Desa Adat Kesiman

Posted in Tak Berkategori on Juli 8th, 2014 by prawiranugraha
index                  Sejarah Desa Kesiman berasal dari kata Ku dan Sima, yang tercantum di dalam di dalam Babad Wanggayah yang menceritakan terjadinya Desa Kesiman. Adapaun asal mula terjadinya desa kesiman adalah sebagai berikut.
Di ceritakan Ida Dalem Batu Ireng, yang juga bernama Sri Tapuk Ulung atau Daalem Beda Ulu tinggal di bali pada tahun 1247 (Caka warsa Candra Sengkala : Resi Mengapit Tunggal). Beliu berkeinginan akan melepaskan diri dari ikatan duniawi dan mencapai moksa. Karena banyaknya musuh yang datang dari tanah jawa yang berkeinginan untuk menyerang kerajaan bali. Yang tidak lain adalah maha patih dari Kerajaan Majapahit seperti Maha Patih Gajah Mada, dan di ikuti oleh para Arya Seperti Arya Damar, dan Arya yang lainnya.
Kerajaan Bali mampu dikalahkan, para prajurit di Bali mampu di bunuh oleh pasukan majapahit. Seperti Arya Girimakna dibunuh oleh Arya Damar, ki Gudug Basur mampu dibunuh oleh Arya Wang Bang, kemudian Ida Daem Batu Ireng mengungsi dari kerajaan dan berkelana menuju desa desa seperti Taro, Gelgel, Batuaji, Batuasih, Kalangendis, Taman Hyang Batur. di taman Hyang Batur beliau membangun prahyangan Dalem yang bernama Dalem Tungkub yang diusung oleh para Pasek Dangka.
Dari Taman Hyang Batur beliau melanjutkan perjalanan ka Bukit Bali, Batu Belig, Sumerta. Desa Sumerta saat itu di kuasai olih Anglurah Bongaya. Kedatangan Ida Dalem Batuireng di Sumrta tidak dihiraukan olih Anglurah Bongaya, kemudian Ida melanjutkan perjalanan menuju desa Tangkas. Setelah Dalem Batuireng berjalan mider bhuana, karena sengitnya pertempuran yang terjadi kemudian muncul keinginan beliau untuk mati malabuh geni. Tiga bulan setelah beliau berhasil mencapai moksa, Ida Dalem Batu Ireng kembali hidup seperti sediakala. Dan beliau kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah sungai, dan berkeinginan kembali moksa namun dengan menggunakan media air, karena menurut belaiu moksa menggunakan air adalah jalan terbaik dan mampu membwa berkah bagi beliau di alam sana. Dan setelah beliau moksa, sungai tempat belaiu melakukan upacara pamoksan (melabuh we) sungai tersebut bernama Sungai Ayu atau We Ayu (we berarti air, ayu berarti kedamaian)
Setelah Ida Dalem Datu Ireng , mencapai moksa untuk yang kedua kalinya, para pengikut beliau mendirikan sebuah batu peringatan (tugu peringatan) yang terbuat dari batu besar yang dinamakan Batu Sima.
Setelah Ida Dalem Batuireng moksa, putra beliau yang bernama Arya Panji mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur, sekitar tahun 1265 (Candra Sengkala bhuta Manapit Tunggal). Batu peringatan yang terletak di tukad Ayung semakin lama di kenal dengan nama Batumenjong.Setelah beberapa tahun melintang tiga orang keturunan Dalem Batuireng pergi ke Tukad Ayung yang di ikuti oleh Bendesa Manik Mas warih dari Pangeran Manik Mas yang tinggal di Pule Pradesa Mas, kemudian bertemu di Gaduh mengambil Batu Sima tersebut dan di letakkan di tepi Tukad Ayung. Di tepi Tukad Ayung tersebut para keturunan Dalem Moksa bersama Bendesa Mas dan kemudian masyarakat Gaduh membangun grema ( desa pekraman) yang di beri nama Pendem (tempat menyimpan batu sima tersebut). Di Desa Pendem tersebut dibangun Perhyangan Desa Puseh dan Prhyangan Manik Aji yang bertempat di alas(hutan) Ambengan Abian Namgka.
Ketika Ida Dalem Batuireng kakasorang oleh Majapahit, yang menguasai kerajaan di Bali adalah Sira Kresna Kepakisan yang di dampingi oleh para Arya, Arya Wangbang kemudian mendirikan kerajaan puri di tepi tukad Ayung tempat Ida Dalem Batuireng Moksa. Disana Sira Arya Wangbang Pinatih majapahit bertemu dengan masyarakat Bali, Sira Arya Wang Bang Pinatih mengatakan diri bahwa beliau adalah utusan Sang Prabu Majapahit akian meneruskan membangun kerajaan setelah peninggalan Ida Dalem.
Setelah Arya Wang Bang Bang menerima warisan dari Dalem Moksa (Dalem Batuireng) dari Wong Bali yang terletak di tepi Tukad Ayung, kemudian disihir oleh Sira Arya Wang Bang, dan tempat peninggalan Ida Dalem Batuireng di beri nama KU SIMA.
Sira Arya Wang Bang menyatakan arti Kesiman tidak lain adalah KU berarti Kukuh (kuat) Sima, berarti hasil Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Sira Arya Wang Bang di tepi We Ayung. Dan sampai saat ini ddikenal dengan nama KESIMAN.
Desa adat kesiman terletak di wilayah Denpasar Timur, yang terdiri dari tiga desa yaitu Kelurahan Kesiman, Desa Kesiman Petilan, dan Kesiman Kertalangu. Desa adat kesiman juga termasuk di dalam Kota Administratif Denpasar. Letaknya kira-kira kurang lebih tiga km dari pusat Kota Denpasar. Batas desa kesiman terdiri dari empat penjuru mata angin yaitu:
1. Sisi Utara : Derbatsan dengan Desa Adat Tembau, Desa Adat Bekul, Desa Adat Oongan, dan Desa Adat Tonja.
2. Sisi Timur : Berbatasan dengan Desa Adat Tegeha dan Desa Adat Batubulan.
3. Sisi Selatan : Berbatasan dengan Desa Adat Sanur, dan Desa Adat Tanjung Bungkak.
4. Sisi Barat : Berbatasan dengan Desa Adat Sumerta.
Banjar-banjar yang termasuk di dalam batas wilayah Desa Kesiman adalah sebagai berikut.
1. Sisi Utara : Banjar Bukitbuwung, Banjar Abian Nangka Kaja, Banjar Abian Nangka Kaja, Banjar Abian Nangka Kelod, Banjar Meranggi, Banjar Saraswati, Banjar Kehen, Banjar Batan Buah.
2. Sisi Timur : Banjar Kertalangu, Banjar Kertapura, Banjar Tohpati, Banjar Kertajiwa, Banjar Tangguntiti, Banjar Kesambi, Banjar Biaung.
3. Sisi Selatan : Banjar Kebonkori Kelod, Banjar Kebonkori Tngah, Banjar Kebonkori Mngku, Banjar Kebonkori Lukluk.
4. Sisi Barat : Banjar Ujung, Banjar Cerancam, Banjar Pabean, Banjar Dauh Tanggluk, Banjar Dajan Tanggluk, Banjar Dangin Tangluk, Banjar Kesumajati, Banjar Abiantubuh.
5. Sisi Tengah : Banjar Kedaton.

sumber: Buku Eka Ilikita Desa Adat Kesiman

Tari Baris Wayang Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang

Posted in Tak Berkategori on Juli 8th, 2014 by prawiranugraha

DSCF3605

 Sebuah karya seni yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sangat berperan penting bagi kehidupan masyarakatnya . Karya seni yang merupakan hasil kreatifitas manusia merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan memberikan arti, fungsi dan makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk karya seni yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat khususnya di Bali adalah seni pertunjukan, karena seni pertunjukan sangat erat kaitannya dengan ritual keagamaan atau upacara yadnya.
Secara fungsional seni pertunjukan di Bali dibagi menjadi tiga yaitu seni wali, bebali dan bali-balihan. Seni wali dan bebali terdiri atas kesenian yang religius dan sakral karena di samping melibatkan benda-benda yang disucikan atau dikeramatkan, kesenian ini juga melibatkan upacara ritual . Oleh karena itu, seni wali merupakan seni sakral yang sangat penting kebutuhannya bagi peristiwa-peristiwa keagamaan di Bali.

Seni sakral merupakan kesenian yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yadnya dan disesuaikan dengan keperluannya . Penggunaan kesenian sakral sebagai bagian dan pelengkap upacara, baik Panca Yadnya maupun upacara lainnya sangat sering dilakukan. Terdapat berbagai macam kesenian sakral di Bali seperti Rejang, Pendet, Sanghyang, Baris Gede dan Barong dengan berbagai jenis dan variannya . Dan salah satu kesenian sakral yang sering di jumpai dalam pelaksanaan upacara adalah Tari Baris.
Tari Baris merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di Bali. Kata baris berasal dari kata bebarisan yang dapat diartikan pasukan, yang artinya Tari Baris merupakan tari yang memiliki gerakan gerakan yang lincah namun kokoh, lugas dan dinamis yang menggambarkan ketangkasan pasukan . Di Bali terdapat berbagai macam jenis Tari Baris upacara seperti Baris Tombak, Baris Tamiang, Baris Dadap, Baris Presi, Baris Katekok jago, Baris Poleng, Baris Pendet, Baris Wayang dan lainnya
Pembedaan varian Tari Baris tersebut adalah terletak pada properti yang di gunakan, pada Baris Tombak membawa tombak, pada Baris Tamiang membawa tameng atau pelindung, pada Baris pendet membawa canang pemendak. Dan kebanyakan dari Tari Baris tersebut menggunakan properti yang berupa senjata. Akan tetapi terdapat salah satu Tari Baris yang menggunakan media seni pertunjukan lain (pedalangan) pada propertinya yaitu Tari Baris Wayang yang terdapat di daerah Lemintang Denpasar.
Tari Baris Wayang adalah tarian kelompok yang ditarikan oleh 9 orang penari laki–laki. Tari Baris Wayang ini memiliki keunikan, yaitu penarinya membawakan wayang saat menari dan menyanyikan lagu–lagu ritual, dan lagu tersebut merupakan lagu pengruwatan. Berbeda dari baris upacara pada umumnya, yang iringannya kebanyakan menggunakan Gong Gede ataupun Gong Kebyar, pada Tari Baris Wayang ini menggunakan gambelan Batel Wayang yang penabuhnya juga ikut menyanyikan kidung atau tetembangan.
Tari Baris Wayang yang sempat penulis saksikan pada Pesta Kesinian Bali tahun 2012 menambah pemahaman dan pengetahuan penulis mengenai varian Tari Baris yang ada di Bali. Berdasakan hal tersebut, muncul ketertarikan untuk mengangkat tentang keunikan dari Tari Baris Wayang tersebut, seperti properti yang di gunakan berbeda dari properti baris upacara pada umumnya yaitu menggunakan wayang. Mengingat pada umumnya wayang adalah benda yang di mainkan di balik layar putih oleh orang yang disebut Dalang. Namun pada hal ini wayang di bawakan oleh sembilan orang penari yang membawakan kidung-kidung pengruatan.

 Sejarah Tari Baris Wayang di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang.
Banjar Lemintang merupakan banjar yang termasuk kedalam wilayah Desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Terdapat berbagai macam kesenian sakral yang ada di daerah tersebut seperti, Rejang Luang, Legong Sang Hyang, Telek dan lainnya, namun kesenian yang baru ini mendapat perhatian dari pemerintah kota Denpasar adalah Tari Baris Wayang.
Tari Baris Wayang merupakan tari wali yang ditarikan pada saat upacara Dewa Yadnya tingkat Utama (Upacara Bebangkit dan Pulagembal) dan Madya (Upacara Pulegembal) di kawasan Lemintang. Tari Baris Wayang telah berkembang pada pertengahan abad ke 16 berdasarkan legenda yang berkembang di masyarakat, Hal ikhwal terbentuknya tari Baris Wayang ketika terjadinya perjanjian antara Sira Arya Notor Wandira dengan Ki Buyut Lemintang (Penglingsir Desa Lemintang Terdahulu) yang telah berhasil melakukan perjalanan meditasi di Puncak Gunung Batur, apabila Sira Arya Notor Wandira mampu menjadi raja dan mendirikan kerajaan di Badung maka Ki Buyut Lemintang akan dipersembahkan putra mahkota.
Setelah berdirinya kerajaan Badung Pemecutan, maka Ki Buyut Lemintang kembali mengingatkan Raja Badung Pemecutan (Sira Arya Notor Wandira) untuk bisa menempatkan putra mahkotanya sebagai junjungan di wilayah Lemintang. Maka diserahkanlah putra beliau yang bernama Kyai Anglurah Tegeh, karena ditempatkan di wilayah Lemintang, sebagai penghormatan kepada Ki Buyut Lemintang maka putra beliau diberi nama Kyai Anglurah Tegeh Lemintang (leluhur Jero Lanang Tegeh Lemintang),
Kedatangan Kyai Anglurah Tegeh Lemintang ke wilayah Lemintang di ikuti oleh beberapa treh (keturunan) seperti Bendesa Manik Mas, Pasek Sumerta serta pengikut yang semua jumlahnya 40 orang. Kyai Anglurah Tegeh Lemintang membawa beberapa alat kesenian seperti Wayang, Gambelan Wayang, dan Satu Bonangan Gede.
Kedatangan Kyai Anglurah Tegeh Lemintang disambut baik oleh Ki Buyut Lemintang. Pada saat itulah upacara pejayan-jayan di persembahkan oleh Ki Buyut Lemintang kepada Kyai Anglurah Tegeh Lemintang karena menempati wilayah baru dengan nama Jero Lanang Tegeh Lemintang. Tidak terlepas juga pada saat itu keturunan Bendesa Mas dijadikan anak angkat oleh Ki Buyut Lemintang serta diserahkan tahta Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang, agar bisa melangsungkan upacara dan mempertahankan adat istiadat di Desa Lemintang, mengingat keberadaan Ki Buyut Lemintang putung (tidak memiliki keturunan).
Penataan tata desa serta aturan-aturan desa terjadi setelah Kyai Lanang Tegeh Lemintang berkuasa di Desa Lemintang yang di dampingi oleh Bendesa Mas dan Pasek Sumerta. Perkembangan pendudukpun terjadi, ada beberapa keturunan dari Tangkas Kori Agung, Pulasari dan yang lainnya mengabdikan diri di wilayah Desa Lemintang.
Dengan kesatuan pemikiran dari orang-orang yang tinggal di wilayah Lemintang dlu, maka terwujudlah upacara Ngusaba Dalem, yang mana dalam upacara tersebut tersebut ada upacara yang dinamakan mawayang-wayang dalam proses maecan-ecan (mengharapkan Ida Bhatara melimpahkan anugrah kepada ciptaannya). Upacara mewayang-wayang mengandung arti melihat kehidupan terdahulu atau mengkaji kehidupan yang lalu (instropeksi dan mulat sarira).
Pada upacara mewayang-wayang dipersembahkan tarian sakral sebagai refleksi mewayang-wayang, dimana dalam tarian tersebut ditarikan oleh anak-anak dengan menggunakan properti wayang sebagai bentuk persembahan dalam konteks pengruatan. Demikianlah cikal bakal berdirinya Tari Baris Wayang di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang.
Sayangnya pada saat ini, pementasan Tari Baris Wayang sangat sulit di laksanakan karena penari dan sarana pendukungnya telah terkikis oleh perkembangan jaman. Pada tahun 2000 bertepatan dengan karya agung Di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang, Baris wayang mulai direkontruksi dan di bangkitkan kembali.
Meskipun menjadi kebutuhan dalam prosesi upacara di Pura Dalem Manik Penataran Lemintang, namun pementasan Tari Baris Wayang tersebut tidak boleh sembarangan dilaksanakan, kesenian tersebut akan dipentaskan apabila ada pawisik dari Ida Batara yang berstana di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang melalui perantara pamangku atau paremas (orang yang disucikan). Ritual yang dilakukan sebelum pementasan Tari Baris Wayang adalah dengan terlebih dahulu Nuwur Ida Bhatara Taksu Ratu Bagus Taman Kembar, yang spirit taksunya melinggih di Pura Taman Beji Batu Bolong Dalem Silemintang yang merupakan tempat penyiraman atau penyucian Ida Batara di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang.

Penggunaan dan Fungsi Wayang Pada Tari Baris Wayang di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang.
Pada umumnya wayang dimainkan oleh seorang Dalang, dan cara memainkannya menggunakan media kain putih yang disebut dengan kelir. Namun pada hal ini didalam pementasan Tari Baris Wayang, boneka wayang yang biasanya dimainkan oleh dalang diatas kelir, justru digunakan oleh para penari baris sebagai properti dan sarana dalam tarian tersebut.
Adapun wayang yang digunakan antara lain wayang Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta ditambah Wayang Kresna, Hanoman dan dua Punakawan yaitu Tualen dan Merdah. Kesembilan wayang tersebut diyakini memiliki makna dan filosofi tersendiri menurut kepercayaan masyarakat Lemintang. Tokoh Panca Pandawa merupakan karakter yang menjadi panutan dalam epos besar Mahabrata, dan menurut tradisi Hindu kelima tokoh tersebut secara tidak langsung merupakan penitisan dari dewa-dewa yang mampu memberikan perlindungan .
Dalam dunia pewayangan di Bali gerak merupakan salah satu komponen penting dalam pertunjukan wayang yang sering disebut dengan istilah tetikesan atau sabetan . Namun pada Tari Baris Wayang penggunaan wayang secara strukturnya seperti, sabetan atau tetikesan tersebut berbeda dengan cara memainkan wayang pada umumnya. Menurut I Gusti Ngurah Agung Bagus Supartama, penggunaan wayang pada Tari Baris Wayang dimainkan sesuai dengan karakter dan mengikuti tetembangan atau kidung Baris Wayang. Jadi pada tarian tersebut peranan wayang adalah sebagai sebuah contoh, dimana penarinya bergerak mengikuti karakter dari masing-masing wayang tersebut .DSCF3568

Dalam tarian tersebut wayang memiliki nilai konsekrasi/kesakralan yang tinggi. Wayang yang digunakan sebagai property pertunjukan tari Baris Wali ini diyakini mampu sebagai media pengeruatan dan juga sebagai penangkal akan datangnya bahaya.
Kekuatan magis dan pengalaman yang pernah terjadi berdasaran pemberitahuan seorang pemangku Desa Lemintang adalah ketika prosesi upacara berlangsung terjadi awan mendung, pemangku mengisyaratkan untuk menurunkan wayang Hanoman guna menghilangkan awan mendung tersebut. Dan setelah wayang hanoman diturunkan seketika awan mendung tersebut menghilang . Demikian pula wayang-wayang yang lain yang digunakan pada tarian tersebut diyakini memiliki fungsi dan makna tersendiri sebagai media pengeruatan.
Pengeruatan tersebut terjadi seiring dengan lantunan-lantunan tembang pengundang yang dibawakan langsung oleh penarinya. Adapun contoh tembang yang dibawakan dalam pementasan Tari Baris Wayang adalah sebagai berikut :
Panji Medal, Kori Menga, Dendulurin
Tindak tanduk, Tindakane, Dentanjekin
Mentek mencar, Uduh Sempyar, Ban menyilih
Kalimat tersebut seyogyanya tidak diartikan, karena sudah mengandung kekuatan sudamala yang luar biasa. Hal tersebut di ungkapkan oleh Anak Agung Made Supartha selaku penglingsir Jero Lanang Tegeh Lemintang, setelah melakukan kontemplasi di Pura Taman Beji Dalem Silamintang, yang mengatakan kekuatan lantunan-lantunan kidung tersebut mengawali bangkitnya Tari Baris Wayang . Dan antara gerakan tarian dan lantunan kidung tidak bisa lepas secara struktur, hal ini diyakini memiliki kekuatan magis dalam bentuk tarian dan nyanyian itu sendiri.
Apabila dijabarkan, Baris merupakan perlambang dari unsur sekala dimana kata baris yang berasal dari bebarisan melambangkan kekuatan, ketangkasan dan kegagahan seorang prajurit perang. Dan wayang melambangkan unsur niskala dimana pada dasarnya fungsi wayang adalah sebagai media pengeruatan. Jadi Tari Baris Wayang merupakan tarian yang melambangkan keseimbangan antara unsur sekala .

Tari Baris Wayang merupakan tari wali yang ditarikan pada saat upacara Dewa Yadnya tingkat Utama (Upacara Bebangkit dan Pulagembal) dan Madya (Upacara Pulagembal) di kawasan Lemintang. Tari Baris wayang telah berkembang sejak pertengahan abad ke 16 Berdasarkan legenda yang berkembang di Masayarakat, hal ikhwal terbentuknya tari Baris Wayang ketika terjadinya perjanjian antara Sira Arya Notor Wandira dengan Ki Buyut Lemintang (Penglingsir Desa Lemintang Terdahulu), apabila Sira Arya Notor Wandira mampu menjadi raja di Badung maka Ki Buyut Lemintang akan dipersembahkan putra mahkota serta kesenian wali dalam bentuk Tari Baris Wayang.
Dalam pementasan Tari Baris Wayang tersebut, wayang yang digunakan antara lain wayang Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta ditambah Wayang Kresna, Hanoman dan dua Punakawan yaitu Tualen dan Merdah. Wayang digunakan sebagai properti dan sarana terpenting dalam tarian tersebut yang memiliki konsekrasi yang tinggi. Dalam hal ini wayang diyakini mampu sebagai media pengeruatan dan juga sebagai penangkal akan datangnya bahaya. Antara gerakan tarian dan lantunan kidung tidak bisa lepas secara struktur, hal ini diyakini memiliki kekuatan magis dalam bentuk tarian dan nyanyian itu sendiri. Kesenian ini merupakan Kesenian Wali yang sangat sakral dan mengandung nilai magis yang patut untuk dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Tidak hanya bernilai secara religius dan budaya saja, namun kesenian ini dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata untuk datang berkunjung ke Bali, dan Desa Lumintang khususnya bagi para wisatawan untuk mengetahui tradisi kultur budaya masyarakat Lemintang.

sumber:

Dibia, I Wayan. 2012. Ilen Ilen Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Bali Mangsi.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarkat. Jakarta: Sinar Harapan.
Marajaya, I Made. 2003. “Analisis Bentuk Wayang Dan Mamfaat Siaran Wayang Kulit Di Televisi”. Dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangn Wayang Vol.2 No.1. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar.
Widnyana, I Kadek. 2013. Majalah Panca Pandawa Sebagai Cerminan Masyarakat Kutuh. Denpasar.
Widura, Anak Agung Ngurah dan Anak Agung Ngurah Gede Agung. 1999. Eksistensi Arya Dhamar “Adityawarman” di Bali. Denpasar.
Yudabakti, I Made dan I Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali, Surabaya : Paramita.

SENI PEDALANGAN BERDASARKAN PENGERTIAN DAN FUNGSI

Posted in Tak Berkategori on April 21st, 2014 by prawiranugraha

         Seni pedalangan bagi masyarakat Bali, Jawa khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya. Oleh sebab itu seni pedalangan disebut suatu kesenian tradicional adi luhung yang artinya sangat indah dan mempunyai nilai yang luhur. Seni pedalangan mengandung nilai hidup dan kehidupan luhur, yang dalam setiap akhir cerita (lakon)-nya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal ini mengandung suatu ajaran bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya, sebagai contoh cerita Mahabharata dan Ramayana. Telah banyak buku-buku yang ditulis oleh para ahli budaya bangsa Indonesia maupun bangsa asing tentang seni pedalangan dan bukan hanya menyangkut prihal yang ringan-ringan saja melainkan tentang intisari dan faktanya. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa seni pedalangan itu tidak ada tolak bandingannya di dunia ini. Pendapat lain juga menyatakan bahwa seni pedalangan dengan keindahannya merupakan suatu pencerminan kehalusan jiwa manusia dan tidak hanya merupakan suatu pertunjukan permainan untuk hiburan belaka. Pedalangan adalah suatu kegiatan dimana titik permasalahannya ialah terletak pada dalang yang di bantu  oleh pengrawit, swarawati atau pesinden, dan dengan sarana kelengkapan penyajian pedalangan lainnya.

Arti dan Istilah Dalang

            Dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit karya Dr. Seno Sastromidjojo disebutkan bahwa kata dalang berasal dari kata Wedha dan Wulang. Adapun yang dimaksud Wedha adalah kitab suci agama Hindu yang memuat ajaran agama, peraturan hidup dan kehidupan manusia di dalam masyarakat, terutama yang menuju ke arah kesempurnaan hidup. Wulang berarti ajaran atau petuah, mulang berarti mengajar. Istilah dalang adalah seorang ahli yang mempunyai kejujuran dan kewajiban memberi pelajaran wejangan, uraian atau tafsiran tentang kitab suci Wedha beserta maknanya kepada masyarakat. Dalang juga berasal dari kata dalung atau disebut blencong, yaitu alat penerang tradisional. Dengan adanya pendapat ersebut fungsi dalang di dalam masyarakat adalah sebagai juru penerang. Dalang berasal dari kata Angundal Piwulang. Angundal artinya menceritakan, memberikan, mengucapkan dan menerangkan seluruh isi hatinya. Piwulang artinya petuah atau nasehat. Dengan pendapat tersebut maka dalang adalah seorang pendidik atau pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. Istilah dalang juga berasal dari kata Talang yang artinya saluran air pada atap. Jadi kata dalang disamakan dengan talang yang dapat di artikan sebagai saluran air. Dalam hal ini, dalang dimaksud sebagai penghubung atau penyalur antara dunia manusia dan dunia roh. I Gusti Bagus Sugriwa menyatakan dalang adalah orang yang mahir mempertunjukkan wayang, menggerakkan, menceritakan dengan kata-kata sehingga penonton menjadi gemar. Mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi pedalangan yaitu segala suatu ilmu yang harus dimiliki oleh seorang dalang. Dengan demikian berdasarkan beberapa istilah dalang tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dalang adalah orang yang mahir mempertunjukkan wayang dan berkewajiban memberikan wejangan maupun pendidikan kepada masyarakat berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.Peran dan Fungsi Dalang (Pertunjukan Wayang)

           922861_578224492211500_1362006491_n Pada Prasasti Kawi (Kawi Ourkonde) yang disusun oleh Cohan Stuart, telah dibicarakan tentang juru banyol dan Haringgit banyol. Prasasti tersebut bertahun 762 Caka atau 840 masehi. Keterangan selanjutnya menurut Kern yang terdapat pada Prasasti yang berangka tahun782 Caka atau 860 Masehi menyebut-nyebut istilah Juru Bharata. Istilah itu berarti bahwa Juru Bharatalah yang memimpin dan memainkan wayang. Dalam Kepustakaan Jawa diterangkan oleh Kern dan RM.Ng. Purbacaraka adanya widu sebagai model dalang. Widu adalah seorang yang pekerjaannnya mengarang cerita dan pakaiannya serba putih. Pada buku Wayang Asal-usul filsafat dan Masa Depannya, karya Sri Mulyono menyebutkan bahwa dalang adalah Pandita. Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin, penyusun naskah juru bicara, seorang sutradara, producer, dan juga yang memainkan wayang. Soedarsono telah mengutip pendapat G.A.J Hazeu bahwa dalang adalah seorang seniman pengembara sebab bila ia sedang mengadakan pementasan selalu berpindah-pindah tempat. Jelas kiranya bahwa fungsi dalang adalah sebagai guru, juru penerang dan juru hibur. Sedangkan pendidikan bidang spiritual (kerohanian) harus mengandung unsur-unsur estetis, etis, edukatif, kreatif, konsultatif, dan rekreatif. Estetis, artinya garapan dalang harus memberikan kenikmatan kepad penontonnya serta memupuk dan mencerminkan rasa keindahan. Etis, artinya uraian dalang harus menjadi pupuk, pembinaan, dan bimbingan kepada masyarakat dalam tata susila yang berlaku dalam lingkungan hidup bermasyarakat. Edukatif, artinya dalang harus mendidik dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru tanpa mengubah keaslian seni pedalangan. Kreatif, artinya dalang harus membina dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya dalang harus memberi pengarahan dan penerangan kepada mayarakat yang masih butaakan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya dalang harus dapat memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masyarakat.

            Menurut seminar seni sakral dan profan bidang tari yang di selenggarakan oleh Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali pada tanggal 24 Maret 1971 di Denpasar, pertunjukan wayang di Bali dapat di golongkan menjadi tiga macam yaitu :

a.       Wayang Wali : yaitu wayang yang berfungsi sebagai pelaksana upacara dan upakara, dalam arti npertunjukan wayang tersebut merupakan bagian dari keseluruhan upacara yang di laksanakan. Wayang yang termasuk golongan ini adalah Wayang Sapuh Leger.

b.      Wayang Bebali : yaitu wayang yang di pentaskan sebagai pengiring upacara di tempat- tempat suci parhyangan atau di pura-pura dan atau dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Wayang Lemah, Wayang Sudhamala, dan Wayang Peteng.

c.       Wayang Balih-balihan : yaitu wayang yang di pentaskan untuk tontonan secara umum yang fungsinya di luar dari no. a dan b tersebut di atas. Pertunjukan wayang ini lebih menitik beratkan kepada nilai seninya dan fungsi hiburannya.

Fungsi pertunjukan wayang sebagai seni Wayang Bebali yang dimaksud adalah pertunjukan bebali yang dimaksud adalah pertunjukan wayang tersebut di laksanakan pada :

a.       Upacara Dewa Yadnya           : dalam hubangan ini  pertunjukan di selenggarakan pada waktu peringatan hari suci (odalan) baik di tempat suci perumahan (parhyangan/pemerajan) maupun di pura-pura kahyangan. Adapun lakon yang di gunakan pada pertunjukan tersebut di antaranya : Semaradahana, Samudra Manthana dan yang lainnya.

b.      Upacara Pitra Yadnya             : dalam hubungan ini pertunjukan wayang di selenggarakan pada waktu malam hari (wayang peteng) setelah upacara pembakaran mayat (jenazah), dan atau ada pula yang menggunakan wayang lemah yang di selenggarakan di siang hari dengan menggunakan kelir dari benang dan dua buah tiang dari batang kayu sakti (dapdap). Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah : Bima Swarga, Sudhamala, dan yang lainnya.

c.       Upacara Manusa Yadnya        : pada upacara pertunjukan wayang biasanya di selelnggarakan selain pada upacara nelu bulanin (anak berusia 3 bulanan), dan pada upacara otonan atau hari ulang tahun anak, juga di selenggarakan pada upacara perkawinan (pawiwahan). Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah : Lahirnya Pandawa, Lahirnya Kresna, Abimaniu Wiwaha dan yang lainnya.

d.      Upacara Bhuta Yadnya          : suatu upacara membersihkan alam terutama lima unsur alam (panca maha bhuta). Bhuta Yadnya (mecaru) yang disertai pertunjukan wayang biasanya diselenggarakan pada upacara besar-besaran seperti : Ekadasa Rudra, Panca Wali Krama, Sesepen. Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah Bima Mangan Caru, Purusadha Santha dan yang lainnya

Sumber  : DIKTAT WAWASAN SENI PEDALANGAN SMK N 3 SUKAWATI.

Oleh       : Ni Wayan Rasiani, S.Pd., M.Si.

Nip        : 19630819 198902 2 005

Unsur-Unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan

Posted in Tak Berkategori on April 14th, 2014 by prawiranugraha

OLYMPUS DIGITAL CAMERAUnsur-unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan Yang Berwujud Vokal
1. Macam Vokal Dalam Seni Pedalangan
Vokal dalam seni pedalangan dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Sekar/tembang,
2) Tandak/sendon.
2. Jenis-Jenis Tembang
Sekar/tembang menurut jenisnya dapat diperinci sebagai berikut:
a) Sekar Agung (kekawin)
b) Sekar Madya (kekidungan)
c) Sekar Mecepat (pupuh)
d) Sekar Rare (gegendingan)
3. Pungsi Dan Penggunaan Tembang, Tandak/Sendon
Sekar/tembang di dalam Seni Pedalangan atau dalam pertunjukan wayang dapat berfungsi sebagai iringan, dan ikut mewarnai pakeliran sebagai pendukung suasana adegan wayang. Sekar/tembang tersebut dapat digunakan dalam adegan-adegan tertentu misalnya:
Sekar Ageng (kekawin) : tembang ini biasanya digunakan oleh dalang pada adegan petangkilan, disela-sela adegan perang atau adegan-adegan tertentu dan dibawakan oleh tokoh punakawan.
Sekar Alit (pupuh): tembang ini oleh dalang biasanya digunakan didalam adegan suasana romantis yang menggambarkan suasana saling jatuh cinta antara punakawan laki-laki dan perempuan (Twalen vs Condong) atau (Condong vs Delem, Sangut atau punakawan bondres lainnya). Namun tidak tertutup kemungkinan juga pupuh digunakan didalam adegan-adegan yang lainnya. Sedangkan kekidung, dan gegendingan agak jarang digunakan oleh dalang. Biasanya penggunaan kakidung dan sekar rare tersebut disesuaikan dengan kebutuhan lakon yang dibawakan dalang.
Tandak/sendon dalam pertunjukan wayang adalah vokal dalang yang membarung atau mengikuti lagu gending. Tandak/sendon didalam pertunjukan wayang memegang peranan penting dan merupakan kelengkapan yang sangat pokok didalam pakeliran. Fungsi Tandak/sendon didalam pakeliran adalah untuk membentuk suasana.
Tandak/sendon didalam Seni Pedalangan di Bali tidak seperti Sulukan di pedalangan daerah lain (Jawa) yang terikat oleh patet-patet. Syair-syair yang di tampilkan dapat diambil dari kekawin Bharatayuda, Mahabharata Ramayana maupun Arjuna Wiwaha.
4. Perbedaan Tembang Dan Tandak/Sendon Di Dalam Seni Pedalangan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dinyatakan perbedaan sekar/tembang dengan tandak/sendon di dalam seni pedalangan adalah:
1. Sama-sama berfungsi sebagai pendukung suasana adegan cerita.
2. Perbedaannya: Sekar/tembang tidak harus membarung dengan iringan gamelan sedangkan sendhon/tandak adalah vokal dalang yang mengukuti atau membarung dengan lagu gambelan.
Unsur-unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan Yang Berwujud Instrumental
1. Instrumen/Iringan Pedalangan
1.1 Pengertian Instrumen.
yang dimaksud Instrumen dalam pedalangan ialah alat bunyi-bunyian, atau juga alat musik termasuk gamelan yang terdiri dari beberapa buah ricikan. Dengan demikian gamelan yang dimaksud di dalam pertunjukan wayang adalah iringan yang merupakan barungan atau kumpulan Instrumen atau alat-alat yang telah baku dan biasa dipakai mengiringi salah satu pertunjukan wayang, sedangkan instrumental artinya seni suara yang ditimbulkan oleh alat-alat musik. Di dalam Karawitan Instrumentalia adalah gending-gending yang dihidangkan, sedangkan Instrumentalis adalah pengrawitnya atau seniman karawitan.
1.2 Instrumen Iringan Wayang
Secara konvesional Instrumen atau gambelan yang di pergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit di Bali terutama Wayang Parwa (marwa) adalah Gender Wayang. Gender Wayang ini biasanya terdiri dari 2 sampai dengan 4 buah. Sedangkan untuk pertunjukan Ramayana (ngeramayana), 4 buah gender wayang tersebut di tambah lagi dengan beberapa instrumen lain seperti: Kendang, Kempur, Cengceng, Klenang, Kajar dan Suling. Gamelan Wayang Ramayana ini lazim disebut dengan Gambelan Batel.
1.3 Gending-Gending Iringan Wayang
Didalam pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya menggunakan kurang lebih 10 jenis motiv gending, sesuai dengan struktur pertunjukan wayang kulit. Adapun keseluruhan gending-gending tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Gending=gending Petegak, (2) Gending-gending yang mengiringi gerak (tetikesan/sabetan) wayang. Adapun gending-gending tersebut dan penggunaannya dalam pertunjukan wayang adalah sebagai berikut:
(1) Kelompok Gending Petegak
Gending ini terdiri dari berbagai macam jenis komposisi kuno dan baru. Adapun beberapa contoh gending petegak sebagai berikut: Sekar Ginotan, Sekati, Merak Angelo, Cicak Megelut, Sekar Sungsang dan yang lainnya. Gending ini biasanya ditampilkan sebelum dalang memulai pertunjukannya, dan dapat digunakan sebagai isyarat untuk mengundang penonton bahwa pertunjukan wayang segera dimulai.
(2) Kelompok Gending Yang Mengiringi Gerak (Sabetan/Tetikesan) Wayang.
(a) Gending Pemungkah
Gending pemungkah ini digunakan pada saat dalang melakuan hal-hal seebagai berikut:
1. Persembahyangan dan selamatan.
2. Pemukulan keropak dengan sebuah cepala.
3. Dalang memulai pertunjukan wayang dengan menarikan wayang kayonan sampai kepada simpingan wayang disebelah kanan dan disebelah kiri kelir, berlanjut pada pencabutan wayang kayonan.
(b) Gending Petangkilan
Gending petangkilan terdiri dari dua jenis yaitu gending Alas Harum dan gending Rundah atau Candi Rebah. Gending Alas Harum biasanya digunakan pada tokoh wayang yang bermata sipit atau tokoh wayang yang berkarakter halus, sedangkan gending Rundah biasanya digunakan pada tokoh yang bermata bulat (dedeling) atau digunakan pada wayang yang berkarakter keras. Gending-gending ini biasanya ditampilkan setelah cabut kayonan.
(c) Gending Pengalang Ratu
Gending ini merupakan introductory dan pengenalan masing-masing karakter pewayangan dan selalu dipakai sebelum dialog dimulai.
(d) Gending Angkat-angkatan
Gending ini biasanya digunakan setelah parum atau dialog selesai. Gending ini juga digunakan ketika keberangkatan laskar prajurit menuju medan perang.
(e) Gending Rebong
Gending ini bernuasna romantis, biasanya digunakan pada saat adegan roman atau percintaan untuk tokoh kesatria seperti tokoh Arjuna, Kresna dan yang lainnya. Pada tahap kedua gending ini yaitu dilanjutkan dengan gending pengipuk atau pengecet rebong juga biasanya digunakan pada saat suasana romantis dari para punakawan.
(f) Gending Tangis
Gending ini sangat lirih dan biasanya disertai dengan sendhon untuk mengiringi suasana sedih. Dalam katagori ini biasanya ada dua jenis gending yang dipakai yaitu: (1). Gending Mesem: yaitu gending yang digunakan dalam suasana sedih untuk semua tokoh wayang bermata sipit atau wayang yang berkarakter halus. (2) Bendu Semara dan Candi Rebah yaitu gending yang digunakan untuk mengiringi tokoh wayang yang bermata dedeling atau wayang yang berkarakter keras.
(g) Gending Tunjang
Gending ini berkarakter keras dan biasanya di pakai untuk mengiringi keluarnya raksasa atau Bhutakala.
(h) Gending Batel
Gending ini bernuansa energik, bersemangat, dan secara umum dipakai untuk mengiringi wayang yang sedang berperang.
(i) Gending Penyudemalan
Gending ini dimainkan setelah usai pertunjukan wayang. Jika di perlukan penglukatan dan biasanya gending ini diawali dengan sebuah gending Tabuh Gari.
Sumber : DIKTAT WAWASAN SENI PEDALANGAN SMK N 3 SUKAWATI.
Oleh : Ni Wayan Rasiani, S.Pd., M.Si.
Nip : 19630819 198902 2 005

Halo dunia!

Posted in Tak Berkategori on Maret 13th, 2014 by prawiranugraha

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!