Kotekan polos dari gending “Sinom Ladrang”

Dalam permainan gangsa dalam gending sinom ladrang terdapat kotekan polos dan sangsih. Video diatas merupakan tutorial dari permainan gangsa dengan kotekan polos.

Ceng-ceng Ricik

Ceng-ceng ricik adalah sebuah instrument yang terbuat dari kayu nangka dan tembaga. Alat ini Terdiri atas enam buah logam bundar Pada bagian atasnya, tampak seperti simbal. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul. Ceng-ceng ricik Dibuat berbentuk kura-kura, pengukirannya terinspirasi dari tokoh Bali Yakni kura-kura mistis. Intrument ceng-ceng ricik ini sebagai pemanis dalam suatu lagu atau gending.

Tradisi Mesuryak di Desa Bongan Gede Tabanan

Bali merupakan pulau yang sangat terkenal akan tradisi budayanya. Berbicara tentang tradisi di Bali memang tidak akan pernah ada habisnya. Sangat banyak tradisi yang dilaksanakan terkait dengan ritual keagamaan dan setiap tradisi memiliki keunikan masing-masing yang menambah daya tarik tersendiri.
Pada saat hari Raya Kuningan, seluruh masyarakat Bali melaksanakan persembahyangan dengan menghaturkan banten ke pura-pura. Berbeda dengan perayaan hari Raya Kuningan di tempat lain, beberapa tempat di Kabupaten Tabanan melanjutkan perayaan Kuningan dengan tradisi yang unik. Hal inilah yang membuat perayaan Kuningan menjadi lebih meriah dan penuh makna. Hari raya Kuningan di beberapa tempat di Kabupaten Tabanan tidak hanya dirayakan dengan melaksanakan persembahyangan saja, namun dilanjutkan dengan tradisi yang rutin dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Tradisi tersebut adalah Tradisi mesuryak yang digelar oleh masyarakat untuk memperingati perayaan kuningan bersamaan dengan ritual untuk mengantarkan para leluhur kembali ke suargaloka (surga).
Adanya tradisi mesuryak menjadikan keunikan tersendiri untuk beberapa tempat di Kabupaten Tabanan. Tradisi mesuryak ini hanya dilaksanakan oleh beberapa tempat saja di Kabupaten Tabanan, salah satunya di Desa Bongan Gede, Kecamatan Tabanan. Pada makalah ini saya akan membahas tentang salah satu tradisi “Mesuryak” jika dalam bahasa Indonesia dapat diartikan berteriak beramai-ramai/bersorak.

Sejarah Masyarakat Bongan Melaksanakan Tradisi Mesuryak
Munculnya tradisi mesuryak berawal dari zaman kerajaan Tabanan, kerajaan Tabanan merupakan salah satu kerajaan yang menyatakan diri berdaulat penuh yang berada di Daerah Bali selatan dan yang masih merdeka sampai tahun 1906. Bahkan Geertz menyatakan bahwa kerajaan Tabanan pada masa prakolonial adalah salah satu kerajaan di Bali yang paling maju, dimana kekuatannya dapat dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan tidak pernah dijajah.
Desa Bongan merupakan salah satu kekuasaan Raja Tabanan (Ida Cokorda Tabanan) yang mengalami kekacauan hantu (samar, tonya, bebahu) lalu Raja Tabanan memerintahkan bawahannya untuk menghadapi pengacau dengan menggunakan senjata Tulup Empet. Utusan Raja Tabanan dapat mengalahkan gerakan pengacau bebahu, dari babahu ini.
Pada saat Raja Tabanan memerintah di Desa Bongan selaku Raja di Kerajaan Bongan memiliki kekayaan yang sangat melimpah dari hasil pertanian karena wilayah Desa Bongan sangat subur di bidang pertanian sehingga kekayaan raja yang berkuasa di Desa Bongan tiada habisnya dan beliau adalah raja yang bijaksana dan sangat dermawan kepada rakyatnya. Bongan pada saat itu terkenal akan kekayaannya, memiliki lahan yang luas dan subur sehingga terkenal akan hasil pertaniannya yang sangat melimpah dan membuat kekayaan Arya Bongan sangat melimpah.
Tradisi mesuryak merupakan sebuah tradisi unik yang masih dilaksanakan turun temurun di Desa Bongan Gede Tabanan. Tradisi mesuryak merupakan kebiasaan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tujuannya dari melakukan tradisi mesuryak ini dalah untuk mengantarkan roh para leluhur yang turun pada saat Hari Raya Galungan dan kembali ke surge pada saat Hari Raya Kuningan. Selain itu tradisi mesuryak ini juga mencakup nilai budaya yang meliputi adat-istiadat, sistem kepercayaan, dan sebagainya. Dalam tradisi mesuryak ini adanya sistem keyakinan yang di anut oleh masyarakat Bongan Gede adanya tuntunan leluhur memang terus menerus menjadi sarana dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam proses pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berpegangan dalam tuntunan leluhur, dalam diri penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa akan dapat membentuk sifat budi luhur karena sebagai ciptaan tuhan, , manusia mampu menerima pancaran ilahi. Setelah mendapatkan tuntunan leluhur barulah masyarakat melakukan aktivitas dengan melempar sejumlah uang kertas sambil bersorak riah atas anugrah yang di dapat bersama anggota keluarganya yang ikut menghadiri serta ikut terlibat dalam tradisi mesuryak tersebut yang di ikuti pula oleh anggota masyarakat lainnya demi mendapatkan uang yang telah dilemparkan ke atas sebagai bekal kepada para leluhur yang hadir pada saat perayaan upacara mesuryak tersebut dan juga memberikan bekal kepada keluarga yang masih hidup dengan tujuan supaya mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan sesuai dengan tujuannya.Tahap persiapan Upacara Tradisi Mesuryak
Setiap pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan harus ada persiapan. Sebelum melaksanakan tradisi mesuryak, terlebih dahulu harus adalah persiapan yang berkaitan dengan tradisi mesuryak terutama sarana dan prasarana yang membantu serta menjadi pelengkap dalam sebuah ritual/upacara. Dalam pembuatan persembahan, adapun alat yang dibutuhkan yaitu tamas (daun kelapa yang sudah dibentuk atau di anyam) sehingga akan digunakan untuk alas banten. Yang selalu dihiasi dengan kain dan di beri bunga-bunga. Persembahan yang memilki dua bentuk atau dua bagian yang masing-masing memiliki simbul purusa (laki-laki), dan pradana (perempuan).
Dalam tradisi mesuryak persembahan sajen yang terbuat dari tamas yang mempunyai sebagi perempuan dan alasnya terbuat dari tamas ukuran yang besar. Tamas yang besar ini sering disebut dengan wakul, yang di dalamnya wakulan tersebut berisikan beras, jagung, dan buah jail-jali. Dalam tradisi mesuryak tamas yang kecil maupun yang besar melambangkan kemakmuran serta kesejahtraan hidup semua warga Desa Bongan baik yang melakukan tradisi mesuryak maupun yang tidak melakukan tradisi mesuryak, semuanya di anugrahi oleh leluhur nenek moyang dari sikeluarga tersebut sehingga dengan kemahakuasaan Tuhan yang selalu berada dimana-mana yang bermanifestasi sebagai Dewa Pitra atau Dewa Niang yang fungsinya memberikan kebahagiaan kepada keluarga masyarakat Desa Bongan.
Disinilah simbul sesajen sebagai purusa/laki-laki yang masih terbuat dari buah kelapa yang masih utuh artinya buah kelapa yang masih ada kulitnya yang dibungkus dengan kain putih/kuning dalam bentuk bungkusnya itu mirip dengan orang yang menggunakan ikat kepala (destar). Kain putih kuning juga memberikan fungsi sebagai pelengkap upacara yang memiliki sebuah karaismatik pacaran dari dari tuhan sebagai simbul purusa dan pradana sehingga semua sarana sudah disiapkan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan tradisi mesuryak tersebut didalam persiapan ini akan melibatkan semua anggota keluarga masing-masing untuk dapat mengabdikan diri kepada leluhurnya sehingga keluarga akan menemukan kebahagiaan yang akan diinginkannya.
Setelah semua selesai baik membuat persembahan maupun sesajen akan di lanjutkan dengan menghias pura merajan, disinilah para keluarga ikut membantu memasang kain putih kuning untuk di pasang di sanggah atau merajan. Setelah pemasangan kain selesai di lanjutkan ke pekarangan rumah membuat hiasan rumah yang akan di gantung pada saat hari raya galungan sampai kuningan guna untuk keindahan dan juga sebagai pelengkap upacara di pekarangan rumah terdapat pelinggih penunggun karang dan juga pelinggih lebuh, semua pelinggih diikat dengan kain warna hitam putih (poleng). Setelah semua persiapan itu selesai, barulah semua keluarga membuat canang. Adapun canang yang digunakan yaitu ada berupa tebasan, gebogan, sode peraianan, dan juga sode canang yang dibuat dengan busung dan juga bunga, selain itu digunakan berupa roti, buah-buahan, minuman dan yang lainnya.

Sejarah Berdirinya Desa Penarukan dan Pura Kahyangan Tiga Pererenan.

Sejarah Desa Pekraman Penarukan
Pada umumnya di Bali proses terjadinya suatu desa pada mulanya dimungkinkan oleh kehidupan yang berpindah-pindah dimana serombongan orang-orang mulai membuka hutan dan bertani untuk hidup dan kehidupannya. Dari pola tidak menetap ini lama kelamaan ada yang tetap tinggal disuatu tempat dan ada pula yang berpindah-pindah.
Demikian pula halnya sejarah terbentuknya Desa Pekraman Penarukan. Berdasarkan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat yang di perkuat dengan Purana yang ada bahwa sejarah terbentuknya Desa Pekraman Penarukan sebagai berikut: Tersebutlah tahun 1700 Masehi di Penarukan telah ada penduduk yang terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya sangat sedikit. Konon orang yang pertama datang ke Penarukan ini adalah orang-orang pelarian dari Bali Timur karena orang-orang ini ada masalah dengan Raja Dalem yang berkuasa pada jaman itu. Orang-orang ini menyamar sebagai “Bali Mula”.
Pada waktu pertama orang-orang ini ke Penarukan, mereka melalukan perabasan (pembersihan). Karena tempat ini masih berbentuk hutan belantara. Setelah selesai melakukan pembersihan mereka mulai menata tanah rabasan menjadi tanah yang layak huni dan tanah pertanian untuk menopang kelangsungan hidupnya.
Lama kelamaan datang seorang tokoh keagamaan ke tempat rabasan ini. Tokoh ini tiada lain adalah “Iringan dari Arya Sentong yang merupakan keturunan Majapahit tatkala Rakryan Gajah Mada menyerang Bali pada masa pemerintahan Prabu Asta Sura Ratna Bhumi Banten di Bali tahun 1934. Perjalanan beliau datang dari utara (Kerambitan) keselatan dan sampai pada tempat yang sudah di rabas. Keturunan (Iring-inringan) Arya Sentong yang datang tersebut beristirahat dan bertanya kepada penduduk yang ada di tempat ini. Adapun pertanyaan beliau adalah menanyakan tentang nama tempat yang sudah di rabas ini. Namun orang yang di Tanya tidak memberikan jawaban, karena tempak ini belum diberi nama. Karena tempat ini belum diberi nama akhirnya beliau langsung member nama yaitu “Tarukan” (Bahasa Kawi) yang artinya rerabasan atau kayu-kayu yang telah di rabas. Nama ini didasari atas kedatangan beliau pertama ke tempat ini dan beliau menjumpai tempat ini yang sudah di rabas. Lama kelamaan kata “Tarukan” berubah menjadi “Narukan”, dan akhirnya berubah menjadi “Penarukan”, yang mempunyai makna tempat atau wilayah yang sudah di rabas (di bersihkan).
Atas jasa beliau, akhirnya beliau di angkat menjadi Mekel Desa atau Pemimpin Desa. Mekel Desa pertama bernama “Ki Pangompean”.
Setelah tempat ini terbentuk menjadi Desa, datanglah secara berturut-turut beberapa kelompok warga antara lain: Keturunan Bendesa Manik Mas, Keturunan Pasek Gelgel, Keturunan Pasek Peraupan, Pasek Pulasari, Keturunan Arya Gedong Artha, dan Warih Ida Pedanda Sakti Wau Rauh dan menyusul warga lainnya tinggal di Desa Penarukan sampai sekarang. Desa Penarukan terdiri dari 5 banjar dinas yaitu:

  1. Banjar Penarukan Kaja
  2. Banjar Penarukan Tengah Kaja
  3. Banjar Penarukan Tengah Kelod
  4. Banjar Penarukan Kelod
  5. Banjar Penarukan Bantas

Sejarah Berdirinya Pura Kahyangan Tiga Pererenan
Sebelum menginjak ke Sejarah Pura Kahyangan Tiga Pererenan tidak ada salahnya dipaparkan sepintas mengenai Kahyangan Tiga secara umum di Bali bila dilihat dari segi tempatnya. Pada umumnya Kahyangan Tiga di Bali di bangun berdasarkan atas dasar landasan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parahyangan = tempat pemujaan, pawongan = manusia dan palemahan = wilayah. Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana yaitu unsure parahyangan dari setiap Desa Adat Bali, dimana Pura Kahyangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Penempatannya pada masing-masing Desa Pekraman di atur sebagai berikut: Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut catur pata (perempatan agung), Pura Puseh pada bagian arah selatan dari Desa atau mengarah ke pantai dan Pura Dalem dekat ke kuburan atau mengarah ke barat daya dari Desa. (Ardana, 2001 :5).
Namun tidak demikian halnya Pura Kahyangan Tiga Pererenan. Bila ditinjau dari keberadaan terutama dari segi tempat secara umum Pura Kahyangan Tiga Pererenan mempunyai keunikan tersendiri atau lain dari apada yang lain, dimana antara Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem termasuk Prajapati berada dalam satu “Natar” (satu lokasi).
Menurut cerita informan yang di dapat dari Purana Desa Pekraman Penarukan bahwa setelah berdirinya Desa Penarukan tahun 1700 Masehi yang dipimpin oleh Ki Pengompean yang dibantu oleh keluarganyan Ki Rai, maka beberapa puluh tahun kemudian para penggala desa mulai merintis tata ruang desa seperti letak pura, letak setra, sawah dan tempat pemukiman. Setelah itu para karma mepinunas kepada Brahmana yang ada di desa penarukan, kemudian sang Brahmana memberi petunjuk dari tutur Empu Kuturan yaitu Pura Puseh di bangun di huluning desa, Pura Desa di tengah-tengah desa, dan Pura Dalem di teben atau dekat kuburan.
Karena keterbatasan jumlah penduduk dan kemampuan karma desa, maka petunjuk ini tidak dapat di penuhi. Maka dari itu sang Brahmana member solusi yang kedua yaitu Kahyangan Tiga dapat didirikan dalam satu natar atau satu lokasi dengan syarat harus dapat mencari tempat dengan bercirikan 3 kriteria yaitu:
1) Jala Dwara: ada sumber air yang tak pernah putus airnya sepanjang musim.
2) Tanah Mekecap Manis: yaitu tanah yang harus utama atau terasa manis.
3) Tanah Ganda: yaitu tanahnya di samping manis juga berbau harum.
Setelah mendapat petunjuk demikian akhirnya para menggala desa mencari dan mapinunas kepada Ida Bathara Sesuhunan. Atas usaha para manggala desa dan petunjuk dari Ida Bathara Sesuhunan maka tempat itu ditemukan di sisi kelod (selatan) Desa Penarukan yaitu tempat Pura sekarang.
Pada waktu itu Pura dibangun hanya berupa “Jejodog atau gegumuk-gegumuk” baik Kahyangan Puseh, Desa, dan Dalem/Prajapati di bangun dalam satu natar, dan diberi nama Pura Kahyangan Tiga Penarukan. Di sebelah timur pura terdapat sebuah pancuran (mata air) yang airnya sangat jernih, besar dan tidak putus alirannya sepanjang musim.
Pada jaman itu yang berkuasa daerah Tabanan adalah Anak Agung Ngurah, Puri Anyar Tabanan mengadakan perjalanan ke selatan untuk mengawasi daerah kekuasaannya. Sampailah beliau di Penarukan dalam keadaan sudah payah. Disana beliau (di wilayah Pura Kahyangan Tiga Penarukan). Beliau melihat mata air (jala dwara) yang airnya sangat bersih mengalir tanpa putus-putusnya. Disana beliau berpikir bahwa tempat ini sangat suci dan sejuk. Akhirnya disana beliau berhenti sebentar sambil menghilangkan rasa letih. Dan karena orang yang berkuasa waktu itu di tabanan pernah berhenti sebentar di tempat sumber air yang ada di wilayah Pura Kahyangan Tiga maka makin lama kelamaan tempat itu diberi nama “Pererenan” yang artinya tempat pemberhentian sebentar di dalam perjalanan.
Sebagai bukti nyata kejadian tersebut maka oleh krama desa pada waktu itu dibangun sebuah pelinggih di samping kanan Kahyangan Puseh, khusus disungsung oleh keluarga Puri Tabanan. Pelinggih itu sekarang berbentuk pelinggih Mundak Sari. Mulai saat itu Pura Kahyangan Tiga Penarukan terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga Pererenan.
Setelah Bali dikuasai oleh penjajah tahun 1929, mulailah dibangun pelinggih Kahyangan Tiga di utama mandala (jeroan) yang menyatu dalam satu natar antara puseh, desa, dalem/prajapati. Tahun 1932 di bantu oleh sesepuh “Gria Gde” dan para tokoh lainnya pelinggih utama di utama mandala selesai di bangun dan di upacarai pemelaspasannya pada tahun 1932. Mengenai keberadaan Pura Kahyangan Tiga Pererenan di bangun dalam satu natar termasuk pelinggih prajapatinya merupakan kesepakatan para sesepuh desa waktu dahulu yang di dasari atas asung kerta wara nugrahanya Ida Bathara yang bersetana di Pura Kahyangan Tiga Pererenan.
Pada tahun 2000 diadakan rehab besar-besaran dan bagian jabe taneg (madyaning mandala di perlebar ke timur menjadi jaba sisi kangin). Perubahan selesai tahun 2001 dan pada tanggal 4 April 2001 di adakan pamelaspasan, ngenteg linggih dan numpuk pedagingan. Enam bulan kemudian yaitu diadakan upacara ngbusaba desa dan ngusaba nini. Pernah ada niat krama desa untuk memisahkan pura yang berada dalam satu area namun dari petunjuk gaib yang di terima, Ida Bathara yang bersetana disana tidak berkenan. Akhirnya sampe sekarang keadaan seperi ini tetap diwarisi sebagaimana dahulu. (Narasumber dan Purana Desa Pekraman Penarukan, sagah II, palet 3, paos 5).

Fungsi Pura Kahyangan Tiga Pererenan
Pada dasarnya Pura Kahyangan Tiga yang di bangun di masing-masing desa pekraman di Bali bertujuan untuk memantapkan dan memasyarakatkan konsep Tri Murti yang di sepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, ketiga Kahyangan tersebut masing-masing mempunyai fungsi tersendiri seperti :
1) Pura Desa: fungsi tempat pemujaan Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.
2) Pura Puseh: fungsinya tempat pemujaan Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya.
3) Pura Dalem: fungsinya tempat pemujaan Dewa Ciwa dalam wujud Durga sebagai pemerlina alam semesta beserta isinya. (Ardana, 2001 : 12).
Demikian pula halnya Kahyangan Tiga Pererenan Desa Penarukan, fungsinya hampir sama dengan Kahyangan Tiga lain yang ada di Bali.

Berikut foto Pura Kahyangan Tiga Pererenan:

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!