ETIKA GAMBELAN BALI

Juli 6th, 2014

ETIKA GAMBELAN BALI

ETIKAGambelan sebagai bunyi sesuai dengan uraian dalam prakempa, sebuah lonttar mengenai kosmologi, etika, dan estetika tentang gambelan Bali, dunia ini dipenuhi sinar dan warna. Setiap sinar dan warna itu terkait dengan posisi kardinal dalam lingkaran bumi Bali. Salah satu dari aspek etika yang dibahas dalam lontar Prakempa adalah apa yang dinamakan kutukan. Panca Tirta dan Panca Geni adalah dua kekuatan dalam kehidupan budaya Bali yang tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai simbol kehamonisan. Dengan melihat kedudukan para dewa dan atributnya dalam kosmologi gambelan Bali, jelas ini mencerminkan bahwa gambelan Bali itu bersifat religius berdasarkan prinsip yang dinamakan siwam (kesucian), styam (kebenaran), dan sundaram (keindahan). Demikianlah lontar prakempa memberi dasar tentang kosmologi gambelan Bali yang semuanya menunjukan falsafah, etika, dan estetika dalam gambelan. Seseorang yang mempelajari gambelan dari persepektif teknik permainan, tetapi juga mempelajari inti filsafat, etika, dan estetikanya.
Secara umum kata etika diartikan sebagai adat atau tata susila. Dipandang dari sudut ilmu agama etika merupakan pengetahuan normatif, menunjukan tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma kehidupan beragama. Etika memiliki kedudukan sebagai pengatur tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, dengan lingkungan, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam aktifitas gambelan Bali yang masih bersifat religius, etika memiliki peranan sangat penting dan menonjol dalam proses bermain gamelan. Pedoman untuk memahami etika dalam gambelan Bali terdapat dalam lontar Prakempa, Aji Ghurnita, dan lontar lain yang terkait dengan agama hindu. Dalam lontar prakempa dinyatakan bahwa gambelan sebagai musikal instrumen dibuat oleh para ahli berdasarkan suara bumi atau getaran gumi yang dalam lingkaran Dewata Nawasanga ditunggu oleh para dewa dan saktinya sesuai dengan kekuatan dan atributnya masing-masing. Seperti diuraikan juga dalam prasasti-prasasti Raja-raja Bali Kuna sebelumnya, gambelan Bali biasanya dibuat oleh seorang ahli gambelan dinamakan pande. Kata pande artinya seseorang yang memiliki keterampilan dalam menatah besi, tembaga, perunggu, perak atau emas. Seorang pembuat gambelan biasanya memiliki keahlian dalam mencampur kerawang atau perunggu (timah dan tembaga) dan lanjut membuatnya menjadi alat-alat gambelan. Keahlian membuat gambelan sebagai sebuah kerajinan seni diabdikan kepada bhagawan wiswakarma. Bhagawan wiswakarma dianggap sebagai dewanya para pengrajin seni seperti pengrajin perak, emas, besi, bambu, anyaman-anyaman termasuk kria seni. Pembuatan gambelan Bali memerlukan proses yang cukup panjang dan awal mula pembuatan gambelan itu didahului dengan memilih hari baik. Selain memilih hari baik seorang pande juga menyiapkan sesaji untuk sebuah upacara yangdisebut nuwasen, memulai penempaan bahan gamelan. Adapun sesajinya minimal meliputi daksina dan prasajeng santun yang terdiri dari beras, kepala, telur, jajan tradisional, dan bermacam-macam bunga yang berwarna-warni. Sesudah melalui proses yang cukup lama, pembuatan berjenis-jenis instrumen gambelan selesai dan biasanya masyarakat pemilik gambelan melakukan upacara pemelaspasan, penyucian untuk percobaan pertama penggunaan gambelan itu. Sesaji yang lebih besar disiapkan lagi dan biasanya percobaan ini dilakukan bersaman dengan pementasan tari-tarian yang terkait dengan pamelaspas itu. Sesudah diupacarai masyarakat diwajibkan memelihara gambelan dengan baik dan tertib, dan tidak seorang pun diperbolehkan untuk melangkahi gambelan tersebut.
Kini di Bali terdapat lebih baik dari 30 jenis barungan gambelan yang satu sama lain memiliki fungsinya masing-masing. Seperti diuraikan di atas ada 3 (tiga) jenis fungsi gambelan yang berbeda sesuai dengan prinsip desa, kala, dan patra (tempat,waktu dan keadaan) yaitu gambelan yang bersifat wali, bebali, dan balih-balihan. Fungsi –fungsi diatas juga menunjukan stratifikasi dalam gambelan baik dari segi sejarah, dan fungsinya. Sedangkan bentuk gambelan (genre) yang disajikan untuk memenuhi setiap fungsi menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Masing-masing golongan gambelan memiliki juga kelengkapan upacara yang berbeda. Gambelan-gambelan di Bali diberi upacara yang berbeda. Gambelan-gambelan di Bali diberi upacara pada hari sakral yang dinamakan hari Tumpek Krulut, yaitu hari Sabtu Kliwon Krulut yang secara siklus hadir setiap 210 hari sekali. Hari tumpek merupakan salah satu hari suci yang dianggap sakral oleh masyarakat Bali. Tumpek-tumpek ini adalah hari-hari transisi. Masyarakat Bali sangat menghargai waktu transisi sebagai saat yang sangat berbahaya, oleh karena itu perlu ada manajemen waktu yang baik dan dibina lewat upacara-upacara keagamaan. Masyarakat Bali menghormati waktu transisi seperti ngadaslemah (menjelang pagi), jeg ai (siang hari), sandikala (menjelang malam), tengah lemeng (tepat pukul 24:00) dan waktu-waktu lain yang sejenis. Tumpek wayang misalnya dianggap waktu yang penuh transisi yaitu transisi wuku, hari, tanggalan, dan pasaran. Bagi seorang bayi yang lahir pada wuku tumpek wayang harus diruwat dengan upacara sapuleger, yaitu sesaji khusus dan pementasan wayang kulit dengan lakon sapuleger atau lahirnya kama dan kala.
Salah satu aspek etika yang dibahas dalam lontar prakempa adalah apa yang dinamakan kutukan. Bagi seorang yang menjadi guru gambelan atau murid yang mendalami gambelan seharusnya memahami falsafah dasar dari lontar ini, berikut aturan-aturan yang menyertainya. Bagi mereka yang tidak mengindahkan seluruh aturan yang berlaku akan dikenai kutukan yang cukup dahsyat, dimana arwah mereka tidak akan memperoleh sorga bahkan mereka akan menjadi dasar kawah neraka. Mereka tidak dibenarkan untuk menitis lagi sebagai manusia, melainkan menjadi bintang rayap yang selalu dihina oleh manusia. Menghindari kutukan seperti itu setiap insan yang mempelajari gambelan setidaknya memulia aktifitasnya dengan membuat upacara sederhana, mempelajari falsafah, etika, dan estetika dalam gambelan sesuai dengan prinsip yang disebut siwam, satyam, sundaram (kesucian, kebenaran, dan keindahan).
Sumber : Bandem, I Made. “ Diatas Panggung Sejarah”, GAMBELAN BALI. 2013.

Comments are closed.