Archive for the ‘Tak Berkategori’ Category

KUTIPAN KEKAWIN ARJUNA WIWAHA

Senin, Juni 10th, 2013

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda AnyarDesa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda Anyar Desa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.

Resensi Buku Tetabuhan Bali I

Selasa, April 9th, 2013

Judul Buku                 : Tetabuhan Bali I

Penulis                         : Prof. Dr. Pande Made Sukerta

Lay out & Desain      : Irvan M.N.

Penerbit                       : ISI Press Solo

Cetakan                        : Pertama, Oktober 2010

Jumlah Halaman      : 279 halaman

 

Bali merupakan salah satu pulau yang memiliki wilayah relatif kecil dibandingkankan dengan pulau-pulau lainnya seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Papua. Meskipun luas wilayahnya relatif kecil, namun memiliki potensi budaya khususnya kesenian dan lebih khususnya lagi karawitan yang sangat padat.

Buku yang bersampul pelawah dari salah satu instrument gamelan ini yang ditulis oleh Prof. Dr. Pande Made Sukerta sangat difokuskan pada unsur-unsur pembentukan musikal. Hal ini sangat penting karena pembentuk musikal mulai dari sarana ungkapnya, yaitu sumber bunyi yang berbentuk berbagai jenis tungguhan. Dengan demikian, para pembaca diharapkan untuk memahami karawitan Bali mulai dari fisik sampai kepada esensi atau musikalnya. Hal yang paling penting lagi dalam buku ini adalah proses pembelajaran tradisi karawitan Bali, karena sistem atau proses pembelajaran ini ada kecendrungan jarang diketahui para seniman dan malahan sekarang jarang dilakukan (hampir punah).

Manfaat yang telah saya dapat setelah membaca buku ini adalah buku ini memberikan saya pengetahuan dan wawasan tentang musik gamelan Bali, dimana penjelasannya sudah dijelaskan secara sangat rinci. Sehingga si pembaca buku ini akan dapat sangat mudah untuk memahami dari isi buku ini. Banyak teori-teori tentang gamelan Bali yang saya dapat di sini, baik teori yang berada di ranah akademik maupun non akademik. Dengan membaca buku ini pola pikir tentang gamelan Bali akan bisa terbuka, karena banyak istilah-istilah yang rancu dan langka akan bisa kita temukan dalam buku ini. Buku ini bisa di baca oleh siapa saja, yang penting ada kemauan untuk belajar. Mengingat ruang lingkup seni sangat luas, jadi buku ini pada khususnya menjelaskan tentang karawitan Bali.

Pada buku Tetabuhan Bali I terdapat 5 (lima) bagaian aspek pembahasan yaitu :

Bagaian pertama : Hal-hal umum yang menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dalam karawitan Bali yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan, fungsi tiap-tiap barungan gamelan, beberapa pengertian yang terkait dengan karawitan Bali seperti kata gaya, gong, gamelan dan hal-hal yang salah kaprah yang sampai sekarang masih banyak terjadi dan telah beredar dalam masyarakat. Dalam bagaian pertama ada menjelaskan tentang pengertian gong dan gamelan. Kedua istilah tersebut sering diartikan suatu yang mempunyai pengertian yang sama, pada hal kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Kedua istilah tersebut diartikan sama, sehingga terjadi salah pengertian. Sebenarnya kedua istilah tersebut dapat digunakan sesuai dengan konteksnya sehingga tidak terjadi salah pengertian. Misalnya dalam istilah gong.  Gong di Bali mempunyai tiga pengertian yaitu sebagai berikut:

  1. Istilah gong uintuk menunjuk salah satu jenis tungguhan yang bentuknya bundar dan persegi.
  2. Istilah gong di Bali pada umumnya dapat digunakan untuk menunjuk satu barung gamelan, apabila suatu barungan gamelan menggunakan tungguhan gong yang bentuknya bundar dengan ukuran sekitar 75 sampai 90 centi meter, maka barungan gamelan tersebut selalu diawali dengan kata gong, seperti gamelan Gong, Gede, Gong, Luang dan Gong Kebyar, kecuali jenis barungan gamelan Gong Suling dan Gong Bheri kedua jenis barungan gamelan tersebut tidak menggunakan jenis tungguhan gong tetapi nama barungan gamelan tersebut diawli dengan kata gong, sedangkan jenis barungan gamelan yang menggunakan tungguhan gong penyalah, tungguhan gong yang bentuknya persegi panjang, dibuat dari besi dengan menggunakan resonator dan jenis barungan gamelan yang tidak menggunakan tungguhan gong, nama jenis barungan gamelan tersebut selalu diawali dengan kata gamelan.
  3. Istilah gong juga digunakan untuk menyebut karawitan. Dalam pembicaraan sehari-hari terutama di desa tidak menyebut karawitan tetapi gong misalnya dalam ungkapan bahasa Bali: Yo mebalih gong di pura (Ayo menonton karawitan di pura).

Istilah gamelan mempunyai dua pengertian yaitu pertama, istilah gamelan digunakan untuk menunjuk pada satu kesatuan tungguhan yang terdiri atas sejumlah tungguhan tertentu. Kedua, istilah gamelan digunakan juga untuk menyebut suatu barungan gamelan yang tidak menggunakan tungguhan gong, seperti misalnya untuk gamelan Semar Pagulingan Saih Lima, gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu, gamelan Gambang, gamelan Selonding dan lain sebagainya.

Bagaian Kedua : Tungguhan yang meliputi : pengertian tungguhan, sumber bunyi, pelawah, atut, tungguhan sakral, panggul, resonator, cara memainkan tungguhan dan pengelompokan tungguhan dan penataan tungguhan. Istilah tungguhan digunakan untuk menunjuk satu kesatuan dari instrument atau sumber bunyi tertentu yang terdiri atas satu atau dua bagaian. Tungguhan yang memiliki satu bagaian, yaitu sumber bunyi yang dimainkan tanpa menggunakan tempat atau sering disebut pelawah atau yang sejenis, diantaranya seperti tungguhan kajar, tawa-tawa, suling, rebab, gentorang, dan kendang. Untuk jenis tungguhan yang mempunyai dua bagaian, yaitu tempat atau sumber bunyi disebut yaitu don gamelan-nya. Selain tungguhan pada bagaian kedua ini, juga menjelaskan tentang atut. Dimana istilah atut angat jarang dilakukan di Bali. Pada saat sekarang, jarang para seniman karawitan Bali mengetahui istilah ini lebih mengenal dengan istilah laras. Barungan gamelan Bali memiliki tiga atut, yaitu atut gambang, atut gong dan atut gender wayang. Atut gambang mempunyai pengertian laras pelog tujuh nada, atut gong mempunyai pengertian laras pelog lima nada, dan atut gender wayang mempunyai pengertian laras selendro. Demikian juga dalam buku ini diungkapkan hasil penelitian I Wayan Rai S. (1999:20) khususnya dalam laras gamelan Gong Kebyar bervariasi sehingga mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Frekwensi nada-nada gamelan Gong Kebyar tersebar dalam empat oktaf. Selisih frekwensi antara nada pengumbang dengan nada pengisep menyebabkan timbulnya ombak. Selain itu juga terdapat variasi interval dalam satu barung gamelan baik dilihat masing-masing tungguhan mupun keseluruhan. Perbedaan susunan interval dalam satu barungan gamelan menyebabkan adanya perbedaan jenis/model laras, yaitu begbeg, sedeng, memecut, dan tirus.

Bagaian Ketiga : Vokal yang meliputi pengantar, jenis vokal, vokal dalam upacara dan vokal dalam seni pertunjukan. Hal yang sudah lumrah, di Bali terdapat 4 jenis vokalyaitu sebagai berikut:

  1. Gegendingan atau disebut Tembang Rare atau Sekar Rare.
  2. Pupuh atau disebut Tembang Alit atau Sekar Alit atau Macapat.
  3. Kidung Aatau disebut Tembang Madya atau Sekar Madya.
  4. Kekawin atu disebut Tembang Ageng atau Sekar Ageng.

Penggunaan vokal dalam upacara di Bali, selain terkait dengan lagu atau melodinya juga terkait dengan cakepan atau syairnya. Konsep Panca Gita merupakan salah satu bentuk kelengkapan atau bagaian dari upacara. Dengan konsep tersebut, vokal selalu hadir dalam upacara apapun. Selain sebagai upacara, vokal juga berfungsi sebagai seni pertunjukan, misalnya dalam pertunjukan tari kecak, janger, cakepung, genjek dan lain sebagaianya.

Bagaian Keempat : membahas tentang pembelajaran tradisi karawitan Bali. Ada dua jenis pembelajaran karawityan sekarang di Bali (semenjak berdirinya sekolah menengah dan perguruan tinggi seni), yaitu pembelajaran secara formal dan non formal. Kedua sitem pembelajaran ini sangat berbeda proses antara lain pembelajaran formal kurikulum, guru atau dosen dan waktu (lama pembelajaran) ditentukan, sedangkan pembelajaran non formal baik kurikulum, guruy atau dosen dan waktu pembelajaran tidak ditentukan. Dalam buku ini membahas pelajaran non formal yang disebut dengna Catur Meguru, yaitu antara lain :

  1. Meguru Lima yaitu terdiri dari dua kata yaitu meguru dan lima. Meguru artinya belajar, sedangkan lima artinya tangan (dalam bahasa Bali). Jadi meguru lima artinya adalah proses belajar suatu gending (karawitan) dengan cara dipegangi bagaian tangannya dan kemudian diarahkan oleh sang guru.
  2. Meguru panggul yaitu terdiri dari dua kata meguru artinya belajar dan panggul artinya alat pemukul (tabuh di Jawa). Jadi meguru panggul artinya seorang belajar suatu gending dengan cara langsung memainkan atau menyajikan suatu jenis tungguhan melodi tertentu dengan mengikuti arah panggul dari jenis tungguhan tertentu yang membawakan melodi suatu gending.
  3. Meguru Kuping yaitu terdiri dari dua kata, yaitu kata meguru dan kuping. Meguru artinya belajar, sedangkan kuping artinya telinga (pendengaran). Jadi meguru kuping adalah sebuah proses pembelajaran karawitan lewat pendengaran, artinya seseorang belajar uatu gending dengan cara mendengarkan gending secara terus-menerus dan pada akhirnya gending-gending yang sering didengarkan akan dikuasainya.
  4. Meguru rasa yaitu terdiri dari dua kata yaitu meguru dan rasa. Meguru artinya belajar, sedangkan rasa artinya merasakan. Jadi meguru rasa artinya proses belajar gending dengan merasakan gending yang dipelajarinya.

Bagaian Kelima : Buku ini membahas tentang jenis-jenis karawitan Bali. Berdasarkan hasil pengamatan penulis yang tertulis dalam buku ini, di Bali terdapat 40 jenis karawitan baik yang bersumber dari alat maupun vokal. Adapun jenis-jenis karawitan di Bali adalah sebagai berikut :

  1. Adi Merdangga
  2. Angklung Don Nem (slendro 5 nada)
  3. Angklung Kembang Kirang (slendro 4 nada)
  4. Angklung Klentangan (slendro 5 nada)
  5. Angklung “Jembrana” (pelog 4 nada)
  6. Bebatelan
  7. Bumbang
  8. Bumbung Gebyog
  9. Caruk
  10. Degdog
  11. Gambang
  12. Genggong
  13. Genta Pinara Pitu
  14. Gerantang (Pajogedan)
  15. Gong Beri
  16. Gong Duwe
  17. Gong Gede
  18. Gong Kebyar Gaya Bali Utara
  19. Gong Kebyar Gaya Bali Selatan
  20. Gung Luang
  21. Gong Suling
  22. Jegog
  23. Kendang Mebarung
  24. Mandolin
  25. Manika Santi
  26. Parwa
  27. Pagambuhan
  28. Pajangeran
  29. Geguntangan
  30. Rindik Gegandrungan
  31. Selonding
  32. Semar Pagulingan Saih Lima
  33. Semar Pegulingan Saih Pitu
  34. Smara Dhana
  35. Tektekan
  36. Pleret
  37. Trompong Beruk
  38. Genjek
  39. Cekepung
  40. Renganis

Dari hasil paparan resensi diatas, buku ini sangat bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk para praktisi seni dan lebih mengkhusus lagi kepada seniman karawitan. Karena buku ini banyak berangkat dari hal-hal yang sederhana yang sangat perlu untuk di bahas sehingga menghasilkan data dan informasi yang akurat untuk menambah wawasan.

KOMENTAR VIDEO TABUH KREASI CANANG SARI SANGGAR CENIK WAYAH UBUD

Minggu, Mei 20th, 2012

YouTube Preview Image

Tabuh kreasi Canang Sari merupakan tabuh kreasi baru yang diciptakan oleh Colin Mc.Donald pada tahun 2006. Tabuh ini dituangkan dan dimainkan oleh sanggar Cenik Wayah ubud yang menggunakan media ungkap gamelan Smara Dhana. Sanggar Cenik Wayah merupakan sanggar yang cukup kreatif  yang terletak di Ubud sebagai penanggung jawab Cokorda Ngurah Suyadnya dan sebagai Pembina tabuh yaitu I Wayan Sudirana. Sanggar ini berdiri pada tahun 2003. Adapun prestasi yang diraih oleh sanggar ini adalah sebagai juara 1 Festival Gong Kebyar Anak-Anak 2005 se-Bali. Di samping itu juga sanggar ini sering mendapat project bersama orang asing untuk memainkan tabuh ciptaan orang asing tersebut. Sampai saat ini Sanggar Cenik Wayah Ubud masih aktif melakukan pementasan 1x seminggu yaitu pada hari kamis, yang terletak di Cafe Lotus atau Puri Saraswati Ubud. Adapun gamelan yang dimiliki oleh Sanggar Cenik Wayah Ubuid adalah Gamelan Smara Dhana. Gamelan Smara Dhana merupakan seperangkat barungan baru yang mana bentuknya hampir sama dengan gamelan gong kebyar, tetapi warna suara dan jumlah bilahnya berbeda. Gong Kebyar mempergunakan laras pelog 5 nada, sedangkan Smara Dhana, satu oktaf mempergunakan laras pelog 5 nada, dan satu oktaf lagi mempergunakan laras pelog 7 nada yang sama dengan gamelan Semara Pagulingan. Gamelan Smara Dhana ini muncul pertama kali di desa Ubud Gianyar yaitu bertempat di Puri Saren Ubud pada tahun 1988. Gamelan ini diciptakan oleh Bapak Wayan Beratha seorang seniman asal Denpasar. Menurut Bapak I Wayan Baratha, kata Smara Dhana dipilah menjadi “Semara dan Dhana”. Semara berarti suara, sedangkan Dhana berarti kaya. Jadi kata Smara Dhana dapat diartikan “kaya akan suara. Instrument dari gamelan Smara Dhana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar. Ditinjau dari kelengkapan barungannya gamelan Smara Dhana memiliki 19 jenis bentuk instrument. Diantaranya:

•           2 tungguh jegogan, sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh juglag, sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh penyacah, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh ugal, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           4 tungguh pemade, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           4 tungguh kantilan, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           1 tungguh reong, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol reong.

•           1 tungguh trompong, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol trompong.

•           1 pasang gong lanang wadon, yang sumber suaranya terletak di belakang pencol gong.

•           1 pasang kendang lanang wadon, yang sumber suaranya di tengah badan kendang atau di muka kanan dan muka

kiri kendang.

•           1 kempur, yang sumber suaranya di belakang pencol kempur.

•           1 bende yang sumber suaranya di belakang pencol bende.

•           1 kemong, yang sumber suaranya terletak di belakang pencol kemong.

•           1kempli, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol kempli.

•           1 kajar, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol kajar.

•           1 tungguh cengceng ricik, yang sumber suaranya pada pertemuan bilah cengceng yang di pukul.

•           Suling kurang lebih berjumlah 6, yang sumber suaranya di tanggkai atas suling atau sering disebut song manis.

•           1 buah rebab atau lebih, yang sumber suaranya pada kulit rebab, bila di gesek menggunakan alat penggesek rebab.

•           Beberapa cengceng kopyak (jika diperlukan), yang sumber suaranya pada pertemuan bilah cengceng yang di

dipukul.

 

Komentar  Video Tabuh Kreasi Canang Sari

Sanggar Cenik Wayah Ubud,

1)    Sound System :

Dari Segi Sound System, dalam video ini kita bisa liat keseimbangan suara antar instrumen. Sound System sangat berpengaruh dalam pengaturan suara dalam video ini, jadi apabila orang yang mengatur sound system ini kurang handal, maka akan sangat berpengaruh dalam pengaturan suara instrumen yang bisa membuat sebuah pertunjukan kacau dan kurang enak didengar. Dalam video ini, instrument cengceng sangat kurang kedengaran. Sebaiknya microphone diletakkan dekat instrument tersebut agar nanti suaranya bisa seimbang dengan instrument yang lain. Selain itu juga suara kajar terlalu keras.

2)    Lighting :

Dari segi Ligthing, dalam video ini terlihat sangat kurang. Karena saya lihat pada video ini, hanya menggunakan satu sumber cahaya. Dan tidak adanya efek-efek cahaya yang lain. Kalau disertai efek-efek cahaya yang lain, kemungkinan pementasan ini akan terasa lebih hidup.

3)    Pengambilan Gambar :

Dari segi pengambilan gambar, dalam video ini terlihat kurang bagus. Sebab kurang fokusnya gambar yang mau diambil. Misalnya mengambil gambar antar pemain gamelan. Di samping itu juga si pengambil gambar kurang kreatif untuk menyoroti wajah-wajah si pemain. Saya lihat pada video ini si pengambil gambar hanya diam si satu tempat.

Sekian sekilas tentang sanggar Cenik Wayah dan Gamelan Smara Dhana, serta  komentar video Tabuh Kreasi Canang Sari Sanggar Cenik Wayah Ubud  yang bisa saya sampaikan. Jika ada kekurangan dalam penyampain saya, mohon maaf sebesar-besarnya. Saran dan pesan anda sangat saya butuhkan.

Terima Kasih.

GAMELAN BALI DALAM KONTEKS TRI HITA KARANA

Sabtu, Maret 31st, 2012

Bali adalah sebuah pulau kecil yang dapat dikatakan yang memiliki alat musik gamelan paling beraneka ragam di dunia ini. Hal ini terbukti tidak kurang lebih 36 perangkat gamelan dari yang paling kuno dan yang paling sederhana juga yang terbaru, besar dan kompleks masih terpelihara di pulau dengan julukan pulau kesenian. Kuantitas ini sekaligus memberikan indikasi keragaman cirri, gaya, dan fungsi juga memberikan indikasi terhadap adanya kreatifitas masyarakat yang bersifat sakral atau hiburan dari masa lampau hingga sekarang. Beragamnya barungan gamelan yang dimiliki Bali merupakan sumber inspirasi bagi kreator – kreator seni yang tak akan pernah ada habisnya. Karya – karya musik gamelan yang di buat oleh seniman – seniman Bali maupun seniman asing yang menggunakan perangkat dari gamelan Bali merupakan cermin bahwa musik Gamelan Bali bisa dibilang bersifat universal.Di dalam hal ini gamelan Bali juga memiliki ajaran moralitas dan banyak mempertimbangkan kondisi setempat, yang di Bali kaprahnya disebut dengan desa kala patra. Maka dari itu juga gamelan Bali tidak bisa lepas dari konteks ajaran Tri Hita Karana yang artinya tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Dalam ajaran Tri Hita Karana tersebut terdapat tiga unsur yang dapat terwujudnya tiga keselamatan itu yakni:

1. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan-Nya (Parhyangan)

2. Hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya (Palemahan)

3. Hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya (Pawongan)

Gamelan juga sangat berperan penting untuk mewujudkan ketiga hubungan  harmonis tersebut. Karena gamelan juga memiliki sifat multi fungsi. Gamelan tidak bisa lepas dengan tradisi Bali. Semasih adat berjalan, gamelan selalu harus diperlukan, khususnya oleh masyarakat Bali. Bunyi gamelan merupakan salah satu media informasi adanya suatu prosesi ritual. Dengan mendengarkan bunyi gamelan kita dapat mengetahui adanya prosesi ritual di suatu tempat, bahkan banyak orang dapat mengetahui dari jauh tentang proses atau urutan dan tahapan-tahapan pelaksanaan ritual itu melalui bunyi gamelan. Ritual dalam agama Hindu merupakan bentuk implementasi filsafat dan etika. Pelaksanaan berbagai macam ritual Hindu selalu diiringi bunyi gamelan. Pada prosesi ritual-ritual yang dianggap kecil atau sederhana, pelaksanaannya cukup diiringi oleh salah satu jenis gamelan yang sederhana saja. Namun dalam upacara besar misalnya upacara piodalan ‘yaitu upacara perayaan ulang tahun berdirinya pura’, perayaan hari besar keagamaan, dan sebagainya maka berbagai gamelan seperti: bleganjur, angklung, gong gede, gong gambang, gong kebyar dan sebagainya digunakan secara bergantian atau bersamaan. Singkatnya, tidak ada acara ritual Hindu yang dilaksanakan tanpa menggunakan gamelan. Pada daerah transmigran yang kondisi ekonominya belum mapan, bunyi gamelan tersebut diganti dengan bunyi kaset gong untuk mengiringi upacara ritualnya. Berbagai upaya ditempuh oleh umat Hindu agar di wilayah pura atau di wilayah desanya memiliki seperangkat gamelan. Demikian besarnya kecintaan umat Hindu terhadap gamelan, menyebabkan banyak pertanyaan yang muncul dari berbagai pihak atau kalangan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: (1) Apakah yang mendorong kecintaan umat Hindu yang demikian besar terhadap gamelan? (2) Adakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh suatu pemahaman terhadap esensi dari bunyi gamelan itu? (3) Apakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh pemahaman teologis atau filosofis dari bunyi gamelan itu? (4) Apakah kecintaannya itu didorong oleh pemahaman terhadap aspek psikologis dari bunyi gamelan itu? (5) Apakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh manfaat sosiologis dari bunyi gamelan itu? (6) Apakah kecintaan umat Hindu terhadap gamelan karena kemeriahannya? Belum ada jawaban yang komprehensif terhadap semua pertanyaan tersebut. Bunyi gamelan memiliki implikasi (akibat-pengaruh) yang nyata dalam menuntun suasana hati dan pikiran unyuk mencapai kebahagiaan. Oleh sebab itu gamelan sangat diperlukan untuk menuntun suasana hati masyarakat, dimulai dari mempersiapkan sarana-sarana ritual. Sarana persembahan yang dibuat dengan suasana hati damai akan memancarkan vibrasi suci dan menjadi hubungan dengan Tuhan yang semakin harmonis. Gamelan sebagai musikal intsrumen atau sebagai musik tak dapat dipisahkan dari konsep keseimbangan hidup orang Bali yaitu konsepsi Tri Hita Karana. Terkait dengan konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variable yakni hubungan harmoni keseimbangan hidup manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan harmoni keseimbangan hidup  manusia dengan sesamanya (Pawongan), hubungan harmoni keseimbangan hidup manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan). Dalam setiap aspek tersebut selalu diikuti suara gamelan. Orang Bali, di mana pun ia berada dan apa pun yang ia perbuat, konsep keseimbangan hidup ini akan menjadi dasar perbuatannya. Sesuai dengan dasar filsafat atau logika yang tercantum dalam lontar Prakempa, konsep keseimbangan hidup manusia itu dapat terwujud dalam beberapa dimensi yaitu: (1) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tunggal yaitu keseimbangan hidup yang berdasarkan falsafah mokshartham jagadditaya ca iti dharma. (2) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi dualistis, yaitu percaya terhadap adanya dua kekuatan yang dasyat seperti baik dan buruk, siang dan malam, laki dan perempuan, kaja dan kelod, sekala dan niskala, dan lain-lainnya. (3) Keseimbangan hidup dalam dimensi tiga yaitu percaya dengan adanya unsur serba tiga dalam kehidupan seperti tri murti: brahma, wisnu siwa; tri loka: bhur loka (dunia bawah), bhuvah loka (dunia antara), svah loka (dunia atas) dan lain sebagainya. (4) Keseimbangan empat dimensi yaitu percaya terhadap adanya kekuatan serba empat dalam kehidupan seperti catur loka pala: indra, yama, kwera dan baruna; catur purusa artha: dharma, artha, kama, dan moksa, serta lain sebagainya. (5) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi lima, yaitu percaya adanya kekuatan serba lima dalam kehidupan manusia seperti panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa; panca sradha: Tuhan, jiwa, karmapala, reinkarnasi dan moksha, serta lain-lainnya. (6) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi enam seperti sad ripu: kama, kroda, moda, loba, himsa dan matsarya; sad rasa: pedas, asam, manis, asin, pahit, dan sepet, serta lain-lainnya. (7)  Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tujuh, yaitu keseimbangan hidup yang percaya dengan adanya tujuh konsepsi seperti sapta wara: redite, soma, anggara, buda, wraspati, sukra, dan saniscara; sapta loka: bhur, bvah, svah, traya, jana, maha, satya dan loka. (8) Keseimbangan hidup dalam delapan dimensi, yaitu kepercayaan manusia terhadap delapan kekuatan seperti; asta iswarya: anima, loghima, prakamya, mahima, prapti, icitwa, wacitwa, dan yatakarmawasayitwa. (9) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi sembilan, yaitu manusia percaya dengan adanya sembilan unsur dalam keseimbangan seperti; dewata nawa sanga: iswara, brahma, mahadewa, wisnu, mahesora, rudra, sangkara, sambhu, san siwa. (10) Keseimbangan manusia dalam dimensi sepuluh, yaitu kepercayaan terhadap adanya sepuluh unsur dalam keseimbangan seperti dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, ci, wa, ya. Keseluruhan dimensi (konsepsi) keseimbangan hidup manusia di atas menjadi falsafah dari perwujudan lontar Prakempa itu dan konsepsi keseimbangan itu akan muncul secara satu persatu dalam lontar itu. Dimensi-dimensi di atas saling berkaitan satu sama lainnya dan menunjukkan adanya dua kekuatan yang vital, yaitu kekuatan baik dan buruk. Menurut falsafah Prakempa bahwa bunyi (suara) mempunyai kaitan yang erat dengan konsepsi lima dimensi yang dinamakan Panca Mahabhuta, yaitu Pertiwi, Bayu, Apah, Teja, dan Akasa. Bunyi dan warna-warnanya masing-masing menyebar ke seluruh penjuru bumi dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang disebut lingkaran Pengider Bbvana. Pencipta dari bunyi itu bernama Bhagawan Wiswakarma dan ciptaan beliau mengambil ide dari dari bunyui (suara) 8 (delapan) penjuru dunia yang sumbernya berada pada dasar bumi. Suara-suara itu dibentuk menjadi 10 nada yaitu 5 nada yang disebut laras pelog dan 5 nada yang disebut laras selendro. Nada-nada itu mempunyai kaitan dengan Panca Tirta dan Panca Geni, dua sunber keseimbangan hidup manusia. Laras Pelog mempunyai hubungan dengan Panca Tirta dan lasar Selendro berkaitan dengan Panca Geni. Panca Tirta merupakan manifestasi dari Bhatara Smara dan Panca Geni merupakan manifestasi dari Bhatari Ratih. Dari 10 nada yang dijiwai moleh Smara dan Ratih sebagai Dewa Percintaan bersumber pada tujuh buah nada yang urutannya sebagai berikut: ding, dong, deng, ndung, dung, dang, nding. Ketujuh nada di atas merupakan sumber bunyi (suara) itu disebut Genta Pinara Pitu (bunyi berjarak tujuh. Di samping terciptanya Pelog 5 nada, Selendro 5 nada dan Pelog 7 nada (Genta Pinara Pitu), lontar Prakempa juga menyebutkan 3 nada yang berkaitan dengan Tri Aksara (Ang, Ong, Mang) dan Selendro 4 nada yang berkaitan dengan Catur Lokapala (Indra, Yama, Kwera, dan Baruna). Gamelan Bali pada kenyataannya sampai saat ini masih difungsikan sebagai pengiring prosesi. Gamelan ini, bila dikaitkan dalam konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dari sudut fungsi yang di dalamnya berhubungan dengan konteks upacara ritual (Parhyangan), konteks sosial (Pawongan) dan kontek lingkungan, budaya dan pariwisata (Palemahan).

Konteks Parhyangan

Gamelan Bali jika dikatagorikan dalam konteks Tri Hita Karana tidak boleh lepas dari kontek parahyangan yang digunakan untuk mengiring upacara ritual keagamaan. Beragamanya jenis-jenis gamelan di Bali ini, juga membuat beraneka fungsi dari masing-masing jenis gamelan tersebut yang digunakan untuk mengiringi upacara ritual Hindu. Misalnya pada upacara manusia yadnya yaitu dalam upacara mesangih (mepandes). Gamelan gender wayang selalu digunakan untuk mengiringi proses upacara tersebut. Demikian juga dengan gamelan gambang, biasanya dimainkan pada saat upacara pitra yadnya. Dan uniknya juga gamelan gambang ini pada lumrahnya dimainkan oleh orang yang tua-tua yang kaprahnya melakukan pewintentan, karena gamelan ini disakralkan oleh masyarakat setempat. Di samping gamelan gambang, juga terdapat jenis gamelan baleganjur. Gamelan baleganjur ini kalau kita lihat dari proses upacara dewa yadnya biasanya dimainkan pada  upacara melasti. Kalau kita lihat dari proses upacara pitra yadnya, gamelan baleganjur ini digunakan untuk mengiringi petulangan dalam prosesi pengutangan bagi umat Hindu. Demikian juga dengan halnya dengan gamelan gong kebyar yang kini sangat populer pada kehidupan masyarakat Bali khususnya. Selain sebagai sarana hiburan, gamelan yang tergolong baru ini juga bisa digunakan dalam mengiringi prosesi upacara dewa yadnya. Misalnya pada saat odalan di pura, gong kebyar bisa digunakan  untuk mengiringi tari-tari wali seperti tari topeng, tari baris gede, tari rejang dewa dan lain sebagainya. Sungguh banyak fungsi gong kebyar dalam kehidupan ini, bilamana kita kaitakan dalam konteks parhyangan. Masih banyak jenis-jenis gamelan yang difungsikan dalam proses ritual agama Hindu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, karena gamelan dalam proses ritual atau upacara agama untuk mendekatkan diri sesuai dengan kontek parhyangan, tergantung pada kepercayaan masyarakat setempat.

Konteks Pawongan

Gamelan Bali tidak akan luput dengan kehidupan sosial antara manusia dengan sesamanya yang kaprahnya dalam ajaran Tri Hita Karana disebut pawongan, hubungan harmonis aantara manusia dengan manusia. Selain dalam proses ritual atau  konteks parhyangan gamelan Bali juga bisa digunakan dalam konteks pawongan. Manusia mempunyai sifat sebagai makhluk sosial yaitu saling memerlukan antar sesama dan manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia selalu ketergantungan dengan orang lain, jika ditinjau sebagai makhluk sosial. Terkait dengan konsep pawongan yang terdapat dalam Tri Hita Karana, gamelan dapat difungsikan sebagai presentasi estetis. Hubungan pawongan di sini menyangkut tentang sosial masyarakat, yang didalamnya memuat tentang gamelan Bali yang dilihat dari segi fungsi yaitu gamelan Bali bisa digunakan dalam perlombaan, misalnya dalam perlombaan gong kebyar, perlombaan angklung, perlombaan baleganjur, perlombaan mekendang tunggal dan lain-lain. Selain digunakan dalam perlombaan, sesuai dengan konsep pawongan, gamelan Bali juga bisa mempersatukan banjar yang awalnya saling bermusuhan, misalnya banjar A bermusuhan dengan banjar B. Melalui gamelan, yaitu membuat gabungan sekhe dari banjar A dan banjar B yang pada awalnya banjar itu bermusuhan akan bisa berakhir dengan damai. Karena seorang pemain gamelan itu harus mempunyai jiwa yang halus, agar nanti dalam memainkan gamelan agar bisa mempersatukan rasa antara satu sama lainnya. Gamelan Bali selalu berkembang dari zaman ke zaman, karena melaui proses ide kreatif manusia yang selalu mempunyai sifat radikal yaitu selalu ingin untuk mencoba. Sesuai dengan konsep pawongan, antar manusia juga bisa saling mengisi ilmu melalui gambelan Bali yang kaprahnya dilakukan oleh seniman-seniman karawitan Bali. Di sana antara manusia satu dengan yang lainnya akan saling mengisi dan menambah wawasan. Kayanya Bali akan jenis-jenis gamelan ini membuat orang asing untuk ikut serta mempelajarai salah satu dari jenis gamelan Bali tersebut. Para seniman karawitan Bali bisa juga memperoleh keuntungan melalui gambelan Bali tersebut. Misalnya dalam proses mengajar orang asing, di sana akan mendekatkan hubungan kita antara manusia dengan manusia lainnya. Dengan gamelan kalau dilihat dari konteks pawongan, kita akan bisa mencari teman baru yang datang dari berbagai daerah atau negara. Sangat banyak fungsi gambelan Bali kalau kita lihat dalam konteks pawongan.

Konteks Palemahan

          Gamelan Bali sangat memiliki peran jika kita lihat dari konteks palemahan disamping kita lihat dalam konteks parhyangan dan pawongan dalam Tri Hita Karana. Palemahan adalah hubungan manusia dengan lingkungannya. Kalau dilihat dari konteks palemahan, gamelan Bali dapat dibunakan sebagai musik prosesi pada upacara, misalnya gamelan gender wayang, dapat digunakan dalam prosesi mesangih, baleganjur digunakan pada saat upacara mecaru, yang ada hubungannya dalam alam semesta dan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga, konsep palemahan dapat kita lihat dari segi lingkungan kebudayaan dan pariwisata. Kalau dilihat dalam konteks kebudayaan, gamelan sangat berperan penting dalam proses kebudayaan. Kembali lagi ke pengertian kebudayaan. kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Gamelan Bali juga mempunyai sifat yang demikian. Gamelan Bali dalam segi budaya sangat berperan penting dalam upaya peningkatan budaya, karena gamelan Bali merupakan salah satu warisan budaya yang patut kita jaga dan lestarikan. Bali adalah pulau yang kecil yang menjadi tujuan para wisatawan domestik maupun internasional. Dalam konteks pariwisata peran gamelan Bali sangatlah penting, gamelan Bali bisa dipakai untuk penyajian sebuah seni pertunjukkan yang akan dipentaskan kepada wisatawan – wisatawan tersebut. Ada pula wisatawan yang datang ke Bali sengaja untuk melihat pertunjukan pementasan gamelan Bali dan sengaja datang untuk belajar bermain gamelan Bali. Demikianlah hubungan gamelan Bali kalau kita lihat dalam konteks palemahan.

KEISTIMEWAAN BARUNGAN GAMELAN SEMARA DHANA DENGAN BARUNGAN YANG LAIN

Selasa, Maret 27th, 2012

A. Asal – Usul Lahirnya Gamelan Smara Dhana dalam karawitan Bali

            Gamelan Smara Dhana adalah merupakan seperangkat barungan baru yang mana bentuknya hampir sama dengan gamelan gong kebyar, tetapi warna suara dan jumlah bilahnya berbeda. Gong Kebyar mempergunakan laras pelog 5 nada, sedangkan Smara Dhana, satu oktaf mempergunakan laras pelog 5 nada, dan satu oktaf lagi mempergunakan laras pelog 7 nada yang sama dengan gamelan Semara Pagulingan. Gamelan Smara Dhana ini muncul pertama kali di desa Ubud Gianyar yaitu bertempat di Puri Saren Ubud pada tahun 1988. Gamelan ini diciptakan oleh Bapak Wayan Beratha seorang seniman asal Denpasar. Menurutnya gamelan ini dibuat berdasarkan ide yang bersumber dari pengalaman di dalam penggarapan sendratari yang mulai dari Pesta Kesenian Bali yang pertama tahun 1979. Pada waktu itu sipentaskan sendratari SMKI dengan mempergunakan cerita Mahabrata yang mengambil judul “Sayembara Dewi Ambara”, iringannya memakai 2 jenis barungan gamelan yaitu gamelan gong gede dan semar pegulingan. Bentuk garapan seperti ini dipentaskan setiap tahun sekali, dengan demikian dari tahun ke-tahun, cerita-cerita yang dipergunakan  sebagai garapan sendratari semakin berkembang dan bertambah unik dengan berbagai bentuk adegan, otomatis iringannyapun bertambah dari 2 barungan gamelan menjadi 3 barungan. Melihat dari pengalaman tersebut di atasa, untuk menghemat tenaga maka timbul ide dari Bapak Wayan Beratha untuk membuat satu jenis barungan gamelan lagi yang diberi nama Gong Smara Dhana. Pemberian nama ini tidak bersumber pada salah satu buku, lontar atau prasasti, melainkan timbul dari hati nuraninya sendiri.

B. Arti Kata Smara Dhana dalam Karawitan Bali

Smara Dhana merupakan istilah yang banyak dipinjam dalam dunia karawitan, khususnya karawitan Bali. Secara umum karawitan dibedakan atas karawitan vokal dan karawitan instrumental. Karawitan vokal yang dimaksud adalah salah satu bentuk keseniaan yang mempergunakan suara manusia sebagi media ungkap, di Bali dikenal dengan sebutan “Tembang”. Lebih lanjut dijelaskan, tembang adalah seni suara yang diwujudkan melalui seni suara manusia, dan perwujudan ini merupakan suatu pernyataan keindahan melalui suara. Tembang pada hakekatnya adalah jalinan antara melodi, cengkok, wilet dan gregel dalam bentuk seni duara yang mempergunakan laras selendro maupun pelog. (Bandem, 1983:57). Smara Dhana dalam kaitannya dengan karawitan vokal merupakan salah satu jenis dari bentuk tembang macapat yang lazim digunakan untuk adegan suasana sedih khususnya dalam pertunjukan tari arja. Demikian juga dalam karawitan instrumental, sebelum barungan gamelan Smara Dhana dibuat, di dalam lagu-lagu lelambatan klasik pegongan yang menggunakan instrument barungan Gong Kebyar maupun Gong Gede, terdapat juga jenis lagu yang sudah ada yang diberi nama Smara Dhana yaitu digolongan ke dalam lelambatan Tabuh Pat yang komposernya bersifat anonym. Selain itu juga kata Smara Dhana juga merupakan salah satu bentuk dan jenis tari legong yang diambil dari kakawin “Smaradahana”, mengisahkan kemurkaan (kemarahan) Siwa, karena Batara Kamajaya dan Batari Ratih berthasil menggoda dan menggoyahkan tapaNya dengan panah “Panca Wiyasa”, tatkala sorga kedatangan musuh raksasa yang bernama Nilaruraka. Saking marahnya Batara Siwa, lalu Batara Kamajaya dan Batari Ratih dibunuh dan dikutuk agar Batara Kamajaya menjelma pada setiap orang laki, dan Batari Ratih pada setiap orang perempuan. (Poerbatjaraka, 1957:20-21). Menurut Bapak I Wayan Baratha, kata Smara Dhana dipilah menjadi “Semara dan Dhana”. Semara berarti suara, sedangkan Dhana berarti kaya. Jadi kata Smara Dhana dapat diartikan “kaya akan suara.

C. Keistimewaan Barungan Smara Dhana dengan Barungan yang lain

Keragaman suara yang dimiliki merupakan keistimewaan dan kelebihan gamelan Smara Dhana dibandingkan dengan barungan yang lainnya. Di samping itu juga dengan adanya gamelan Smara Dhana ini dapat pula membuktikan bahwa gamelan kita mampu bersifat “polyphonic” yang menurut ahli Barat lazim di golongkan ke dalam musik “polyritmic” dengan kekayaan ekspresi, dinamika serta temponya.  Smara Dhana yang berarti kaya akan suara, dimaksudkan bahwa gamelan Smara Dhana memiliki 12 rangkian nada-nada meliputi:

1. Pelog tujuh (7) nada sebagai oktaf ; dong,deng,deung,dung,dang,daing,ding

2. Pelog lima nada ; dong,deng,dung,dang,ding

Dari rangkaian pelog tujuh (7) nada yang dimiliki kemudian timbulah sebuah patet atau patutan. Adapun jenis-jenis patutan yang berhubungan dengan tujuh (7) nada skala, salah satunya dalam gamelan Smara Dhana adalah sebagai berikut:

1. Selisir                        123-56-

2. Selendro Gde          -234-67

3. Baro                          1-345-7

4.Tembung                  12-456-

5. Sunaren                   -23-567

6. Pengenter alit          1-34-67

7. Pengenter                12-45-7

8. Lebeng                    1234567

Di Jawa patet selisir disamakan dengan patet nem, patet tembung disamakan dengan patet limo dan patet sundaren disamakan dengan patet barang. Dengan patet-patet yang ada akan dapat memberi fungsi baru terhadap keberadaan barungan gamelan ini. Dari segi teknik lebih bebas untuk digarap sesuai dengan tujuan penggarapan. Gamelan Smara Dhana dapat pula melahirkan suasana laras yang berbeda, dari laras pelog ke laras selendro atau sebaliknya. Melalui permainan modulasi dari suatu patet ke patet yang lain, atau ungkapan yang berbeda –beda. Dengan demikian gamelan Smara Dhana cukup menarik, sangat lembut, manis dan romantis, cukup potensial untuk digarap sebagai karawitan tari maupun kerawitan instrumental.Smara Dhana yang berarti kaya akan suara dalam melahirkan ciptaan gending dirasakan lebih dinamis dan beraneka jenis warna suara yang dihasilkan, sehingga sangat relevan dengan pemberian nama tersebut. Lain daripada itu kaya akan suara yang dimaksudkan, bahwa Smara Dhana dapat memainkan repertoar gending-gending Pagambuhan, Palegongan, Semar Pagulingan, Gong Gede, Angklung, Gong Kebyar dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa Smara Dhana merupakan ensambel baru yang bersifat “multi-fungsi”, karena barungan ini dapat mewakili berbagai jenis barungan yang ada.Pembaharuan Nampak sebagai sesuatu acuan dengan perhitungan yang masak. Terbilang memperkaya sesuatu kebiasaan berkarya yang sudah tergaris dalam masa yang cukup panjang yang nanti akan dapat memperkaya rasa musical. Lebih jauh lagi, Smara Dhana yang berarti kaya akan suara, bahwa gamelan ini meskipun barungan baru, dapat difungsikan dalam berbagai bentuk kegiatan, baik menyangkut masalah ada, keagamaan, demontrasi, maupun hanya sebagai pelengkap acara ramah tamah kenegaraan. Dalam acara uang bersifat keagamaan gamelan inipun difungsikan , baik sebagai karawitan instrumental (tabuh petegak) maupun karawitan iringan tari yang di suguhkan pada puncak acara (karya). Dalam perkembangannya, gamelan Smara Dhana tentu dapat menunjukkan identitasnya baik dalam lingkungan masyarakat Bali maupun luar Bali. Dalam era ini, nampaknya gamelan Smara Dhana berkembang semakin pesat.

D. Jenis – Jenis Instrument yang  Terdapat pada Gamelan Smara Dhana

Instrument dari gamelan Smara Dhana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar. Ditinjau dari kelengkapan barungannya gamelan Smara Dhana memiliki 19 jenis bentuk instrument. Diantaranya:

  • 2 tungguh jegogan, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh tujuh
  • 2 tungguh juglag, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh tujuh
  • 2 tungguh penyacah, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh juga tujuh
  • 2 tungguh ugal, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 4 tungguh pemade, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 4 tungguh kantilan, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 1 tungguh reong, yang jumlah pencolnya tujuh belas atau lima belas
  • 1 tungguh trompong, yang jumlah pencolnya empat belas atau sepuluh
  • 1 pasang gong lanang wadon
  • 1 pasang kendang lanang wadon
  • 1 kempur
  • 1 bende
  • 1 kemong
  • 1kempli
  • 1 kajar
  • 1 tungguh cengceng ricik
  • Suling kurang lebih berjumlah 6
  • 1 buah rebab atau lebih
  • Beberapa cengceng kopyak (jika diperlukan)

E. Contoh Lagu yang Memang Murni Lahir dari Gamelan Smara Dhana

  • Gregel karya Dewa Ketut Alit
  • Pengastungkara sebuah musik iringan tari karya Dewa Ketut Alit
  • Puser Belah karya Michael Tenzer
  • Navadasa karya I Wayan Sudirana
  • Water 7 karya I wayan Gede Yudana
  • Check This Out karya Paddy Sandino
  • Breace Your Self Wayan karya Pete Stele
  • Canang Sari karya Colin Mc Donald
  • Lemayung karya Dewa Putu Beratha

Sumber :

Dibia, SST. I Wayan, 1978. Pengantar Karawitan Bali. Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar 1977/1978

Bandem, Dr. I Made, 1983. Mengenal Gamelan Bali. Dibiayai dan dicetak oleh : Proyek Penggalian, Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/Tradisional dan Kesenian Baru Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1983.

Tenzer, Michael, 2007. Gamelan Gong Kebyar: Seni Musik Bali Abad Ke-duapuluh. Chicago: University of Chigago Press.

Bandem, Prof. Dr. I Made, 1992. Eksistensi Gamelan Smara Dhana Dalam Karawitan Bali. STSI Denpasar ; 1992.

Aryasa, B.A. I Wayan Madra, 1877. Perkembangan Seni Karawitan. Denpasar ; Proyek Sasana Budaya Bali, 1976/1977.