Komunitas Batak Marga Siagian di Bali

Seiring perjalanan waktu, keberadaan orang Batak di Pulau Dewata semakin berkembang. Perkembangan itu dimulai dengan banyaknya Halak Hita yang datang dan mengais rejeki di pulau ini. Namun banyak pula kedatangan mereka dikarenakan pindah tugas dari instansi mereka. Dengan kehadiran mereka, serta merta menambah warna dari pada pola dan budaya masyarakat di Bali. Dulu kebudayaan Hindu kental dengan kebudayaannya sendiri namun sekarang dengan kehadiran banyak suku bangsa dan bahasa di Bali menjadikan pulau ini semacam kota cosmopolitan. Bukan hanya suku bangsa Indonesia namun juga bangsa lain (mancanegara) seperti semut mengerumuni gula bali.
Khusus suku bangsa Batak yang datang jauh dari Sumatera Utara, mereka memiliki berbagai latar belakang pendidikan dan bakat. Banyak yang bekerja di birokrat dan banyak pula yang bekerja di bidang seni, teknik dan berbagai macam keahlian. Saya akan menceritakan sedikit tentang silsilah marga Siagian.
Orang Batak mempunyai cerita atau legenda atau “Tarombo” sendiri bahkan berawal dari manusia pertama / generasi pertama (1 generasi 100 tahun). Inilah yang disebut Legenda Keajaiban yang berlangsung selama 30 generasi. Legenda Keajaiban berlanjut ke Silsilah orang Batak sebanyak 12 generasi, kemudian dilanjutkan dengan Silsilah Marga hingga sekarang ini sekitar 20 generasi. Di hitung dari jumlah generasi, silsilah orang Batak sudah seputar 6.000 tahun.
Tarombo Batak di-analogi-kan sebagai “Pohon Beringin”, mempunyai akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga dan buah. Ada peribahasa Batak yang berbunyi sebagai berikut: “Tinitip sangga bahen huru-huruan, jolo sinungkun marga asa niboto partuturon“, artinya “tanyakan dulu marga, barulah diketahui kekerabatan”. Tata krama ini berlaku hingga saat ini dalam adat Batak. Contohnya, kalau saya bermarga Siagian bertemu dengan seseorang yang memperkenalkan diri bermarga Siagian, saya akan bertanya kepadanya Siagian-nya dari mana, kemudian saya tanyakan lagi Siagian nomer berapa. Dengan demikian saya bisa menentukan / mendeklarasikan bahwa dia saya panggil cucu, anak, abang atau adik, paman atau nenek. Tegasnya kalau dia bernomer 17 akan saya sebut cucu, kalau dia bernomer 16 akan saya sebut anak, kalau dia bernomer 15 akan saya sebut abang atau adik, dan kalau dia bernomer 14 akan saya sebut bapak, dan kalau dia bernomer 13 akan saya sebut nenek. Tidak hanya itu, tata krama adat Batak diatas juga berlaku antar marga. Contohnya, kalau istri saya bermarga Tampubolon, maka saya akan menyebut semua marga Tampubolon Hulahula / Raja / Tulang. Demikian pula kalaau adik saya perempuan menikah dengan marga Situmorang, maka kerabatnya akan saya sebut Lae (ipar) / Amangboru (paman).
Oleh sebab itu kalau seseorang Batak tidak tahu Taambo / silsilah / Tarombo-nya, maka dia akan sulit mengikuti tata krama Batak. Tata krama yang diceritakan ini tidak berlaku atau diberlakukan kepada suku atau etnik lain. Maka dalam pergaulan sehari-hari, pergaulan orang Batak tidak kaku bahkan luwes, sehingga dia bisa hidup dimana-mana. Tidak menjadi penghalang orang Batak menikah dengan suku atau etnik lain, karena mereka akan diberi atau diangkat marga sesuai dengan aturan main yang ada.
Satu bulan yang lalu saya menghadiri acara keluarga Batak marga Siagian se Bali. Acara ini terakhir kali diadakan tahun 2010 di rumah seorang penatua di daerah Tabanan. Saya masih ingat silaturahmi terakhir tahun 2010 begitu berkesan dan masih lengkap dihadiri anggota yang belum meninggal. Kini 2014 tercatat beberapa anggota telah pergi meninggalkan kita.
Penatua atau yang dituakan menjadi motor penggerak di setiap kegiatan. Penatua memberi sambutan pembukaan dilanjutkan dengan ramah tamah. Acara yang mengambil tempat di Sanur Bali Beach ini mengagendakan pergantian kepengurusan karena pengurus yang lama telah bertugas hampir 8 tahun.
Banyak hal menarik sebenarnya yang bisa digali dari komunitas Batak marga Siagian di Bali ini. Bagaimana kami berinterkasi dengan saudara kami orang Bali. Dalam berbagai sendi kehidupan sosial kami berbagi suka dan duka. Tapi dalam kehidupan beragama kami saling menghargai dan tak pernah mencampur adukan masalah agama. Pada waktu acara silaturahmi kemarin terasa belum diberi porsi cukup untuk saling mengenal antar warga Batak marga Siagian dari daerah lain (Klungkung, Badung, Gianyar, Tabanan, Negara dan Karangasem). Ada 300 orang lebih dan mereka berkelompok sesuai dengan daerah mereka sendiri.
Rapat pemilihan ketua baru. Sebagian dari mereka dari generasi tua. Yang muda hanya bengong tak kenal siapa siapa lagi. Apalagi jika orang tua mereka telah meninggal. Kemungkinan mereka tidak akan datang lagi pada acara silaturahmi berikutnya. Karena itu saya berharap dengan kepengurusan yang baru ini akan dapat membuat program acara silaturahmi yang bisa membuat kita saling mengenal lebih dekat lagi. Terutama untuk keluarga Batak marga Siagian di Bali yang telah meninggalkan Bali secara fisik tapi dihati mereka masih merasa sebagai warga Bali.
Banyak juga saya lihat generasi muda yang lain yang masih semangat mau hadir. Mungkin karena merasa senasib diperantauan. Apapun itu kita perlu menjalin silaturahmi lebih erat lagi. Kita ingin seperti eratnya keluarga Batak di perantauan yang sungguh luar biasa. Saling membantu jika ada kesusahan (biasanya bila ada yang meninggal) dan saling berbagi kebahagian (biasanya bila ada yang menikah). Dalam acara tersebut oleh Penatua diusulkan untuk memiliki sebuah website untuk forum komunikasi maya. Saya sangat setuju dan mendukung 100%. Mungkin sebagai langkah awal saya akan buat sebuah Blog untuk melaporkan segala sesuatu tentang kegiatan silaturahmi.

Comments are closed.