Panji Semirang

Panji Semirang adalah sebuah nama dari Galuh Candra Kirana yang sedang menyamar untuk mencari Raden Panji. Tersebutlah sebuah kerajaan yang bernama Jenggala, dengan putra mahkotanya bernama Raden Inu Kertapati. Dia berwajah rupawan, berbadan tegap, dan sangat ramah kepada siapa saja, tanpa memandang status dan jabatannya. Dia sudah bertunangan dengan Dewi Candra Kirana, putri Kerajaan Kediri.Suatu waktu, Raden Inu Kertapati berangkat ke Kerajaan Kediri untuk menemui tunangannya. Rombongannya lengkap dengan perbekalan dan pengawal yang siap siaga. Ditengah perjalanan, rombongan Raden Inu diberhentikan oleh gerombolan dari Negeri Asmarantaka yang dipimpin oleh Panji Semirang. Melihat ada orang yang menyuruh berhenti Raden Inu bersiap-siap seandainya harus bertempur. Akan tetapi gerombolan tersebut tidak menyerang mereka. Mereka hanya meminta Raden Inu untuk bertemu dengan pemimpinnya, Panji Semirang. Tanpa rasa takut Raden Inu menemui Panji Semirang, yang menyambutnya dengan ramah, sehingga Raden Inu bertanya, “Rupanya engkau tidak seperti yang selama ini diceritakan orang-orang, wahai Panji Semirang?” Panji Semirang pun mengatakan bahwa selama ini dia hanya mengundang rombongan untuk bertemu dengannya, siapa yang tidak berkenan, maka tidak dipaksa. Akhirnya Raden Inu melanjutkan perjalannya, setelah menceritakan bahwa dia sedang menuju Negeri Kediri, untuk menemui calon istrinya, Dewi Candra Kirana. Raden Inu baru pertama kali bertemu dengan Panji Semirang. Namun selama pertemuan tersebut dia merasa seperti sudah mengenalnya sebelumnya, sehingga langsung merasa akrab. Hanya saja Raden Inu tidak dapat mengingat kapan dan dimana dia mengenal Panji Semirang. Setelah merasa cukup berbincang-bincang dengan Panji Semirang, Raden Inu pun melanjutkan perjalannya menuju Kediri. Tiba di Kediri, rombongan Raden Inu disambut dengan meriah. Bahkan selir Raja Kediri bernama Dewi Liku yang memiliki putri bernama Dewi Ajeng ikut menyambut kehadiran Raden Inu Kertapati. Hanya saja Raden Inu tidak melihat kehadiran Dewi Candra Kirana. Ketika Raden Inu menanyakan keberadaan Dewi Candra Kirana, Dewi Ajeng mengatakan bahwa Dewi Candra Kirana menderita sakit ingatan dan sudah pergi lama dari kerajaan. Mendengar keterangan kepergian Dewi Candra Kirana, Raden Inu kaget sekali sehingga jatuh pingsan. Ia pun segera dibawa masuk ke dalam istana. Memanfaatkan kesempatan ini, dan dengan tipu muslihatnya, akhirnya Dewi Liku berhasil memperdaya Raja Kediri sehingga menikahkan Raden Inu Kertapati dengan Dewi Ajeng. Menjelang acara pernikahan ini segala macam persiapan diperintahkan oleh Raja Kediri, pesta yang sangat meriah. Rupanya rencana jahat Dewi Liku tidak berhasil. Tiba-tiba terjadi kebakaran hebat yang menghancurkan seluruh persiapan pernikahan tersebut. Melihat kejadian tersebut, Raden Inu dan rombongan pun meninggalkan istana, dan setelah berada jauh dari istana, dia pun tersadar dan teringat kembali dengan Dewi Candra Kirana, yang sangat mirip sekali dengan Panji Semirang. Dia berpikir bahwa bisa jadi Panji Semirang adalah Dewi Candra Kirana. Kemudian dia dan seluruh rombongannya menuju Negeri Asmarantaka, tempat Panji Semirang berada. Rupanya Panji Semirang sudah meninggalkan Negeri tersebut. Tanpa putus asa, Raden Inu mencari keberadaan Panji Semirang hingga akhirnya tibalah mereka di Negeri Gegelang, yang rajanya masih kerabat dari Raja Jenggala. Di Negeri Gegelang ini Raden Inu disambut dengan gembira. Rupanya, Negeri Gegelang sedang menghadapi kesulitan, yaitu sedang diganggu oleh gerombolan perampok yang dipimpin oleh Lasan dan Setegal. Akhirnya, Raden Inu Kertapati bersama-sama dengan pasukan dari Negeri Gegelang menghadapi para perampok. Raden Inu mengerahkan segenap kemampuannya menghadapi perampok tersebut, dan berhasil mengalahkannya hingga pimpinan perampok tersebut mati. Pesta tujuh hari tujuh malam diadakan untuk menyambut kemenangan Raden Inu Kertapati dan pasukannya. Pada malam terakhir pesta tersebut Raja memanggil seorang ahli pantun, seorang pemuda bertubuh gemulai. Pantun yang dibawakannya berisi cerita perjalanan hidup Dewi Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati, hal yang membuat Raden Inu menjadi sangat penasaran sehingga akhirnya menyelidiki siapa sebenarnya ahli pantun tersebut. Selidik punya selidik, rupanya ahli pantun tersebut memang adalah Panji Semirang alias Dewi Candra Kirana. Dewi Candra Kirana bercerita bahwa memang

Dewi Liku yang membuatnya hilang ingatan hingga akhirnya keluar dari istana Daha. Dia disembuhkan oleh seorang pertapa yang memiliki kemampuan mengobati berbagai penyakit. Setelah semua misteri terungkap jelas, akhirnya Raden Inu Kertapati kembali ke Negeri Jenggala untuk melangsungkan pernikahan meriah, dan mereka menjadi sepasang suami istri yang hidup berbahagia.

 

Puputan Margarana

Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darah terakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali. Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917. Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah territorial Indonesia. Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan Bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuhan lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng. Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya. Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara. Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga. Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung. Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu. Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan. Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang. Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejumlah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat serangan udara Belanda. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya I Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.

 

Seniman Alam “Ni Ketut Sutini”

Ni Ketut Sutini adalah sesosok sesepuh tari di desa Tunjuk, tepatnya di Banjar Tunjuk Kelod, Desa Tunjuk, Kabupaten Tabanan. Beliau merupakan seniman tari yang bakat dan keterampilannya tanpa menempuh jenjang akademik/sekolah atau bisa disebut dengan seniman alam. Ni Ketut Sutini adalah putri dari pasangan I Nyoman Rajeg dan Ni Wayan Rengkug. Dia adalah anak keempat dari 5 bersaudara. Adapun saudara-saudaranya antara lain:

  1. I Nengah Subrata
  2. I Nyoman Sumandhi
  3. Ni Ketut Sutini
  4. I Wayan Sudirga
  5. Ni Made Suartini

Beliau lahir pada tahun 1950 di desa Tunjuk. Adapun latar belakang keluarga dari Ni Ketut Sutini ialah keluarga seniman. Yang dimulai dari kakeknya I Made Durya merupakan seorang dalang, ayahnya I Nyoman Rajeg merupakan seorang dalang dan juga penari yang terkenal, semua saudaranya adalah seorang seniman. Kakaknya, I Nyoman Sumandhi merupakan seorang dalang juga namun lebih sering melakonkannya dengan bahasa Inggris, Adiknya Ni Made Suartini merupakan dosen di perguruan tinggi ISI Jogja.

Ni Ketut Sutini menikah dengan I Wayan Eka Mandwika dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ni Putu Manik Widiantari & Ni Made Mirah Widiantari. Dia belajar menari dari kelas 1 SD yang diajarkan oleh ayahnya, I Nyoman Rajeg. Beliau pertama-tama diajarkan dasar tari terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Legong (sebutan orang-orang dulu). Dan setelah dia menginjak kelas 6 SD, dia mulai menekuni seni tari dan mulai belajar tarian lepas di Banjar Beng Kaja. Banyak tarian lepas yang sudah dikuasai nya. Sehingga sehabis beliau menempuh belajar di jenjang Sekolah Dasar, dia tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi namun Ni Ketut Sutini mengajar menari di beberapa tempat. Beliau pertama kali mengajarkan tari di Banjar Tunjuk Kelod tahun 1968 bersama bapak I Nyoman Sumandhi. Disana ia mengajarkan tarian lepas yang sudah dikuasainya. Seperti tari Pendet, tari Panji Semirang, tari Truna Jaya, dan jenis tarian lepas lainnya. Dia juga pernah mengajarkan seni tari hampir di semua sekolah dasar yang ada di desa Tunjuk. Dan juga di banjar-banjar yang ada di desa Buahan, Pejeng, Bebandem (Karangasem), dan ada beberapa daerah lagi. Bukan hanya masyarakat yang di ajarkan menari oleh nya, semua saudara nya seperti I Wayan Sudirga, Ni Made Suartini diajarkannya juga.  Kedua anaknya juga diajarkan seni tari oleh nya. Namun anaknya yang kedua saja yang pernah mendapat juara pada saat mengikuti Festifal Gong Kebyar pada tahun 2003. Pada saat itu, Kabupaten Tabanan diwakili oleh Sanggar Seni Kembang Bali dari desa Tunjuk yang di atas binaan bapak I Nyoman Sumandhi. Ni Ketut Sutini adalah orang yang pertama di desa Tunjuk mengajarkan menari kepada masyarakat di Tunjuk. Selain mempelajari tarian lepas yang lumrah, dia juga mempelajari tari Leko yang sudah ada sejak dulu di Banjar Tunjuk Kelod. Namun cara mempelajarinya ialah dengan berlatih sendiri tanpa diajarkan oleh seorang guru. Ni Ketut Sutini sering mengamati bagaimana struktur gerak dari tari Leko dan mencatat nya. Karena kebiasaan orang jaman dulu tidak pernah mempelajari secara pasti teori seni tari sedangkan prakteknya yang lebih dominan dipelajari atau dihafalkan sehingga gerakan tari Leko tidak ada namanya atau istilah dari setiap gerakan tari Leko tidak mempunyai sebutan. Itu yang menyebabkan sering kebingungan kalo ada yang menanyakan nama dari masing-masing gerakan tari Leko. Dengan cara mencatat dan mempelajarinya sendirilah Ni Ketut Sutini bisa dan sangat hafal tarian Leko tersebut. Setiap akan ada pagelaran yang menyangkut tentang tarian Leko, pasti beliaulah yang dimintai bantuan untuk mengajarkan tari Leko kepada generasi muda karena dipercaya untuk melatih. Dan sampai sekarang pun beliau masih aktif untuk mengajarkan tari di Banjar Tunjuk Kelod, khusunya tari Leko yang menjadi warisan leluhur di banjar Tunjuk Kelod. Di umur yang sudah rentan, semangatnya masih membara seperti semangat waktu dia masih muda. Harapan dari Ni Ketut Sutini terhadap pelaksana seni yang masih baru bermunculan di Bali ialah agar tetap dilakukan suatu kegiatan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Bali khususnya seni tari, karena banyak tari-tarian yang klasik sudah hampir punah karena perkembangan jaman.

Gamelan Leko Tunjuk

Sekian banyak ensamble di Indonesia baik yang berlaras pelog maupun slendro masih dilestarikan dan dikembangkan sampai dewasa ini. Khususnya ensamble yang ada di Provinsi Bali dengan identitas gamelannya yang sangat berbeda dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kekhasan yang dimilikinya menjadikan gamelan Bali pula sebagai daya tarik wisatawan lokal maupun wisatawan asing untuk mempelajarinya. Jenis barungan gamelan di Bali sangatlah beraneka ragam mulai dari gamelan yang digolongkan kedalam gamelan tua, gamelan madya, gamelan baru. Dari penggolongan tersebut juga dapat dibagi barungan mana saja yang termasuk kedalam golongan tersebut. Contoh barungan yang ada di Bali ialah Gamelan Gender Wayang, Gamelan Selonding, Gamelan Angklung, Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Luang, Gamelan Pelegongan, Gamelan Semara Pegulingan, Gamelan Semarandhana, Gamelan Gong Kebyar dan masih banyak lagi barungan-barungan yang ada di Bali. Penyebarannya pun hampir ke seluruh pelosok daerah di Bali baik yang dimiliki oleh lembaga, oleh desa, oleh sekaha/kelompok maupun perorangan. Seperti yang terdapat di desa Tunjuk, Tabanan. Seperangkat gamelan yang dimiliki oleh sekaha gong di banjar Tunjuk Kelod merupakan salah satu warisan dari leluhur di desa Tunjuk. Dimana barungan gamelan tersebut disebut gamelan Leko atau sering juga disebut Gamelan Nyeng-Nyong. Gamelan ini memiliki instrumentasi yang hampir menyerupai gamelan pelegongan, ada beberapa perbedaan antara gamelan pelegongan pada umumnya. Sehingga keunikan dalam barungan ini sangat terlihat dalam beberapa sisi. Seperti bentuk bilah, suara, jumlah instrument, repertoar gending, pola, teknik dan lain-lainnya. Gamelan sering dipakai untuk mengiringi tari Leko sehingga gamelan ini disebut gamelan Leko. Dan istilah Gamelan Nyeng-Nyong mungkin karena menyebutnya dari dahulu oleh masyarakat sekitar sebelum adanya istilah Gamelan Leko. Menurut infomasi dari bapak I Nyoman Sumandhi “sebelum dikenal dengan nama Leko, gamelan ini sering disebut gamelan Nyeng-Nyong oleh tetua disini dan arti dari istilah Nyeng-Nyong tersebut belum diketahui sampai sekarang dan mungkin hanya sistem penyebutannya saja”. Instrumentasi dari barungan ini terdiri dari 8 tungguh gangsa gantung (pemade 4 tungguh, kantilan 4 tungguh), 2 tungguh Gender Rambat, 2 tungguh Jublag, 2 tungguh Jegogan, 1 pasang Kendang Krumpungan, 1 buah Krentengan, 1 Kecek Ricik, 1 Klenang, 5 buah Suling, 1 buah Gong. Gamelan Leko ini berlaraskan pelog 5 nada dengan jumlah bilah pada masing-masing instrument gangsa berjumlah 5 bilah. Bentuk bilah pada instrumen gangsanya ialah Matundun Sambuk/ Matundun Klipes. Ada beberapa teknik atau pola yang sangat terlihat berbeda dan bisa dikatakan ciri khas dari teknik permainan instrument gangsa pada gamelan Leko ini contohnya dalam membuat jalinan nada (kotekan). Adapun contoh repertoar gendingnya antara lain:

  1. Gending Adrah
  2. Gending Celuluk
  3. Gending Liyar Samas
  4. Gending Tari Leko
  5. Gending Ibing-Ibingan, dan lain-lain.

Nama repertoar diatas merupakan beberapa contoh gending yang memang ada di Tunjuk khususnya pada gamelan Leko ini. Telah ada beberapa generasi dalam memainkan gamelan ini karena pemain yang pertama sekali sudah ada meninggal dan digantikan oleh anak cucu maupun ada yang berminat untuk ikut melestarikan gamelan Leko ini. Biar bagaimanapun gamelan Leko juga merupakan bagian dari Karawitan Bali yang memperkaya jumlah barungan yang ada di Bali.

Kesenian Leko di desa Tunjuk

Di Bali sangat banyak seni budaya yang berkembang seperti halnya seni pertunjukan yang sangat berperan penting dalam aspek sosial dan keagamaan. Di Bali seni pertunjukan dengan upacara keagamaan sangat berkaitan. Banyak kalangan masyarakat Bali yang percaya bahwa upacara keagamaan belum lengkap tanpa adanya Panca Gita atau lima bunyi-bunyian meliputi : mantra, genta, kidung, kentongan, dan tetabuhan. Berdasarkan fungsi ritual dan sosialnya, secara umum seni pertunjukan di Bali dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu :(1) Seni Wali (pelaksana upacara). (2) Seni Bebali (pengiring upacara), dan (3) Seni Balih-balihan/seni hiburan (Dibia, 1999: 3). Tari wali dan bebali ini meliputi jenis-jenis kesenian yang pada umumnya memiliki nilai-nilai religius, sangat disakralkan (disucikan dan dikeramatkan), karena melibatkan benda-benda sakral (Dibia,1999: 3). Sehingga hanya dipentaskan dalam waktu dan tempat tertentu. Tari ini ditujukan untuk kepentingan upacara daripada untuk hiburan atau tontonan. Sedangkan seni tontonan atau hiburan/ balih-balihan merupakan bentuk seni yang hanya bersifat menghibur mengandung bentuk tari pergaulan. Tari hiburan juga bisa dikatakan bersifat sosial, karena dapat digunakan untuk menjalin komunikasi kepada pihak lain. Salah satu tari sakral tetapi sekarang digunakan sebagai tari hiburan adalah tari Legong. Salah satu tarian legong yang paling dikenal masyarakat adalah tari legong keraton yang membawakan cerita lasem yang masih sangat lumrah dan terkadang dijadikan sebagai suatu pertunjukan yang wajib untuk pementasan ketika saat ada pementasan balih- balihan. Pada jaman dahulu tari legong hanya dipentaskan dikalangan kerajan, tetapi seiring perkembangan jaman kini tari legong dijadikan tari tontonan untuk menghibur masyarakat. Seperti halnya tari Leko yang ada di Desa Tunjuk Tabanan merupakan salah satu seni tari yang cerita dan strukturnya hampir sama dengan tari legong keraton, hanya saja yang satu lahir di Puri atau kerajaan dan yang satunya lagi tumbuh ditengah- tengah masyarakat. Satu ciri khas yang membedakannya adalah adanya bagian paibing- ibingan pada tari leko, sedangkan bagian serupa tidak terdapat pada tari legong keraton (Susilawati: 1990/1991). Tari Leko, adalah tari pergaulan masyarakat Bali, diduga kesenian ini merupakan kelanjutan dari tari joged yang telah ada di Bali sebelum tahun 1800-an. Selain berfungsi sebagai tari hiburan, khususnya hiburan bagi muda- mudi, juga berfungsi sebagai “babali” yakni sebagai penunjang adat atau tradisi bayar kaul untuk kesembuhan (Susilawati: 1990/1991).