Gamelan Gong Luwang ( Data Sekunder )

Gamelan Gong Luwang

( Data Sekunder )

Data diambil dari :

Institut Seni Indonesia Denpasar

Bisnis Bali Online

Babad Bali

Seni Baliku

Buku Deskripsi Karawitan Gong Luang

Hari/Tgl Pengambilan Data :

Selasa, 16 April 2013

Pukul : 15.00 wita

Penjelasan Istilah

Gong Luang terdiri dari 2 suku kata yaitu Gong dan Luang. Kata “Gong” mengacu pada nama salah satu instrument gamelan tradisional Bali yang terbuat dari bahan perunggu bentuknya bulat seperti nakara, memiliki moncol pada sentralnya dan moncol itulah yang biasanya dipukul. Ukuran gong ini paling besar di antara barungannya ( unitnya ). Fungsinya dalam barungan adalah sebagai finalis lagu.

Istilah gong juga dipakai untuk memberi nama pada satu barungan gamelan. Contoh : Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Gong Suling, Gamelan Gong Beri dan lain sebagainya. Selanjutnya kata “Luang: atau “Ruang” atau “Rong” berarti ruang atau bidang. Istilah “Luang” ini sangat popular dipergunakan dalam dunia perundagian ( arsitektur tradisional Bali ), untuk menyebutkan nama bidang atau ruang – ruang kosong yang akan diberi hiasan berupa motif – motif ukiran dan sejenisnya. Istilah “Luang” dipakai juga penamaan salah sau gametu lagu Gambang yaitu “Menjangan Saluang”. Menjangan Saluang juga mengacu pada nama salah satu banguna suci yang terdapat di Merajan/Sanggah ( Tempat Suci keluarga bagi umat Hindu Bali ). Di Sumatra, dikenal istilah “Saluang” untuk memberi nama pada sebuah bentuk.instrumen tiup ( seruling ).

Menurut I Nyoman Raweg (Sudiana, 1982 : 4 ) istilah “Luang” berarti kurang. Dalam hal ini dikatan mengatan bahwa apabila unit gamelan tersebut kurang lengkap maka dinamakanlah Gong Luang. Tetapi, lebih lanjut Raweg mengatakan bahwa pendapat ini pun ternyata simpang siur. Pendapat lain menyatakan bahwa justru barungan yang lengkaplah bernama Gong Luwang sedangkan yang kurang bernama “Saron” yaitu terdiri atas saron, gangsa jongkok besar dan gangsa jongkok kecil. Kelompok masyarakat lain mengatakan bahwa lengkap atau tidak barungan itu tetap saja namanya Gong Luang.

Pengertian Umum

Terlepas dari pengertian “Luang”  yang terpisah – pisah serta terkesan sinpang siur buah  tersebut. Pengertian Gong Luang yang dimaksud dalam deskripsi ini tidaklah dalam artinya yang simpang siur itu bahwa yang dimaksud dengan Gong Luang secara umum adalah barungan gamelan yang terdiri dari 7 ( tujuh ) nada. 5 ( lima ) buah nada sebagai nada pokok dan 2 buah nada sebagai nada pemero berlaraskan pelog miring. Bentuk gamelan Gong Luang serupa dengan gamelan gong kebyar hanya saja Gong Luang terdiri dari 8 ( delapan ) atau 9 ( sembilan ) instrument sedangkan Gong Kebyar terdiri dari 25 sampai 30 instrumen.

Sebagaimanina diinformasikan di atas, bahwa dalam Gong Luang terdapat 5 buah nada pokok dan 2 buah nada pemero. Meskipun demikian, pada suatu saat semua nada tersebut berfungsi sebagai nada pokok tergantung pepatutan yang dipakai.

Mengenai repertoar gamelan Gong Luang, pada umumnya terdiri dari gending – gending sebagai berikut :

Ginada

Panji Marga

Lilit

Kebe Dungkul

Angklung

Dan lain – lain yang berkembang di dalam Sekehe Gong Luang masing – masing.

Sejarah

            Informasi mengenai Gong Luang. Baik yang berupa informasi oral, buku, deskripsi maupun artikel – artikrl lainnya belum banyak ditemui. Oleh karena itu maka uraian mengenai asal – usul sejarahnya lebih banyak bersifat dugaan belaka. Menurut I Nyoman Rembang gamelan Gong Luang diperkirakan berasal dari Majapahit, dibawa ke Bali oleh sekelompok orang setelah kerajaan tersebut mengalami kejatuhan. Atau bisa jadi dibawa oleh sekelompok orang tatkala kerajaan Majapahit sedang jaya. Dugaan ini dilandasi atas adanya kemiripan antara gamelan Jawa yang ada sekarang dengan gamelan Gong Luwang yang ada di Bali saat ini. Bedanya hanya terletak pada jumlah instrument. Jumlah instrument gamelan Gong Luang di Bali lebih sedikit dibandingkan jumlah barungan gamelan Jawa sekarang. Selain itu, instrument yang bernama trompong dan riyong yang semula di Jawa dijajar empat – empat dalam satu tungguh, sekarang dijadikan 8 ( delapan ) dalam satu tungguhnya.

Selanjutnya menurut Rembang bahwa apabila dilihat relief – relief gamelan yang terpampang pada dinding – dinding Candi Prambanan di Jawa Timur ternyata memiliki kemiripan dengan Gong Luang di Bali. Maka semakin kuatlah dugaan bahwa Gong Luang berasal dari Majapahit. Bukti lain yang dapat diterangkan bahwa dalam hal tembang atau lagu – lagu yang dipergunakan pada umumnya memakai iringan vokal berbahasa Jawa Kuno atau Jawa Tengahan.

Sejalan dengan pendapat di atas, informan Made Karba ( Budana, 1984 : 9 ) mengatakan juga bahwa Gong Luang berasal dari kerajaan Majapahit. Sepanjang pengetahuannya, konon pada zaman dahulu para patih dan punggawa dari kerajaan Kalianget berhasil merampas seperangkat gamelan Gong Luang dari Jawa Timur ( Majapahit ) dan langsung dibawa ke Bali. Gamelan tersebut didemonstrasikan di Desa Sangsi, Desa Singapadu Kabupaten Gianyar. Selang beberapa hari kemudian, di desa Sangsi terjadi pertempuran antara raja Sangsi melawan raja Singapadu. Akibatnya gamelan itu ditinggal begitu saja di desa Sangsi. Selanjutnya gamelan tersebut dikuasai oleh sekelompok masyarakat ( warga Pasek ) sampai sekarang. Itulah sebabnya gamelan Gong Luang tersebut dianggap sebagai milik keluarga Pasek ( Gong Luang druwe Pasek ). Sementara itu gamelan Gong Luang di desa Tangkas Kabupaten Klungkung yang dianggap sebagai Gong Luang yang paling tua usianya di Bali, memiliki sejarah yang menunjang asumsi di atas. Menurut Informan I Nyoman Gejer dari Desa Tangkas ini mengatakan bahwa ayahnya I Nyoman Digul dan Mangku Ranten pernah belajar sekaligus menjadi anggota Sekehe Gong Luang di Puri ( Kerajaan ) Klungkung. Ketika pecah perang Puputan Klungkung tahun 1908, barungan Gong Luang milik kerajaan tersebut dirampas oleh Belanda. Selanjutnya masyarakat tidak mengetahui dimana barungan Gong Luang itu berada.

            Sedangkan barungan Gong Luang yang ada di Tangkas sekarang adalah buatan baru beberapa tahun kemudian, dikerjakan di Desa Tihingan. Nada – nada Gong Luang yang baru ini dibuat semaksimal mungkin mendekati nada aslinya ( yang pernah ada di Puri ) atas jasa Mangku Ranten. Dari penjelasan informan di atas, rupa –rupanya barungan gamelan Gong Luang di Puri Klungkung tersebut berasal dari Majapahit mengingat hubungan antara kerajaan Klungkug dengan kerajaan Majapahit ketika itu sangatlah akrab.

Lain lagi cerita yang diperoleh di Desa Kerobokan Kabupaten Badung. Keberadaan Gong Luang di desa ini memiliki sejarah yang cukup unik. Sekitar abad XVI ( Sudiana, 1982 : 16 ) tersebutlah 3 ( tiga ) kerajaan kecil di desa itu yakni : Kerajaan Lepang, Kerajaan Taulan dan Kerajaan Kelaci. Ketiga raja di masing – masing kerajaan itu bergelar I Gusti Ngurah. Diceritakan bahwa raja kerajaan Lepang dan Kelaci masih muda. Keduanya sedang berusaha mencari jodoh. Di pihak lain, raja kerajaan Taulan memiliki seorang putri, selain cantik, juga ramah dan penuh sopan santun, Tidaklah mengherankan apabila banyak raja disekitarnya yang.tertarik kepada putri ini semua berminat memperistrinya. Dalam waktu cukup lama, raja Taulan bingung menjatuhkan pilihan bagi putrinyan. Namun akhirnya raja Taulan menyetujui raja dari Kelaci. Raja – raja lain yang berminat tentu saja kecewa. Namun yang paling kecewa adalah raja kerajaan Lepang.

Pada suatu hari, raja Lepang secara diam – diam memasuki kerajaan Taulan dan akhirnya berhasil menculik Sang Putri. Berita hilangnya Sang Putri segera tersebar. Raja Kelaci yang telah resmi dijodohkan menjadi sangat marah kepada calon mertuanya dan tanpa piker membakar hangus kerajaan Taulan. Raja Lepang membalas dendam lalu menyerang dan membakar hangus kerajaan Kelaci. Raja Kelaci pun berbalik menyerang dan membakar kerajaan Lepang. Konon, dalam waktu yang tidak begitu lama, ketiga kerajaan itu hancur dan rata dengan tanah. Persada Kerobokan dibanjiri darah di mana – mana. Beberapa orang rakyat yang berhasil menyelamatkan diri ke desa lain. Sepanjang pelarian itu mereka terpaksa “Ngerobok’ ( mengarungi ) darah. Daerah itulah selanjutnya dinamai desa Kerobokan.

Selang beberapa lama kemudian, seorang petani dari Desa Tektek Peguyangan yang tinggal di Kerobokan memacul tanah – tanah tegalan di bekas kerajaan Lepang. Dia sangat terkejut, karena pada tanah yang digalinya itu ditrmukan sebuah gong dan beberapa buah trompong. Gamelan tersebut diduga milik kerajaan Lepang. Seluruh benda itu dibawanya pulang dan diserahkan kepada I Dukuh Sakti. Selanjutnya, di tempat dimana ditemukannya gamelan itu didirikan sebuah Pura. Lama – lama, Pura ini digabung ke Pura Gunung Payung di Banjar Petingan – Kerobokan.

Adapun sebuah Gong dan beberapa trompong yang ditemukan itu, oleh I Dukuh Sakti dan keluarganya yang lain di sekitar Kerobokan ditambahkan lagi dengan alat – alat kelengkapan yang lain dengan mendatangkan ahlinya dari Klungkung. Konon, Pande dari Klungkung tersebut terus menetap di desa Kerobokan.

Demikianlah sejarah Gong Luang yang ada di desa Kerobokan.

Bentuk, tugas dan fungsi Gong Luang

Gong Luang diklasifikasikan sebagai gamelan golongan tua. Barungan gamelan Gong Luang tersebut pada umumnya terdiri dari :

Instrumen Berbilah : Gangsa jongkok ( 2 buah pemade dan 2 buah kantil ). Jublag 2 buah, Jegog 2 buah dan Saron.

Instrumen Bermoncol : Trompong 1 tungguh, riyong 1 tungguh, Gong, Kempur, Kajar.

Kendang 2 buah

Cengceng

Suling

Jumlah instrument tersebut tidaklah mutlak. Hal itu sangat tergantung pada kondisi daerah atau desa dimana Gong Luang itu berasal. Jumlah instrument Gong Luang Desa Kerobokan dapatt diinformasikan sebagai berikut :

Riyong 2 buah

Kendang 1 buah

Kenyong Ageng 1 buah

Saron 2 buah

Kenyong Alit 1 buah

Jublag 1 buah

Penyahcah 1 buah

Cengceng Ricik 1pangkon

Jegogan 2 buah

Kempur 1 buah

Gong 2 buah ( lanang – wadon )

Jumlah instrument Gong Luang Desa Apuan – Singapadu dapat diinformasikan sebagai berikut :

Kendang 1 buah

Gangsa Ageng 1 buah

Cengceng Kopyak 1 pasang

Riyong 2 buah

Gong 1 buah

Cengceng Ricik 1 pangkon

Gangsa Alit 1 buah

Kajar 1 buah

Jegogan 2 buah

Kempur 1 buah

Saron 2 buah

Jumlah instrument Gong Luang Desa Tangkas – Klungkung dapat diinformasikan sebagai berikut :

Gong 1 buah

Riyong Pemetit 1 buah

Riyong pemero 1 buah

Gambang 2 buah

Gangsa Alit 2 buah

Kendang Bedug 1 buah

Riyong Penyelat 1 buah

Riyong Mananga 1 buah

Gangsa Ageng 1 buah

Susunan nada yang terdapat dalam gamelan Gong Luang berjumlah 7 ( nada ) atau disebut saih pitu yaitu : ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung. Sedangkan pembagian larasnya secara proposional dibagi atas 3 ( tiga ) yaitu laras pelog, laras selendro, dan laras keselendroan. Dari sini dapat ditafsirkan bahwa Gamelan Gong Luang merupakan babon dari semua jenis karawitan yang ada sebelumnya atau yang mengenal laras pelog dan selendro. Arti sederhananya bahwa gamelan Gong Luang dapat dimainkan dalam laras pelog dan selendro. Hal ini dapat dibuktikan dari susunan nada – nadanya yang diturunkan sedemikian rupa sehinggadikenal pembagian tugas nada – nada yang disebut pepatutan : Selisir, Tembung, Sunaren, Pengenter, Baro, Lebeng. Semuanya ini dapat dikelompokkan ke dalam laras pelog. Sedangkan dalam laras selendro dapat diturunkan patutan : Sekar Kemuning, Pudak Sategal dan Isep Menyan.

Menurut system  pembagian tugas nada,, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Patet Selisir                 : 345713

Patet Sunaren              : 45712

Patet Tembung            : 34613

Patet Pengenter           : 13512

Patet Baro                   : 35612

Patet Lebeng               : 4567123

Laras Selendro :

Patet Sekar Kemuning            : 45713

Patet Pudak Sategal                : 57134

Patet Isep Menyan                  : 13547

Sebagai suatu catatan bahwa Gamelan Gong Luang ditinjau dari struktur nada yang dipergunakan hampir sama dengan gamelan – gamelan saih pitu lainnya. Itulah sebabnya suasana laras Gong Luang lebih dekat dengan gamelan Gambang. Dalam hal ini susunan nada Gambang yang ditransfer ke Gong Luang adalah sebagai berikut :

Nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung, ndang, ndaing

Pada umumnya dalam barungan gamelan memiliki ciri khas masing – masing sejalan dengan bentuk dan jumlah alat – alatnya. Demikian pula mengenai bentuk lagu ( gending ) dalam barungan Gong Luang hampir sama atau mungkin juga sama dengan kebanyakan gamelan yang memiliki susunan nada saih pitu ( tujuh nada ). Asumsi ini perlu dikaji kebenarannya. Perbedaan bentuk lagu yang didasari atas perbedaan bentuk alat, jumlah alat – alat yang fungsional misalnya akan tampak bahwa bentuk lagu – lagu Arja akan berbeda dengan bentuk lagu Gong Luang. Bahkan dalam karawitan vokal kekidungan misalnya hanya dikenal satu bentuk saja tanpa pengawak, pengisep, pengecet dan seterusnya.

Di bawah ini adalah salah satu contoh bentuk ( struktur ) lagu Gong Luang yang berjudul “Gegitan Malat” ( Komposer I Wayan Sinthi, MA sebagai berikut :

Pengawit : Diawali ucapan “Om” yang diucapkan oleh seluruh pengerawit, kemudian dilanjutkan dengan instrumentalia.

Pengawak : Gending ini pararel antara vokal dengan instrumental yang disajaikan sedemikian rupa dengan tiga kali pukulan gong.

Nyalit : Merupakan peralihan lagu berupa instrumentalia

Pengisep : Bagian lagu ini motifnya hampir sama dengan pengawak diselang – seling dengan vokal dan instrumentalia.

Nyalip : Sama dengan di atas yaitu merupakan instrumentalia yang hubung.

Pengecet : Bagian akhir dari vokal dengan irama dinamis dan semarak.

Pakaad : Bagian lagu ini mencapai final, iramanya semakin cepat dan akhirnya terjadi anti klimaks, menurun perlahan secara rikrih, lagu ditutup dengan pukulan Gong.

Bentuk lagu Gong Luang di atas sebenarnya telah mengalami pengembangan dari repertoar Gong Luang yang telah ada. Namun secara umum, repertoar di atas tetap mempertahankan keklasikan yang telah ada dan berakar kuat di dalam masyarakat. Modifikasi di atas semata – mata untuk mengikuti selera masa kini sehingga isu – isu bahwa lagu – lagu Gong Luang kurang diminati generasi muda dapat terjawab. Dmikianlah mengenai bentuk Gong Luang. Selanjutnya akan diuraikan mengenai fungsi dari masing – masing instrument Gong Luang tersebut sebagai berikut :

Pada Bagian Lagu :

Trompong berfungsi sebagai pemurba lagu : mengatur serta memimpin jalannya lagu. Tugasnya memberikan petunjuk mekanisme suatu lagu, bekerja sama dengan kendang untuk mengatur irama. Instrumen lainnya seperti Riyong, Gangsa Pamade, Kantil dan Jublag berfungsi sebagai pemangku lagu serta ikut mengiringi jalannya lagu. Tugasnya dapat  tandamengisi peluang – peluang diantara melodi berupa pola – pola, motif – motif sesuai dengan teknik pukulan masing – masing.

Pada Bagian Irama :

Kendang berfungsi sebagai pemurba irama : mengatur serta memimpin jalannya irama. Tugasnya memberi aksen serta petunjuk di dalam mengatur mekanisme tetabuhan, juga bertugas untuk memulai serta menghentikan tetabuhan. Kempur dan Jegog berfungsi sebagai pemangku  masingirama yakni ikut mengiringi tetabuhan. Tugasnya untuk memberikan sekat ( pemenggalan lagu ) serta menentukan bagian – bagian tetabuhan. Gong berfungsi sebagai pemangku irama : mengikuti serta mengiringi jalannya irama. Tugasnya untuk mengakhiri ftase –frase lagu dan tanda final sebuah lagu.

Tugas dan fungsi masing – masing instrument seperti yang disebutkan di atas tidaklah mutlak demikian. Peluang – peluang kreativitas Sang Pencipta ( Penggarap ) tetap terbuka sesuai dengan persepsi, obsesi dan wawasannya untuk menangkap perkembangan – perkembangan. Pada umumnya perubahan – perubahan tersebut. Baik berupa penambahan maupun pengurangan berkisar pada :

Instrumen Karawitan

Bentuk Gending

Teknik Pukulan

Fungsi Karawitannya.

Setelah diuraikan mengenai tugas dan fungsi dari masing – masing instrument Gong Luang, maka sekarang akan diuraikan secara singkat mengenai fungsi Gong Luang secara umum di dalam masyarakat ( fungsi sosial Gong Luang ). Pada umumnya fungsi sosial Gong Luang. Baik Gong Luang Kerobokan – Badung, Apuan – Gianyar maupun Gong Luang Tangkas – Klungkung memiliki kesamaan.

Sebagai sarana dalam upacara.

Sebagai pengiring tari dalam upacara.

Sebagai sarana “Mayah Sesangi”( Bayar Kaul ).

Sebagai Sarana Dalam Upacara

Yang dimaksud dengan “Upacara” adalah upacara adat dan agama Hindu di Bali. Pelaksanaan dari salah satu aspek agama Hindu yakni “Upacara” dan “Upacara, tertuang dalam kegiatan yang mencakup lima kegiatan dalam “Panca Yadnya”. Kelima Yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya dan Bhuta Yadnya. Untuk pelaksanaan kelima yadnya inilah Gong Luang tersebut sangat berperan.

Di dalam Dewa Yadnya, Gong Luang berfungsi sebagai penunjang upacara. Alat gamelan yang dipakai pada umumnya hanya Gong Lanang – Wadon, Kempur, Bende, Kempli, Cengceng 6 cakep, Kendang Cedugan Lanang – Wadon, Gangsa Gantung 2 buah, Gangsa Jongkok 2 buah, Riyong 2 tungguh. Perangikat ini tanpa Saron. Nama – nama gending yang biasanya dipakai : Sekar Tanjung, Lodra, Sarwa Manis, Tabuh Telu dan Gilak.

Di dalam Pitra Yadnya seperti Ngaben misalnya alat yang dipakai adalah Gong Luang saja tanpa Saron. Nama – nama gending yang biasanya dipakai adalah sama seperti yang dipakai dalam Dewa Yadnya. Sedangkan dalam rangka : Memukur” dipakai gamelan lengkap dengan Saron. Adapun nama – nama gending yang biasa dipakai adalah : Pengarit, Kembang Barig, Gondang Puyung, Belumbang, Lilit Tayog, dan Pengayat.

Sebagao Pengiring Tari

Gong Luang juga dipergunakan untuk mengiringi tari – tarian sacral. Yang dimaksud dengan tarian sacral semua tarian yang dilibatkan secara fungsional di dalam rangkaian upacara adat dan agama. Misalnya Tari Topeng, Tari Baris Poleng, Tari Pendet, Tari Rejang dan lain sebagainya.

Sebagai sarana “Mayah Sesangi” ( Bayar Kaul ).

Tradisi ini terjadi di Desa Kerobokan – Badung. Salah satu kasus diuraikan seperti berikut ini :

Salah seorang warga mempunyai anak berusia kurang lebih dua tahun. Pada suatu malam, anak itu menangis tanpa sebab dan sulit dikendalikan. Kedua orang tuanya mulai bingung dan mulai membayangkan adanya gangguan – gangguan “Niskala” ( abstrak ). Dalam keadaan tak berdaya seperti itulah Si Orang Tua “Mesesangi” ( berjanji ) dan diucapkan dalam Bahasa Bali sebagai berikut : “Dumadak ja panak titiange wusan ngeling, tiyang mesesangi pacang ngaturang tipat tampul ring Gong Luange ( Semoga anak saya berhenti menangis. Kalau berhenti menangis, saya akan menghaturkan ketupat dihadapan Gong Luang ).

Ternyata setelah selesai dia berucap demikian, anaknya berhenti menangis. Maka keesokan harinya, orang tua anak itu menghaturkan ( Bayar Kaul ) ketupat dihadapan barungan gamelan Gong Luang di desanya itu. Kasus – kasus semacam ini sering terjadi di Desa Kerobokan dan masyarakat di sana menganggap sesuatu yang aneh tapi nyata dan jadilah peristiwa demi peristiwa itu sebagai tradisi.

Sesaji atau Upakara.

Di Bali pada umumnya setiap Gamelan yang akan dipergunakan ( dipentaskan ) didahului dengan sebuah haturan sesaji.Tujuannya adalah agar kekuatan yang berstana di dalam gamelan tersebut merestui sehingga pada gilirannya pertunjukan akan mencapai sukses. Demikian pula yang dilakukan terhadap gamelan Gong Luang.

Gamelan Gong Luang Banjar Apuan Desa Singapadu misalnya pada waktu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya sebelum dipentaskan oleh pendukungnya dihaturkan sesajian yang disebut “Santun Gede” yang isi setiap bentuk sesajinya berjumlah empak yaitu :

Tampak ( empat buah )

Base Tampinan ( empat buah )

Benang Iluk –iluk ( empat buah ).

Telur Itik ( empat buah )

Gantusan mewadah kojong ( empat buah )

Biu mewadah kojong ( empat buah )

Canang sari ( empat buah )

Beras 2 kilogram

Disamping Santun Gede seperti disebutkan di atas, ada juga beberapa jenis sesajian lainnya yakni Suci Asoroh, peras ajengan asoroh, kawisan asoroh ditambah dupa, penastan, cecepan, tetabuhan arak berem, sesarik tepung tawar, segan cacahan, air suci, tipat gong, dan uang seribu rupiah dan seribu uang kepeng.

Sedangkan sesajen Desa Kerbokan terdiri dari :

Peras

Sodan

Daksina

Tipat Akelan

Tipat Gong ditambah uang seribu rupiah.

Segan Poleng ( hitam – putih ) satu tanding

Dupa

Air Suci dan Arak Berem.

Apabila dimainkan dalam upacara Ngaben, sesajinya sama seperti di atas ditambah Suci, Daksina Gede, Ulam Ayam, Bebakaran dan Nasi Rongan. Sebagai penghormatan kepada penyungsung Gong Luang tersebut, setiap enam bulan sekali ( pada hari Galungan ), diadakan pula penghormatan kepada gamelan itu dengan menghaturkan sajen sebagai berikut :

Peras Pengambian

Pesucian

Biakaon

Pajegan

Segan Putih – Kuning

Rantasan

Dupa

Air Suci

Arak Berem

Haturan ini selanjutnya diberikan kepada Kelian dimana Gong Luang itu disimpan. Perlu diinformasikan bahwa “Odalan” Gong Luang di Desa Kerobokan jatuh pada Buda Kliwon Matal. Pelaksanaannya diselenggarakan di Pura Gunung Payung di sebelah utara desa. Sesajen pada waktu odalan itu adalah Pregembal empat bungkul, Suci 30 buah, Jerimpen 9 buah, Canang Rebong di atas dulang, Peras Pengambian 40 tanding, Seluruh biaya ini ditanggung oleh penyungsung pokok berjumlah 4 keluarga.

Kiriman I Wayan Putra Ivantara, Mahasiswa PS Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Gamelan Gong Luang adalah barungan gamelan Bali yang berlaraskan pelog 7 nada dipergunakan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya atau Memukur. Laras 7 nada yang dipergunakan dalam Gamelan Gong Luang dapat dibagi menjadi 7 patet yaitu :

  • Patet Panji Cenik
  • Patet Panji Gede
  • Patet Wargasari
  • Patet Mayura Cenik
  • Patet Panji Miring
  • Patet Kartika

Gamelan Gong Luang ini dapat didengar pada saat ada upacara Memukur yang pada umumnya biasanya di lakukan di Puri atau Griya. Dan jenis – jenis lagu/gending gong luang yaitu :

1. Gending Lilit Panji Alit

2. Gending Lilit Nyora

3. Gending Lilit Warga Sari

4. Gending Lilit Panji Cinada

5. Gending Lilit Panji Demung

6. Gending Sih Miring

Dr. Made Bandem, dalam bukunya yang berjudul “ Ensiklopedi Musik Bali” mengatakan bahwa  bentuk gamelan Gong Luang serupa dengan Gamelan Gong Kebyar,dimana Gong Luang hanya  terdiri dari tiga belas atau lima belas instrumen, sedangkan Gong Kebyar memakai dua  puluh lima sampai tiga puluh instrumen.

Adapun instrumen-intrumen yang ada dalam barungan gamelan Gong Luang sebagai berikut:

– 1 tungguh gangsa jongkok besar ( 7 bilah )

– 1 tungguh gangsa jongkok kecil ( 7 bilah )

– 1 tungguh saron bambu ( 8 bilah )

– 1 tungguh reong ukuran besar ( 8 pencon )

– 1 tungguh reong ukuran kecil ( 8 pencon )

– 2 buah jegogan ( 7 bilah )

– 2 buah jublag atau calung ( 7 bilah )

– 1 buah kendang cedugan

– 6 buah ceng-ceng kopyak

– 1 buah ceng-ceng ricik atau kecek

– 1 buah gong

– 1 buah kempul

– 1 buah kajar

Jadi dalam memainkan gamelan Gong Luang diperlukan kurang lebih 20 orang penabuh gamelan.

Teknik Permainan pada Gamelan Gong Luang

Teknik atau gegebug dalam gamelan bali merupakan suatu hal yang pokok, Gegebug atau teknik permainan bukan hanya sekedar keterampilan memukul dan menutup bilah gamelan, tetapi mempunyai konotasi yang lebih dalam dari pada itu. Gegebug mempunyai kaitan erat dengan orkestrasi dan menurut prakempa (sebuah lontar gamelan Bali) bahwa hampir setiap instrument memiliki teknik tersendiri dan mengandung aspek „‟physical behavior‟‟ dari instrumen tersebut. Sifat fisik dari instrumen-instrumen yang terdapat dalam

gamelan memberi keindahan masing-masing pada penikmatnya.

Teknik memainkan gamelan Gong Luang sangat khas dan unik yang tidak didominasi oleh teknik kotekan-kotekan. Teknik permainan Gong Luang juga merupakan sumber dari teknik permainan gamelan Bali lainnya. Dalam gamelan Gong Kebyar, teknik tersebut ditransformasikan dengan istilah ‟‟leluwangan‟‟.  Berikut ini merupakan teknik permainan yang dipakai dalam gamelan Gong Luang ;

Teknik permainan pada instrumen Terompong atau Reyon

–         Pukulan Ngempat/ngembyang, yang dimaksudkan adalah, memukul secara bersamaan dua buah nada yang sama dalam satu oktafnya.

–         Pukulan Ngempyung, yang dimaksudkan adalah memukul secara bersamaan dua buah nada yang tidak sama yaitu memukul dua buah nada dengan mengapit dua buah nada ditengah-tengah.

–         Pukulan Nyilih Asih adalah memukul beberapa nada satu persatu, baik dilakukan dengan satu atau dua tangan secara berurutan maupun berjauhan.

–         Pukulan Norot Pelan adalah memukul dengan tangan kanan dan kiri dengan sistem pemain memukul sambil menutup atau nekes dimana pelaksanaannya bergantian.

–         Pukulan ubit-ubitan adalah teknik ermainan yang dihasilkan dari perpaduan sistem on-beat (polos) dan of-beat (sangsih). Pukulan polos dan sangsih jika dipadukanakan menimbulkan perpaduan bunyi yang dinamakan jalinan atau bisa disebut interlocking.

Teknik permainan pada instrumen Gangsa Jongkok Besar dan Kecil

–         Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi.

Teknik permainan pada instrumen Saron bamboo

–        Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi.

–        Pukulan Niltil adalah pukulan satu nada dengan tangan kanan atau kiri yang temponya semakin lama semakin cepat. Pukulan ini biasanya digunakan pada saat mencari pengalihan gending atau lagu.

–        Teknik Nyangsihin atau ngantung. Pukulan ini bertujuan untuk membuat suara instrumen saron lebih terdengar.

Teknik permainan pada instrumen Jublag atau Calung

–          Pukulan Neliti/ Nyelah adalah memukul kerangka gending atau lagu secara polos dalam arti tidak memakai variasi, pada instrumen Jublag atau Calung pukulannya lebih jarang.

Teknik permainan pada instrumen Jegog

–         Pukulan Ngapus menggunakan tutupan sambil memukul sebelum memukul nada/bilah selanjutnya.

Teknik permainan pada instrumen kendang

–        Pukulan kendang di dalam gamelan Gong Luang, hanya dimainkan pada waktu akan mencari gong atau habisnya satu putaran lagu dan dipukulnya menggunakan panggul.

Teknik permainan pada Ceng-Ceng Kopyak

–        Pukulannya disini, dimainkan dengan sistem cecandetan ceng-ceng kopyak pada umumnya.

Teknik permainan Ceng-Ceng Kecek

–         Pukulan Ngajet adalah memukul intrumen ceng-ceng dengan kedua tangan secara bergantian.

Teknik permainan Kajar

–        Pukulan Penatas Lampah adalah pola pukulan kajar yang menggunakan pola ritme yang sama atau ajeg dari satu pukulan kepukulan yang lain dan mempunyai jarak dan waktu yang sama.

Teknik permainan pada instrumen Kempul

–        Nama pukulannya adalah Selah Tunggul,yang dimana pukulan kempul jatuh sebelum instrumen Gong dibunyikan.

Teknik permainan pada instrumen Gong

–        Jatuhnya pukulan Gong, menandakan lagu itu sudah berakhir karena fungsi dari instrumen gong merupakan sebagai finalis dan nama pukulannya adalah Pukulan Purwa Tangi.

Jadi dapat disimpulkan teknik-teknik gegebug atau pukulan pada gamelan Gong Luang sebagian besar sama dengan teknik-teknik permainan pada gamelan Gong Kebyar dan Gong Gede.

Dari Arena PKB XXXIII
Melalui PKB, Lestarikan Gamelan Gong Luang
GAMELAN luang atau gamelan saron merupakan salah satu gamelan barungan cukup langka di Bali . Dalam ajang PKB XXXIII, Sekeha Gong Luang Banjar Tegeh, Desa Kerobokan, Badung, Minggu (19/6) kemarin menampilkan kesenian karawitan klasik gong luang di Kalangan Angsoka Taman Budaya dalam rangkaian pelestarian.

Gamelan gong luang ini sangat jarang ditampilkan di wilayah kabupaten/kota yang ada di Bali . Kondisi gamelan barungan ini hampir sama dengan barungan gamelan yang ada pada saat ini. Hanya perbedaan gamelan gong luang disisipkan sebuah gamelan barungan yakni gamelan saron.

Gamelan gong luang berlaras pelog 7 nada, yang disisipkan dua nada pamero. Instrumen dalam gamelan gong luang ini meliputi  satu kendang cedugan, satu tungguh reong, satu pasang penyacah, satu pasang jublag, satu pasang jegogan, satu pasang gong lanang wadon ,  satu buah kempur, satu buah kajar, dan satu set cenceng.

Dalam barungan instrumen gong luang ini disisipkan satu instrumen saron terdiri dari satu tunggu tingklik (instrumen bilahnya terbuat dari bambu), dan sepasang kenyong (menyerupai gangsa jongkok).

Gamelan gong luang ini biasanya dipergunakan pada upacara memukur/maligya , dan dewa yadnya . Dalam ajang PKB XXXIII hanya ditampilkan gending gong luang untuk acara memukur .

Adapun gending-gending yang ditampilkan dalam acara memukur   merupakan gending klasik meliputi, gending pengawit, blumbungan, gondang puyung, lilit, tayog, pengayat kembang barig.

Secara umum, gamelan gong luang juga digunakan untuk mengiringi upacara dewa yadnya . Gending yang dimainkan meliputi gending klasik tabuh telu lelambatan , dan gending klasik tabuh pat lelambatan . Gamelan gong luang juga digunakan untuk mengiringi tari rejang dewa, tabuh tari baris punia, dan tari topeng bondresan.

Ketua Sekeha Gong Luang Banjar Tegeh Desa Kerobokan Kabupaten Badung, Nyoman Gatra, didampingi pembina tabuh, Wayan Pustaka Alit mengatakan, gamelan gong luang lebih banyak digunakan saat acara memukur , dan dewa yadnya untuk wilayah Denpasar, dan Badung Selatan (khususnya di Desa Kerobokan)

 

GAMELAN WAYAH Gong Luwang

»Gamelan Wayah «» Seni Karawitan «» Seni Suara

Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar, termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti dalam pagelaran dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi adegan memandikan mayat atau mandusin watangan.

Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.

Instrumentasi gamelan gong Luwang adalah:

Jumlah Satuan Instrumen
1 buah saron cenik
1 buah saron gede
2 buah jegogan
1 buah trompong
2 buah gong ageng
1 buah kempur
2-4 pasang cengceng kopyak
2 buah gambang bambu (saron)
2 buah kendang
     

Tabuh yang biasa dimainkan antara lain:

 
Labda  
Ginada  
Lilit  
Manukaba  
Tabuh Wargasari  
Panji Cenik (dari tabuh Gambang)  
Tabuh-tabuh Gong Luwang sangat melodis yang diwarnai oleh perpaduan ubit-ubitan reyong dan gambang yang khas yang diberi aksentuasi oleh saron dan jegogan. Peranan kendang sangat kecil karena suara kendang hanya terdengar mendekati jatuhnya gong untuk menandakan akhir dari suatu bagian komposisi. Hingga dewasa ini Gong Luwang masih hidup didesa Singapadu (Gianyar), Tangkas (Klungkung), Kerobokan (Badung) dan Kesiut (Tabanan) SMKI Bali dan STSI Denpasar juga memiliki masing-masing memiliki 1 barung gamelan Gong Luwang.

Sumber: Team Survey ASTI

 

Gong Luwang

Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar, termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti dalam pagelaran dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi adegan memandikan mayat atau mandusin watangan.

Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.

Instrumentasi gamelan gong Luwang adalah:

Jumlah Satuan Instrumen
1 buah saron cenik
1 buah saron gede
2 buah jegogan
1 buah trompong
2 buah gong ageng
1 buah kempur
2-4 pasang cengceng kopyak
2 buah gambang bambu (saron)
2 buah kendang

 

Istilah – istilah Teknik Permainan Instrumen Trompong

Ngeluluk : Pukulan Ngeluluk adalah nama dari salah satu pukulan tompong yang merupakan pengembangan dari pukulan Nyilih Asih. Pukulan ini dapat dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri yanga memakai satu nada atau satu moncol sebanyak 2 ( dua ) kali

Pukulan Ngembat/Ngangkep : Pukulan Ngembat atau Ngangkep adalah nama dari salah satu pukulan trompong yang dilakukan dengan cara memukul bersma dua buah nada yang sama dengan jarak empat nada.

Ngempyung/ Ngero : Pukulan Ngempyung atau Ngero adalah nama dari salah satu pukulan trompong yang dilkukan dengan cara memukul bersama dua buah nada yang berbeda dengan jarak dua nada yang nantinya kedengaran jadi satu nada.

Neliti : Memukul pokok gendingnya saja.

Nyele : Pukulan yang menjelaskan lagu yang dimainkan

Ngempyung atau ngero : memukul dua buah nada secara bersamaan yaitu nada ndang dan ndeng sehingga kedengarannya adalah nada ndang

Nyintud :  Pukulan Nyintud adalah pukulan yang dilakukan oleh tangan kiri atau tangan kanan memukul dua buah nada yang berbeda. Satu diantara nada tersebut dipukul dua kali secara berturut – turut kemudian diikuti oleh satu pukulan instrument jegogan. Pukulan Nyintud sebelumnya disertai dengan pukulan Niltil untuk menuju tekanan lagu. Pukulan ini biasabya terdapat pada bagian gending perangrang untuk memberi tanda saat akan jatuhnya pukulan jegogan.

Nyilih Asih : Pukulan Nyilih Asih adalah salah satu pukulan trompong yang memukul beberapa nada satu persatu. Baik dilakukan satu tangan atau dua tangan secara berurutan atau berjauhan.

Nyekati : Pukulan yang banyak melepas dari pukulan pokoknya dan bertemu pada bagian akhir satu pada. Sama dengan memukul dan ditutup dengan panggul yang biasa terdapat pada perangrang.

Ngumad/Ngalad ( membelakangi ) : Pukulan ini adalah pukulan instrument trompong yang  dan dilakukan oleh tangan kanan atau tangan kiri yang memukul dengan membelakangi melodi pokok gendingnya yang biasanya dilakukan pada pukulan Ngembat/Ngangakep dan Nyilih Asih yang jatuhnya di bagian tengah – tengah dan bagian akhir lagu.

Nguluin ( mendahului ) : Pukulan Nguluin ( mendahului ) adalah pukulan instrument trompong yang dilakukan oleh tangan kanan atau tangan kiri yang memukul dengan mendahului lakukan melodi pokok gendingnya yang biasanya dilakukan pada pukulan Ngembat/Ngangkep dan Nyilih Asih yang jatuhnya di bagian tengah – tengah dan akhir lagu.

Nerumpuk : Pukulan ini adalah pukulan instrument trompong yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri yang memukul satu nada atau satu moncol yang beruntun silih berganti dalam tempo yang agak cepat.

Ngoret : Memukul tiga buah nada yang ditarik dari besar ke kecil.

Ngoret Nyilih Asih : Pukulan yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri dengan memukul tiga buah nada yang berbeda dan berurutan yang arah nadanya ke arah yang lebih tinggi/kecil.

Ngoret Ngembat/ Ngangkep : Pukulan yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri dengan memukul tiga buah nada atau moncol yang berbeda dan berurutan, Di pi hak tangan kanan memukul dua buah nada dan tangan kiri memukul dua buah nada juga. Satu diantaranya tiga buah nada yang dipukul oleh tangan kiri sama dengan tangan kanan.

Ngoret Ngempyung : Pukulan yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri dengan memukul tiga buah nada atau moncol yang berbeda. Tangan kanan memukul dua buah nada dan tangan kiri memukul satu buah nada. Satu diantaranya tiga buah nadayang dipukul oleh tangan kiri berbeda dengan yang dipukul oleh tangan kanan.

Netdet :  Pukulan Netdet adalah nama dari salah satu pukulan trompong yang merupakan perkembangan dari pukulan Nyilih Asih yang artinya pukulan dua buah nada yang jejer yang saling berganti. Nada yang lebih kecil dipukul dan ditutup oleh tangan kanan dan tangan kiri memukul nada yang lebih besar atau rendah. Pukulan ini biasanya dipakai pada lagu/gending perangrang.

Ngandet : Pukulan Ngandet adalah pukulan yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri bergantian memukul dua moncol yang nadanya berurutan. Pukulan pencon tangan kanan ditutup dan pukulan tangan kiri dibuka ( tidak ditutup ).

Niltil : Pukulan Niltil ini adalah pukulan satu nada dengan tangan kanan atau tangan kiri yang temponya atau layanya makin lama makin cepat. Pukulan ini biasanya digunakan diantaranya pada salah satu bagian gending “Pengalihan” atau Perangrang.

Makaad : Pukulan Makaad adalah pukulan instrument trompong yang memukul tiga buah nada yang arahnya ke kiri atau ke nada yang yang lebih besar yang dilakukan oleh tangan kanan 2 ( dua ) nada dan tangan kiri 1 ( satu ) nada.

Laporan Pengamatan & Analisa Pagelaran Ujian Tugas Akhir Gelar Sarjana S1 ISI Denpasar Pada hari Rabu, 22 Mei 2013

Laporan

Pengamatan dan Analisa

Pagelaran Ujian Tugas Akhir Gelar Sarjana S1

ISI Denpasar

Pada hari Rabu, 22 Mei 2013

 

Ujian Tugas Akhir

Ujian Tugas Akhir merupakan tugas yang wajib dilaksanakan oleh mahasiswa sebagai salah satu syarat untuk mengakhiri studi. Ujian Tugas Akhir ini bisa berupa skripsi atau karya seni sesuai program studi yang ditempuh pada setiap fakultas.

Tari Kreasi Baru

Menurut catatan matakuliah Pengetahuan Tari yang saya dapat pada semester 1 bahwa berdasarkan koreografi tari kreasi baru merupakan tari yang gerakannya masih berpijak pada uger – uger pola gerak tari tradisi dan yang lepas dari tradisi ( kontemporer ).

Cerita

Cerita yang diangkat dalam karya tari Ni Wayan Lia Candra Dewi yang berjudul “Satyeng Guru”adalah cerita yang berasal dari Epos Mahabarata yang menceritakan seorang pangeran dari kaum Nisada ( kaum paling rendah/pemburu ) yang berkeinginan kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Kerajaan Hastina Pura dan berguru langsung kepada Bhagawan Drona. Namun niatnya ditolak karena kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, keinginan dan janji Bhagawan Drona untuk menjadikan Sang Arjuna sebagai satu – satunya ksatria pemanah yang unggul di jagat raya yang mendapat pengajaran langsung dari Sang Guru.

Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecakapan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, di tengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalawya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona.

Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik di antara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalawya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona,

 

Hasil Pengamatan dan Analisa

 

Judul Karya     : Satyeng Guru

Penata                         : Ni Wayan Lia Candra Dewi

Nim                 : 200901012

Jurusan            : Tari

 

Analisis

Wujud

Karya tari Satyeng Guru ini berbentuk tari kreasi baru yang gerakannya masih berpijak pada uger – uger pola gerak tradisi, jumlah penari 6 atau 8 orang dan tentu saja bercerita. Cerita yang diangkat dalam tari kreasi baru ini adalah cerita Epos Mahabarata yaitu menceritakan keinginan dari seorang pangeran dari kaum Nisada ( pemburu ) bernama Ekalawya yang sangat kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh kepada Bhagawan Drona guna menjadi seorang pemanah yang terbaik di dunia.

Isi :

Maksud penata dalam karya tari “Satyeng Guru” ini adalah mengajak penonton untuk selalu setia, hormat dan bhakti terhadap guru yang telah berjasa memberikan ilmu kepada kita bagaiamana pun system pengajarannya yang penting ilmu yang diberikan tersebut dapat kita terima dengan baik.

Penampilan :

Tari Kreasi “Satyeng Guru” ini pementasannya seperti tari kreasi yang biasanya dipentaskan pada event kesenian tahunan Pesta Kesenian Bali dengan membawa properti busur dan anak panah untuk menjelaskan maksud karya garapan koreografi namun beberapa penari tidak berubah menjadi anjing dan karena bercerita, tari ini seolah – olah seperti fragmentari padahal tanpa vokal dan pakaian seluruh penarinya sama.

 

Kritik Pementasan

 

Kekurangan :

Beberapa penari tidak berubah wujud menjadi anjing ( memakai topeng anjing ) yang semestinya berperan sebagai pelengkap cerita agar antara karya koreografi dengan cerita yang diangkat dan ditransfer dalam gerak tari nyambung. Namun karena model gending iringannya seperti yang saya dengar dengan pola ritme angsel dan transisi bagian – bagian gending yang seadanya, maka kalau sama sekali tidak bisa ditambahkan gending dan gerak tarinya lagi sedikit untuk menarikan gerak – gerik seekor anjing dan itu sama sekali tidak terpikirkan oleh penata tari dan penata karawitan. Berarti kurangnya koordinasi antara penata tari dengan penata karawitan membuat karya tari tersebut kelihatan agak kurang nyambung dengan cerita yang diangkat.

Kelebihan :

Penampilannya yang mencakup gerak tari, kekompakan, penjiwaan karakter, ekspresi, blocking ( perpindahan posisi ) penari di panggung semuanya sudah bagus karena hasil latihan sebelumnya.

Upacara Ritual Dalam Kesenian Bali

Makna Upacara dan Upacara Ritual Dalam Kesenian Bali.

 

Agama Hindu sebagai jiwa dari kehidupan kesenian Bali sudah barang tentu tidak dapat dipisahkan dari proses penyucian yang dilakukan. Baik terhadap orangnya maupun benda seni yang digunakannya. Tingkatan upacara yang diperuntukkan menjadi seorang seniman yaitu :

 

Pinunas Ica dan Upacara Panuasen.

 

Suatu hari yang dipilih sebagai dewasa dimulainya kegiatan tersebut. Menurut pakalaning dewasa ( wariga ) pengaruh sirkulasi wewaran, pawukon, panggal panglong dan sasih Sejak dimulainya kegiatan latihan ( mauruk ) diawali dengan upacara pinunas ica dan panuasen. pertemuannya menentukan baik buruknya atau ala ayuning dewasa. Memulai kegiatan kesenian hendaknya diusahakan memilih harinya berisikan tutur mandi, tutur masih, dina ketemu. Tutur m andi mempunyai arti dewasa ayu dalam memberikan nasehat atau petunjuk dan nguncarang mantra sidhi. Tutut masih dewasa ayu memberikan pelajaran atau pelatihan sedangkan kala ketemu berisikan hari baik untuk mengadakan rapat dan pertemuan. Memang dina ayu ini tidak mudah didapat dalam satu bulannya. Bila keadaan mendesak boleh memilih dewasa ayu yang lebih umum sifatnya dengan tetap menghindari ala-nya dewasa untuk kegiatan dimaksud. Untuk mendapat pertemuan dewasa yang baik itu sering harus menunda beberapa waktu kegiatan latihan dimulai, kendati semuanya sudah siap. Di samping itu perhitungan pananggal menuju bulan purnama lebih diutamakan disbanding pangelong.

Dengan menghaturkan upakara secukupnya yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta melalui I Ratu Anglurah Sakti Pangadangan yang disebut sebagai dewanya pragina, balian, sangging, undagi untuk mohon keselamatan. Sejak dimulainya latihan ( dalam paurukan ) seseorang sudah disamakan derajatnya. Kedudukan atau norma etika dalam pergaulan tingkat  golongan kasta atau warna sudah tidak berlaku lagi. Simbol Sang Tri Nugraha bercak putih yang sebagai hiasan urna ataupun pelipis bermakna sebagai simbol penetralisir menjadi persamaan derajat.

 

Upacara Byakaonan dan Prayascita.

Upacara ini bermakna pengelukatan menghilangkan mala dalam diri. Kekuatan jahat yang ada pada diri dikembalikan ke tempatnya. Sedangkan pamrayascita memberikan makna mengheningkan atau menjernihkan pikiran.

 

Upacara Pamlaspas

 

Upacara ini lebih ditujukan pada sarana seni yang digunakan seperti misalnya : wayang, topeng, pagelungan dan sejenisnya. Upacaranya dimulai dengan menghaturkan upakara tebasan durmanggala yang bermakna menghilangkan cacat atau petaka bahan. Dilanjutkan dengan pemakuhan menyatukan bagian – bagian yang terpisah seperti topeng dengan gelungan, wayang dengan bagian – bagiannya. Dilanjutkan dengan menghaturkan upakara pengulapan memohon berkah kekuatan niskala. Pamlaspas bermakna menyucikan barang atau sarana dan memohon kekuatan sinar suci Tuhan yang hendak distanakan pada barang tersebut.

 

Upacara Pangidep Hati

 

Upacara pangidep hati yang ditujukan kepada Sang Hyang Rare Angon untuk memohon anugerah sehingga membangun rasa kalanguan menjadikan gandrung lupa akan perangai diri untuk bertransformasi ke karakter yang dipelajari atau diperankan tidak punya rasa malu untuk bisa tampil sebagaimana mestinya. Ibarat kelakuan anak kecil yang secara bersahaja tanpa beban dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas.

 

Upacara Pamasupati

 

Wayang, topeng, gelungannya dan alat kesenian lainnya perlu dipasupati. Pamasupati suatu permohonan berkah dari Dewa Siwa sebagai dewa pencipta untuk dijunjung dan disungsung yang diharapkan mampu memberi kekuatan magis dari penampilan dirinya. Upacara ini didahului dengan menghaturkan upakara Panyepuhan yang bermakna membersihkan dan menajamkan.

 

Upacara Pasakap – sakapan

Upacara masakap – sakapan yang bermakna mengawinkan. Sejak dimulainya latihan seseorang saling pandang kemudian mendekatkan diri dengan ilmu yang dipelajari. Bila ilmunya tidak dikawinkan karisma budayanya kurang. Penyatuan segala aspek yang akan mentransformasikan dirinya menjadi seorang tokoh diperlukan adanya penyatuan secara sekala maupun niskala.

 

Upacara Mawinten

 

Upacara ini bermakna menyucikan diri, bertujuan untuk mohon waranugraha dalam mempelajari ilmu pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, wedha – wedha dan sebagainya. Terlebih lagi dharma seorang pragina yang melakonkan drama kehidupan ritual di dunia ini sehingga sering menyebut – menyebut bahkan memfigurkan dalam tokoh manifestasi Tuhan, orang yang telah tiada, kekuatan bhuta di samping kehidupan nyata manusianya sendiri. Pemujaan di sini diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : Bhatara Guru sebagai pembimbing, Bhatara Gana sebagai pelindung serta pembebas dari segala rintangan atau kesukaran,  dan Dewi Saraswati sebagai Dewi Penguasa Ilmu Pengetahuan. Dalam upacara ini dilakukan rerajahan dengan sarana bunga, madu yang dituliskan pada dahi ( lelata ), telapak tangan, anggota badan dan lidah dengan formulasi sastra modre disertai mantram – mantram puja pendeta atau pemangku yang mampu menghidupkan formulasi sastra tersebut. Formulasi sastra modre yang ditulis dan digambar di dalam kain putih atau pada topeng ( rerajahan ) dengan sarana dan mantram tertentu dapat memberikan kekuatan karisma dari penampilannya. Ada banyak tingkat pawintenan dari yang disebut dengan winten di bunga ( sari ), winten sastra, winten wiguna, winten agama ekajati dan dwijati. Seniman atau dalang, pemangku balian berhak mengambil tingkat pawintenan tingkat ekajati.

 

Pangaren atau Pangeger.

 

Sering ada penambahan dengan memberikan pengaren sebagai simbol penajaman dari apa yang dia miliki. Ditambah dengan pengeger yang bermakna mendapatkan daya tarik penampilannya yang selalu memikat.

 

Upacara Saat Pentas

 

Pada saat pentas ( sebelum dan sesudah menari ) sesajen selalu menjadi bagian yang mesti didahului. Upakara gelungan atau tapel, wayang, banten kalangan dan banten gamelan merupakan sarana utama untuk bisa berlangsungnya sebuah kegiatan pementasan. Didahului dengan menghaturkan canang pangrawos atau pamayasan di mana pragina itu berias. Kemudian menghaturkan upakara di belakang rangki, di belakang kelir, mohon keselamatan dan disertai banten kalangan mohon izin kehadapan Hyang Ibu Pertiwi dan kekuatan bhuta bahwa di tempat itu dipinjam digunakan untuk pentas. Di samping berbentuk sajen – sajen, juga berbentuk mantra – mantra tertentu digunakan pula oleh penari untuk menarik kekuatan gaib itu misalnya sebelum penari keluar diucapkan mantra “Om Idepku Sang Hyang Murtining Luwih, masasira ring aku, aku Sang Hyang Semara Murti, sarwa jagat kasih ring hunyan – hunyanku, Om Siddhi mandi mantramku. Demikian pula sebelum pertunjukan dimulai, didahului dengan sesajen dan tetabuhan dengan maksud supaya tidak mendapat gangguan dari I Bhuta Kala Graha dan I Bhuta Kapiragan dengan mengucapkan mantram : “Om Sang Kala Edan, iki bhukti sajinira yan sira wusan mukti rowangen hulun mangila – ngila mangigel. Om siddhi mandi mantramku”.

Dalam dharma pawayangan seorang dalang dituntut lebih rinci lagi tahap – tahap yang mesti dilakukan sejak mulai berangkat meninggalkan rumah menuju ke rumah yang menanggap, melaksanakan kegiatan ngewayang sampai kembali ngelebar banten di rumah Ki Dalang. Semuanya diatur oleh dharmanya sebagai seorang dalang.

Disarankan juga seorang seniman untuk melaksanakan pinunas ica Matirta Yatra atau Nawa Seraya di tempat – tempat suci Pura untuk memohon kemantapan anugerah Tuhan dalam mendharma bhaktikan dirinya sebagai abdi Tuhan dan abdi masyarakat atau negara.

Oleh : I Nyoman Catra, MA

Mengenal Beberapa Jenis Sikap dan Pukulan Dalam Gong Kebyar

Trompong

Tugasnya :

Memulai gending.

Mengendalikan melodi gending.

Membuat variasi dan memperjelas gending.

 

Jenis Pukulan :

Ngeluluk : ( dalam perangrang ).

Neliti : Memukul pokok gendingnya saja.

Nyele : Pukulan yang menjelaskan lagu yang dimainkan.

Ngembat atau ngangkep : Memukul dua buah nada besar dan kecil secara bersama – sama dengan jarak empat nada.

Ngempyung atau ngero : memukul dua buah nada secara bersamaan yaitu nada ndang dan ndeng sehingga kedengarannya adalah nada ndang

Nyintud : memukul dua buah nada secara bersamaan yaitu nada nding kecil dan ndung kecil sehingga nantinya kedengaran nada nding.

Nyilih Asih : pukulan berganti – ganti antara tangan kanan dan tangan kiri

Nyekati : Pukulan yang banyak melepas dari pukulan pokoknya dan bertemu pada bagian akhir satu pada. Sama dengan memukul dan ditutup dengan panggul yang biasa terdapat pada perangrang.

Ngumad : Memukul dengan membelakangi pukulan pokok gending.

Nguluin : Memukul dengan mendahului pukulan pokok gending.

Nerumpuk : memukul satu nada secara beruntun.

Ngoret : Memukul tiga buah nada yang ditarik dari besar ke kecil.

Ninggarpada Asana : sikap duduk penabuh.

Amanggang Jatah : Sikap memegang panggul pada penabuh.

Kendang :

 

Kendang Tunggal

Jenis Pukulan :

Gupekan Bapang.

Gupekan Ngecet, yang terbagi atas dua jenis, yaitu :

Gandrangan untuk ngipuk monyer.

Sepek untuk ngipuk kalem.

Sifat tandang dari kendang tunggal ini disebut Jagrawiraga yang berarti bertanggung jawab sambil membuat variasi – variasi.

Kendang Matimpal

Jenis Pukulan :

Gupekan pada atau sama dan seimbang.

Milpil : Jalinan antara pukulan tangan kiri wadon dan lanang.

Bebaturan

Batu – batu : Pukulan pada kendang wadon dan kendang lanang, hanya nyandet pukulan tangan kiri wadon.

Gegulet : Pukulan ini terdapat pada gending gegilak.

Tuntun Marga : Ini terdapat pada muka kendang lanang bagian kiri, sedangkan pada muka kanan kendang lanang disebut tibacara artinya jatuh pukulannya teratur.

Cadang Runtuh : Yaitu pukulan yang terdapat pada muka kendang wadon sebelah kanan yang artinya mengimbangi pukulan dari kendang lanang.

Ngulun : Pukulan yang beruntun yang terdapat pada kendang lanang.

Tugas atau fungsi kendang yaitu :

Sebagai pemurba ( penguasa ) irama.

Penghubung bagian – bagian ( ruas – ruas ) gending.

Membuat angsel – angsel.

Mengendalikan irama gending.

 

Giying

Jenis Pukulan

Ngoret : Memukul tiga buah nada yang ditarik dari nada besar ke kecil.

Ngerot : Kebalikan ngoret.

Netdet : Memukul dan menutup satu nada secara beruntun.

Ngecek : Memukul dan menutup satu nada saja.

Neliti : Memukul pokok – pokok gendingnya saja.

Sikap menabuhnya disebut Wiraga

Fungsi Giying :

Memulai gending.

Menyambung / menghubungkan ruas – ruas gending.

 

Pemade / Kantil

Jenis Pukulan

Ngubit

Norot

Nyekati

Gegulet : Terjalin tiga atau empat nada.

Beburu : Terjalin kejar – kejaran.

Nelutur

Oncang – oncangan ( seperti pukulan Gambang ).

Ngoret

Ngerot

Asu Anuntun Saji yaitu pukulan yang terjalin dan mendahului pukulan pokok lagu.

Kekenyongan

Ngantung

Milpil

Netdet

Nyogcag yaitu memukul nada antara satu nada dengan nada yang lainnya.

Cara memegang panggulnya disebut Nawa Natya yang artinya ( orang ) mempersilahkan,

Fungsi Pemade / Kantil sama dengan Riyong yaitu :

Memberi angsel – angsel.

Membuat jalinan motif – motif  tertentu.

Mengisi rongga – rongga – rongga antara pukulan penyahcah dengan pukulan jublag,

 

Riyong

Jenis Pukulan

Norot

Oncang – oncangan

Ngubit

Gegulet

Beburu

Nelutur

Asu Anuntun Saji

Mamanjing : Memukul tepi riyong atau pukulan pada waktu membuat angsel – angsel.

Cara memegang panggul riyong disebut Amanggang jatah yaitu seperti orang memanggang sate.

Fungsinya sama dengan Pemade / Kantil.

 

Penyahcah

Jenis Pukulan

Neliti

Peluta

Tugas / fungsi Penyahcah ialah :

Melipatgandakan pukulan Jublag.

Menjadi pukulan lagu atau pokok yang ajeg atau tetap

Jublag

Jenis Pukulan

Neliti

Nyelah

Ngempur

Nyele

Tekanan

Tandangnya disebut Dirga ( suara panjang ).

Fungsinya adalah menentukan jatuhnya jegogan.

 

Jegogan

Jenis Pukulan

Nyele

Ngapus

Temu Guru : Jatuhnya pada pukulan jublag keempat, kedelapan atau pada suara yang panjang.

Fungsinya adalah memperjelas tekanan – tekanan gending.

 

Kempul

Jenis Pukulan

Selah Tunggul

Fungsinya :

Memegang cirri tabuh.

Pendorong jatuhnya tonika gong.

Pematok ruas – ruas gending.

Kempli

Jenis Pukulan

Papada Lingga

Fungsinya sama dengan Kempul.

 

Gong

Jenis Pukulan

Purwa Tangi.

Fungsi : mengakhiri lagu ( sebagai finalis lagu ) menentukan jatuhnya tekanan – tekanan lagu sesuai dengan tujuan dari lagu itu sendiri.

 

Cengceng

Jenis Pukulan

Ngeceh : memainkan sambil menutup.

Malpal : Permainan cengceng pada waktu perpindahan batel ke gending lain.

Ngajet : ( terdapat pada waktu membuat angsel – angsel )

Ngelumbar : memainkan dengan cara menggetarkan.

 

Kemong

Jenis Pukulan

Tunjang Sari artinya sebagai pembantu yang sangat berguna.

Fungsinya untuk mengimbangi pukulan jublag.

 

Bende

Jenis Pukulan

Kentongan artinya memukul dengan bebas asalkan tidak mengacau.

Fungsinya untuk mengisi bagian – bagian yang kosong pada lagu yang dimainkan.

 

Kajar

Jenis Pukulan

Ngeremuncang rerames seperti orang mebat.

Kejutan

Fungsi :

Memegang ketukan yang tetap.

Mengikuti melodi kendang.

Menentukan tingkatan tempo.

 

Rebab

Jenis Tutupan

Baro

Lebeng

Sundaren

Selisir

Tembung

Sikap menabuhnya dinamakan Buta Ngawa Sari ( istilah yang diambil dari tari Bali ).

Fungsinya sama dengan suling.

 

Suling

Jenis Tutupan

Baro

Sundaren

Tembung

Selisir

Lebeng

Sikap menabuhnya dinamakan Tunjang Arip yang artinya orang mengantuk memakai tumpuan.

Fungsi :

Melembutkan gending – gending yang  lirih.

Membuat suasana sedih.

Membuat variasi – variasi.

Memperindah lagu yang diberi istilah dengan Puspita Swara.

 

Nama – nama Pukulan Bersama Pada Gong Kebyar.

Ngatag ialah pukulan gangsa yang berbentuk kekenyongan yang dipimpin oleh kendang.

Kekenyongan : memukul pokok – pokok lagunya saja secara bersamaan.

Malpal : Pukulan yang biasanya dijumpai pada akhir lagu atau perpindahan batel ke bentuk lain.

Mehbeh

Nitir : Pukulan satu nada secara beruntun tanpa ditutup.

Ngerangsang ( terdapat pada kekebyaran ).

Ngemaya atau biasa juga disebut batel maya.

Oleh :

Pande Gede Mustika

I Nyoman Muliana

I Ketut Rika

I Wayan Mariana

I Gusti Lanang Oka Ardika

I Nyoman Sudiana