Archive for Juli, 2014

PROSESI RUWATAN DAN SARANA RUWATAN WAYANG SAPUH LEGER

Rabu, Juli 9th, 2014

Pertunjukan wayang Sapuh Leger merupakan bentuk wayang Tradisi yang dipatenkan dari segi pementaskannya. Istilah Sapuh Leger berasal dari kata dasar “sapuh“ dan “Leger“. Di dalam kamus Bali-Indonesia, terdapat kata “sapuh“ (alus minder) artinya alat untuk membersihkan; nyapu artinya membersihkan; kasapuhan artinya dibersihkan, kata “Leger“ sinonim dengan kata “leget“ yang artinya tercemar/kotor. Secar keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.

Pertunjukan Wayang Sapuh Leger ini mengangkat cerita Sang Kala dan Hyang Rare Kumara sebagai cerita pokok. Mulai cerita ini dari Sang Hyang Caturbuja (Siwa) yang memiliki dua orang putra yang benama Bhatara Kala yang wujud raksasa dan adik bungsunya bernama Hyang Rare Kumara (keduanya lahir pada minggu yang sama yaitu wuku wayang). Kala marah dengan adiknya, karena memilikin oton yang sama seperti dia, dan meminta ijin kepada ayahnya Guru untuk dapat memangsa adiknya. Dewa Siwa memberitaukan kepada kala untuk menunggu selama tuju tahun, karena adiknya masih kecil, dengan perasaan sedih Dewa Siwa memanggil Kumare untuk memberi taukan maksud dari Kala. Dan Dewa Siwa mengutuk (pastu) Kumara untuk tetap kecil (kerdil) tidak pernah besar. Setelah tujuh tahun kala kembali bermaksud menelan Kumara. Dewa Siwa menasehati Kumara untuk mengungsi ke kerajaan Kertanegara. Setelah perjalanan jauh Kumara sampai di kerajaan Kertanegara dan menghadap kepada raja untuk pertolongan (atas saran Dewa Siwa). Tetapi pasukan dari raja dapat dikalahan oleh Kala. Kumara berusaha untuk merlari, karena terpojok Kumara di tangkap dan di telan oleh Kala. Pada saat itu Dewa Siwa dan istrinya Uma muncul bersamaan, menyuruh kala memuntahkan adiknya yang sudah di telan itu. Dewa Siwa mengajukan pertanyaan (teka-teki) : “ Asta pada sad lungayan catur puto dwi purusa eka bagha eka egul trinabi sad karna dwi srenggi gopa-gopa sapta locanam“.teka-teki itu dimaksudkan untuk mengulur waktu supaya matahari mencondong ke barat sehingga Kala gagal memanggsa adiknya. Pada suatu ketika Kumara sampai di tempat pertunjukan wayang kulit yang di adakan dalam wuku wayang, Kumara menangis dipanggung dalang, ia meminta pertolongan. Dalang menyuruh dia bersembunyi di tengah bungbung gender. Kala datang tanpa memperdulikan disekitarnya karena saking laparnya dia memakan sesajen yang disediakan untuk dalang. Dalang yang mengetahui prilaku Kala kemudia menegur supaya sesajen itu di kembalikan seperti semula. Kala terpojok dangan mengaku sangat berutang kepada Dalang. Sebagai wujud kesetiaannya Kala meng-anugrahkan sebuah mantra magis yang memberikan dalang kemampuan untuk membersihkan semua makhluk hidup dari kekotoran. Sebagai balasannya dalang mengaturkan sesaji sebagai ganti anak yang dilahirkan pada tumpek wayang.Kala mengikuti kemudian pergi. Kumara dibawa ke Kahyangan oleh Dewa Siwa dan Uma.

Elemen, Sesajen dan Nilai dari pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah sebagai berikut:

Posisi dalang dan ketika memainkan wayang sama seperti pementasan wayang kelir umumnya duduk dan kaki kanan diatas dijepitkan cepala (alat untuk memukul keropak) untuk memukul keropak (tempat menyimpan wayang dan juga sebagai pasangan cepala).

 Foto0184

Saat mulai pementasan Wayang Sapuh Leger. (foto I Dewa Ketut Wicaksana)

Iringan Gambelan yang dipakai dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger masih tetap memakai Gender Wayang pada umumnya. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit terutama pada Wayang Sapuh Leger (sama dengan Wayang Parwa), biasanya digunakan 2 sampai 4 buag gender. Masing-masing instrumen berlaras slendro dan memakai 10 anak daun, sedangkan urutan nadanya terdiri dari 5 nada dasar yaitu; dong, deng, dung, dang, ding.

Sedangkan Wayang Sapuh Leger didalam pementasannya memakai sebuah layar (kelir), berukuran panjang adepan belah (2,25 meter) dan lebar adepan (1,5 meter), direntangkan kesamping kanand dan kiri dengan dua buah jelujuh (tongkat kedua sisipnya lancip terbuat dari batang pohon kelapa disebut uyung) serta diikat dengan tali, kemudian untuk merentangkan sisi bawah pada bibir kelir ditancapkan racik (sejenis paku besi) yang menancap pada batang pisang (gedebong) dan sisi atasnya dikencangkan seutas tali melilit bagaikan sarang laba-laba. Kelir dipasang agak miring dimana pada bagian atas condong ke depan kurang lebih 45 derajat, serta pada bagian sudut kelir dibawah ada sedikit tambalan dari bekas sobekan. Sebuah damar/belencong (lampu minyak kelapa terbuat dari bejana tanah liat yang sudah dibakar) digantung dengan rantai besi sejajar dengan kelir. Dengan sumbu yang terbuat dari kapas atau sumbu kompor, dan napmak bayang-bayang yang ditimbulkan oleh lampu belencong dengan nyala api yang bergerak-gerak, seolah-olah suasana yang tertangkap di layar tersebut benar-benar terasa hidup.

Pada umumnya pementasan Wayang Sapuh Leger ini memiliki struktur pementasan yang sama dengan pementasan wayang kulit bali, namun kendatipun di beberapa daerah di Bali terdapat beberapa perbedaan kecil, hal tersebut malah menunjang adanya ciri khas dari daerah masing-masing.

Foto0182

Di saat mulai ruwatan/Lukatan Wayang Sapuh Leger ( I Dewa Ketut Wicaksana)

Pada bagian akhir pertunjukan Wayang Sapuh Leger, Dalang mulai melakukan ritual ngeruat dengan kelir di naikan, posisi Dalang masih tetap seperti ngewayang. Disini dalang mempersiapkan peralatan dan sajen-sajen yang pokok sebagi berikut :

a) Gedebong (pohon pisang) tempat menamcabkan wayang, yang berbelitkan benang tukelan (benang tenun) dan berisi uang bolong cina sebanyak 250 keping. Demikian juga pada kedua belah ujung perentang kelir (jelujuh), lampu wayang (blencong), diberikan benang tukelan dengan disertai uang bolong cina masing-masing 250 keping.

b) Di hadapan kelir sebelah kiri, dipancangka satu Sanggah Tutuan (tempat pemujaan Dewa Siwa Raditya) di sertai peji uduh dan biu lilang, diberi berbelit benang tukelan/tenun beserta uang bolong 250 keping. Disitu dipanjatkan sebuah sesajen (suci asoroh, ajuman putih kuning)

c) Di hadapan kelir disajikan sebuah sesajen antara lain sorohan, pebangkit asoroh, nasi merah (penek bang) dengan daging ayam wiring dipotong-potong winangun urip, sampian andong-bang dan beberapa tebasan. Terutama tebasan sapuh leger, sebuah tumpeng yaitu nasi berbentuk kerucut,berpasangkan ranting beringin, berisi ayam panggang, beberapa keping jajan dan sesisir pisang.

d) Sesajen untuk Dewa Kala, tetebasan tadah kala yaitu sebentuk nasi segitiga beralasan daun candung dilempirkan bawahi sepotong kain poleng dan kepelan nasi segitiga dilumuri darah babi, lauk urab merah urap putih.

e) Sesajen untuk anak yang diruat, tebasan lara melaradan yaitu nasi kuning dalam takir, daging balung dan telur dadar. Daksine penebus baya (dosa), daksina gede serba delapan (kelapa 8 butir, telur 8 butir, beras 8 takar, gula aren 8 biji, sarma/uang 8100 kepeng, setadan pisang segabung sirih berpacancangkan sehelai janur, tuak, arak, dan berem).

f) Sesajen untuk Wayang dan Dalang, suci selengkapnya, daging itik putih, peras, ajuman, canang gantal, lenge wangi burat wangi, uang bolong cina (sarma) 1700 kepeng, daksina gede serba empat dan sarma 1132 kepeng.

Nilai-nilai yang terdapat dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger sebagai ungkapan nilai budi pekerti, dapat kirannya diangkat sesuai dengan latar belakang kepercayaan yang dianut masyarakat Bali, terdapat dalam Kitab Manu Smerti, adalah sebagai berikut (a) badan yang kotor harus dibersihkan dengan jalan mandi; (b) benda-benda yang kotor harus dibersihkan dengan air, api, atau benda pencuci lainnya; (c) perkataan yang kotor harus diajarkan dengan berkata-kata yang lebih halus dan budi pekerti yang baik; (d) pikiran yang kotor dan tidak baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca mantra dari kitab-kitab suci Weda. Sedangkan dilihat dari fungsinya Wayang Sapuh Leger dalam konteks nilai seni, memiliki nilai intrinsik yaitu nilai yang dikejar oleh seniman (dalang) demi nilai itu sendiri karena keberhargaan, keunggulan, kebaikan yang melekat pada nilai itu sendiri. Seorang dalang akan dapat kehormatan (pengahargaan/pengakuan) dari komonitasnya, apabila dapat melaksanakan pertunjukan wayang Sapuh Leger yang berinitikan lukatan/ruwatan. Keyakinan itu di dasarkan atas sifat dari jenis kesenian ini yaitu ritual magis, sehingga masyarakat menempatkan pada kedudukan yang tinggi dari jenis wayang lainnya di Bali.

Sedangkan Pesan/amanat yang di sampaikan adalah ketika pernyataan yang telah di lontarkan atau diucapkan, terlebih hal ini berimbas kepada kehidupan serta masa depan orang yang mengucapkan itu sendiri. Lebih baik pernyataan tersebut diutarakan dengan berbagai pertimbangan yang berdasarkan kepada pikiran terburuk yang akan terjadi atau dirasakan oleh orang yang mengucapkan, seperti contoh di saat Dewa Siwa yang memberikan peraturan kepada Kala, ketika itu Iya mengobra-ngabrik serta memakan seisi dunia, tanpa memikirkan kedepannya, peraturan tersebut menjadi senjata yang mengenai Dewa Siwa yang merupakan salah satu rare kumara putra dari Dewa Siwa “ beberapa peraturan Dewa Siwa itu berbunyi : siapan pun yang lahir pada saat wuku wayang, Kala boleh memakannya, dan Kalam boleh memakan orang yang berpergian pada saat tengai tepet (siang hari), sandhi kala (sore hari), tengah lemeng (malam hari)“

DAFTAR PUSTAKA

Wicaksana I Dewa Ketut, Wayang Sapuh Leger, fungsi dan makna dalam masyarakat Bali, 2007

 

KISAH ADI PARWA RAJA SANTANU BERTEMU DENGAN DEWI GANGGA

Minggu, Juli 6th, 2014

Raja besar itu suka sekali berburu karena itu telah menjadi kegemaranya, beliau sampai di tepi sungai gangga, dan di sana dilihatnya dewi gangga berdiri, tampak bagaikan panorama yang indah sekali. Kulitnya berkilau bagaikan emas. Matanya besar dan bersinar-sinar. Rambunya yang tersisir rapi sangat panjang, kelihatan seperti rahu yang menutupi bulan. Sang raja berdiri tertegunn di temapt dangan tidak berkedip, menikmati kecantikan wanita itu dengan puas sekali. Baginya wanita itu adalah seorang bidadari yang turun ke dunia dari sorga yang tinggi untuk menampakan dirinya hanya kepadanya sendiri. Sang raja mendekatinya, wanita itu menoleh kepadanya karna mendengarkan suara. Warna merah menutupi matanya sehingga kelihatan dia menjadi sangat malu tetapi kemudian senyuman menghiasi bibirnya, dan jari-jari bagaikan gading menjalin rambutnya yang menghitam. Sesaat kemudian dia mengangkat matanya dan melihat sang raja. Sang raja kemudian mengetahui bahwa putrid itu mencintai dirinya. Beliau mendekati dan memegang sang putrid dengan lemah gemulai serta berkata:

shantanuRaja Sentanu      : “engkau sangat cantik. Aku ingin engkau menjadi miliku. Aku adalah sentanu raja dari hastina pura. Aku mencintai engkau . aku tidak dapat hidup tanpa engkau.”

Dewi Gangga     : “pada saat aku memandang tuanku aku tahu bahwa aku harus menjadi milik tuanku. Tetapi ada suatu syarat yaitu tuanku tidak boleh menentang apapun yang aku perbuat dan bila manapun itu terjadi, pada saat tuanku mengingkarinya janji itu, aku akan meninggali tuanku untuk selama-lamanya.

Dia adalah dewi gangga seorang istri yang sangat ideal bagi sang raja seoarang teman yang seia sekata dalam segala hal . sang raja dibuat senang yang tak terhingga oleh keelokannya , sifatnya yang menarik hati, kata-katanya yang manis dan banyak hal yang menarik lainya. Hari berganti hari, bulan-bulan telah berlalu, dewi gangga melahirkan seorang putra. Tak terhinggalah senang hati sang raja, sebab lahirlah seorang putra sebagai ahli waris.yang akan menghiasi singgasana raja Paurawa dari dinasti Surya itu. Sang raja berburu-buru pergi ke tempat tidur permaisurinya. Diberitakanlah sang permaisuri tidak ada di sana. Dikatakan pula bahwa dia telah pergi dengan tergesa gesa menuju tepi sungai gangga dengan anaknya yang baru dilahirkan. Sang raja tidak mengerti. Beliau juga pergi ke tepi sungai dengan segera. Di sana dengan mata membelalak beliau menyaksikan sebuah pemandangan yang tidak dapat di hapuskan dari ingatanya. Dewi gangga yang sangat dicintainya, baru saja mencemplungkan putra yang baru dilahirkanya kedalam sungai. Air mukanya mengganggu pandangan sang raja pada hari-hari belakangan ini. dia nampaknya tertindih suatu korban yang sangat berat dan membingungkan pikiranya. Sang raja mau bertanya kepadanya. Tapi beliau tidak berbuat demikian beliau ingat akan janji yang beliau berikan kepadanya “bahwa beliau tidak akan menentang dan membuatnya kecewa. Kejadian yang sama terjadi lagi setahun kemudian. Demikian seterusnya hingga ketujuh kalinya putra-putra raja di cemplungkan ke sungai gangga. Sang raja diam saja. Cinta katanya buta, tetapi tidak, adalah sebuah mata istimewa yang melihat kebaikan di dalamkekasih, buta kepada kesalahan yang lainya. Gangga merupakan hidupnya sang raja. Tetapi keinginan untuk mempunyai ahli waris sangat lah kuat. Beliau tidak pernah merasa tentram. Setahun telah berlalu. Putra yang ke delapan sudah lahir. Dewi gangga tergesa-gesa pergi ke sungai sambil mengepit putranya. Sang raja tidak berkata-kata menahan kesedihan dan kemarahan. Beliau berlari-lari menyusul dari belakang beliau menahanya sang raja berkata dengan kasas untuk pertama kali nya

images5Raja Sentanu    : “alangkah kejamnya perbuatan ini aku tidak dapat tahan lagi aku tidak tahu bahwa semua putra ku di bunuh seperti ini. mengapakah kau berbuat demikian ? bagaimanakah seorang ibu dapat berbuat demikian melumpuhkan tangkai bung ayang belum mekar? Berikan anak yang satu ini kepadaku. Aku tidak dapat berdiam lagi.

Dewi Gangga   : sebuah senyuman yang aneh keluar dari bibir dewi gangga. Senyum kesedihan tetapi juga senyum kebahagian kemudian berbicara “ rajaku waktunya sudah tiba bagiku untuk meninggalkan tuanku. Tuanku telah melanggar janji tuanku aku harus pergi dengan segera dari sini. Anak kita akan hidup. Aku akan membawa serta dia dan akan membawa nya kembali apabila waktunya sudah tiba. Aku akan member nama kepadany a Dewa Bhatara. Namanya yang alin adalah Gangeya”.

Sang raja terpaku denagn kesedihanya . baginda hanya tahu bahwa wanita yang dicintainya akan pegi meninggalkan baginda untuk selama-lamanya. Dan semua di sebabkan oleh baginda meminta untuk tidak membuang putranya yang ke delapan.

Raja Sentanu    : baginda memandang kepadanya dengan pandangan yang membisu. “mengapakah kau lakukan ini? apkah kau tidak melihat bahwa hidupku tergantung kepada mu sehingga aku tak dapat hidup tanpamu?. Engkau tak dapat meninggalkan aku begitu saja! Gangga kau pernah mencintai aku. Atas nama cinta itu aku mohon kepadamu janganlah meninggalkan aku ataupun pergi dariku”.

Dewi Gangga   : sedih “ oh rajaku apakah tuan tidak menyadari bahwa aku akan pergi karna aku harus pergi? Aku adalah dewi gangga. Dan aku adalah milik sorga. Disebabkan oleh sebuak kutukan aku harus hidup sebagai seorang manusia di dunia ini. tuanku adalah raja Mabhisa yang besar kedalam kehidupan tuhan yang terdahulu. Dahulu tuhan pernah bersama-sama dalam keretanya. Aku datang kesana. Tuanku melihat kepadaku dengan pandangan yang penuh nafsu keinginan dan aku ingin menjadi milik tuanku. Penghuni-penghuni sorga tidak menyukai hal ini. mereka mengirim aku ke sorga untuk menjadi istri raja Mahabhisa yang dilahirkan menjadi Sentanu putra prateepa demikian kehidupan cinta kita menjadi mungkin. Kita sudah bahagia. Rajaku, jangan coba melawan harus waktu. Suatu yang ditetapkan akan terjadi dan tetap terjadi. Baik tuanku maupun aku juga para dewa- dewa yang ada di sorga tidak dapat merobah peraturan peraturan yang sudah ditetapkan.

Raja Sentanu    : bingung “ aku masih tidak mengerti. Kalau begitu mengapa kau membunuh tujuh ank yang lahir dari engkau dan aku? Apakah juga itu bagian dari kutukan”.

Dewi Gangga   :ya, delapan anak ini adalah delapan wasuyang terkutuk yang dilahirkan kedunia ini. aku telah menjanjikan kepada mereka bahwa aku harus membiarkan mereka serta membebeskan dari kehidupan ini pada saat mereka di lahirkan. Tetapi anak ke delapan ini telah dikutuk untuk diijinkan hidup lama di dunia ini aku akan memberikan ahli waris kepada tuanku dan akan memelihara sampai dia siap dengan keadaan untuk melakukan peranan yang dia harus mainkan sebagai ahli waris untuk menduduki singasana paurawa yang mansyur itu.

Sentanu tercengang dengan perkataan Dewi Gangga. Tapi dia hanya tahu dua hal yaitu pertama, Dewi gangga akan meninngalkan untuk selamanya, tidak pernah kembali. Kedua, baginda telah mempunyai seorang putra yang akan mempertahan Paurawa .

Dewi Gangga : dengan pandangan belas kasihan dan berbaur dengan cintanya dia menoleh raja “sayangku jangan bersedih. Aku akan merawat putra kita dengan sungguh sungguh. Dia akan menjadi orang yang besar. Dia akan menjadi lebih besar dari semua Paurawa yang telah mengisi singgasana suku bangsa Bulan. Kemudian lenyap.

DAFTAR PUSTAKA

Widia I Gusti Made, 2007., Seri Mahabrata Adi Parwa, Penerbit CV. Kayumas Agung,

            Denpasar.

Cerita Ramayana

Minggu, Juli 6th, 2014

index

Ditinjau dari segi kepercayaan, cerita Ramayana merupakan suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang Sangat dalam artinya. Walau cerita ini fiktif, Ramayana merupakan cerota mitos kuno yang bersumber pada pendidikan. Cerita Ramayana sesuai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan hidup yang sempurna. Cerita Ramayana menyinggung pula kebaikan dan kesetian Dewi Sri kepada suaminya yaitu Sri Rama, Karena Sri Rama merupakan titisan Dewa Wisnu, sedangkan Dewi Sri adalah istri Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai bumi manusia. Dari segi social masyarakat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sri adalah merupakan tokoh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya. Kitab Ramayana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut pemikiran, di India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Ramayana, artinya bahwa pengemar cerita Ramayana melebihi pembaca Weda, menurut para budayawan, kitab Ramayana digubah oleh seorang Empu agung, yaitu Empu Walmiki. Kitab ini terbagi-bagi menjadi 7 bagian atau 7 kanda. Bagian-bagian tersebut yaitu Bala Kandha, Ayodya Kandha, Aranyaka Kanda, Kriskindha Kandha, Sundara Kandha, Yudha Kandha, Utara Kandha.

  1. Pada Kandha yang pertama yaitu Bala Kandha, dikisahkan tentang Rama dan saudara-saudaranya ketika masih kecil. Diceritakan di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya dipinpin oleh seorang Raja bernama Prabu Dasarata. Ia mempunyai 3 istri yaitu Dewi Kausalya (Sukasalya) yang berputra Rama sebagai, Kekayi yang melahirkan Bratha dan Dewi Sumitra yang berputra Lasmana dan Satrugna (Satrugena). Dalam sayembara (Swayamwara) di Wideha (Manthili) Rama berhasil memboyong Sinta putrid Janaka. Sinta kemudian menikah dengan Rama.
  1. Bagian yang kedua disebut Ayodya Kandha mengisahkan Raja Dasarata sudah tua. Maka Sang Prabu menghendaki turun thata dan Rama diserahi untuk menggantikannya sebagai raja di negeri Ayodya. Tanpa berpikir panjang tentu saja Rama sebagai anak sulung menyanggupi diri. Raja Dasarata memerintahkan agar negeri dihias dengan sebaik-baiknya untuk peresmian penobatan Raja bagi Sri Rama yang baru saja menikah. Tetapi alangkah kagetnya sang Raja Dasarata bahwa di malam hari menjelang penobatan Rama, Dewi Kekayi mengingatkan pada Dasarata akan janji yang telah diungkapkan tentang anaknya si Brata agar bisa naik tahta. Dan selanjutnya agas brata tenang memerintah Ayodya, Dewi Kekayi memerintah kepada Rama dan Sinta agar meninggalkan Ayodya dan hidup di Hutan Kanyaka atau Dhandaka selama 14 tahun. Tentu saja sang Prabu Dasarata sedih sekali dan tak kuasa menolak janji yang telah terucapkan kepada Kekayi. Hampirhampir sang Dasarata lari akan bunuh diri. Namun sang Sri Rama tau akan gelagat itu, dengan rela hati bersama Sinta untuk melepaskan haknya dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Tak mau ketinggalan Raden Lasmana ikut dalam pengusian ke hutan. Sejak itulah Sang Dasarata meninggal. Brata diangkat sebagai Raja. Sesaat menduduki singgasana ia kemudian jatuh. Selanjutnya Brata tidak mau naik tahta malahan lari mencari Rama di hutan untuk menyerahkan kembali kepemerintahan kepada kakaknya, tetapi Sri Rama harus mengenapi 14 tahun di hutan. Untuk itu terompah Sri Rama dibawa kembali ke Ayodya sebagai ganti Sri Rama Sri Rama, maka raja terompah memerintah Ayodya.
  1. Aranya Kandha adalah bagian yang ketiga mengisahkan tentang Batara Wisnu yang menitis ke Rama. Rama memang titisan Batara Wisnu yang ke Sembilan kalinya. Penitisan ini menjadikan karakter Rama benar-benar bertindak ingin meluruskan prilaku umat yang jahat dengan cara kesabaran dan kebenaran. Rama dalam pengasingan di hutan sudah berkali-kalimembantu para rohaniawan yang diggangu oleh raksasa.
  1. Bagian yang ke empat disebut Kiskindha Kandha yang menceritangan perjalanan Rama hingga mencapai ke negeri Kiskindha. Sebelumnya Rama sudah bertemu dengan burung Garuda Jatayu yang sudah sekarat dan maut hamper menjemputnya. Peristiwa tersebut terjadi karena burung Jatayu bertempur guna merebut Sinta dari tanggan Rahwana. Setelah burung Jatayu mengatakan semua yang dialaminya akhirnya mati, kemudian Rama dan Lasmana melanjutkan perjalanan. Dalam perjalana Rama bertemu dengan Sugriwa raja kera yang terjepit pada dua cabang asam yang berhimpitan dan tak akan bisa lepas tampa pertolongan orang lain. Himpitan cabang itu dipanah (jemparing) oleh Sri Rama dan lepaslah Sugriwa dari repitan cabang pohon. Kemudian berkatalah kepada Sri Rama, bahwa dirinya adalah Sugriwa si raja kera dari Kriskindha. Sugriwa akhirnya minta tolong kepada Sri Rama agar sudi membantu melawan kakaknya yang bernama Subali. Bersekutulah Sugriwa dengan Rama dan saling berjanji akan tolong menolong di dalam segala kerepotannya. Akhirnya matilah Subali dalam peperangn melawan Sugriwa yang bibantu Sri Rama. Setelah meraih kemenangan bertahtalah Sugriwa di kerajaan Kiakindha. Selanjutnya Sugriwa memerintahkan prajurit berangkat ke Alengka. Setelah sampai di pantai, maka para kera binggung karena tidak mampu menyebrang laut.
  1. Sundara Kandha adalah bagian yang ke lima mengisahkan perjalanan sang Hanuman yang menjadi utusan Sri Rama. Hanuman, kera putih(wanara seta) kepercayaan Rama, si anak dewa angin menuju ke Negara Alengka dengan cara mendaki gunung Mahendra, kemudian meloncat menyebrang samodra dan tibalan di Alengka. Seluruh kota dijelajahinya hingga masuk ke istana dan bertemu dengan Sinta. Setelah saling mengabarkan khususnya Sri Rama yang suatu saat akan menjemputnya ke Alengka. Saat itu Hanuman ddiketahui oleh Indrajid, Hanuman ditangkap lalu diikat dan kemudian dibakar. Dengan ekornya yang meneala itu mengakibatkan seluruh kota itu terbakar, kemudian kembalilah Hanuman ke Ayodya melaporkan peristiwa itu kepada hadapan Sri Rama.
  1. Bagian ke enam yaitu Yudha Kandha menceritakan tentang Wibisana yang diusir Rahwana dan akhirnya Wibisana bergabung dengan sang Rama. Sebelumnya Wibisana member petunjuk agar kakaknya yaitu Sang Rahwana mau mengembalikan Sinta kehadapan Rama, namun petunjuk tersebut membuat Rahwana marah. Wibisana disuruh pergi dari Alengka. Ia pergi bergabung dengan Sri Rama. Hal ini mengakibatkan Indrijad mati, Kumbakarna beserta prajurit dan para senapati gugur dalam perang berebut Sinta. Rahwana yang sakit itu mengamuk, peperangan pun berlanjut dan banyak pula prajurit kera yang mati. Hampir saja Rama kewalahan karena kesatian Rahwana, akhirnya Rahwana pun mati. Selesailah peperangan antara Sri Rama melawan Rahwana. Wibisana diangkan oleh Rama menjadi Raja Alengka. Di hati Rama ternyata ada keraguan tentang kesucian Sinta. Untuk membuktikan, maka ia menyuruh membuat aoi ungun. Masuklah Sinta ke dalam api itu. Ternyata tidak mati, justru Dewa Agnilah menyerahkan Sinta untuk Rama sebeb Sinta memang masih suci. Kini Sinta bersama Rama pulang ke Ayodya, diiringi oleh tentara kera. Mereka disambut oleh Barata, yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Sri Rama.
  1. Bagian yang ke tujuh disebut Utara Kandha. Dua pertigaan dari buku Utara Kandha ini berisi tentang cerita yang tidak ada kaitannya dengan riwayat sri Rama. Dalam kitab ini disebut-sebut tentang nama Raja Dharmawangsa Teguh. Kitab Ramayana ini berisi bermacam-macam cerita, misalnya tentang raksasa-raksasa nenek moyang sang Rahwana atau Dasamuka. Terjadinya Dasamuka dan sikapnya yang kurang sopan terhadap para Dewa dan para pendeta.di kisahkan pula mengenai Sri Harjuna Sasrabahu yang mengamukan kepada Dasamuka, disiksa ditarik dengan kereta kencana, diikatkan badanya dengan roda kereta sampai kesakitan. Siksaan terhadap Dasamuka ini terpaksa dilakukan oleh Sri Harjuna sebab patihnya yang bernama patih Suwanda (Sumantri) mati dibunuh olehnya, namun Dasamuka ditolong oleh Pandya batari Durga.isi pokok dari bagian ke 7 ini sebenarnya berupa lanjutan dari riwayat Rama Sinta, tetapi ada perbedaan dengan bagian akhir kitab yang ke 6. Menurut para ahli sastra bagian ke 7 memang berupa Kandha gubahan baru. Diceritakan setelah Sinta diboyong kle utara (Ayodya), maka Sang Batara Rama mendengar desas-desus rakyat bawah bahwa kehadirannya sangat disangsikan akan kesuciannya. Demi memperlihatkan kesempurnaanya, maka Sinta yang pada saat itu dalam keadaan hamil diusir dari Ayodya oleh Rama. Pergilah Sinta dengan tiada tujuan tertentu dengan mengenakan pakian orang sudra papa dan sampailah di pertapaan Empu Walmiki. Usia kehamilan Sinta semakin besar, maka setelah tiba waktunya lahirlah dua anak yang ternyata lahir kembar, diberi nama Kusa dan Lawa. Kedua anaknya diasuh dan dibesarkan oleh Empu Walwiki dan dididik membaca kekawin. Sang Walmiki juga menulis cerita riwayat Rama dalam kekawin. Suatu saat ketika Sang Rama mengadakan aswameda yaitu korban pembebasan kuda, Kusa dan Lawa diajak diajak hadir oleh Sang Wawiki. Kedua anak muda inilah yang membawa kekawin gubahan sang Empu. Setelah pembacaan sang kekawin dengan riwayat sang Rama, barulah tau bahwa Kusa dan Lawa adalah anaknya sendiri. Maka segera Wlmiki diminta untuk mengantar Sinta kembali ke istana. Setiba di istana Sinta bersumpah “ janganlah kiranya raganya diterima leh bumi seandainya tidak suci.” Seketika itu juga bumi terbelah menjadi dua dan muncullah Dewi Pertiwi yang duduk di atas singgasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sinta dipeluknya dan dibawanya lenyap masuk ke dalam belahan bumi. Tentu saja Sri Rama sangat menyesal atas semua itu. Perasaan Rama sangat haru melihat sang Dewi Pertiwi yang berkenan untuk muncul menjemput Sinta. Peristiwa tersebut telah membuat Rama mengerti akan kesetiaan Sinta kepadanya. Itulah penyesalan Rama, yang kemudian dinyatakan pada semedinya di pantai samudra dan lepaslah penitisan Wisnu kembali ke Sorgaloka untuk bertemu dengan sang istri yaitu Dewi Pertiwi.

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made. Dkk. 1981/1982. Wimba Wayang Kulit Ramayana (Ketut Madra), Proyek

            Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik/Tradisional dan Baru, Denpasar.

Subramaniam, Kamala. 2001. Ramayana, Penerbit Paramita, Surabaya.

Legong Peliatan

Minggu, Juli 6th, 2014

 

images1

Tarian Legong jika dilihat dari penyajian memang betul-betul merupakan seni serius, sebab ini mengandung nilai-nilai seni yang sangat tinggi dimana para seniman kita dahulu dapat mencurahkan pikirannya untuk mengembangkan tari improvisasi seperti Sanghyang Dedari dengan Gambuh sehingga menjadi bentuk Tarian Legong. Sejak awal penciptaan, tarian ini lebih merupakan tarian balih-balihan untuk pertunjukan di istana raja-raja sebagai ekspresi, lambing kerajaan serta kebanggaan. Pada zaman kerajaan , istana atau puri adalah pusat kegiatan politik, social, termasuk kesenian. Para tamu kerajaan akan disuguhi dengan Tarian Legong dan juga Tarian Gambuh sebagai jenis tarian kesenangan para raja.

Selain itu Tarian Legong Peliatan memiliki kekhasan gerak yang berbeda dengan gaya Tarian Legong lainnya. Rangkian penyajian itu antara lain:

  • Mengawali tarian condong pada adegan mungkah lawan yang dilakukan dengan gerakan tanggan lurus ke depan sambil digetarkan, diiringi dengan seledet.
  • Gerakan selanjutnya adalah ngepit yang dilakukan yang dilakukan sambil nyeledet
  • Dalam bagian papeson Condong terdapat gerakan ngundang yang tidak ditemukan pada gaya legong lainnya
  • Pada gerakan ngejat pala disertai seledet kanan kiri
  • Pada gerakan seregseg terdapat gerakan berhenti sejenak disertai gerakan berhenti sejenak disertai gerakan kepala nyegut dan hentakan tangan satu kali yang disebut ngangsung, kemudian seregseg dilanjutkan
  • Setelah gerakan ngeplak muring dilanjutkan dengan jejaukan kemudian bersimpuh di lantai dengan sikap tangan silang di dada (sidekep) sambil menggetarkan kepala kearah pojok kiri dan kanan
  • Kemudian terdapat gerakan ngotes yang berasal dari gerakan Condong Pengambulan yang dilanjutkan dengan ngumbang
  • Pada adegan pepeson Legong diawali dengan gerakan mungkah lawan kemudian menghadap samping kanan sambil melakukan gerakan ulap-ulap, setelah ngaseh lalu menghadap samping kiri
  • Masih dalam pepeson. Condong bersama-sama legong melakukan gerakan ngundang dan ngejat dan ngelayak (sebagai cirri khas gaya peliatan)
  • Pada bagian pakahad condong, ketiga penari ngumbang melingkar ke blakang
  • Cerita masuk pada adegan :

o   Pangrangrang, pangipuk, ngoncel, beriringan kearah depan depan dan belakang. Gerakan ini sebagai perkembangan dari gerakan Sanghyang Legong disaat tangan meraba mulut kemudian diturunkan lurus. Selanjutnya Pangeran Rangkesari keluar mengakhiri tarian setelah dicubil oleh Lasem

o   Pasiat yakni perang antara Prabu Lasem dengan Burung Garuda yang dibawakan penari condong. Keduanya mengakhiri tarian dengan meninggalkan stage bersama-sama

  • Sajian Legong Lasem gaya Peliatan yang mengalir dinamis sebagai sebagai seni pertunjukan wisata mengambil durasi 17 menit, tanpa penampilan bagian pengawak dan pangecet

Struktur dan bentuk Tarian Legong peliatan disesuaikan dengan tema yang dipakai. Berbagai jenis tema yang digunakan menyebabkan pula terjadinya perbedaan komposisi atau bentuk-bentuk tariannya nemun masing-masing bentuk mempunyai persamaan struktur yaitu pengawit atau papeson, pengawak, pangecet dan pakahad :

  • Papeson adalah pengenalan pemeran dengan gerakan tarian abstrak
  • Pengawak merupakan bagian pokok dari tarian legong yang bentuknya sangat abstrak. Bentuk pangawak berbeda antara tema yang satu dengan yang lainnya, misalnya pada Legong Lasem, Kuntul, Jobog dan lainnya. Bentuk tariannya hampir sama namun berbeda pada aksentuasanya.
  • Pangecet adalah lanjutan dari pengawak dengan gerakan abstrak. Setelah pengecet dilnjutkan dengan tema cerita yang diawali dengan pangrangrang kemudian dilanjutkan dengan pengipuk, batel maya, pasiat dan lain-lainnya
  • Pakahad merupakan bagian penutup tarian yang bentuknya abstrak

Adapun perbedaan gerakan tarian Bali dibagi atas gerakan yang mencakup agem, tandang, tangkis, tangkep. Disamping itu norma-norma tertentu seperti wirage, wirama dan wirasa sangat penting diperhatikan oleh penari agar memperoleh teknik keterampilan yang tinggi dalam penampilannya. Sesuai dengan perwatakannya, terdapat duan jenis karakter pokok dalam tarian Bali yaitu karakter tarian putra dan tarian putrid. Untuk karakter tarian putri, tarian Legonglah yang sangat bagus untuk dasar utamanya, sebab tarian legonglah yang lengkap dalam perbendaharaan geraknya.

Sedangkan untuk karakter tarian putra yaitu tarian Baris karena tarian Baris yang paling tepat sebagai dasar utamanya. Disamping itu ada juga karakter bebancian yakni tarian yang memiliki karakter antara laki laki dan perempuan yang dapat dilihat pada busana, sikap serta ragam gerak tariannya. Yang mengandung ungkapan kelakian-lakian dengan posisi kedua kaki berjarak dua genggam, gerakannya dinamis dan gagah. Jenis tarian ini biasanya dibawakan oleh perempuan sehingga dapat memperluas wawasan kaum perempuan untuk memilih tarian sesuai dengan tuntunan tabuh penari. Menurut pakar tarian Bali, disini juga pembendaharaan gerak tarian bersumber dari :

  • Mudra (menirukan gerakan tanggan pendeta waktu melakukan puja)
  • Flora (meniru gerakan pepohonan, misalnya sayar soyor)
  • Fauna (meniru gerakan binatang, misalnya tarian burung gelatik)
  • Kehidupan sehari-hari (gerakan ulap-ulap, berjalan)
  • Pemakian busana (gerakan nyambir)

Sesuai dengan kedudukan Legong sebagai dasar tarian perempuan, struktu tariannya memiliki perbendaharaan gerak tari yang amat lengkap meliputi berbagai gerakan kepala, badan dan juga kaki dan di lengkapi dengan property kipas sehingga memiliki variasi gerakan tanggan memegang kipas, yang disebut dengan ngapel, ngilut, ngekes dan ngeliput.

Tarian Legong Mengisahkan Tema atau Cerita

Perbandingan gerak tarian Legong mempunyai bentuk-bentuk yang sangat abstrak, namun pada bagian akhir dari pola tarian itu mempergunakan cerita. Adapun tema-tema Palegongan yang ada antara lain :

  • Malat (cerita Panjang), khususnya kisah Prabhu Lasem
  • Kuntir (kutir), kisag Subali dan Sugriwa sewaktu kecil
  • Jobog, kisah Subali dan Sugriwa sewaktu besar
  • Legong Bawa, kisah Lingga Manik yang menampilkan tokoh Brahma, Wisnu dan Siwa
  • Kuntul, kisah Putrid an Raja Cina
  • Kupu-kupu tarum, kisah kehidupan kupu-kupu
  • Gowak Macok, kisah kehidupan burung gowak

DSC03702

  • Sudarsana, menampilkan cerita penyalonarangan
  • Semarandana, kisah asmara betara Ratih dan Betara Semara yang dibakar oleh betara Siwa, kemudian abunya ditebarkan ke bumi sebagai awal cinta kasih manusia.

Dari sekian tema atau cerita yang dipakai pelogangan, hanya enam diantaranya yakni l;asem, Kuntir, Jobog, Legong Bawa, Sudarsana, Semarandana yang memakai cerita utuh (local dimainkan lengkap), sedangkan yang alinnya merupakan kisah atau peniru dari kehidupan gerak-gerak binatang, bunga, dan yang lainnya.

Fungsi dari Tarian Legong Peliatan

Dilihat dari fungsinya, Tarian Legong ini berfungsi sebagai hiburan masyarakat dalam rangkaian upacara, baik untuk memeriahkan upacara Dewa yadnya maupun Manusia Yadnya. Namun pertunjukan legong yang sacral sebagai tarian wali dalam acara religis. Di bagian dalam Pura masih dijumpai, misalnya di pura payogan agung Ketewel yakni Tarian legong Topeng yang dipentaskan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada hari Pagerwesi. Serangkaian dengan kedudukan Bali sebagai pusat pariwisata di Indonesia maka tari Legong peliatan sebagai seni Komodifikasi karena khusus di pentaskan untuk kebutuhan pariwisata menghibur wisatawan. Sebagai kenyataan, seni pertunjukan wisata tersebut tidak pernah sepi oleh penggembarabya, serta sekaligus sebagai pelestarian seni tari klasik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made. Evolusi Tarian Bali, Pembinaan Seni Budaya Klasik

Dibia,I Wayan. 1985 “Synopsis Tarian Bali”. Denpasar. Sanggar Tari Bali Waturenggong

Kusuma Arin A.A.Ayu, 2011 “Legong Peliatan Pioner Promosi Kesenian Yang Tetap Eksis”. Institut Seni Indonesia