bahkan di Bali. Sidja sering dijadikan narasumber (informan) dari berbagai disiplin ilmu maupun adat termasuk kader-kader dalang yang ingin mengikuti jejaknya mengetahui dan memahami berbagai sumber ceritera. Karenanya Sidja sering disebut seniman serba bisa, ia paham dan kenal betul berbagai macam pengetahuan termasuk mampu melakukannya. Sejatinya beliau sering dijadikan contoh atau tauladan sehingga secara kualitas maupun kuantitas diakui oleh para dalang dan masyarakat pencinta seni di Bali.

Kedua, sebagai sebuah karya seni, pertunjukan Wayang Kulit Parwa lakon Bima Swarga mengandung tiga unsur pokok yaitu; struktur, bobot, dan penampilan, yang masing-masing menyimpan nilai estetika dalam mendukung kesatuannya. Ketiga unsur tersebut akan diamati melalui estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley. Tulisannya yang berjudul The General Criterion Theory (sifat estetik umum), ia menyebutkan ada tiga sifat estetik pokok yang menentukan mutu kesenian yaitu, unity (keutuhan), complexity (kerumitan), dan intensity (kekuat-an).[2] Ketiga sifat pokok (primer) ini akan dijabarkan melalui teorinya Bearsley yang kedua yaitu the instrumentalist theory of aesthetic value (teori intrumental tentang keindahan dalam seni), yaitu sifat-sifat skunder yang memberi bahan penunjang bagi kehadiran sifat-sifat primer.

Sesuai dengan judul di atas, tulisan ini akan membahas beberapa persoalan yang menyangkut muatan nilai estetika Wayang Kulit lakon Bima Swarga karya Dalang I Made Sidja. Tiga hal pokok yang dibahas dalam tulisan kecil ini yakni pengertian wayang kulit dan beberapa prinsip yang mendasarinya, implementasi nilai-nilai estetika yang terkandung didalamnya. Makna lakon Bima Swarga dalam implementasi pada upacara Hindu di Bali, serta pribadi Dalang I Made Sidja yang selama hidupnya diabdikan untuk ngayah berkesenian.

 

B. Wayang Kulit Bali

Fungsi dan makna wayang, tidak sekedar sebagai hiburan tetapi juga sebagai hasil seni budaya, pendidikan, penerangan, piwulang filosofis, karenanya wayang sebagai kesenian adiluhung hendaknya disikapi dan ditempatkan pada satu keseluruhan dan keutuhan. Untuk menyikapi dan penempatkan pada proporsinya yang wajar, kita tidak cukup hanya mengenalnya, tetapi juga menghayati, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi sehingga timbul kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan. Dalang dan dunia pewayangan penting sekali diikutsertakan dalam rangka mensukseskan pembangunan bangsa Indonesia. Kedudukan, fungsi dan maknanya sangat penting terutama dalam rangka usaha untuk membina mental spritual atas jiwa dan budi pekerti kehidupan masyarakat Indonesia yaitu lewat simbolisme pementasan lakon-lakon wayang.

Hingga kini penulisan tentang wayang masih terus dilakukan, sehingga memberi kesan seolah-olah hasil kebudayaan tradisi bangsa Indonesia yang berwujud wayang merupakan sumber kajian budaya yang dapat ditimba tanpa ada keringnya. Untuk menghayati dan memahami sedalam-dalamnya masalah pewayangan, agaknya diperlukan telaah atau pendekatan secara interdisilpiner, karena telaah secara monodisipliner saja akan memperoleh gambaran semu atau sepihak. Hasil telaah dan analisa tentang wayang selama ini, pada umumnya lebih menekankan pada sisi dan makna filosofis yang diperoleh lewat dalang secara verbal, baik analitik maupun dramatiknya. Orang lebih suka mendengar atau melihat penyajian wayang dari sang dalang daripada membaca sendiri repertoirenya. Bahkan, tidak sedikit dalang yang memainkan wayang itu berdasarkan repertoire yang tidak dibaca sendiri, melainkan dari hasil mendengar dan melihat atau menonton penyajian dalang lain. Berbagai jenis karya sastra kuna yang berkembang di Bali, maka lahirlah jenis-jenis wayang kulit Bali antara lain: (1) karya sastra Mahabharata/Bharatayuda, melahirkan jenis Wayang Parwa; (2) epos Ramayana, melahirkan jenis Wayang Ramayana (sering disebut Wayang Batel); (3) karya sastra Calonarang, melahirkan Wayang Calonarang; (4) karya sastra Malat (salah satu versi ceritera Panji), melahirkan Wayang Gambuh, Wayang Arja, dan Wayang Dangkluk; (5) Cupak-Gerantang (ceritera rakyat Bali), melahirkan Wayang Cupak; (6) sastra Serat Menak (ceritera Amir Hamzah), melahirkan Wayang Sasak; (7) sastra Tantri Kamandaka, melahirkan Wayang Tantri.

Kesenian, apa pun bentuknya, pada dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman. Sebagai sebuah hasil olah rasa, cipta, dan karsa seniman, kesenian tidak akan bisa dilepaskan dari ikatan nilai-nilai luhur budaya, termasuk estetika, yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal seniman yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat dengan muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.[3]Upacara-upacara keagamaan di Bali, sangat memerlukan sekali jenis-jenis kesenian untuk menopang pelaksanaan berbagai macam bentuk upacara, seperti: seni rupa (ukiran dan lukisan di pura), seni tari, seni musik (karawitan) dan termasuk seni pewayangan. Dalam fungsinya mendukung ritual keagamaan, maka wayang kulit dapat digolongkan menjadi 2 macam yakni: (1) pertunjukan bebali, yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara dewa yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya; dan (2) pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistik dan didaktis.[4] Sesuai dengan kesepakatan pada seminar seni sakral dan profan[5] di Denpasar, menempatkan pertunjukan wayang atau seni pewayangan pada seni tari bebali (ceremonial dance), yaitu seni yang dipertunjukkan dalam fungsinya sebagai pengiring upacara dan upakara di pura atau di luar pura. Namun kalau diteliti lebih cermat dalam kenyataan di lapangan tidaklah semua pertunjukan wayang berfungsi sebagai pengiring upacara.

   Wayang Sapuh Leger dalam prakteknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara, akan tetapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari keseluruhan upacara, Wayang Sapuh Leger termasuk seni wali (sacred relegious) yaitu berfungsi sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama. Atas dasar kenyataan tersebut (pertunjukan) wayang dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni: (1) wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi sebagai bagian dari keseluruhan upacara yang dilaksanakan; (2) wayang bebali, pertunjukan wayang sebagai pengiring upacara di pura atau dalam rangkaian upacara panca yadnya, seperti Wayang Lemah dan Wayang Sudamala; (3) wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk tontonan umum yang fungsinya diluar wali dan bebali dengan menitikberatkan fungsi seni dan hiburannya.

 

C. Lakon Bima Swarga

Hariani Santiko mengatakan bahwa, diantara tokoh-tokoh pewayangan (khususnya Mahabharata), lima bersaudara yang dikenal dengan Panca Pandawa, anak dari raja Pandu dengan dua istri Kunti dan Madri dari kerajaan Astina. Dari kelima bersaudara tersebut, tokoh Bima yang sangat dikenal dan mempunyai kedudukan istimewa pada jaman Majapahit. Hal itu terbukti dengan ditemukannya relief atau arca Bima terpahat di candi Sukuh berceritera tentang Bima Swarga dan relief Nawaruci (Bimasuci) dipahat pada dinding pertapaan Kendalisada di lereng gunung Penanggungan.[6]  H.I.R. Hinzler menginformasikan bahwa di Bali ditemukan sumber sastra naskah Bima Swarga berbentuk prosa dan puisi antara lain, yang berbentuk prosa ditemukan sebuah lontar memuat ringkasan kisah Bima Swarga berupa Satua Kawi Pedalangan (satua wayang) yang didapatkan di Tampekan (?), menurut versi dalang tersebut berasal dari tahun 1930-an, sedangkan yang berbentuk puisi berupa tembang (pupuh) dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno koleksi Gedong Kirtya (Singaraja) dan Fakultas Sastra UNUD Denpasar.[7]Sri Reshi Ananda Kusuma juga menyampaikan hal senada, bahwa naskah Bhima Swarga yang diterbitkan oleh CV. Kayumas Denpasar dan Pusat Satya Hindu Dharma Indonesia, merupakan salinan lontar milik Fakultas Sastra UNUD Denpasar dengan nomor Lor. 318. Kantor Dokumentasi Budaya Bali (Pusdok) Denpasar juga mengalihaksarakan lontar Bima Swarga yang didapatkan di Gedong Kirtya dengan nomor Lor. IIIb.375/17, disalin pada tanggal 12 Juli 1971, dan 5 Oktober 1978.

Mengamati kedua teks/naskah Bima Swarga tersebut di atas (Lor.318 dan IIIb.375/17) terdapat persamaaan dan perbedaannya. Secara puitis, kedua naskah tersebut sama-sama memakai tembang (pupuh) dengan alur ceritera pokok Bima pergi ke kawah membebaskan ayahnya (Pandu) serta ibu tirinya (Madri) dari siksaan Yamadipati, dan naiknya kedua orang tua Pandawa ke sorga. Perbedaannya, pada naskah 318 memakai tembang (pupuh) dua jenis yakni Puh Adri dan Puh Pucung yang terdiri dari 328 bait, sedangkan naskah IIIb. 375/17 hanya memakai satu jenis tembang yakni Puh Adri dengan jumlahnya157 bait. Perbedaan yang lain diamati dari segi alur dramatiknya, naskah 318 memulai ceriteranya Pandu dan Madri mohon (ngame-ame) kepada Kunti dan anak-anaknya untuk membebaskan dirinya di neraka dari siksaan Yamadipati, dan selanjutnya Bima yang ditugaskan mengambil dan mencari tirta kamandalu (tirta amerta) sampai ke sorga dan berakhir Pandu dan Madri mendapat kedudukan di sorga. Sedangkan naskah IIIb. 375/17 terdiri dari tiga bagian yakni, (1) Bima dihalangi oleh para dewata untuk mencari tirta kamandalu dan sempat dibunuh dua kali oleh Bhatara Bayu yang dihidupkan kembali oleh Sanghyang Jagatnata (Bhagawan Cintya), akhirnya air kehidupan itu diberikan kepada Bima untuk membebaskan Pandu dan Mandri (1 s/d 87 bait); (2) siksaan atma-atma dalam kehidupannya di dunia berbuat tercela dilakukan oleh pasukan Yamadipati dengan berbagai cobaan dan rintangan (sejumlah 30 bait). Bagian kedua dari naskah ini yang diberi judul `Iki Kidung Atmaaruwara` mendekati sama dengan naskah no. 318 (bait 43 s/d 79). Sedangkan (3) bertajuk `Iki Kuntiyadnya`, berceritera tentang Pandawa melakukan upacara Pitrayadnya dengan persembahan kidang putih (ari sweta) ber-jumlah 40 bait.[8]

Mengamati pertunjukan wayang dengan lakon Bima Swarga yang dipentaskan oleh Dalang I Made Sidja (83 tahun) nampaknya mengikuti naskah Bima Swarga nomor 318, namun ketika penulis menonton karya pakelirannya tidak sampai tuntas. Bapa Sidja, demikian beliau sering disebut memulai dari Kunti menyuruh anak-anaknya, terutama Bima membebaskan arwah ayah dan ibu tirinya dan berakhir ketika Kunti menasehati Bima untuk wajib menyembah ayahndanya. Hinzler juga menyebutkan, bahwa rata-rata dalang di Bali melakonkan Bima Swarga tidak sampai tuntas (sama dengan penyajian Sidja), atau lakon ini di bagi dua (2) bagian yakni, diutusnya Bima membebaskan Pandu dan Madri, dan atau Bima di utus mencari tirta kamandalu di sorga. Pada bagian kedua dari lakon Bima Swarga sempat penulis tonton ketika dalang I Made Kembar (58 tahun) dari Padang Sambian (Badung) menggelar wayang dengan lakon Bima Swarga di Banjar Abian Kapas Kaja, Kodya Denpasar, Rebo, 10 Juli 2002.

Adapun jalan ceriteranya adalah Bima diutus oleh ibunya Dewi Kunti untuk mencari arwah kedua orang tuanya, raja Pandu dan Dewi Madri yang disiksa oleh pasukan cingkarabala Yamadipati di nerakaloka. Rupanya Bima tidak begitu mudah mengambil-nya, karena harus berperang melawan pasukan cingkarabala termasuk penguasa neraka loka yakni Sanghyang Yamadipati. Berkat kekuatan dan keteguhan hatinya, Bima berhasil mengangkat tulang-belulang kedua orang tuanya untuk dibebaskan naik menuju sorga. Demikian ceritera ringkas yang dibawakan oleh Dalang I Made Sidja dengan cukup lugas, padat, dan meyakinkan. Secara konvensional lakon Bima Swarga mengikuti struktur tradisi pewayangan Bali, namun yang menarik adalah adegan sikap Bima yang menolak menyembah arwah orang tuanya, justru diterangkan (dijabarkan) pada menjelang akhir pertunjukan ini yang sekaligus sebagai konsklusi. Penonton atau pendengar sempat penasaran untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi sifat `aku`nya Bima dibalik sikap keluguannya itu. Diduga bahwa, Sidja menyajikan pakeliran ini sebagai strategi dan upaya untuk mengemas dalam bentuk sanggit (pah-pahan satua) untuk menyiasati supaya penonton atau pendengar menjadi betah dan tidak bosan menonton atau mendengarkan disamping upaya-upaya lainnya.

Khusus dalam pewayangan, pengolahan lakon ini adalah hasil interpretasi masing-masing individu dari setiap dalang, oleh karenanya semua hasil pengolahan itu dikenal sebagai lakon `kawi dalang`. Sifat-sifat dan cara pengolahan itu sangat bervariasi yang menyebabkan jauh dekatnya hasil olahan dari babonnya menjadi berbeda-beda. Dari pembiakan lakon-lakon itu, kini dikenal banyak jenis-jenis lakon dalam pewayangan seperti, lakon baku (pokok); lakon sempalan (terpotong-potong); lakon carangan (cabang); lakon karangan (interpretasi); lakon babad (legenda); lakon komik (gambar); lakon anggit-anggitan/kawi dalang; dan lain sebagainya. Untuk lakon Bima Swarga termasuk lakon kawi dalang, hal itu bisa ditelusuri dari alur dramatiknya mendekati struktur alur pewayangan. Dugaan tersebut dikuatkan dengan ditemukannya kisah Bima Swarga berupa Satua Kawi Pedalangan (satua wayang) oleh Hinzler seperti disebutkan di atas. Ciri khas lakon kawi dalang adalah, seorang dalang ngakit/nganggit satua (membuat pola ceritera) dengan cara mengambil ceritera pokok (babon) dari Astadasaparwa (Mahabharata) sebagian/ episode, kemudian mengarang (ngawi) dengan adaftasi dari naskah-naskah lain yang sesuai dengan kondisi dan situasi (kontekstual) seperti, Yamapurana Tatwa, Atma Prasangsa. Lakon Bima Swarga dalam pertunjukan wayang kulit sangat jelas mengiringi upacara pitra yadnya (ritual kematian). Lakon Bima Swarga dipentaskan pada waktu malam hari menjelang puncak upacara ngaben/pitra yadnya (H.–1), sehingga lakon ini berfungsi sebagai media komunikasi, persembahan simbolis, keserasian norma-norma masyarakat, pengukuhan sosial dan upacara keagamaan, dan menggugah rasa indah dan kesenangan, atau lebih singkatnya memberikan tontonan dan tuntunan.

 

D. Dalang I Made Sidja

Di Kabupaten Gianyar telah dikenal sebagai gudangnya seniman di Bali. Salah seorang diantaranya adalah I Made Sidja, seorang dalang cukup terkenal tidak saja di Bali, namun di Indonesia bahkan ia juga dikenal di luar negeri. Bapa Sidja, demikian ia sering disebut lahir di Banjar Bona Kelod, Desa Belega, Kecamata Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, tahun 1933 dari perkawinan antara I Wayan Gentur dengan Ni Nyoman Gedor. Berbekal pendidikan formal Sekolah Rakyat (SR), Sidja memper-sunting gadis sekampungnya bernama Ni Nyoman Saprug, telah lahir 10 orang anak tetapi yang masih cuma 6 orang  diantaranya; 1) Ir. I Nyoman Sanglah; 2) Ni Ketut Sulandari; 3) Ni Wayan Sasi; 4) I Made Sidia, SSP., M.Sn.; 5) Ni Nyoman Sari, SSn.; dan 6) I Wayan Sira, SSn. Semenjak ditinggalkan istri tercinta, Sidja mengasuh keenam anaknya dan menduda sampai sekarang dan itu ia lakoni dengan ketabahan dan kesabaran yang tinggi, sehingga anak-anaknya berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi dan bisa hidup bahagia bersama keluarga dan kerabatnya.

Pada tahun 1945, ia mulai tertarik menekuni bidang kesenian dan kali pertama dipelajari adalah gamelan gender wayang berguru kepada I Gusti Lanang Oka (Bona) dan Dewa Ketut Tibah (Gianyar). Untuk mendukung kegiatan berkesenian, Sidja belajar hampir seluruh jenis kesenian seperti, topeng; arja; calonarang; wayang, gender; gamelan batel; palegongan; geguntangan; menatah wayang; memahat topeng; mem-buat berbagai jenis perangkat upakara (sate tegeh/gayah; palagembal; bade; lembu dll.). Baginya belajar kesenian karena senang dan sepertinya roh kesenian menjadi panggilan hidupnya sehingga Sidja terus menjelajahi rimba seni dan budaya Bali dengan cara belajar dan belajar terus kepada guru yang dianggap mumpuni dibidangnya seperti, menari topeng dan sastra babad kepada I Ketut Rinda (Blahbatuh) dan ngwayang kepada I Nyoman Granyam (Sukawati, Gianyar). Selanjutnya berturut-turut belajar aksara Bali dari I Gusti Made Seler, geguritan, macepat dan sekar madya diajari oleh I Wayan Kereg (Blahbatuh), belajar mengukir paras, kayu, kulit dari I Gusti Nyoman Tantra dari Selat Blahbatuh, belajar membuat wayang, tapel, dan barong dari Bapak Sabung dari Blahbatuh, belajar memulas dari Bapak Laba dari Bedulu, tangkil ke puri Singapadu nunas ajah nyeket tapel barong ring Cokorda Oka, belajar ngewayang dari Bapak I Nyoman Granyam dari Banjar Babakan (Sukawati), belajar gender wayang dari Dewa Putu Pica dari Gianyar, belajar tentang filsafat mengatasi masalah penderitaan dan pepatah-pepatah kepada I Gusti Lanang Oka dari Puri Bona dan I Gusti Agung Gelgel Keramas, belajar makekawin dari I Gusti Lanang Krebek dari Selat Klungkung, belajar menari klasik dan tabuh dari I Dewa Ketut Tibah dari Gianyar, I Gusti Lanang Oka, Bapak Buja dari Blahbatuh dan I Wayan Ruju dari Batuan. Belajar membuat sesajen/banten upakara seperti, sarad, isin tukon, nama-nama jajan dari I Gusti Ketut Kontoran dari Bona Kangin, belajar membuat sate tegeh berdasarkan dharma caruban dan jagal mangsa dari I Made Sengger dari Blahbatuh dan I Wayan Rubag dari Patolan, belajar membuat Bade, Madia, Patulangan (sarana kremasi) dari I Made Redeng dari Bona Kelod, menerima seperangkat gender dan wayang dari I Gusti Lanang Oka. Saking banyak belajar dan mempraktekkannya, ia lupa tanggal dan tahun belajar karena kesibukan yang padat belum lagi banyaknya orang mendatangi rumahnya yang sederhana baik masyarakat lokal maupun tamu asing bahkan artis nasional (Muni Cader; Clif Sangra; Dewi Yul sekluarga). Dengan pakaian sederhana (kain/kamben dililit handuk), Sidja meladeni tamu-tamunya tanpa beban dan risih, dan menariknya semua senang dan betah.

Filosofi yang dianutnya adalah hidup sebuah pengabdian, dan filosofi seni yang dianutnya berkesenian adalah yajnya, betul-betul dilakoninya bersama semua anak-anak dan kerabat dekatnya. Karena itu Sidja berpesan kepada para seniman/pragina muda untuk banyaklah belajar kepada seniman tua dan carilah tutur-tutur sebagai pengetahuan (wawancara dirumahnya, Bona, Blahbatuh, Minggu, 16 Oktober 2011).

 

E. Nilai-nilai Estetik Wayang Kulit Parwa Lakon Bima Swarga

Maksud pengungkapan nilai-nilai estetik Wayang Kulit dalam tulisan ini, bukanlah untuk mengajak para pembaca agar ikut menganggap jenis tarian ini bermutu tinggi. Penulis masih menghargai subjektivitas dan pengalaman estetik yang pernah dialami dan dirasakan. Namun demikian, sungguhpun apa yang dirasakan indah oleh orang Bali dan orang asing yang pernah menggelutinya, mungkin juga tersimpul dalam benak para pembaca, terutama bagi mereka yang menggeluti bidang kesenian. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar, sebab unsur-unsur indah tidak selalu bersemayam dalam pribadi masing-masing, tetapi ia juga terkondisikan oleh sifat-sifat yang universal. Oleh karena itulah kedua aspek keindahan yaitu aspek estetika falsafah dan aspek estetika ilmiah tak dapat dipisahkan apabila membicarakan keindahan sebuah karya seni.

 

  1. 1.    Aspek Falsafah

Pembahasan nilai-nilai estetis kesenian Bali, khususnya Wayang Kulit melalui pendekatan falsafah, tak dapat dipisahkan dari konsep dan pandangan hidup orang Bali. Hal ini disebabkan seni pertunjukan di Bali bukan hanya dipandang sebagai barang hiburan dan kemewahan semata, melainkan juga dipakai sebagai alat pengikat solidaritas suatu komunitas. Lebih dari pada itu, seni pertunjukan juga dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya mencari perlindungan, atau secara magis diharapkan dapat mempengaruhi suatu keadaan. Nilai-nilai estetis yang terkandung dari pagelaran wayang fungsinya seperti ini apabila dihubungkan dengan sifat keindahan itu sendiri yaitu dapat memberikan rasa tentram, tenang, dan nyaman, bahkan rasa penyerahan diri. Padanya tidak hanya terkandung unsur indah yang dinikmati secara visual dan auditif dengan mendekati persoalan-persoalan dari luar, tetapi dengan peninjauan ke dalam, merupakan kegiatan intelek, budi, spiritual, dan rokhani. Wayang Kulit yang memiliki akar dan perjalanan budaya yang panjang, menjadi sebuah seni tradisi yang dirasakan sebagai milik bersama berdasarkan atas cita rasa masyarakat pendukungnya.

Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar dalam penghayatan agamanya yakni, tatwa (filsafat), susila (etika), dan acara (upacara/ritual, adat-istiadat). Masyarakat Bali dalam melaksanakan praktek keagamaan, lebih menekankan pada susila dan acara, sehingga padanya ada anggapan-anggapan terhadap nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai moral. Kebaikan pada dasarnya mengandung semacam aura estetik yang kuat dalam dirinya, yang mempesona, mangharukan, mengagumkan dan sebagainya. Pelaksanaan upacara keagamaan mewariskan potensi keterampilan dalam seni budaya dan disiplin rokhani, tekun bekerja dan taat pada norma-norma kehidupan manusia. Mengadakan pertunjukan kesenian baik wayang, tari maupun gamelan di pura, merupakan ungkapan pengabdian yang tinggi nilainya untuk menghormati bhatara-bhatari sebagai manifestasi Ida SangHyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan ngayah (mengabdi) menunjukkan keterampilan membuat barang kerajian yang terkait dengan upacara keagamaan. Sedangkan mesolah (menari), megamel (menabuh), ngwayang serta makidung (menyanyi) adalah ungkapan karma marga (ajaran susila) dan bhakti marga (ajaran acara) untuk mensukseskan upacara agama di Bali, sehingga ngayah menjadi motivasi utama bagi tumbuhnya kesenian Bali. Ida Pedanda Made Sidemen, seorang sastra kawi menganggap mengarang karya sastra adalah suatu kegiatan kebhaktian, dan karya sastra sebagai persembahan, jalan untuk menuju terciptanya karya yang indah yaitu kakawin. Yoga yang diungkapkan dalam bait-bait manggala (pembukaan) menjadikan sang kawi mampu `mengeluarkan tunas-tunas keindahan` (alung lango), karena ia dipersatukan dengan dewa yang merupakan keindahan itu sendiri.[9]

Pandangan tentang keindahan seperti ini banyak ditemukan pada masa Yunani klasik seperti misalnya Plato. Ia menganjurkan untuk mengabstraksikan keindahan itu dari benda atau peristiwa dunia, hingga keindahan itu dianggap sebagai kekuatan, sebagai dewa yang tidak dapat dilihat wujudnya, tetapi dewa keindahan itu dicerminkan oleh benda yang indah atau perbuatan yang baik di dunia.[10] Hal senada juga dikatakan oleh Kapila Malik Vatsyayam, yang menyebutkan bahwa di India di antara 200-100 SM, filsuf Bharata yang pertama menulis teori tentang keindahan dan kesenian (natyasastra) berdasarkan agama Hindu yakni, segala penciptaan karya seni dianggap sebagai pengabdian terhadap Tuhan sebagai suatu yoga atau pengorbanan.[11]

Pandangan-pandangan tersebut di atas juga dipraktekkan dalam berkesenian di Bali. Setiap pertunjukan seni di Bali, terlebih Wayang Kulit pada prosesnya sudah dimulai dengan memohonkan berkah di Pura Taksu yang disebut padewasan ngwayang. Mereka menyadari bahwa kekuatan niskala (supranatural) sering membantu `mendalang` sehingga penonton akan jadi terpesona dan mengaguminya. Hal inilah menyebabkan pertunjukan wayang tak habis-habisnya mempunyai kekuatan menarik karena sumbernya berpangkal pada niskala disamping kemampuan pribadi. Orang Bali, secara mitologis menganggap pertunjukan wayang berasal dari dewa-dewa di sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan dalam 2 (dua) naskah lontar yaitu lontar Siwagama, dan lontar Tantu Pagelaran. Lontar Siwa gama menyebutkan sebagai  berikut:

“…sinasâ ring lemah, ryyarepaning saluagung, ginawéken panggung Hyang Trisamayâ, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksâ dé Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling redep kacapi, rinorwan pamanjang mwang gulâ ganti, sinamening langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit ring Yawa Mandala, tinonton ing wwang akwéh.[12]

Terjemahannya…di bumi, tepatnya di depan rumah Balé Gedé, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukan wayang memakai kelir, Bhatara Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceriterakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang di bumi Jawa, orang yang menonton cukup banyak…”

Naskah lontar Tantu Pagelaran, juga menyebutkan tentang asal mula pertunjukan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut:

“…Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara panadah Bhatara Kalarudra; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tatwa bhatara mwang bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang langon-langon. Bhatara Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina hawayang,tineher habandagina hawayang, mangkana mula kacarita nguni”[13]

Terjemahannya “…Para dewata menjadi takut, Siwa yang berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan pertunjukan wayang. Mereka menceriterakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukan itu diadakan di atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memainkan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukan wayang kulit.

Pandangan masyarakat Bali untuk melegitimasi nilai-nilai estetik dalam wayang, seperti disebutkan dalam dua buah lontar tersebut diatas bahwa mahkluk-mahkluk di sorga menjadi dalang, katengkong, dan penabuh. Hal tersebut dapat diambil manfaatnya dari ungkapan di atas, bukan kebenaran fakta, melainkan makna yang mendalam bahwa wayang adalah sebuah produk seni yang dihormati, dan menjadi idola dalam masyarakat. Penciptaan yang dilakukan oleh semua mahkluk sorga, bermakna bahwa karya seni ini adalah ciptaan seniman-seniman besar yang berkedudukan tinggi. Secara filosofis memberikan pengalaman estetis seperti kesenangan, kepuasan, dan ketentram-an. Salah satu paradigma dalam kesenian Bali yang berkaitan dengan aspek filsafat adalah taksu dan jengah. Taksu adalah kekuatan dalam (inner power) yang memberi kecerdasan, keindahan dan mujizat. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Seniman muncul dengan stage presence yang memukau, sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya. Taksu kalau disalin mendekati genuine creativity, yang berfungsi meningkatkan kreativitas meliputi segala aspek kehidupan yang membawa kemajuan-kemajuan dan mempertinggi budaya bangsa. Taksu sebagai anugrah Tuhan adalah hasil kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang masing-masing dalam keadaan murni. Jengah dalam konteks budaya (seni) Bali memiliki konotasi sebagai competitive pride yaitu semangat untuk bersaing, guna menumbuhkan karya seni yang bermutu. Sementara taksu memiliki arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah adalah sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu.[14] Nilai adiluhung pedalangan/pewayangan termasuk jenis pertunjukan yang `utameng-lungguh` dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bali. I Gusti Ketut Kaler sebagaimana dikutip oleh Ketut Rota, sempat berucap “…punika awinan pangringgitane sinanggeh pagelaran utameng lungguh, punapi malih sane marupa wali  sekadi wayang lemah, sudhamala, miwah sapuh/empu leger…”.[15]Pernyataan tersebut di atas mengisyarat-kan kesadaran seorang dalang bahwa, kekuatan niskala (supranatural) sering membantu pertunjukan wayang sehingga penonton akan jadi terpesona melihatnya. Disamping kemampuan spiritual, dalang diharapkan mampu menguasai unsur-unsur seni yang membangun keseluruhan pentas pewayangan.

  1. 2.    Aspek Ilmiah

Sebagai sebuah karya seni, Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya.  Sedikitnya ada 6 (enam) unsur estetik yang saling terkait dan seirama dan terjalin dalam satu sajian wayang antara lain; seni drama, seni rupa (lukisan, tatahan, wanda), seni sastra, seni suara (vokal dan antawacana), seni karawitan, seni tari (gerak/tetikesan/gaya), dan seni yang lainnya. Wujud visual dari pertunjukan wayang merupakan perpaduan  harmonis dari beberapa unsur seni yang masing-masing saling mendukung keutuhannya dalam satu lakon (lampahan/satua). Wujud lakon melibatkan dua dimensi yakni, dimensi ruang dan waktu. Hal tersebut dapat diukur, karena libatan dimensi ruang dan waktu akan terbawalah dalam pewayangan yang memiliki unsur-unsur estetika. Ternyata diketemukan tiga unsur mendasar yang berperan dalam sebuah struktur pertunjukan wayang yang menimbulkan rasa indah pada sang pengamat yaitu, keutuhan, penonjolan, dan keseimbangan. Keutuhan yang dimaksud adalah bahwa karya yang indah menunjukkan dalam keseluruhannya yang utuh, bermakna antara semua unsurnya, yang satu memerlukan kehadiran yang lainnya, dan saling mengisi.[16] Perpaduan tiga dasar sebuah pertunjukan yakni; wiraga, wirasa, dan wirama seperti motif-motif gerakan/ tetikesan wayang dihubungkan dengan vokal dalang (alas harum, bebaturan) berpadu dengan dialog (antawacana) serta iringannya, kesemuannya itu berfungsi ke arah satu tujuan yaitu keutuhan, kebersatuan, kekompakan (unity). Adanya keutuhan dalam keanekaragaman yang dapat memperkuat keindahan yang diketengahkan oleh Prancis Hutcheson (1694-1746) menyebutkan bahwa, karakter-karakter khusus yang nyata pada obyek yang dipersepsi, dapat mencetuskan pengalaman keindahan adalah keseragaman dalam keaneka-ragaman (uniformity in variety).[17] Apabila dihubungkan dengan teori Beardsley, adanya keanekaragaman yang berpadu inilah disebut dengan compleksity atau kerumitan yang menentukan mutu estetik karya seni.

Selain keutuhan dan kompleksitas, juga terdapat unsur-unsur yang berfungsi memperkuat intensitas pertunjukan wayang dengan mengamati adanya penonjolan-penonjolan. Hal ini sangat penting dalam sebuah pertunjukan, karena mengarahkan perhatian penonton yang menikmati karya seni kesuatu hal yang tertentu. Penonton menyaksikan pertunjukan wayang lewat bayangannya, memberi kesan/aura magis yang lebih kuat dan menonjol sebagai cermin karakter-karakter manusia. Dalam lakon Bima Swarga, tokoh yang ditonjolkan adalah Bima alias Wrekodara, karena ia berperan penting sebagai penyelamat arwah kedua orang tuannya (raja Pandu dan Dewi Madri). Selanjutnya keseimbangan tetap merupakan syarat estetik yang mendasar dalam semua karya seni, karenanya unsur-unsur keseimbangan sebagai sebuah prinsip bentuk estetik adalah persamaan dari elemen-elemen yang bertentangan atau berlawanan.[18] Di dalam pertunjukan wayang kulit, pertarungan antara kebaikan dan kejahatan digambarkan melalui pertikaian antara kelompok protagonis melawan kelompok antagonis.[19] Lakon Bima Swarga, menempatkan Bima dan Pandawa sebagai tokoh protagonis (pihak kanan) dan Yamadipati beserta kelompok nerakaloka berada di pihak antagonis (pihak kiri) yang masing-masing melambangkan kelompok yang baik dan yang buruk. Unsur-unsur keseimbangan juga terdapat dalam musik iringanya seperti gender wayang yang selalu berpasangan antara teknik pukulan polos dan sangsih.

Nilai kebenaran (kejujuran, ketulusan, kesungguhan) disajikan melalui lakon-lakon seni drama Bali yang dibangun sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak, yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur, yang berbudi tulus dengan yang tidak tulus. Lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam wayang kulit, dramatari Calonarang, arja, drama gong, dan sebagainya pada umumnya mengetengah-kan pertarungan antara nilai-nilai kebaikan dengan keburukan yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar atau setidaknya dengan akhir yang imbang (tidak ada kalah menang).[20] Di dalam seni rupa, keseimbangan yang demikian disebut dengan `a-symmetric balance` yaitu keseimbangan yang tidak simetri. Akan berbeda dengan `symmetric balance` yaitu keseimbangan yang terjadi oleh dua buah bagian yang sama seperti tubuh manusia, pinang dibelah dua, kupu-kupu dan lain-lainnya, sehingga pengalaman keseimbangan akan memberikan ketenangan. Keseimbangan yang simetri, disamping memberi rasa tenang juga memberi rasa stabil, sedangkan keseimbangan yang tidak simetris karena unsur balancenya sudah memberi rasa tenang, tetapi tenang dibarengi oleh rasa dinamis, seolah-olah akan berubah, berkesan akan bergerak. Karena faktor inilah, a-symmetrice balance mempunyai daya tarik bagi orang yang menyaksikannya.

Keutuhan dalam tujuan amat diperlukan untuk karya seni, agar perhatian penonton betul-betul dipusatkan kepada maksud yang utama dari karya seni itu. Berbicara tentang keutuhan akan mengarah pada kawasan bobot, isi, dan makna dari karya seni yang bersangkutan. Bobot atau isi yang dikandung dapat diamati melalui suasana yang ditampilkan. Intensitas pertunjukan wayang kulit Parwa lakon Bima Swarga oleh Dalang I Made Sidja, tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitra yadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Tuhan, sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat Bali yang sangat memerlukan akan kehadiran pertunjukan wayang.

Sebagai sebuah tontonan, penampilan merupakan hal yang menentukan pencapaian nilai-nilai estetik sebuah karya seni. Penampilan dimaksudkan adalah cara penyajian, cara bagaimana seni disuguhkan kepada yang menyaksikan atau khalayak ramai. Dalam penampilam terdapat tiga unsur yang berperan yakni, bakat, keterampilan, dan sarana.[21] Dalang I Made Sidja sangat piawai penyajikan pertunjukan wayang dengan cukup lugas, padat, dan meyakinkan. Secara konvensional lakon Bima Swarga mengikuti struktur tradisi pewayangan Bali, namun yang menarik adalah adegan sikap Bima yang menolak menyembah arwah orang tuanya, justru diterangkan (dijabarkan) pada menjelang akhir pertunjukan ini yang sekaligus sebagai konsklusi. Penonton sempat penasaran untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi sifat `aku`nya Bima dibalik sikap keluguannya itu. Diduga bahwa, Sidja menyajikan pakeliran ini sebagai strategi dan upaya untuk mengemas dalam bentuk sanggit (pah-pahan satua) untuk menyiasati supaya penonton atau pendengar menjadi betah dan tidak bosan menonton. Dalam sebuah sajian seni pertunjukan seperti wayang kulit, semua unsur berpadu, baik vokal dan iringannya, keterampilan sabet/tetikesan wayang, sarana pendukungnya (kelir, wayang, lampu blencong), dan gayor (tata panggung) dan yang lainnya, lebur menjadi satu sajian. Apabila terjadi ketimpangan atau penganaktirian salah satu unsur saja didalamnya, akan dapat menurunkan nilai-nilai estetis sebuah sajian karya seni. Maka penampilan merupakan hal yang sangat menentukan dalam pencapaian nilai-nilai estetik sebuah karya seni.

 

 

 

F. Kesimpulan

Wayang Kulit sebagai salah satu bentuk kesenian Bali, ternyata banyak menyimpan nilai-nilai estetis yang cukup tinggi. Didalamnya terkandung nilai estetis tidak hanya teramati lewat pendekatan filsafati, dengan konsep-konsep obyektif dari masyarakat pendukungnya, akan tetapi teramati pula melalui pendekatan ilmiawi yang bersifat umum. Dari pembahasan tersebut di atas,  dapat disimpulkan sebagai berikut:

–     Secara filsafati, nilai estetis Wayang Kulit Bali lakon Bima Swarga tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitrayadnya), karena mengandung penyerahan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat pendukungnya. Dengan konsep taksu dan jengah merupakan dua paradigma yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas lewat kerja keras dan penuh pengabdian pada kesenian, yang pada hakekatnya merupakan pengabdian kepada Tuhan melalui nilai-nilai estetis yang bersifat religius.

–     Filosofi yang dianut oleh Dalang I Made Sidja sebagai seniman adalah yajnya yakni hidup sebuah pengabdian, sehingga sebagian besar hidupnya diabdikan untuk berkesenian dalam rangka ngayah.

–     Telaah studi kesastraan, teks Bima Swarga termasuk karya sastra yang melukiskan keadaan (peniruan) alam (mimetik); menggambarkan perilaku kehidupan masyarakat yang menganut keyakinan atau kepercayaan yang digunakan sebagai pegangan iman (moral) yang menambat-kan seseorang pada satu pegangan yang kokoh (panca srada); konsep neraka dan sorga sebagai ide kebaikan dan keburukan; alat atau media untuk mencapai tujuan tertentu yakni dalam konteks sosio-budaya (pragmatik).

–     Teks Bima Swarga, menempatkan Bima sebagai tokoh sentral (sentral pigur) karena ia sangat berperan penting dalam keseluruhan lakon itu. Bima dianggap mewakili karakter seorang yang jujur, lugas, tidak pandang bulu, ulet, tidak pernah putus asa, spontan, dan tidak pernah menghindari tantangan, sehingga banyak nama disandang-nya sebagai sebuah penghargaan tinggi bagi ksatria/pahlawan yang ihklas mengorban-kan dirinya. Secara semiotik, Bima dianggap sebagai mediator yang `menjembatani` antara manusia dengan Sang Maha Pencipta (Paramasiwa).

–  Secara estetika ilmiah dengan pendekatan teori evaluasi kesenian yang diajukan oleh Beardsley, bahwa Wayang Kulit terbentuk melalui pengorganisasian secara teratur dari berbagai unsurnya. Adanya keutuhan dalam keanekaragaman, keutuhan dalam tujuan, dan keutuhan dalam perpaduan dapat menambah nilai kompleksitas. Dengan adanya penonjolan-penonjolan dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian penonton pada suatu hal yang dipandang lebih kuat, akan menambah intensitas dari pertunjukan wayang.

–  Pertunjukan Wayang Kulit memiliki struktur yang rapi dan komplek. Keteraturan itu akan menampakkan keutuhan dalam tujuan, sehingga terkandung bobot, isi, dan maknanya melalui suasana yang ditampilkan seperti, gerakan wayang (tetikesan), dialog (antawacana), gamelan (iringan), rupa/tatahan wayang. Hal tersebut mengandung kesan atau suasana tegang, meriah, dan gembira dengan bermacam gagasan atau ide yang dimunculkan seperti; kepahlawanan, kepemimpinan, percintaan. Sebagai sebuah tontonan, penampilan merupakan hal yang sangat menentukan dalam pencapaian nilai-nilai estetik sebuah pertunjukan wayang. Dengan bakat, keterampilan dan sarana yang mendukung dalam penampilan seorang dalang, akan menunjukkan ketotalan artistiknya di arena (panggung).

–  Nilai-nilai estetis yang terkandung dalam kesenian wayang yang dinikmati secara visual dan auditif apabila dihubungkan dengan sifat keindahan fungsinya dapat memberikan rasa tentram, tenang, dan nyaman, bahkan rasa penyerahan diri. Padanya tidak hanya terkandung unsur indah dengan mendekati persoalan-persoalan dari luar, tetapi dengan peninjauan ke dalam, yaitu kegiatan intelek, budi, spiritual, dan rokhani.

 

 

Sumber Acuan:

Bandem, Dr. I Made, Peranan Seniman dalam Masyarakat, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1991.

 

Hariani Santiko. “Bhima pada Masa Majapahit: Tokoh Mediator dalam Agama Hindu-Saiwa”, dalam Cempala, Edesi Bima, Majalah Jagad Pedalangan dan Pewayang-an, Penerbit Senawangi-Jakarta, 1996.

 

Hinzler, H.I.R. Bima Swarga in Balinese Wayang,The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.

 

Dickie, George, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979.

 

Djelantik, Dr. A. A. M, Pengantar Dasar Ilmu Estetika, I, Estetika Instrumental, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1990.

 

___________________, Pengantar Ilmu Estetika, II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1992.

 

Mantra, Prof. Dr. I. B, “Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Bali, Dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas”, Disampaikan dalam rangka Dies  Natalis XXII dan Wisuda Seniman Setingkat Sarjana ke-I, STSI Denpasar, 21 Febroari 1989.

 

Rota, Ketut. “Retorika sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”, Laporan Penelitian, STSI Denpasar, 1990

 

Yudha Triguna, I.B.G. (Penyunting), Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbit-kan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003.

 


[1]A. A. M. Djelantik, “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar, 1994, p. 15. Lihat Juga, Fx. Mudji Sutrisno dan Christ Vewrhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993,  p. 81

[2]George Dickie, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979, pp. 149-158

[3]I Wayan Dibia, “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003, p. 93

[4]I Gusti Bagus Sugriwa, “Ilmu Pedalangan/Pewayangan”, Konservatori Karawitan Indonesia, Djurusan Bali, Denpasar, 1963, p. 7. Karya tulisnya juga diterbitkan oleh Yayasan Pewayangan Daerah Bali dengan judul “Piagem Pedalangan/Dharma Pewayangan”, dalam Aneka Pewayangan Bali, Yayasan Pewayangan Daerah Bali, 1978, p. 15.

[5]Keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari, Proyek Pemeliharaan dan Pengembang-an Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar, Tanggal 24-25 Maret 1971, p. 2

[6]Hariani Santiko. “Bhima pada Masa Majapahit: Tokoh Mediator dalam Agama Hindu-Saiwa”, dalam Cempala, Edesi Bima, Majalah Jagad Pedalangan dan Pewayangan, Penerbit Senawangi-Jakarta, 1996.pp. 6-8

[7]H.I.R. Hinzler. Bima Swarga In Balinese Wayang,The Hague – Martinus Nijhoff, 1981.p.194.

[8]cf. Kantor Dokumentasi Budaya Bali, “Alih Aksara Lontar Bima Swarga”, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, Denpasar, 1995.

[9]Dr. A. A. M Djelantik , Pengantar Dasar Ilmu Estetika, II, Falsafah Keindahan dan Kesenian, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1992, p. 22

[10]http://en.wikipedia.org/wiki/Aesthetics

[11]http://www.google.co.id/wikipedia.org/wiki/Natya_Shastra

[12]cf. Pemerintah Propinsi daerah Tk. I Bali, “Alih Aksara Lontar Siwagama”, bait 66a, turunan lontar milik Ida Pedanda Sidemen dari Geria Sanur (Denpasar), Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar, 1988, pp. 60-61.

 [13]cf. Pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Bali, Alih Aksara Lontar Tantu Pagelaran”, bait 44b-45a, diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Denpasar, 1987, p. 43. Lihat juga Th.G.Th. Pigeaud, De Tantu Panggelaran, Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitge-geven, vertaald en toegelicht,`s-Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij, voorheen H.L. Smits, 1924, pp. 103-104.

[14]Prof. Dr. I. B. Mantra, “Masalah Sosial Budaya Khususnya Pembangunan di Bali, Dalam Rangka Menyongsong Era Tinggal Landas”, Disampaikan dalam rangka Dies  Natalis XXII dan Wisuda Seniman Setingkat Sarjana ke-I, STSI Denpasar, 21 Febroari 1989. pp. 9-10. Lihat juga,  I Made Bandem, Peranan Seniman dalam Masyarakat, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1991. p. 18

[15]Ketut Rota. “Retorika sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”, Laporan Penelitian, STSI Denpasar, 1990, p. 5.

[16]Dr. A. A. M. Djelantik, Pengantar Dasar Ilmu Estetika, I, Estetika Instrumental, Penerbit Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar, 1990,  p. 32

[17]George Dickie, Aesthetics: An Introduction, Pegasus, A Division of Bobbs-Merrill Educational Publishing, Indiana-polis, 1979, p.16

[18]Ibid.  p. 42

[19]I Wayan Dibia, “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar, 2003, pp. 101-102

[20]Dibia, op. cit., p. 101

[21]Djelantik, op. cit., p. 60