Sejarah Gambelan di Banjar Sumuh

This post was written by ptheriawan on Juni 11, 2013
Posted Under: Tak Berkategori

 

SEJARAH CIKAL BAKAL GAMELAN DAN SENI KARAWITAN

DI BANJAR SUMUH

 

 

1.       Pendahuluan

Kesenian merupakan salah satu aset budaya dan merupakan warisan nenek moyang kita yang patut dijaga dan dilestarikan. Khususnya untuk di Bali, kesenian memiliki nilai luhur yang sangat tinggi. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali, menduduki posisi yang paling penting di antara unsur-unsur kebudayaan lainya. Alasanya karena kesenian terkait dengan sistem religi.

Kehidupan kesenian di Bali sangat menggairahkan kehidupan masyarakat atau para seniman-seniman yang ada di Bali. Kegairahan tersebut disebabkan karena adanya beberapa faktor dukungan antara lain : dukungan keagamaan, artinya diselenggarakan upacara keagamaan sudah barang tentu pasti ada suatu kesenian didalamnya seperti seni karawitan, seni tari, seni rupa, seni sastra dan seni pedalangan (Mustika, 2009 : 1).

Di Bali Gamelan sudah menjadi bagian hidup masyarakatnya yang mayoritas beragama Hindu. Hampir dalam segala upacara adat dan agama bunyi Gamelan selalu terdengar. Gamelan sebagai sarana pendukung upacara keagamaan artinya hampir setiap pelaksanaan upacara yadnya memerlukan dukungan Gamelan, untuk melengkapi pristiwa-pristiwa ritual yang frekuensinya cukup padat. Gamelan juga difungsikan sebagai sarana pendidikan dan juga sebagai barang dagangan (Rembang, 1984 : 4).

Sampai saat ini di Bali ada berbagai jenis Gamelan yang dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :

a.       Gamelan Golongan Tua, yang terdiri dari Gamelan Gambang, Caruk, Genggong, Selonding, Gong Bheri, Gong Luang, Angklung, Gender Wayang, Babonangan, dan  Baleganjur.

b.      Gamelan Golongan Madya, yang terdiri dari Gamelan Gambuh, Semara Pagulingan, Pelegongan, Gong Gede, Batel Barong, Bebarongan, Joged Pingitan, Gong Degdog, Janger, Rindik, Gandrung dan sebagainya.

c.       Gamelan Golongan Baru, yang terdiri dari Gong Kebyar, Gerantang, Jegog, Bumbung Gebyog, Kendang Mebarung, Gaguntangan, Gong Suling, Tektekan, Okokan, Bumbang, Adhi Merdangga, Gong Semarandhana, Gong Manikasanti, Jes Gamelan Fusion, dan Gamelan Salukat (Dibia, 2012 : 114).

Tulisan ini akan memaparkan cikal bakal Gamelan dan seni karawitan yang ada di Banjar Sumuh beserta dengan evolusi dan inovasinya. Evolusi yang dimaksud adalah perubahan alat, yaitu penambahan dan pengurangan alat Gamelan, sehingga dari perubahan tersebut akan didapat eksistensi dari Gamelan tersebut.

 

2. Sejarah Cikal Bakal Gamelan Dan Seni Karawitan Di Banjar Sumuh

Menurut data yang didapat dari hasil wawancara yang dilakukan , penulis mendapatkan informasi dari salah seorang tokoh seniman karawitan (penglingsir) di Banjar Sumuh yang bernama I Ketut Dudug, yang menyatakan bahwa :

 

“…Pada awalnya di wilayah Banjar Sumuh telah terdapat adanya seperangkat  Gamelan  Gambuh sekitar tahun 1800. Pada tahun 1948 tepatnya saat saya berusia 8 tahun, saya telah melihat bahwa Gamelan Gambuh tersebut telah ada dan ditempatkan di sebuah sanggah gede yang bernama Sanggah Pererepan, yang terletak di samping Banjar Sumuh tepatnya sebelah selatan dan barat atau dalam istilah Bali disebut Kelod Kauh dari lokasi Banjar. Secara garis besar Gamelan Gambuh tersebut merupakan warisan nenek moyang warga Banjar Sumuh dan terdiri  dari beberapa Instrumen yaitu empat buah suling bambu (sepanjang satu meter dan memakai enam lubang nada), satu buah rebab, satu buah kempur, dua buah kendang kekerumpungan (lanang dan wadon), dua buah bantang kendang kekerumpungan pelegongan (tetapi belum ditukub kulitnya), satu pangkon ricik ( ceng-ceng kecil), satu buah kempli, dan satu buah klenang”.

 

Gamelan Gambuh atau Pagambuhan termasuk barungan madya dan hingga kini tabuh-tabuh yang dihasilkanya dianggap sebagai salah satu sumber terpenting dari semua bentuk seni tabuh yang muncul di Bali selatan setelah abad XIV. Gamelan Pagambuhan berlaras pelog tujuh nada (saih pitu) dengan susunan nada terdiri atas 5  lima patetan/tetakep, yaitu : Selisir, Baro, Tembung, Sunaren, dan Lebeng. Dalam Gamelan Pagambuhan Instrumen suling dan rebab adalah Instrumen paling penting yang merupakan Instrumen pemimpin dan pemangku melodi (Dibia, 2012 : 128).

Dari hasil pemaparan jumlah Instrumen tersebut, belum ditemukan Instrumen gentorag (pohon genta) yang menjadi bagian dari Gamelan Gambuh pada umumnya. Selain dari pada hal tersebut, dalam suatu kesenian, khusunya seni karawitan, tentu memiliki penabuh atau pemain yang terhimpun dalam suatu organisasi yang dinamakan sekaa.

Sekaa adalah sebuah organisasi tradisional yang pada umumnya bergerak dalam satu bidang profesi untuk menyalurkan kesenangan atau hobi seperti : sekaa tuak, sekaa semal. Ada sekaa yang menekankan aktifitasnya pada pelayanan sosial untuk meringankan beban fisik maupun financial para anggotanya seperti : sekaa manyi, sekaa subak dll. Ada juga sekaa yang lebih menekankan pada olah keterampilan  seni sehingga dapat dijadikan profesi yang memberikan kesenangan dan nafkah bagi para anggotanya seperti : sekaa gong, sekaa jogged, sekaa santhi dll. Keanggotaan sekaa biasanya bersifat sukarela namun secara efektif dapat digerakan  untuk melaksanakan tugas-tugas sosial (Astita, 2009 : 2).

Dalam hal ini, Gamelan Gambuh di Banjar Sumuh tidak mengadakan organisasi sekaa gong secara resmi, karena menurut informan orang-orang zaman dahulu tidak memfokuskan pekerjaanya pada kesenian. Kegiatan megambel ini hanya untuk menghibur (nyalanin demen) semata dan sewaktu-waktu, akan tetapi para penabuhnya cukup memiliki bakat dan kemampuan yang tidak kalah hebatnya dengan seniman karawitan lainya. Adapun nama dari para penabuh tersebut beserta alat yang dikuasai dan yang sering dimainkanya antara lain :

  1. Pekak Masna                                                   ( Penabuh Kendang )
  2. Pekak Gredag                                                 ( Penabuh Kendang )
  3. Pekak Runeh (Kak Roda)                               ( Penabuh Kendang )
  4. Pekak Rereg (Kak Pan Tamped)                     ( Penabuh )
  5. Pekak Rerig (Kak Pan Jodo)                           ( Penabuh )
  6. Pekak Pugeg                                                   ( Penabuh Kendang)
  7. Pekak Ranes                                                    ( Penabuh )
  8. Pekak Jenek                                                    ( Penabuh )
  9. Ketut Cawa                                                     ( Penabuh )
  10. I Ketut Dudug                                                            ( Penabuh Gangsa )
  11. I Made Tugeh                                                 ( Penabuh Gangsa )

Diantara penabuh tersebut, I Ketut Dudug (informan) dan I Made Tugeh lah yang paling kecil atau muda umurnya. Namun mreka tidak takut dan terus belajar dengan sungguh-sungguh hingga mereka mampu menguasai teknik tetabuhannya.

Pada suatu hari ada seseorang dari kalangan  orang Menak (di Bali sering dipanggil Gung aji) yang datang dari Banjar Belaluan, tepatnya di Jero Belaluan, datang ke Banjar Sumuh dan mengunjungi tempat Gamelan Gambuh tersebut di Sanggah Pererepan. Akhirnya setelah ditanya-tanya, ternyata Gung aji tersebut mempunyai hubungan saudara dengan Sanggah Pererepan. Oleh karena itu, Gung aji tersebut sering kali berkunjung ke Banjar Sumuh dan melihat orang latihan Gamelan Gambuh. Suatu ketika Gung aji mengatakan kepada salah satu warga di Sumuh, bahwa ia tertarik kepada alat musik Rebab  yang dimiliki oleh Sanggah Pererepan di dalam seperangkat Gamelan Gambuhnya. Akhirnya oleh Gung aji, dimintalah Rebab tersebut dengan maksud akan dibawa ke Jero Ida (beliau) di Banjar Belaluan karena Ida senang bermain rebab dan sebagai penggantinya Gung aji memberikan 2 (dua) tungguh gangsa kecil, yang bilahnya terbuat dari Drim (sejenis plat besi). Keluarga Sanggah Perepan dan para penabuh Gambuh telah menerima permintaan Gung aji dan munculah 2 (dua) alat baru serta hilangnya satu alat langka di dalam Gamelan tersebut.

Setelah lama berjalan, sekaa gambuh ini sempat mengalami kefakuman beberapa waktu, hingga salah satu alat Gamelannya yaitu Suling Gambuh menjadi rusak. Rusaknya suling ini karena tidak pernah terpakai dan terawat serta tempat menaruhnya yang kurang efisien. Dengan hilangnya 2 (dua) alat yang sangat penting dan merupakan ciri khas dari Gamelan gambuh yaitu Suling dan Rebab, maka Gamelan ini tidak disebut lagi sebagai Gamelan Gambuh, melainkan Gamelan ini telah berevolusi menjadi sebuah perangkat Gamelan Batel yang memiliki 2 (dua) gangsa tambahan. Dengan Gamelan Batel yang ada, anggota penabuh Gamelan ini mulai mengadakan latihan kembali. Pada masa ini yang sering memainkan kendang adalah Pekak Runeh, dan pemain gangsanya adalah Ketut Dudug dan I Made Tugeh. Gending-gending yang dicari adalah semacam gending Tabuh Telu Klasik dan sejenis gending Pengecet Pelegongan.

Pada suatu hari Gung aji dari Jero Belaluan datang dan menyampaikan keinginanya kepada sekaa ini yaitu bahwa Gung aji mempunyai pura di daerah Padang Sambian, tepatnya di Penamparan yang  bernama Pura Batan Gatep. Gung aji juga menyampaikan kalo boleh dan tidak ada halangan, agar sekaa ini sesekali ngayah megambel di Pura tersebut. Akhirnya setelah berunding, sekaa ini sanggup memenuhi permintaan Gung aji, karena selama ini Gung aji dikenal baik dan ramah oleh sekaa ini.

Suatu ketika jadilah sekaa ini ngayah di Pura Batan Gatep. Dari segi teknis pelaksanaan, sekaa ini kumpul di Sanggah Pererepan jm sekitar menjelang sanja (senja) atau sekitar jm 5 sore. Setelah itu sekaa berangkat dengan berjalan kaki sambil memikul Gamelan Batel secara gotong royong. Pasukan gagah berani,tangguh dan mulia ini berjalan menyusuri sawah dan hutan dengan membawa Gamelan, hingga sampailah sekaa ini di Pura Batan Gatep. Sesampainya disana sekaa ngayah megambel sesuai susunan acara piodalan di sana. Pada saat ngayah, sekaa ini telah siap ngambelin (mengiringi tabuh) sesolahan legong, baris dan jauk yang ditarikan oleh krama yang berniat ngaturang ayah. Uniknya walaupun jarang latihan dan memiliki keterbatasan materi tabuh, sekaa Batel ini selalu siap dan dengan refleknya beraksi menabuh memenuhi permintaan sang penari. Tidak terasa waktu berjalan, sekaa Batel ini ngayah megambel hingga Sang Surya terbit di ufuk timur atau sekitar jm 6 pagi. Karena acara odalan telah usai, para penabuh pun berangkat untuk pulang kembali ke Banjar Sumuh, dengan memikul Gamelan Batel ini yang dilakukan dengan berjalan kaki. Suatu nilai luhur, mulia dan penuh pengabdian telah dilaksanakan oleh para penabuh Batel ini.

Setelah sekian lama berjalan ngayah, pada tahun 1953 sekaa Batel ini membeli Instrumen Gangsa Pemade, Kantil dan Jegogan seharga Rp.300,- (tiga ratus rupiah). Uang sebesar ini merupakan jerih payah atau kumpulan dari 15 orang warga Banjar Sumuh yang memakan waktu selama (3) tiga bulan untuk mengumpulkan uang ini. Selain dari pada itu, bantang Kendang yang belum ditukub sebelumnya, juga ditukub pada saat membeli Gamelan tambahan ini. Pada saat itu nama penabuh yang sering berkecimpung didalamnya adalah Anak Agung Kompyang Arsa (Ajik Gung Oka Suda), Anak Agung Ketut Adi (Ajik Gung Suandi) dan pelatihnya adalah Anak Agung Made Repyug. Akhirnya, kegiatan kesenian karawitan tersebut berakhir tepatnya pada tahun 1965, karena pada masa-masa itu adalah masa yang rawan, kacau, penjajahan dan kekejaman yang dikenal dengan masa G30S PKI. Jadi, bubarlah kumpulan serta kegiatan kesenian tersebut. Dari tahun inilah kegiatan ini mengalami kefakuman kurang lebih sekitar 27 tahun. (1965-1993)

Diceritakan pada tahun 1993, tepatnya pada saat menjelang Ngesanga (sasih ke Sembilan) di Bali, yang bertepatan akan jatuhnya Hari Raya Nyepi, kumpulan remaja putra dan putri yang dikenal dengan istilah Sekaa Teruna Teruni, disingkat (STT) di Banjar Sumuh ikut menjalankan prosesi upacara Tawur Kesanga (pembersihan alam semesta beserta isinya) yang salah satunya dilaksanakan dengan membuat suatu bentuk kerajinan dari bambu dan kayu yang dianyam. diolah membentuk tubuh manusia dan raksasa dalam ukuran besar yang kita kenal sekarang dengan nama Ogoh-ogoh. Fungsinya adalah untuk mengusir roh jahat yang berada disekitar  wilayah Banjar Sumuh.

Pada saat mengusung Ogoh-ogoh, umumnya pada saat itu di daerah lain telah diiringi oleh seperangkat Gamelan Baleganjur, namun karena Banjar Sumuh tidak memiliki Gamelan tersebut, kegiatan mengusung Ogoh-ogoh mengelilingi wilayah Banjar tetap dilakukan walau tanpa diiringi Gamelan Baleganjur. Akhirnya, ada salah satu anggota dari STT yang merupakan anak dari Anak Agung Lanang Pustaka yang merupakan warga pendatang yang menetap di Banjar Sumuh. Sang anak tersebut merasa kasihan terhadap STT Banjar Sumuh karena belum bisa memiliki Gamelan Baleganjur. Dengan memberanikan diri dan memiliki jiwa dermawan, sang anak melapor kepada ayahnya yaitu Anak Agung Lanang Pustaka bahwa apabila sang ayah tidak keberatan, agar membantu membelikan atau menyumbangkan seperangkat Gamelan Baleganjur kepada STT di Banjar Sumuh. Namun sayang, sebelum sang ayah memenuhi permintaan sang anak, beliau terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Kuasa. Untung saja, sebelum meninggal, beliau telah menitipkan pesan kepada adiknya yang bernama Anak Agung Jagat Kirana supaya STT Banjar Sumuh dibelikan Gamelan Baleganjur sesuai janjinya dulu kepada anaknya.

Akhirnya tanggal 21 Pebruari 1994, Anak Agung Jagat Kirana menyumbangkan seperangkat Gamelan Baleganjur kepada Banjar Sumuh yang dibeli di Desa Blahbatuh, Gianyar. Adapun instrumen dari Gamelan Baleganjur yang disumbangkan tersebut antara lain :

          2 buah Kendang Lanang dan Wadon

          6 cakep Ceng-ceng Kopyak

          4 buah Pencon Reyong

          2 buah Ponggang

          2 buah Gong, Lanang dan Wadon

          1 buah Kempur

          1 buah Bebende

          1 buah Tawa-tawa

          1 buah kempluk

Gamelan Baleganjur tersebut ditempatkan di Pura Penataran Sumuh besama dengan Gamelan Batel yang sebelumnya di tempatkan di Sanggah Pererepan.

Berdasarkan penuturan I Made Dudug (informan), tepat setelah 6 bulan dari waktu pembelian Gamelan Baleganjur, Pihak Pengempon (Pemangku) Pura Penataran Sumuh yang diwakili oleh I Wayan Sudarma menyumbang 4 buah Gangsa Pemade dan sebuah Ugal. Tidak sampai disana, Anak  Agung Jagat Kirana atas niat pribadi kembali menyumbang sebuah Reyong Barangan  ditambah Ceng-ceng Kopyak sebanyak 3 (tiga) cakep dan Ceng-ceng Ricik 1 (satu) tungguh. Sumbangan tulus ikhlas datang kembali pada tahun 1995, kali ini yang menyumbang adalah pihak pengempon Pura Dalem Cemara (Pura Saji) yaitu menyumbangkan sebuah Terompong.

Melihat keikhlasan yang dilakukan beberapa warga tersebut, akhirnya pihak Banjar (Klian, Prajuru dan anggotanya) mengadakan kegiatan memungut sumbangan suka rela untuk tujuan melengkapi alat Gamelan yang kurang. Kegiatan ini membuahkan hasil yang cukup dan terkumpul uang yang dipergunakan untuk membeli 2 (dua) tungguh Jublag dan  4 (empat) tungguh Kantil. Hal tersebut terus berlanjut hingga tanggal 22 Oktober 2009, seluruh Pelawah Gamelan diukir di Desa Blahbatuh dan dibelikan Ugal Pengisep serta Instrumen Penyacah.

 

 

 

 

 

       DAFTAR INFORMAN

 

 

1.      Nama                                           : I Made Dudug

Tempat dan Tanggal Lahir          : Denpasar, tahun 1941

Pekerjaan                                     : PNS Kodam IX Udayana th 1962

Alamat                                        : Jln. Pulau Misol, Gang VB, Banjar Sumuh,

 Desa Dauh Puri Kauh, Kecamatan

 Denpasar Barat.

 

 

2.      Nama                                           : I Wayan Sudarma

Tempat dan Tanggal Lahir          : Denpasar,

Pekerjaan                                     : Wiraswasta

Alamat                                        : Jln. Pulau Misol, Gang III A, Banjar

 Sumuh, Desa Dauh Puri Kauh, Kecamatan

 Denpasar Barat.

 

 

 

Reader Comments

Trackbacks

  1. A片  on Agustus 19th, 2022 @ 4:14 am
  2. Google  on Maret 9th, 2023 @ 3:15 pm