biografi seniaman

Ida Bagus Gede Surya Peradantha SSn.,

Pada tanggal 5-7 Juli 2011, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, mengadakan sebuah acara penghargaan tahunan yang diberikan kepada mereka yang tekun dan sungguh-sungguh mengabdi di dunia seni budaya.  Ada empat kategori yang disediakan oleh Kemenbudpar RI kali ini yauti : 1. Bidang Maestro Seni Budaya, 2. Bidang Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, 3. Anugerah Seni dan 4. Anak/Remaja/Pelajar yang Berprestasi di Bidang Seni Budaya.

Masyarakat Bali saat ini pantas berbangga diri, karena salah satu putra-putri terbaiknya di bidang seni tari kembali mendapat penghargaan bergengsi tingkat nasional oleh pemerintah pusat di Jakarta. Acara bertajuk “Penghargaan Maestro Seni Tradisi dan Anugerah Kebudayaan Tahun 2011” ini diberikan kepada mereka yang telah berjasa dan mendedikasikan dirinya di bidang seni budaya. Setelah tahun lalu (2010) seniman Bali I Made Sija menerima penghargaan dari pemerintah pusat, kali ini adalah (alm.) Jero Puspawati, seniwati dramatari Arja, dari Geriya Bongkasa, Abiansemal, Kab. Badung, Bali. Beliau mendapat penghargaan di bidang Maestro Seni Tradisi. Penghargaan Kali ini diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang diwakili oleh Wakil Presiden Boediono beserta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik kepada perwakilan (alm.) Jero Puspawati yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri sulung beliau.

Jero Puspawati adalah seorang seniman yang bergelut khusus di bidang seni tradisi Dramatari Arja. Dilahirkan sekitar 77 tahun yang lalu di Desa Pejeng, Kab. Gianyar, beliau terlahir dengan nama Ni Wayan Sembo. Sejak umur 7 tahun, beliau memulai karir berkesenian secara otodidak. Hal ini dipelajari langsung dari ayahnya yang bernama I Raos yang pada jamannya dikenal sebagai pemeran tokoh Pandung dalam dramatari Calonarang yang cukup populer karena penguasaan teknik serta penjiwaannya. Beliau sangat rajin mengikuti kiprah ayahnya pentas kesana-kemari demi sebuah pengalaman sekaligus menjalankan kegemarannya menyaksikan orang menari. Dari berbagai pengalaman-pengalaman menonton tersebutlah, secara tidak disadari ketajaman intuisinya akan seni tradisi menjadi terasah. Tak heran, ia pun dengan mudah menghafal urutan pementasan karakter-karakter yang terdapat dalam dramatari Arja.

Bakat emas ini ternyata cepat disadari oleh ayahnya kala itu. I Raos kemudian mengajarinya tembang-tembang Sekar Alit sebagai modal utama dalam memerankan tokoh dalam opera tradisional tersebut. Karena memang sudah memiliki potensi unggul, Ni Sembo tak membutuhkan waktu lama untuk menguasai berbagai pupuh yang diajarkan ayahnya. Selanjutnya, perjalanan karir keseniannya di dramatari Arja pun dimulai. Pelatihannya dimulai dari belajar tari Condong, lalu beralih ke Mantri Manis, Mantri Buduh, lalu berakhir di tokoh Limbur. Seiring dengan meningkatnya jam terbang pementasan beliau, maka semakin matanglah pengalaman di bidangnya. Pun demikian dengan kematangan penokohan karakter yang mulai mengarah secara spesifik. Setelah demikian lama berlatih dan pentas, akhirnya beliau dikenal cocok membawakan tokoh Mantri Buduh dan Limbur. Identitas pun disematkan oleh masyarakat kepada beliau sebagai Mantri Buduh Pejeng atau Limbur Pejeng, karena memang berasal dari Pejeng, Gianyar.

Karena kemampuan serta pengalamannya itulah, beliau sempat tergabung dengan berbagai seniman dramatari Arja yang terkenal dan pentas di seluruh Bali. Beliau sempat bergabung dalam grup Arja Singapadu yang disesaki oleh seniman-seniman besar seperti (alm.) Tjokorda Oka Tublen, (alm.) I Wayan Geria, (alm.) I Made Keredek, serta sering pentas bersama seniman besar (alm.) I Ketut Rindha dari Blahbatuh, Gianyar, (alm.) Jero Suli dari Denpasar serta pasangan punakawan (alm.) I Sadru dan (alm.) I Monjong dari Keramas, Gianyar. Dengan seniman-seniman tersebutlah, Ni Sembo sering bertukar pikiran, berdialog dan tanpa sungkan-sungkan menggali ilmu pada siapapun. Oleh karenanya, interaksi yang intensif dengan seniman berbagai karakter di luar desanya membuat Ni Sembo semakin diperhitungkan di jagat dramatari Arja pada jamannya.

Pada tahun 1952, Ni Sembo sempat mengadakan pentas tari Arja ke Lombok bersama grup ayahnya. Beliau kesana atas undangan komunitas Bali yang rindu akan seni tradisional di tanah leluhurnya. Di tempat inilah beliau bertemu dengan Ida Bagus Made Raka, seniman besar Bali yang berasal dari desa Bongkasa, kec. Abiansemal, Kab Badung. Mereka pun saling jatuh hati dan tak lama kemudian melangsungkan proses pernikahan. Ni Sembo resmi menikah ke Geriya Gede Bongkasa dan berganti nama menjadi Jero Puspawati. Karir keseniannya di bidang dramatari Arja bukannya terganjal karena menikah dan mengurusi rumah tangga, namun sebaliknya, justru semakin berkibar berkat dukungan sang suami. Ida Bagus Made Raka yang tak hanya dikenal tangguh sebagai Baris atau Jauk Bongkasa, juga dikenal sebagai juru kendang tari Arja yang sangat mahir. Atas prakarsa mereka berdua bersama Ida Pedanda Gede Putra Singarsa (alm.) yang juga dikenal sebagai Dalang Bongkasa pada masa lalu, terbentuklah grup kesenian Parwa Agung yang berbasis di desa Blahkiuh, Kec. Abiansemal, Kab. Badung. Grup ini sangat terkenal pada masanya dan hingga kini masih tetap eksis. Selain itu, mereka pun secara berpasangan mengabdikan diri memenuhi permintaan masyarakat di berbagai desa di Bali untuk mengajar dramatari Arja. Berdua, mereka merasakan indahnya kebersamaan tak hanya sebagai pasangan hidup, namun juga sebagai pasangan seniman yang sangat serasi dan bermental pengabdian yang sangat tulus.

Pada tahun 2002, sang suami yaitu Ida Bagus Made Raka berpulang menghadap Sang Pencipta karena sakit yang dideritanya. Tentu, kesedihan yang mendalam menghinggapi Jero Puspawati selaku pasangannya. Namun hal ini tak menyurutkan niat beliau untuk terus mengabdi di bidangnya secara professional. Hidup harus terus berlanjut dan tiada henti mengabdi. Setidaknya prinsip itulah yang menguatkan mental Jero Puspawati dalam melanjutkan sisa hidupnya. Terbukti, beliau didaulat oleh para anggota sekaa santi Gita Keheningan Banjar Kehen Kesiman untuk membina pesantian ini di bidang Sekar Alit. Senyum girang kembali menghiasi bibir beliau ketika mengingat sisa hidupnya yang masih memiliki guna dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.

 

 

 

Kepercayaan masyarakat di desa Kesiman (tempat domisili sementara beliau sepeninggal sang suami) kepada beliau semakin tebal ketika beliau didaulat menjadi duta Br. Kehen sebagai penari Joged Bumbung dalam parade pentas tari Joged Lansia yang digelar oleh Pemerintah Desa Kesiman Petilan pada tanggal 6 Februari 2011 yang lalu. Keceriaan beliau nampak jelas menghiasi hari tuanya. Menari seolah sebagai terapi kesehatan bagi beliau. Sesakit apapun tubuhnya, dapat dilupakan sejenak bilamana beliau mendengarkan lantunan pupuh Sekar Alit yang dikumandangkan oleh orang di sekitarnya maupun lewat siaran radio. Pun demikian ketika suatu waktu ada beberapa orang datang ke tempat beliau mendiskusikan masalah pakem tari Arja.

Akhirnya, Sabtu, 21 Mei 2011 beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit lever yang dideritanya dan sekaligus sebagai pertanda perpisahan beliau pada pengabdiannya di jagat seni tradisi Bali. Beliau meninggalkan dua orang putri yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati (51 th) dan Ida Ayu Mas Yuniari (47), serta enam orang cucu. Dua di antaranya merupakan tunas muda yang diharapkan dapat meneruskan pengabdian beliau di jagat seni, sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah Ida Bagus Gede Surya Peradantha S.Sn., serta Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti. Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri almarhum mengucapkan terima kasih kepada perhatian pemerintah pusat kepada seniman-seniman di Bali khususnya yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Ia berharap agar pemerintah tak henti-hentinya membangun usaha untuk memperhatikan keberadaan para seniman yang telah mengharumkan nama daerah dan bahkan negara di dunia internasional. Tak hanya TKI yang merupakan pahlawan devisa, namun seniman melakukan hal yang lebih sebagai media promosi potensi seni dan budaya seuatu negara.

 

Comments are closed.