Archive for Juni, 2013

KUTIPAN KEKAWIN ARJUNA WIWAHA

Senin, Juni 10th, 2013

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda AnyarDesa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda Anyar Desa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.