PROSESI RUWATAN DAN SARANA RUWATAN WAYANG SAPUH LEGER

Juli 9th, 2014

Pertunjukan wayang Sapuh Leger merupakan bentuk wayang Tradisi yang dipatenkan dari segi pementaskannya. Istilah Sapuh Leger berasal dari kata dasar “sapuh“ dan “Leger“. Di dalam kamus Bali-Indonesia, terdapat kata “sapuh“ (alus minder) artinya alat untuk membersihkan; nyapu artinya membersihkan; kasapuhan artinya dibersihkan, kata “Leger“ sinonim dengan kata “leget“ yang artinya tercemar/kotor. Secar keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.

Pertunjukan Wayang Sapuh Leger ini mengangkat cerita Sang Kala dan Hyang Rare Kumara sebagai cerita pokok. Mulai cerita ini dari Sang Hyang Caturbuja (Siwa) yang memiliki dua orang putra yang benama Bhatara Kala yang wujud raksasa dan adik bungsunya bernama Hyang Rare Kumara (keduanya lahir pada minggu yang sama yaitu wuku wayang). Kala marah dengan adiknya, karena memilikin oton yang sama seperti dia, dan meminta ijin kepada ayahnya Guru untuk dapat memangsa adiknya. Dewa Siwa memberitaukan kepada kala untuk menunggu selama tuju tahun, karena adiknya masih kecil, dengan perasaan sedih Dewa Siwa memanggil Kumare untuk memberi taukan maksud dari Kala. Dan Dewa Siwa mengutuk (pastu) Kumara untuk tetap kecil (kerdil) tidak pernah besar. Setelah tujuh tahun kala kembali bermaksud menelan Kumara. Dewa Siwa menasehati Kumara untuk mengungsi ke kerajaan Kertanegara. Setelah perjalanan jauh Kumara sampai di kerajaan Kertanegara dan menghadap kepada raja untuk pertolongan (atas saran Dewa Siwa). Tetapi pasukan dari raja dapat dikalahan oleh Kala. Kumara berusaha untuk merlari, karena terpojok Kumara di tangkap dan di telan oleh Kala. Pada saat itu Dewa Siwa dan istrinya Uma muncul bersamaan, menyuruh kala memuntahkan adiknya yang sudah di telan itu. Dewa Siwa mengajukan pertanyaan (teka-teki) : “ Asta pada sad lungayan catur puto dwi purusa eka bagha eka egul trinabi sad karna dwi srenggi gopa-gopa sapta locanam“.teka-teki itu dimaksudkan untuk mengulur waktu supaya matahari mencondong ke barat sehingga Kala gagal memanggsa adiknya. Pada suatu ketika Kumara sampai di tempat pertunjukan wayang kulit yang di adakan dalam wuku wayang, Kumara menangis dipanggung dalang, ia meminta pertolongan. Dalang menyuruh dia bersembunyi di tengah bungbung gender. Kala datang tanpa memperdulikan disekitarnya karena saking laparnya dia memakan sesajen yang disediakan untuk dalang. Dalang yang mengetahui prilaku Kala kemudia menegur supaya sesajen itu di kembalikan seperti semula. Kala terpojok dangan mengaku sangat berutang kepada Dalang. Sebagai wujud kesetiaannya Kala meng-anugrahkan sebuah mantra magis yang memberikan dalang kemampuan untuk membersihkan semua makhluk hidup dari kekotoran. Sebagai balasannya dalang mengaturkan sesaji sebagai ganti anak yang dilahirkan pada tumpek wayang.Kala mengikuti kemudian pergi. Kumara dibawa ke Kahyangan oleh Dewa Siwa dan Uma.

Elemen, Sesajen dan Nilai dari pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah sebagai berikut:

Posisi dalang dan ketika memainkan wayang sama seperti pementasan wayang kelir umumnya duduk dan kaki kanan diatas dijepitkan cepala (alat untuk memukul keropak) untuk memukul keropak (tempat menyimpan wayang dan juga sebagai pasangan cepala).

 Foto0184

Saat mulai pementasan Wayang Sapuh Leger. (foto I Dewa Ketut Wicaksana)

Iringan Gambelan yang dipakai dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger masih tetap memakai Gender Wayang pada umumnya. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit terutama pada Wayang Sapuh Leger (sama dengan Wayang Parwa), biasanya digunakan 2 sampai 4 buag gender. Masing-masing instrumen berlaras slendro dan memakai 10 anak daun, sedangkan urutan nadanya terdiri dari 5 nada dasar yaitu; dong, deng, dung, dang, ding.

Sedangkan Wayang Sapuh Leger didalam pementasannya memakai sebuah layar (kelir), berukuran panjang adepan belah (2,25 meter) dan lebar adepan (1,5 meter), direntangkan kesamping kanand dan kiri dengan dua buah jelujuh (tongkat kedua sisipnya lancip terbuat dari batang pohon kelapa disebut uyung) serta diikat dengan tali, kemudian untuk merentangkan sisi bawah pada bibir kelir ditancapkan racik (sejenis paku besi) yang menancap pada batang pisang (gedebong) dan sisi atasnya dikencangkan seutas tali melilit bagaikan sarang laba-laba. Kelir dipasang agak miring dimana pada bagian atas condong ke depan kurang lebih 45 derajat, serta pada bagian sudut kelir dibawah ada sedikit tambalan dari bekas sobekan. Sebuah damar/belencong (lampu minyak kelapa terbuat dari bejana tanah liat yang sudah dibakar) digantung dengan rantai besi sejajar dengan kelir. Dengan sumbu yang terbuat dari kapas atau sumbu kompor, dan napmak bayang-bayang yang ditimbulkan oleh lampu belencong dengan nyala api yang bergerak-gerak, seolah-olah suasana yang tertangkap di layar tersebut benar-benar terasa hidup.

Pada umumnya pementasan Wayang Sapuh Leger ini memiliki struktur pementasan yang sama dengan pementasan wayang kulit bali, namun kendatipun di beberapa daerah di Bali terdapat beberapa perbedaan kecil, hal tersebut malah menunjang adanya ciri khas dari daerah masing-masing.

Foto0182

Di saat mulai ruwatan/Lukatan Wayang Sapuh Leger ( I Dewa Ketut Wicaksana)

Pada bagian akhir pertunjukan Wayang Sapuh Leger, Dalang mulai melakukan ritual ngeruat dengan kelir di naikan, posisi Dalang masih tetap seperti ngewayang. Disini dalang mempersiapkan peralatan dan sajen-sajen yang pokok sebagi berikut :

a) Gedebong (pohon pisang) tempat menamcabkan wayang, yang berbelitkan benang tukelan (benang tenun) dan berisi uang bolong cina sebanyak 250 keping. Demikian juga pada kedua belah ujung perentang kelir (jelujuh), lampu wayang (blencong), diberikan benang tukelan dengan disertai uang bolong cina masing-masing 250 keping.

b) Di hadapan kelir sebelah kiri, dipancangka satu Sanggah Tutuan (tempat pemujaan Dewa Siwa Raditya) di sertai peji uduh dan biu lilang, diberi berbelit benang tukelan/tenun beserta uang bolong 250 keping. Disitu dipanjatkan sebuah sesajen (suci asoroh, ajuman putih kuning)

c) Di hadapan kelir disajikan sebuah sesajen antara lain sorohan, pebangkit asoroh, nasi merah (penek bang) dengan daging ayam wiring dipotong-potong winangun urip, sampian andong-bang dan beberapa tebasan. Terutama tebasan sapuh leger, sebuah tumpeng yaitu nasi berbentuk kerucut,berpasangkan ranting beringin, berisi ayam panggang, beberapa keping jajan dan sesisir pisang.

d) Sesajen untuk Dewa Kala, tetebasan tadah kala yaitu sebentuk nasi segitiga beralasan daun candung dilempirkan bawahi sepotong kain poleng dan kepelan nasi segitiga dilumuri darah babi, lauk urab merah urap putih.

e) Sesajen untuk anak yang diruat, tebasan lara melaradan yaitu nasi kuning dalam takir, daging balung dan telur dadar. Daksine penebus baya (dosa), daksina gede serba delapan (kelapa 8 butir, telur 8 butir, beras 8 takar, gula aren 8 biji, sarma/uang 8100 kepeng, setadan pisang segabung sirih berpacancangkan sehelai janur, tuak, arak, dan berem).

f) Sesajen untuk Wayang dan Dalang, suci selengkapnya, daging itik putih, peras, ajuman, canang gantal, lenge wangi burat wangi, uang bolong cina (sarma) 1700 kepeng, daksina gede serba empat dan sarma 1132 kepeng.

Nilai-nilai yang terdapat dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger sebagai ungkapan nilai budi pekerti, dapat kirannya diangkat sesuai dengan latar belakang kepercayaan yang dianut masyarakat Bali, terdapat dalam Kitab Manu Smerti, adalah sebagai berikut (a) badan yang kotor harus dibersihkan dengan jalan mandi; (b) benda-benda yang kotor harus dibersihkan dengan air, api, atau benda pencuci lainnya; (c) perkataan yang kotor harus diajarkan dengan berkata-kata yang lebih halus dan budi pekerti yang baik; (d) pikiran yang kotor dan tidak baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca mantra dari kitab-kitab suci Weda. Sedangkan dilihat dari fungsinya Wayang Sapuh Leger dalam konteks nilai seni, memiliki nilai intrinsik yaitu nilai yang dikejar oleh seniman (dalang) demi nilai itu sendiri karena keberhargaan, keunggulan, kebaikan yang melekat pada nilai itu sendiri. Seorang dalang akan dapat kehormatan (pengahargaan/pengakuan) dari komonitasnya, apabila dapat melaksanakan pertunjukan wayang Sapuh Leger yang berinitikan lukatan/ruwatan. Keyakinan itu di dasarkan atas sifat dari jenis kesenian ini yaitu ritual magis, sehingga masyarakat menempatkan pada kedudukan yang tinggi dari jenis wayang lainnya di Bali.

Sedangkan Pesan/amanat yang di sampaikan adalah ketika pernyataan yang telah di lontarkan atau diucapkan, terlebih hal ini berimbas kepada kehidupan serta masa depan orang yang mengucapkan itu sendiri. Lebih baik pernyataan tersebut diutarakan dengan berbagai pertimbangan yang berdasarkan kepada pikiran terburuk yang akan terjadi atau dirasakan oleh orang yang mengucapkan, seperti contoh di saat Dewa Siwa yang memberikan peraturan kepada Kala, ketika itu Iya mengobra-ngabrik serta memakan seisi dunia, tanpa memikirkan kedepannya, peraturan tersebut menjadi senjata yang mengenai Dewa Siwa yang merupakan salah satu rare kumara putra dari Dewa Siwa “ beberapa peraturan Dewa Siwa itu berbunyi : siapan pun yang lahir pada saat wuku wayang, Kala boleh memakannya, dan Kalam boleh memakan orang yang berpergian pada saat tengai tepet (siang hari), sandhi kala (sore hari), tengah lemeng (malam hari)“

DAFTAR PUSTAKA

Wicaksana I Dewa Ketut, Wayang Sapuh Leger, fungsi dan makna dalam masyarakat Bali, 2007

 

Comments are closed.