SEJARAH GONG KEBYAR DESA UMEJERO

Dunia seni memang tidak dapat dipisahkan dengan alat musik tradisional yang salah satunya adalah Gong Kebyar. Gong kebyar merupakan salah satu warisan budaya Hindu di Bali yang tergolong barungan madya dan sudah seharusnya unsur materi tradisi yang ada di dalamnya dijaga, sehingga tidak akan menimbulkan suatu kontradiksi yang berimplikasi pada lancarnya pengembangan seni tradisional itu sendiri. Gong Kebyar sebagai barungan gamelan baru dengan laras pelog lima nada mempunyai berbagai macam bentuk. Sesuai dengan konsepsi Desa, Kala, dan Patra, bahwa bentuk fisik dan non-fisik gamelan gong kebyar  di masing-masing daerah di Bali berbeda-beda. Unsur fisik yang dimaksud adalah meliputi pelawah, ornamentasi (ukiran) tatakkan gangsa itu sendiri, sedangkan unsur non-fisiknya adalah reportoar gending dan rasa musikalitas imvroviser itu sendiri. Seperti style fisik gong kebyar Bali Utara tentu berbeda dengan bentuk di Bali Selatan. Jika di Buleleng (Bali Utara) menggunakan bilah yang dipacek (Di tusuk) sedangkan di Bali Selatan bilahnya digantung. Uraian disamping merupakan perbandingan secara fisis. Namun dalam ulasan ini akan dibahas mengenai historis trnasformasi stlyle Gong Kebyar Buleleng (di Desa Umejero) menjadi seperti Bali Selatan (Gaya Geladag Badung).

Rasa merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab terjadinya transformasi style. Gamelan gong kebyar Buleleng terkenal dengan cirri khasnya yang dinamis, penuh dengan suasana “NGEBYAR” seolah-olah semakin hilang ditelan bumi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan teknologi telah membawa perubahan besar terhadap pola pikir manusia baik itu dibidang sosial budaya maupun dalam bidang lainnya. Sehingga secara tak langsung mempengaruhi perkembangan Gong Kebyar di Desa Umejero.

Historis perkembangan Gong Kebyar di Desa Umejero merupakan bukti transformasi style yang ada. Desa Umejero sebagai bagian dari masyarakat Catur Desa (Munduk, Gobleg, Gesing, dan Umejero) “secara historis” nampaknya sudah menunjukkan rasa fleksibellitas dan ke- frogresifannya terhadap perkembangan zaman dibidangnya. Perkembangan gong Kebyar di desa ini tak tak terlepas dari para tokoh-tokoh seni di Desa Umejero. Yang mana melalui tulisan ini, penulis ingin memperkenalkan figur-figur yang mempunyai Pemikiran dan kontribusi besar terhadap perkembangan Gong Kebyar di Desa Umejero. Tidak hanya itu, melalui tulisan ini penulis juga ingin menjelaskan sejarah masuknya style Bali Selatan terhadap perkembangan Gong Kebyar di Desa Umejero. Fenomena transformasi yang terjadi di wilayah Bali Utara (di desa Umejero)  merupakan salah satu contoh yang sangat menarik untuk diselipkan dalam tulisan ini. Karena untuk memperoleh prestasi dalam festival maupun even-even yang lainnya, para seniman Bali Utara rela meninggalkan ciri khas kakebyaran yang semula begitu mengakar didaerahnya demi beralih ke versi Bali Selatan. Beralihnya style para seniman ini dikarenakan karena mereka menganggap bahwa apa yang mereka miliki masih sangat sederhana (Yudarta,2009:50).

Sehingga atas dasar itu, penulis membuat tulisan ini selain merupakan tugas dari Dosen Mata Kuliah Pengantar Teori Karawitan juga merupakan momentum untuk mencatat sejarah penting perkembangan dan transformasi gamelan di desa Umejero. Sebagai generasi muda yang berkepribadian seni yang adiluhung , setidaknya kita bisa menghargai peninggalan seni budaya di masing-masing desa, karena hanya dengan berkesenianlah identitas kita sebagai masyarakat Hindu di Bali dapat dikenali dan dapat membawa kita ke arah yang lebih baik.

 

  1. SEJARAH KEPEMILIKAN GONG KEBYAR DI DESA UMEJERO

Secara historis, bahwa kepemilikan gong kebyar di desa Umejero ini dimiliki oleh perorangan (keluarga Bapak Ketut Wijana). Gong kebyar ini dibeli di Pande Gong di Desa Jagaraga sekitar tahun 1940. Gong Kebyar ini pada awalnya dibeli untuk kepentingan pribadi. Karena ada sebuah barungan Gong Kebyar, yang mana pada zaman itu alat ini tergolong jenis alat musik yang paling modern, maka dari pihak pemilik gong Kebyar mengumpulkan sebuah perkumpulan/ sekaa yang terikat dalam suatu organisasi.

Pada zaman ini, sang pemilik gamelan sengaja mendatangkan pelatih tabuh dan tari dari desa Kedis. Adapun pelatih yang dimaksud adalah Almarhum Bapak Ketut Merdana, Almarhum Bapak Putu Sukandia, dan Bapak Putu Sumiasa (Bapak dari Ni Luh Sustiawati, salah satu dosen di ISI Denpasar). Sudah banyak reportoar gending yang dipelajari oleh sekaa di desa Umejero. Salah satu diantaranya adalah  “Gegenderan Dongkang Nuut Papah’’, dan masih banyak lagi yang nanti akan dibahas pada sub berikutnya.

Singkat cerita, karena tidak berhasil mempertahankan kekompakan dan keutuhan sekaa, karena keadaan politik pada saat itu tidak stabil (Zaman GESTOK). Maka pada tahun 1974 Gong Kebyar Desa Umejero itu dipedesakan (Di serahkan kepemilikannya kepada Desa). Alasan mengapa gong Kebyar yang semula milik pribadi ini dipedesakan adalah karena sulitnya menghimpun sekaa yang baru. Karena sudah menjadi milik desa, maka  pejabat desa pada saat itu mulai menghimpun sekaa kembali untuk diajak menghidupkan kembali euphoria Gong Kebyar yang sempat hidup. Hingga sekarang kepemilikan gong kebyar di desa ini dimiliki oleh desa (menjadi duwen desa) dan dipakai oleh sekaa gong dewasa, sekaa gong lingsir dan sekaa gong wanita Desa umejero.

 

  1. FIGUR-FIGUR YANG BERPENGARUH DALAM PERKEMBANGAN GONG KEBYAR DI DESA UMEJERO.

Beberapa tokoh masyarakat berasumsi bahwa perkembangan gong kebyar di desa Umejero melibatkan banyak tokoh seniman dan tokoh masyarakat dalam perkembangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa gong kebyar di Desa Umejero itu ada sekitar tahun 1940. Tahun itu merupakan tahun perjuangan bangsa Indonesia memperebutkan kemerdekaannya. Dari uraian tersebut maka dapat diklasifikasikan bahwa perkembangan Desa Umejero terbagi menjadi tiga zaman. Yang mana setiap zaman itu memiliki pelatih tabuh yang berbeda. Adapun pengklasifikasian yang dimaksud adalah :

  1. Tahun 1940 (Perioda 40-an)
  2. Tahun 1960 ( Zaman Gestok)/G30SPKI
  3. Tahun 1974-sekarang

 

B.1.  Tahun 1940 (Perioda 40-an)

Tahun ini merupakan cikal bakal kelahiran seniman-seniman Desa Umejero. Tokoh-tokoh pelatih yang berpengaruh pada zaman ini adalah Bapak Ketut Merdana. Beliau merupakan seorang maestro gong kebyar Buleleng Barat atau yang pada waktu itu lebih dikenal dengan istilah Dauh Njung. Karya-karya beliau banyak diilhami oleh pola-pola kakebyaran yang dipadukan dengan beberapa gending jawa. Mengingat pada zaman itu menurut keterangan Bapak Putu Sumiasa (Keponakan beliau), Bapak Ketut Merdana sering pergi ke Jawa untuk mengirim barang. Di sanalah beliau banyak mendapat inspirasi yang nantinya beliau tuangkan ke dalam beberapa garapan beliau. Tidak hanya beliau saja, dalam melatih Gong Kebyar di Desa Umejer, beliau juga mengajak ipar beliau yang bernama  Bapak Putu Sukandia (Ayah Bapak Putu Sumiasa).

Tidak hanya melatih tabuh, Bapak Ketut Merdana juga sebagai pencipta dan pelatih tari. Banyak penari-penari yang dilatih oleh beliau. Sistem beliau melatih para murid tarinya adalah dengan pola menirukan gerak sang guru. Namun disisi lain seorang penabuh desa umejero yang tidak lain adalah murid dari Nang Ngayon (Panggilan akrab Ketut Merdana) yakni Almarhum Bapak Putu Sujana mengatakan bahwa beliau sebenarnya tidak begitu fasih dalam menari. Namun beliau sangat pintar melatih murid-muridnya. Hal ini merupakan salah satu keunikan beliau. Dalam menggarap sebuah gending tabuh kreasi ataupun tari ciptaannya, sekaa yang paling pertama diajarkan adalah sekaa yang ada di Desa Umejero. Sebelum mulai melatih di Desa Umejero, beliau terlebih dahulu melatih murid kesayangan beliau yakni Almarhum Putu Sujana di Desa Kedis. Alasannya beliau melatih Putu Sujana adalah supaya bisa terlebih dahulu mentransfer gending-gending yang akan dipelajari untuk sekaa gong di Desa Umejero, sehingga pada saat sang maestro datang untuk melatih di Desa Umejero, semua sekaa sudah siap untuk menabuhkan tabuh yang diajarkan oleh Putu Sujana. Yang pada akhirnya beliau (Ketut Merdana) tinggal menghaluskan gending itu sendiri. “Ibarat Bangunan, jika seseorang membangun rumah,  maka setelah selesai membangun rumah pasti ada tahap finishing”. Ujar Bapak Made Terika (wawancara oleh penulis) Sungguh kreatif cara beliau melatih para muridnya. Maka tidak salah kiranya jika penulis menempatkan beliau sebagai tokoh seniman yang mempunyai jasa dan kontribusi yang paling besar dalam perkembangan gong kebyar di Desa Umejero dan Buleleng pada umumnya.

Dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh seniman yang berpengaruh dalam masa (perioda) ini adalah Almarhum Bapak Ketut Merdana, Almarhum Bapak Putu Sukandia, Almarhum Bapak Putu Sujana, dan Bapak Putu Sumiasa.

 

B.2. Zaman G30SPKI (ZAMAN GESTOK)

Zaman ini merupakan zaman duka bagi dunia gong kebyar di Desa Umejero. Karena pada zaman ini merupakan hari meninggalnya Bapak Ketut Merdana. Beliau meninggal dengan cara yang mengenaskan, yakni di tembak mati karena dituduh sebagai seorang yang beraliran Komunisme yaitu seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Karena telah lama vakum, maka dari desa Umejero berinisiatif untuk mendatangkan pelatih tabuh dan sendratari dari Tampaksiring Gianyar yakni Bapak Made Tempo, seorang seniman serbabisa. Pada masa ini bisa dibilang sebagai awal masuknya pengaruh Bali Selatan (Gianyar, Badung, dll) ke Buleleng atau lebih dikenal dengan istilah transformasi. Bapak Made Tempo banyak mengajarkan sendratari. Baik itu Mahabratha maupun Ramayana. Banyak judul lelampahan sendratari yang digarap oleh beliau. Antara lain GATUT KACA SRAYA, BIMANYU DUTA, SUBALI SUGRIWA. Dalam pembuatan garapan sendratarinya, beliaulah yang menata tarinya sekaligus sebagai dalangnya. Sedangkan untuk iringan tabuhnya itu dilatih oleh Bapak Putu Sujana. Beliau memakai tabuh yang sudah ada yang telah diajarkan oleh pelatih terdahulu dari desa Kedis.

Dapat disimpulkan bahwa seniman yang berpengaruh pada zaman ini adalah Made Tempo, dan Putu Sujana.

 

B.3. TAHUN 1974-SEKARANG

Tahun ini merupakan masa kejayaan dari Gong Kebyar Desa Umejero. Bapak Putu Witaya seorang seniman dan sebagai Kepala Desa mendatangkan seorang pelatih tabuh dari Desa Tonja, Tanguntiti Denpasar yakni Bapak Ketut Wijana. Di sinilah transformasi terbesar terjadi. Sekaa gong Desa Umejero seakan terhipnotis akan kedinamisan tabuh-tabuh Bali Selatan. Beliau pertama kali melatih tabuh Pepanggulan GESURI ciptaan Bapak Wayan Beratha. Setelah itu melatih tabuh Pisan Bangun Anyar pada tahun 1978. Dan masih banyak lagi. Tidak hanya melatih tabuh, tetapi Bapak Ketut Wijana juga melatih tabuh untuk iringan tari seperti Penyembrahma, Wiranata, Margapati, Panji Semirang, Kebyar Terompong, Manukrawa, Jaran Teji, Belibis, Gopala, dan masih banyak lagi.

Namun dari kesekian jenis tarian yang dibawakan pada saat mebarung. Yang membuat desa Umejero terkenal adalah penari Terompongnya yang tidak lain adalah anak dari Putu Sujana yakni Ketut Suartini. Ketut Suartini adalah seorang siswi KOKAR (Koservatori Karawitan) yang pada waktu itu beralamat di jalan Ratna. Ketut Suartini dilatih langsung oleh murid Bapak Mario, yaitu bapak Gusti Made Dibia (alm) sebagai pelatih tarinya dan sempat mengajar beberapa jenis tarian di Desa Umejero.

Pada masa ini Sekaa Gong Kebyar di Desa Umjero sering kali mendapat undangan mebarung dari sekaa gong yang ada di sesama kabupaten maupun di luar kabupaten. Adapun sekaa gong yang pernah dilawan mebarung pada waktu itu adalah sekaa gong dari desa Sudaji, desa Naga Sepa, Desa Sawan, di Tamblang melawan Tampak Siring, di Desa Suwug dengan sekaa gong Sawan, dengan sekaa gong Desa Angantaka, dan masih banyak lagi. Di dalam ajang Utsawa Merdangga di Buleleng sekaa Gong Desa Umejero berhasil sebagai juara Ke-2 dengan penari terompong terbaik se-Bali yakni Ni Ketut Suartini.

Dalam hal ini, pelatih tabuh yakni Ketut Wijana terjun langsung ikut menabuh sebagai tukang kendang. Pada masa itu Bapak Ketut Wijana kerap membawa penari dari KOKAR untuk diadukan dalam acara-acara mebarung. Tidak Hanya penari saja, bahkan beliau juga mendatangkan seorang dalang kondang yakni Bapak Made Persib dari Desa Sibang, Badung.

Seiring perkembangan zaman, keberadaan sekaa Gong di Desa Umejero semakin memudar. Maka beberapa tahun kemudian diadakanlah regenerasi ditubuh sekaa Gong Desa Umejero dengan tujuan untuk mempertahankan kemasyuran Gong Desa Umejero. Ide ini adalah gagasan dari prebekel desa Umejero pada saat itu yakni Komang Suarnaya yang tak lain adalah anak dari Putu Sujana. Namun usaha ini tidak bertahan lama, hal ini dikarenakan besarnya pengaruh globalisasi yang secara tak langsung mempengaruhi pola pikir pemuda pada saat itu. Tidak sampai disitu, beberapa tahun kemudian melalui dana pesraman kilat, Kelian Adat Desa Umejero Putu Witaya mengumpulkan anak-anak Desa ini untuk mengikuti latihan gong kebyar di rumah pribadi beliau. Beliau secara sengaja mendatangkan pelatih dari Desa Munduk  yakni Made Terip. Karena dipandang berhasil, maka dibentuklah sanggar seni Wahana Santhi dan kemudian dibina secara intens oleh Putu Putrawan. Tidak hanya gong anak-anak, Putu Putrawan dan rekannya Made Artana juga membina gong Kebyar Wanita Desa Umejero yang baru-baru ini tampil sebagai Duta dari Kabupaten Buleleng dalam ajang parade Gong Kebyar Wanita di taman budaya Art Centre Denpasar melawan tuan rumah yakni Kodia.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang berpengaruh pada perkenbangan gong Kebyar Desa Umejero pada masa ini adalah I Putu Witaya, Drs. Ketut Wijana, Made Persib S.pd, Jero Mangku Ketut Rindet, Jero Balian Nyoman Belgia (alm), Ketut Suartini, Made Terip, Putu Putrawan, Made Artana S.pd dan Seluruh anggota sekaa gong Desa Umejero.

 

 

  1. TERJADINYA TRANSFORMASI STYLE

Transformasi merupakan proses perubahan terhadap bentuk fisik maupun non-fisik yang terjadi dalam frase dan perioda tertentu. Desa Umejero merupakan salah satu desa di Kabupaten Buleleng yang mana berbatasan langsung dengan desa Pupuan, Tabanan. Mengingat letak geografis Desa ini terletak di perbatasan antara dua kabupaten, maka dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Umejero dituntut lebih fleksibel terhadap pengaruh-pengaruh Seni, dan Budaya asing (luar daerah) yang masuk. Dalam uraian diatas, maka dapat ditarik benang merah bahwa Transformasi itu terjadi karena kedekatan letak geografis dari pada masyarakatnya, kemajuan teknologi dan transfortasi.

Gong Kebyar pertama kali muncul di daerah Buleleng Timur (Dangin Njung) sekitar tahun 1914 (Coleen Mcpee). Transformasi dari Gong Gede yang merupakan barungan madya, tidak serta merta semua unsur fisik dan non-fisiknya mengalami perubahan. Jika dilihat dari unsur fisiknya, tungguhan gangsa jongkok pada gong gede yang semula mepacek  dalam gong kebyar style Buleleng masih tetap mepacek. Sedangkan dari unsur non-fisik, gending-gending Gong Gede masih tetap eksis dan sering dijadikan sebagai ideologi atau dasar dari tabuh Lelambatan kreasi.

Desa Umejero merupakan desa yang paling fleksibel menerima pengaruh luar. Hal ini terbukti dengan terjadinya transformasi style yang terjadi pada barungan Gong Kebyarnya. Menurut salah satu tokoh Gong Kebyar Desa Umejero, Jero Ketut Rindet dalam wawancara 25 November 2013 mengatakan bahwa, “Gong yang semula mepacek dilebur kembali oleh Pande Gong dari Desa Tihiingan, Klungkung. Proses peleburan ini dilakukan di rumah Bapak Made Adil (alm). Dana peleburan ini diambil dari jerih payah sekaa gong dan sendratari dalam melakukan kegiatan mebarung ataupun di Bali lebih dikenal dengan istilah keupahan. Seteleh selesai dilebur maka Gong Kebyar di desa ini didiamakan untuk beberapa tahun, untuk menunggu kerawangnya hingga benar-benar matang. Setelah kerawangnya memang benar-benar matang, maka beberapa tokoh seniman Desa Umejero seperti Bapak Putu Sujana (alm), Putu Witaya, dan Saya sendiri atas pentunjuk pelatih Bapak Ketut Wijana kemudian mencari patutan (saih) ke Geladag. Maka terjadilah perubahan style baik dari mepacek menjadi megantung (style Badungan), dan dari patet Bulelengan menjadi patet Badungan yang nadanya cenderung lebih tinggi dan manis. Alasan bahwa mangapa daun gongnya digantung adalah untuk memperpanjang reng (Frekuensi) suara gamelan itu sendiri, sehingga kesan yang ditinggalkan memang benar-benar ngebyar”. Demikian keterangan beliau.

Kendatipun di Umejero sudah terjadi perubahan-perubahan style, namun masih ada dibeberapa desa di Kabupaten Buleleng, Kecamatan Busungbiu pada khususnya mempergunakan dan masih mempertahankan cirri khas gong kebyar Buleleng seperti Desa Bengkel, Desa Pelapuan, Desa Kedis, Desa Tinggarsari, Desa Busungbiu, dan Masih banyak lagi.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa transformasi style terjadi sekitar tahun 1974 dan hingga sekarang masih tetap mempergunakan style Bali Selatan (Badungan).

 

  1. REPORTOAR GENDING YANG DIPELAJARI.

Jika melihat dari pengklasifikasian orang-orang yang melatih, sebenarnya secara real gending-gending yang dipelajari oleh sekaa gong di Desa Uejero dapat dibagi menjadi dua versi yaitu versi Bali Utara (Buleleng), dan Versi Bali Selatan (Badung). Adapun gending versi Buleleng yang dimaksud adalah ganding dari Bapak Ketut Merdana (alm) dan rekan-rekan beliau seperti, Gegenderan Dongkan Nuut Papah, Tari Palawakya versi Kedis, Tari Kebyar Buleleng Dauh Njung (sekarang Wiranjaya), Tabuh Kreasi Hujan Mas, Tabuh Kreasi Gambang Suling, Tabuh Kreasi Jayengrana, Tari Nelayan, Tabuh Kreasi Kebyar Susun, Tabuh Kreasi Kuntul Angelayang, dan masih banyak lagi.

Di era selanjutnya setelah terjadinya transformasi style maka gending ataupun reportoar yang diberikan oleh pelatih Ketut Wijana seperti,Kreasi Pepanggulan Gesuri, Tabuh Lelambatan Mina Ing Segara, Tabuh Pisan Bangun Anyar, Tabuh Pat Gari, Tabuh Kreasi Sasih Kesiangan, Tari Wiranata, Tari Terunajaya, Tari Tenun, Tari Margapati, Tari Kijang Kencana, Tari Manukrawa, Tari Sekarribing. Tari Kebyar Terompong, Tari Kebyar Duduk, Tari Panjisemirang, Tari Jaran Teji, Tari Belibis, Tari Panyembrahma dan masih banyak lagi. Jika dilihat sekilas, maka banyak reportoar gending yang diberikan oleh pelatih  Bapak Ketut Wijana merupakan gending yang sudah ada. Seperti tabuh Pisan Bangun Anyar karya Empu Seni Bapak I Wayan Beratha asal Kodia Denpasar, kemudian Tari Wiranata, Margapati, Panjisemirang yang ketiganya diciptakan pada tahun 1942 oleh seniman Bapak Nyoman Kaler (alm) dari Pedungan,Denpasar. Dan masih banyak lagi.

Sekarang banyak para tetua yang dulu sebagai penabuh lupa akan gending yang mereka pelajari dulu,kendatipun masih ada beberapa yang ingat. Inilah yang membuktikan lemahnya pendokumentasian pada zaman itu, mengingat perkembangan teknologi pada zaman itu belumlah menjamur seperti dizaman sekarang ini.

  1. REKAPITULASI NAMA PENABUH GONG KEBYAR DESA UMEJERO.

Di bawah ini adalah nama-nama penabuh yang berhasil penulis himpun dalam wawancara dengan Bapak Putu Witaya (Tanggal 25 November 2013). Adapun para penabuh yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Putu Sujana (alm)                                 16. Drs. Ketut Wijana
  2. Jero Mangku Ketut Rindet                   17. Ketut Nila (alm)
  3. Wayan Meling                                      18. Nyoman Pasek
  4. Made Damendra                                   19. Made Dursila (alm)
  5. Made Sedana                                        20. Nyoman Anggur
  6. Wayan Mena                                         21. Ketut Tate
  7. Made India                                           22. Jero Balian Wena (alm)
  8. Nyoman Kaya                                       23. Putu Witaya
  9. Ketut Wijana                                        24. I Ketut Racem
  10.  Nyoman Dita                                       25. Wayan Astika
  11.  Nyoman Tero                                       26. Nyoman Suteja
  12.  Gede Mawan                                       27. Ketut Nadra
  13.  Wayan Semet                                       28. Ketut Kindra
  14.  Wayan Suwena                                    29. Made Sulatra
  15.  Nyoman Kompen (alm)                       30. Ketut Sarya.

HARI RAYA NYEPI, OGOH-OGOH, DAN BALEGANJUR

Agama Hindu adalah agama yang paling banyak memiliki hari suci. Serangkaian upacara yang dilakukan tidak lepas dari konsep keseimbangan hidup dalam banyak dimensi. Masyarakat Hindu, dimanapun mereka berada akan selalu dihadapkan dengan sebuah problema yang menyangkut keseimbangan hidup tersebut. Salah satu hari suci yang akan kita jalankan adalah hari raya Nyepi. Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun baru saka. Hari ini jatuh pada tilem kesanga (IX) yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa membawa intisari amerta air melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama dari hari raya nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Sebelum hari raya Nyepi dilaksanakan, ada beberapa rangkaian uapacara yang harus dijalani oleh umat Hindu Dharma yaitu :

Melasti, Tawur (Pecaruan) dan Pengerupukkan, tiga atau dua hari sebelum hari raya nyepi, umat Hindu melakukan penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga mekiyis/melis. Pada hari itu segala benda-benda suci yang ada dipura disucikan di danau, atau di sumber air yang dinilai sebagai tembat yang suci. Bicara tentang hari raya Nyepi, dewasa ini tidak dapat dipisahkan dengan kata Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Hari Raya Nyepi, ini adalah puncaknya. Sebab suasana yang biasanya ramai dihentikan untuk satu hari. Secara filoshofis, hal ini bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung secara realistis, dan menyucikan Bhuana Alit melalui Tapa Brata Penyepian. Adapun Catur Brata Penyepian adalah Amati Geni yaitu tidak menyalakan api, Amati Lelanguan yaitu tidak berpesta pora, Amati Karya yaitu tidak bekerja, dan Amati Lelungaan yaitu tidak berpergian.

Bicara tentang hari raya Nyepi, itu tidak dapat dipisahkan dengan ogoh-ogoh. Pertunjukkan ogoh-ogoh pada hari raya nyapi seolah menjadi PKB ke-2 yang menyulap perhatian para peminatnya. Di Kota Denpasar, penulis mengamati tiap-tiap banjar membuat ogoh-ogoh untuk persiapan hari raya Nyepi, yang nantinya ogoh-ogoh tersebut diarak keliling daerah mereka. Namun belakangan ini pertunjukan ogoh-ogoh mengalami sekulerisasi. Tidak saja digunakan pada saat upacara pengerupukan, namun pertunjukan ogoh-ogoh telah dijadikan sebagai ajang berkreatifitas bagi pengerajinya dalam bentuk Lomba dan Pawai Ogoh-ogoh. Pertunjukan ogoh-ogoh dewasa ini selalu diiringi dengan iringan Baleganjur, ataupun ada suatu daerah yang ogoh-ogohnya menggunakan tektekan sebagai pengiringnya.

Dalam makalah ini, penulis akan mengemukan relasi antara ogoh-ogoh dengan musik pengiringnya dalam konteks seni pertunjukan di Bali. Bagaimana terjadinya sekulerisasi fungsi daripada ogoh-ogoh itu sendiri

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (kala) yang tidak terukur dan tidak terbantahkan. Bhuta Kala yang dilukiskan didalam bentuk ogoh-ogoh pada umumnya berwajah seram dan menakutkan dan mengambil wujud dalam bentuk raksasa. Selain wujud rakshasa, ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga, dan        Neraka, seperti : Naga, Gajah, Garuda, Widyadari, bahkan Dewa.

Seiring perkembangannya, ogoh-ogoh sampai ada yang menyerupai artis, dan tokoh-tokoh dunia yang dinilai memberikan pengaruh besar terhadap dunia ini. Mengenai fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai perwujudan Bhuta Kala dibuat menjelang hari raya Nyepi dan diarak keliling desa pada senja hari Pengerupukan. Menurut para tokoh dan praktisi Hindu Dharma, hal ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Namun, secara filoshofis, lambing ogoh-ogoh melambangkan sifat keraksasaan yang harus dihilangkan oleh umat manusia. Untuk itulah ogoh-ogoh sehabis diarak langsung dibakar.

Fungsi yang kedua adalah seiring perkembangan zaman ogoh-ogoh telah mengalami sekulerisasi, sehingga ogoh-ogoh itu merupakan sebuah hiburan dengan seringnya diadakan lomba, ataupun pawai ogoh-ogoh.

 

 

  1. A.    Musik Iringan Ogoh-ogoh.

Dalam penampilannya, ogoh-ogoh selalu identik dengan Baleganjur dan Tektekan, dalam bagian ini akan dibahas mengenai historis mengenai Baleganjur itu dan Tektekan dalam ranahnya sebagai seni pertinjukan. Secara universal barungan gamelan di Bali dapat diklasifikasikan menjadi gamelan Barungan Alit, Barungan Madya (menengah), dan Barungan Agung (besar). Pengklasifikasiannya didasarkan atas banyaknya personil yang terlibat dan dilibatkan dalam gamelan tersebut. Jika gamelan barungan Alit itu mempergunakan 4-10 orang penabuh, gamelan barungan madya antara 11-25 orang, sedangkan gamelan barungan golongan madya itu diatas 25 penabuh (Gede Mawan dalam Mudra, 2009:19).

Gamelan Baleganjur adalah satu dari sedikitnya sepuluh golongan kuno yang hingga sekarang masih tetap eksis di Bali (Dibia, 1999:112). Hingga kini ada dua pengertian berbeda melekat dengan gamelan prosesi ini. Yang pertama adalah musik pengusir Bhuta Kala sehingga disebut Kalaganjur. Yang kedua adalah sebagai musik pembangkit semangat sehingga disebut Balaganjur. Namun, secara historis Baleganjur itu berasal dari Bebonangan, yaitu sebuah perangkat gamelan kuno yang lahir pada masa pemerintahan raja-raja di Bali (I Made Bandem, 2013:266).

Tektekan, instrument ini sejenis “slit drum” atau kentongan yang dibuat dari batangan bambu dengan berbagai ukuran pula. Tektekan dimainkan dengan alat pemukul bambu atau kayu yang dapat menimbulkan bunyi semarak terutama dimainkan sehari menjelang Hari Raya Nyepi dan fungsinya untuk menghalau Bhuta Kala agar tidak mengganggu kenyamanan tahun baru Bali (I Made Bandem, 2013:127). Munculnya tektekan sebagai barungan gamelan adalah gabungan dari beberapa instrument. Yang mana instrument utamanya adalah kentongan (I Gede Mawan dalam Mudra, 2009:20).

Seni pertunjukan di Bali memang sangat fleksibelitas, hal ini terbukti dimasukanya tektekan untuk mengiringi ogoh-ogoh. Kendatipun tidak semua daerah di Bali menggunakannya sebagai pengiring ogoh-ogoh.

 

 

  1. B.     Hubungan Ogoh-ogoh dengan Musik Pengiringnya.

Ogoh-ogoh memiliki berbagai macam varian dan bentuk. Bentuk muka dan jenis ogoh-ogoh itu akan mempengaruhi rasa musikal pementasanya. Hal ini tidak jauh berbada dengan pemilihan warna pada topeng. Sepereti Tari Jauk Manis yang melukiskan tentang kebijaksanaan seorang raja dalam memerintah kerajaanya. Untuk itu topengnya menggunakan warna putih yang amat berwibawa. Tidak hanya itu hal ini berdampak pada rasa musikal tabuhnya yang manis dan merdu sehingga enak didengar. Begitu pula dengan ogoh-ogoh, bentuk ogoh-ogoh yang mengambil wujud Bhuta Kala pasti dominan menggunakan warna gelap seperti Hitam ataupun warna Merah dengan tampilan muka yang menakutkan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap rasa musikal pementasanya. Biasnya ogoh-ogoh dengan wujud Bhuta Kala cenderung rasa musikalitas iringannya itu adalah dengan tempo yang cepat, penuh ornamentasi, aksentuasi, dinamisme, sebagaimana sifat raksasa itu sendiri.

Pementasan Ogoh-ogoh tidak perlu menggunakan lighting (pencahayaan), sebab karakter ogoh-ogoh itu akan muncul pada gending, dan tampilan muka ogoh-ogoh itu sendiri. Apalagi pementasan ogoh-ogoh itu adalah menjelang malam hari, hal ini ajan menambah kesan angker dan agung dalam ogoh-ogoh itu sendiri. Jadi relasi yang paling terlihat adalah jalinan musikalitas dengan bentuk ogoh-ogoh itu sendiri. Hal ini adalah patut dijadikan acuan untuk menggarap sebuah tabuh Baleganjur. Sebab jika menginginkan kesempurnaan dalam menggarap untuk iringan ogoh-ogoh, itu harus ada suatu keseimbangan antara bentuk dan penciptaan musikalitas itu sendiri. Karena dengan sebuah keseimbanganlah akan terjadi suatu keharmonisan hubungan antara pemain Baleganjur, dan tukang tegen ogoh-ogoh. Terlebih lagi sekarang ini ogoh-ogoh sering dijadikan sebagai ajang perlombaan, mau tak mau para senimannya harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan, apakah itu tentang tema pementasan ataupun yang lainya. Perlu diketahui tema pementasan dalam lomba adalah faktor utama penentu rasa pembuatan ogoh-ogoh dan rasa musikalitasnya.

 

 

  1. C.    Penyebab Terjadinya Sekulerisasi dalam Pementasan Ogoh-Ogoh

Pada umumnya pementasan ogoh-ogoh itu adalah diperunukan hanya pada saat Hari Raya Nyepi, namun seiring perkembangan zaman, keberadaan ogoh-ogoh di Bali kian menjamur bak dentuman bom yang begitu besar. Sama seperti perkembangan Gong Kebyar, perkembengan Ogoh-ogoh di Bali hampir dirasakan perkembangannya di seluruh pelosok pulau dewata ini. Terjadinya sekulerisasi ini menurut Bapak I Wayan Dibia disebabkan karena faktor tarik menarik arus Glokalisasi dan Balinisasi (I Wayan Dibia, 2012 : 101).

Sekularisasi pementasan ogoh-ogoh ini dapat diamati dari dua aspek, yaitu dari aspek fisik dan aspek non-fisik. Aspek fisiknya meliputi bentuk dan bahan-bahan yang membuat ogoh-ogoh itu sendiri. Sedangkan aspek non-fisiknya adalah aspek musikal musik pengiringnya. Pertama, kita lihat dari aspek fisiknya. Secara universal pembuatan kerangka ogoh-ogoh itu adalah anyaman (ulatan) bambu dan menggunakan Koran atau bahan yang terbuat dari unsur kertas sebagai pembungkusnya. Namun belakangan ini seiring dengan perkembangan zaman, pembuatan kerangka ogoh-ogoh tidak lagi menggunakan kerangka dari bambu ataupun bahan yang terbuat dari kayu, melainkan kerangkanya sudah terbuat dari besi yang dilas dan menggunakan bahan sejenis gabus sebagai anggota tubuhnya. Perkembangan ini tentu membawa dampak yang baik dari segi ekonomi bagi para pengerajinnya, namun secara filosofis tidaklah kemewahan bentuk dari ogoh-ogoh menentukan sebuah rasa bangga bagi para pelakunya. Melainkan bagaimana kita memaknai  Hari Raya Nyepi sebagai hari untuk menyucikan alam semesta ini beserta isinya dari pengaruh keraksaan yang disimboliskan dalam bentuk ogoh-ogoh.

Dilihat dari aspek musikal instrumenya, bahwa menurut Bapak I Made Bandem ada berjenis-jenis gamelan yang berbeda-beda dan berfungsi untuk mengiringi prosesi upacara keagamaan yang salah satunya adalah Kalaganjur (I Made Bandem, 2013 : 114). Perubahan yang cukup mendasar dari gamelan Baleganjur adalah menyangkut fungsi dan statusnya, dari yang selama ini sebagai gamelan pengiring prosesi menjadi gamelan yang dipertunjukan secara mandiri. Perubahan fungsi dan status Baleganjur ini bermula dari sebuah kontes gamelan Baleganjur pada tahun 1986. Hingga pertengahan tahun 1980-an, baleganjur pada umumnya dimainkan untuk mengiringi prosesi keagamaan seperti prosesi upacara ke pura, ke laut (melasti), ataupun untuk pengabenan (I Wayan Dibia, 2012:108).

Kini masyarakat Bali sudah terbiasa menonton lomba Baleganjur di mana berbagai jenis tabuh baleganjur dipertintonkan sebagai sajian karya misik yang mandiri. Dengan dimulainya sebuah tradisi yang baru ini, lomba-lomba baleganjur yang diselenggarakan dalam berbagai even di Bali telah berhasil membuat gamelan prosesi ini semakin popular di masyarakat terutama dikalangan generasi muda. Salah satu kegiatan budaya yang menjadi wadah bagi pementasan baleganjur ini adalah pementasan ogoh-ogoh menjelang hari raya nyepi.

 

HISTORIS DAN RELASI TARI JOGED BUMBUNG DENGAN SENI KAKEBYARAN

Ada beberapa segi yang bisa diamati untuk melihat pengaruh gamelan Gong Kebyar terhadap gamelan lainnya yaitu reportoar, ungkapan musikal, motif lagu, dan tata penyajian. Beberapa jenis gamelan yang dijadikan contoh sebagai bahan kajian adalah Joged Bumbung. Pengamatan dilakukan dengan metode komparasi (Seni Kabebyaran I Gede Arya Sugiartha, dalam I Wayan Dibia 2008:53) yaitu mengamati adanya kesamaan beberapa unsur, terutama ekspresi musikal, antara gamelan Gong Kebyar dengan Joged Bumbung.

Pengaruh gamelan Gong Kebyar tehadap gamelan Joged Bumbung banyak terjadi di Bali Utara (Buleleng) dan Bali Barat (Tabanan, Jembrana). Di daerah Bali Timur (Bangli, Klungkung, Karangasem) dan Bali Selatan (Badung, Denpasar, Gianyar) “Kebyarisasi” Joged Bumbung tidak begitu nampak. Suasana lagu, karakter musikal, serta penyajian gamelan Joged Bumbung di daerah Bali Selatan dan Timur lebih menyerupai Joged Pingitan yang kemungkinan awal atau asal muasal Joged Bumbung.

Di Bali Utara misalnya pengaruh Gong Kebyar terhadap Joged Bumbung terjadi dengan adanya pengadopsian lagu dan penambahan beberapa instrumen dalam Gong Kebyar seperti instrumen reyong dan jublag serta lebih menonjolkan daya ungkap yang dinamis. Beberapa lagu iringan tari kakebyaran seperti Margapati, Wiranata, Panji Semirang digunakan sebagai pepeson atau lagu pembuka dalam sebuah pertunjukan Joged Bumbung. Tabuh-tabuh instrumentalianya juga banyak mengadopsi dari lagu-lagu seperti Kosalia Arini, Purwa Pascima, Kokar Jaya (Ciptaan Bapak Wayan Beratha) dan sebagainya. Penambahan instrumen reyong dan jublag pada gambelan Joged Bumbung Bali Utara menyebabkan karakter joged menjadi lebih keras dengan penuh aksentuasi-aksentuasi ngebyar. Dari segi tata penyajian Joged Bumbung Bali Utara sudah biasa dipentaskan dengan cara mebarung seperti halnya penyajian Gong Kebyar.

Di daerah Tabanan dan Jembrana pengaruh Gong Kebyar dapat dirasakan dari adanya pengadopsian lagu baik yang instrumental maupun untuk iringan tari, sama seperti yang terjadi di Buleleng. Namun, yang membedakan  perkembangn Joged Bumbung di daerah ini adalah tidak adanya penambahan instrumen, maka beberapa lagu kebyar yang diadopsi disesuaikan dengan situasi instrumen yang digunakan. Mengenai tata penyajian di daerah Tabanan jarang terjadi Joged Bumbung mebarung.

Maka dapat ditarik suatu garis besar, bahwa perkembangan Joged Bumbung di Buleleng tidak bisa terlepaskan dari suasana ngebyar yang banyak diilhami oleh ornamentasi-ornamentasi kakebyaran, hal ini juga berpengaruh terhadap penyajian tariannya.

Secara historis, Joged Bumbung adalah tari pergaulan yang berasal dari daerah bumi Panji Sakti (Buleleng). Tari pergaulan ini diperkirakan muncul pada tahun 1946. Namun, menurut Bapak Profesor I Wayan Dibia (wawancara 17 Desember 2013) bahwa munculnya Joged Bumbung ini masih menimbulkan suatu tanda tanya mengenai kapan secara periodis tarian ini tercipta (ada yang memperkirakan tahun 1942,1946, dsb). Perkiraan yang ada, bahwa tari Joged Bumbung yang berkembang pada zaman sekarang ini telah muncul pada zaman revolusi (1940-an). Konon terciptanya tari Joged Bumbung ini digunakan oleh para pejuang untuk menghibur diri. Disisi lain pada abad yang masih sama, di Buleleng sendiri sedang terjadi perkembangan gong kebyar yang begitu pesatnya. Sehingga penciptaan dari Joged Bumbung banyak dipengaruhi oleh suasana ngebyar dan bentuk-bentuk non-fisis yang lainya. Berdasarkan pemaparan dalam bab sebelumnya, Joged Bumbung merupakan evolusi dari Joged pingitan ataupun joged-joged yang lainnya seperti Joged Adar, Joged Andir, dan Joged Gandrung. Namun perubahan (evolusi) yang terjadi di zaman sekarang tidak serta merta membawa dampak positif bagi perkembangan Joged di Bali (Buleleng) pada khususnya.

Perkembangan tari Joged Bumbung memang benar-benar mampu menghipnotis dihampir seluruh tingkatan ataupun instansi kemasyarakatan. Joged Bumbung sebagai keberlanjutan dari joged-joged sebelumnya merupakan sebuah warisan turun-temurun dari kesederhanaan bentuk budaya pada masa sebelumnya.  Sebelum Joged Bumbung itu dikenal di daerah Bali Selatan, di Bali Utara (Buleleng) sendiri sempat terjadi perkembangan pesat mengenai Joged Bumbung. Salah satu keberadaan sekaa Joged yang dapat penulis temui keberadaanya hingga sekarang adalah Sekaa Joged di Desa Munduk (masih aktif), Sekaa Joged di Desa Gesing, Sekaa Joged di Desa Umejero, Desa Kedis dan masih banyak lagi. Di desa Munduk, perkembangan tari Joged diperkirakan ada sekitar sebelum tahun 1960-an. Menurut salah seorang penabuh Joged pada masa itu Bapak Made Terip dan Bapak Made Damendra (Wawancara: Pany Ryandhi, 15 Desember 2013), bahwa perkembangan pementasan Joged pada masa itu adalah jauh berbeda dengan perkembangan Joged Bumbung pada zaman sekarang. Hal ini dapat dilihat dari segi tarian dan susunan reportoar tabuhnya yang banyak diilhami oleh pola-pola kakebyaran dari Desa Kedis (Oleh Ni Luh Sustiawati, wawancara : Pany Ryandhi, 15 Desember 2013). Sedangkan pada saat ini, pementasan Joged Bumbung telah banyak mengadopsi pola gending jaipongan dari Jawa dan dikolaborasikannya sesuai dengan kebutuhan  sang pengrawit. Sehingga terdengar lebih menarik dan atraktif.

Karena merupakan tari pergaulan yang bersifat sekuler kerakyatan (menghibur), maka perkembangan dari Joged Bumbung ini dapat dengan cepat merabah dan diterima dengan baik sampai ke Bali Selatan seperti di daerah Tabanan, Badung, Gianyar, dll. Kendatipun, unsur ke-Bulelengngannya tidak diterima begitu saja. Dalam artian para seniman Bali Selatan tidak langsung mengkonsumsi begitu saja terhadap bentuk fisis dan non-fisis Joged Bumbung yang mereka terima, melainkan mereka masih memfilterrisasi bentuknya, dan kemudian disesuaikan dengan keadaan sekitar dan perkembangan zaman.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa munculnya tari Joged Bumbung ini berbarengan dengan munculnya tari-tari kakebyaran (abad ke-20) yang secara tak langsung mempengaruhi pola-pola fisik maupun non-fisik dari perkembangan Joged Bumbung itu sendiri. Dari segi fisik dapat dilihat bahwa musik iringan Joged Bumbung ini adalah terbuat dari potongan-potongan bambu dengan berlaraskan selendro 5 (lima) nada, kendatipun masih ada dibeberapa daerah di Buleleng menggunakan laras pelog 5 (lima) nada. Dari segi non-fisik, dapat dilihat bahwa bentuk tabuh untuk iringan tari joged ini banyak mengadopsi dari pola-pola kakebyaran (tari lepas).

Perbedaan Joged Bumbung dari awal terciptanya sampai sekarang tentu membawa banyak perubahan sebagai bentuk dari transformasi masa yang dialami. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud dapat dilihat dari unsur fisik maupun unsur non-fisik tari Joged Bumbung itu sendiri. Dari unsur fisik, bahwa awal penciptaan tari Joged Bumbung ini merupakan rasa spontanitas (ekspresi langsung tanpa terpolakan). Namun, belakangan ini perkembangan dari tari Joged Bumbung itu sudah terkoreografi dengan jelas dan lugas, bahkan pada awal tabuh pembukaannya itu ada yang menggunakan gending (reportoar) tari Panjisemirang, tari Margapati, dan lain-lain (dari segi non-fisik) tergantung dari apa yang direspon oleh penari terhadap lingkungan sekitarnya.

Intinya adalah pada awal penciptaan tari ini tidak ada suatu struktur atau pola yang mengikat, melainkan tarian ini timbul dari ungkapan-ungkapan yang spontanitas, dengan diberikanya ruang kepada para penonton untuk mengekspresikan rasa mereka terhadap apa yang sedang mereka rasakan dan mereka respon terhadap lingkungan sekitar. Ekspresi ini dituangkan dalam pola paibing-ibingan dengan tetap mengedepankan rasa estetis yang berpayung pada etika pementasan. Sedangkan di zaman sekarang jika dilihat dari unsur fisiknya, pementasan Tari Joged Bumbung telah banyak mengadopsi unsur-unsur dari luar, kemudian geraknya lebih tertata (telah diperhitungkan sebelumnya). Dari unsur non-fisik itu terlihat jelas pada gamelan pengiringnya, dimana sudah terjadi kolaborasi antara gamelan jawa (kendang sunda) dengan instrumen pendukung yang lainnya.

EKSISTENSI GONG KEBYAR DESA KEDIS DI DUNIA KAKEBYARAN

Gong Kebyar adalah sebuah ansambel gamelan Bali yang memiliki kefleksibelitasan yang paling tinggi. Sebab, gamelan yang pertama kali muncul di daerah Buleleng Dangin Enjung ini (Buleleng Timur) kian mengalami perkembangan yang begitu pesat baik dari segi fisiknya, maupun dari gaya musikalnya. Tidak hanya itu, jika kita bertanya pada seseorang, gamelan apa yang paling banyak digemari, maka sudah dapat  dipastikan jawabanya adalah Gong Kebyar. Hal ini terbukti dari masing-masing banjar yang sudah memiliki gamelan golongan baru ini. Tidak hanya itu, bahkan sekarang tiap-tiap sekolah, Universitas, maupun instansi-instansi kepemerintahan sudah memiliki Gong Kebyar. Munculnya Gong Kebyar di Bali Utara karena evolusi dari gamelan Gong Gede tidak serta merta dapat dijadikan suatu acuan menentukan gaya musikalnya. Sebab, berdasarkan fakta yang ada, pengaruh gamelan dari golongan madya yang lainnya masih dapat dirasakan, seperti gamelan Palegongan. Hal ini terbukti dari iringan Tari Wiranjaya yang diciptakan didesa Kedis pada tahun 1947.

Secara historis, Tari Wiranjaya dulunya (sebelum zaman revolusi) bernama Tari Kebyar Buleleng Dauh Enjung. Runtutan iringan musiknya menyerupai Kebyar Buleleng Dangin Enjung (Kebyar Legong). Namun setelah zaman revolusi, Tari Kebyar Buleleng Dauh Enjung ini disempurnakan menjadi Tari Wiranjaya oleh Bapak I Putu Sumiasa. Penyempurnaan yang dimaksud adalah mempersingkat periodisasi (limit waktu) reportoarnya, dengan tidak menghilangkan inti dan makna dari tari tersebut, sehingga menjadi seperti Tari Wiranjaya yang kita kenal sekarang ini. Tidak hanya Tarianya, pengaruh palegongan yang dipadukan dengan ekspresi ngebyar juga dirasakan pada Tabuh Kreasi ciptaan Kedis. Banyak Tabuh kreasi ciptaan Kedis yang dalam struktur musikalnya terdapat suatu pola gegenderan, yang dinamis, lembut, dan penuh dengan aksentuasi-aksentuasi sebagaimana gamelan Palegongan itu sendiri. Satu hal yang mencirikan tabuh kreasi dan tabuh iringan ciptaan Ketut Merdana dan Putu Sumiasa adalah dimasukkanya gegendingan Jawa pada bagian pengawak, ataupun pelayonan tabuhnya. Masuknya pengaruh Kejawen pada banyak karya I Ketut Merdana dan Putu Sumiasa adalah disebabkan karena pada masa itu beliau sering pergi ke Jawa untuk mengirim barang. Di sanalah beliau banyak mendapat inspirasi yang nantinya beliau tuangkan ke sebagian besar karyanya.

Dari segi kekaryaan, ciptaan Buleleng Barat selalu bersaing dengan ciptaan Buleleng Timur, seperti apa yang dikatakan oleh Prof.Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si dalam bukunya yang berjudul “Gong Kebyar Buleleng : Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar” yang menyebutkan :

Dangin Enjung menciptakan tari dan gending Trunajaya, Palawakya, dan Cendrawasih Bercumbu Rayu. Sedangkan Dauh Enjung melalui Ketut Merdana, Nyoman Sukandia,dan Putu Sumiasa dari Desa Kedis menciptakan gending dan tari Wiranjaya, Palawakya, dan Nelayan. Dalam kekaryaan, seniman dari kedua daerah budaya tersebut saling bersaing, apalagi pada saat mebarung masing-masing merasa bermusuhan tetapi hubungan individu sangat baik (Pande Sukerta, 2009 : 258).

Mencermati tulisan diatas, maka sudah dapat dipastikan Desa Kedis memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan Gong Kebyar di Kabupaten Buleleng. Hal ini terbukti dari banyaknya karya yang tercipta dari ketiga seniman Desa Kedis itu. Dari segi musikalitas, gending Buleleng Barat cenderung lebih lambat dibanding gending-gending Buleleng Timur. Hal ini dikarenakan letak geografis Buleleng Barat khusunya Desa Kedis yang berdekatan dengan Desa Bantiran, Pupuan, Kabupaten Tabanan, yang secara tidak langsung berpengaruh pada rasa musikalitas tabuh itu sendiri.

Sebelum kepada hasil dan pembahasan, maka secara spesifik lagi perlu diketahui gambaran mengenai Tabuh, maupun tabuh Tari dari ciptaan Ketut Merdana (alm), Nyoman Sukandia (alm), dan Putu Sumiasa, yang mana tabuh dan tarian inilah yang berhasil direkonstruksi dan disempurnakan oleh Putu Sumiasa bersama anaknya Dr. Dra Ni Luh Sustiawati M.Pd. Tabuh dan Tarian yang dimaksud adalah :

  1. 1.      TARI WIRANJAYA

 

Sebelum Gestok, tari ini bernama Kebyar Buleleng Dauh Njung, hal ini di karenakan pada masa itu, seniman Pan Wandres  menciptakan sebuah reportoar Kebyar Buleleng Dangin Njung yang kemudian di kembangkan dan di sempurnakan oleh Bapak I Gede Manik menjadi Terunajaya. Ini Merupakan bentuk persaingan secara sehat dibidangnya oleh dua seniman besar ini. Namun setelah zaman Gestok, tari ini di kembangkan oleh Bapak Putu Sumiasa dan Di beri nama Wiranjaya sebagai “Trunanya” Dauh Njung. Bentuk asli dari tari ini adalah menyerupai Kebyar Legong karya Pan Wandres tapi tidak sama. Hampir semua karya beliau merupakan perpaduan antara gending jawa dan Bali. Mengingat pada zamannya beliau sering pergi ke Jawa untuk mengirim barang. Hal inilah yang di jadikan acuan untuk mengetahui cirri khas dari karya – karya sang maestro, yang banyak melibatkan pola gegendingan jawa    ( Melodi Jawa ).

 

  1. 2.      TARI MERPATI

 

Merpati adalah sebuah burung, setiap hari bangun pagi dan di tandai dengan bunyi jam. Tari ini di ciptakan karena pada waktu itu buleleng timur mempunyai tari Cendrawasih Bercumbu Rayu Oleh Bapak Gede Manik. Tari ini tergolong unik, karena pada awal dari tabuh tari ini menyerupai suara jam besar   ( jam dinding besar ). Struktur dari tabuhnya menyerupai  bebatelan legong kraton sebagai penyalit dan pekaad ( ending). Di samping  tabuhnya yang unik, struktur tari ini adalah melakonkan penari putri sebagai burung merpati dan satu orang penari putra sebagai burung garudanya. Tari ini baru ini di gali dan di angkat kembali oleh seniman desa Kedis ( Bapak Putu Sumiasa ) dan anak beliau DR dra Ni Luh Sustiawati sebagai peñata dan penyempurna tarinya. Ni Luh Sustiawati merupakan salah satu dosen tari di ISI Denpasar, dan anak pertama dari Bapak Putu Sumiasa.

 

  1. 3.      TARI TENUN KEDIS

 

Tari Tenun versi Kedis sebenarnya hampir sama dengan yang aslinya. Hanya saja pada bagian inti ( pengawak ) saat menenun dari tari ini sedikit di aransemen  ( making a new version ) dengan menambahkan sedikit gending jawa.

Namun demikian, pada saat di wawancarai oleh penulis, Bapak Ketut Sumirta yang tidak lain anak bungsu dari Bapak Ketut Merdana menegaskan bahwa tari Tenun yang meciptakan ialah tetap pencipta aslinya yakni Nyoman Likes. Tetapi, Bapak Ketut Merdana dan Bapak Putu Sumiasa hanya sedikit memberikan perubahan guna mepertegas karakter ataupun ciri khas dari pada garapan-garapan beliau.

 

  1. 4.      TARI PALAWAKYA

    

Tari Palawakya Kedis merupakan sebuah tari yang tak lain diciptakan untuk menyaingi Tari Palawakya Buleleng Timur ( Jagaraga ). Namun tak di ketahui secara persis mana yang lebih dulu tercipta. Pada akhir dari Palawakya Kedis ini tidak mempergunakan gilak pepanggulan seperti halnya Palawakya Jagaraga, dan tak terdapat pola permaian terompong secara solo. Bentuk awal dari reportoar Tari ini adalah Kebyar, dan pada bagian pengawak banyak terdapat pola kendangan tunggal   (Pengiwa). Tari ini adalah karya almarhum Bapak Ketut Merdana dan Bapak Putu Sumiasa yang tidak memakai pakem atau pola gegendingan Jawa ( Kejawen ). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa lahirnya tari palawakya kedis ini adalah dalam masa penjajahan dan sebelum G30SPKI.

 

  1. 5.      TABUH KREASI GAMBANG SULING

 

Tabuh kreasi Gambang Suling merupakan hasil ciptaan Bapak Ketut Merdana yang di ciptakan sekitar tahun 1950-an dan marupakan prpaduan antara tabuh Bali dan Jawa. Pada awal penciptaanya tabuh ini hanya terdiri dari kawitan dan pengawak saja, namun, seiring perkembangannya, tabuh ini di berikan pekaad oleh Bapak Wayan Beratha. Tabuh ini berisi pola permaian suling Jawa pada pengawaknya. Lagu Gambang Suling disajikan pada bagian akhir yang disajikan dengan tempo yang pelan dan tanggung disajikan berulang-ulang (Pande Sukerta, 2009:213).

 

  1. 6.      TABUH KREASI KUNTUL ANGELAYANG

 

Gending Kuntul Angelayang diciptakan oleh Putu Sumiasa. Dalam gending tersebut penciptaanya menggunakan lagu Jawa Lela Ledhung yang biasanya dinyanyikan untuk menidurkan anak. Pada Gending Kuntul Angelayang, lagu Lela Ledhung diletakan pada bagian akhir, yang disajikan berulang-ulang dengan tempo tanggung (Pande Sukerta, 2009:213).

TRANSFORMASI JOGED BUMBUNG

Seni tari pada dasarnya adalah perwujudan ekspresi budaya (Dibia,2013:1). Seni tari merupakan ungkapan dari kompleksitas  nilai budaya Hindu-Bali yang diragakan melalui ragam gerak seorang manusia sebagai pelaku seni. Setiap gerak dan frase dalam menarikan tari Bali diikat oleh ruang dan waktu. Hal itu mencermikan konsep kosmologi, dan pandangan umat Hindu terhadap keseimbangan dalam banyak dimensi kehidupan. Tari sebagai ungkapan ekspresi jiwa seorang manusia, pada dasarnya terdiri dari berbagai macam jenis tari. Seperi yang kita ketahui, tari Bali terbagi menjadi : a) Tari Primitive, b) Tari Rakyat, dan c) Tari Klasik.

Salah satu yang akan dibahas di dalam paper ini adalah mengenai Tari Rakyat. Tari Rakyat adalah ungkapan kehidupan rakyat sehari-hari yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarat Hindu di Bali. Pada dasarnya tari ini merupakan tari pergaulan (social dance) yang dilakukan secara berpasangan atau duet. Bentuknya sangat sederhana karena tidak diikat oleh norma-norma tertentu. Salah satu tarian yang tergolong ke dalam tari rakyat adalah tari Joged Bumbung yang diperkirakan muncul di daerah Bali Utara (Buleleng) pada tahun 1946. Mengikuti pengklasifikasian tari menurut zamannya (Puspasari Seni Tari Bali oleh Prof. I Wayan Dibia), berarti tari Joged Bumbung merupakan sebuah tari pergaulan yang tergolong berkembang di zaman modern atau lebih dikenal dengan nama zaman Bali baru. Zaman ini menurut Bapak I Wayan Dibia berlangsung sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda, yakni dari awal abad ke-20 (1908)  hingga sekarang. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa dari sinilah terjadinya akulturasi budaya dengan masuknya pengaruh budaya Barat yang cenderung lebih mengungkapkan keluwesan dan kebebasan dalam berekspresi, tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya.

Seiring perkembangan zaman, pementasan tari Joged Bumbung telah banyak mengalami degradasi moral. Bahkan image tari Joged Bumbung kian tercoreng oleh segelintir komunitas yang mungkin ingin mendongkrak popularitas,  karena dalam pementasannya sering kali menampilkan adegan yang berbau porno aksi. Melihat fenomena yang ada, maka tidak ada salahnya jika kita kembali menengok ke belakang mengenai asal-usul tari Joged Pingitan sebagai pembanding terhadap kenyataan yang ada pada saat ini. Tari Joged Pingitan merupakan pengembangan dari Tari Legong (mungkin tari Legong yang dimaksud adalah tari Legong Keraton) ciptaan Bapak Dewa Rai Perid (alm), yang pada dasarnya merupakan sebuah seni pertunjukkan (seni tari) yang bersifat sekuler (non-religius). Disisi lain masih dalam literatur yang sama menyatakan bahwa, tari Legong diciptakan oleh Dewa Agung Made Karna. Tarian ini terinspirasi dari topeng-topeng Blambangan (Jawa Timur) yang berhasil dirampas oleh patih Ularan dalam sebuah perang melawan raja Blambangan (Raja Juru) ketika itu (Wayan Dibia, 2013:21, Kidung Pamancangah). Namun tari Legong ini menggunakan topeng. Sedangkan tari Legong yang kita kenal dengan nama Legong Keraton ciptaan Dewa Rai Perid pada tahun 1811 tidaklah menggunakan topeng. Setelah beberapa tahun kemudian di daerah Sukawati muncullah tarian sejenis Legong yang dinamakan Joged Pingitan, yang mana suasana pementasannya lebih bersifat informal (kerakyatan), tapi masih dalam ruang lingkup kerajaan.

Jika dihubungkan dengan keberadaan dari Lontar Prakempa, maka uraian di atas tentunya tidak jauh menyimpang dari isi lontar Prakempa yang menyatakan ada gamelan empat sekawan (Catur Muni-muni). Sebelum lebih lanjut menyimak dari isi nasehat Catur Muni-muni dalam Lontar Prakempa, perlu untuk diketahui bahwa Lontar Prakempa merupakan salah satu dari karya seni sastra yang menguraikan tentang gamelan Bali, yang di dalamnya berisi ramalan tentang pergolakan dunia. Dalam konteksnya dengan gamelan Bali, Prakempa kiranya dimaksudkan sebagai seluk-beluk gamelan Bali yang pada hakekatnya berintikan tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika) dan gagebug (teknik) yang bertalian dengan gamelan Bali (Prakempa sebuah Lontar Gamelan Bali oleh Dr. I Made Bandem 1986:1). Adapun isi lontar Prakempa yang dimaksud adalah sebagai berikut:

 

“Catur ngaran patpat, muni-muni ngaran gagambelan. Nyata gagambelan Smar Pagulingan ngaran Semara Aturu, gendingnya Pagambuhan maka gagambelan Barong Singa. Gagambelan Smar Petangian ngaran Smara Awungu, gendingnya pasesendonan maka gagambelan Legong Keraton. Gambelan Smar Palinggyan ngaran Smara Alungguh, gendingnya maka gagambelan Joged Papingitan, Gambelan Smar Pandirian ngaran Smara Ngadeg gendingnya Pakakintungan maka gagambelan Barong Ket”.

 

Mengutip dari isi nasehat Catur Muni-muni, maka dapat ditarik beberapa persepsi seperti munculnya gamelan Joged Pingitan pasti bersamaan dengan munculnya tarian Joged Pingitan. Atau persepsi yang kedua, munculnya tari Joged Pingitan dan tari-tari yang lain telah diramal jauh hari sebelumnya sehingga munculnya gamelan untuk mengiringi tari-tarian tersebut sudah ada sebelum tariannya ada. Persepsi di atas hanyalah sebagai intermezzo, karena munculnya keempat jenis gamelan tersebut tentu memiliki relasi dengan  fungsi tariannya di zaman sekarang. Keempat jenis gamelan tersebut pada hakekatnya digunakan untuk memeriahkan suasana istana pada waktu itu.

Banyak terdapat kesamaan antara tari Legong dan Joged Pingitan. Namun, mengutip pernyataan Bapak I Wayan Dibia yang mengatakan bahwa ada dua (2) hal penting yang membedakan tarian Legong dengan Joged, yakni yang pertama instrumen yang digunakan untuk mengiringi tari Legong itu banyak terbuat dari bahan kerawang. Sedangkan tari Joged pingitan instrumen pengiringnya banyak terbuat dari bambu.

Kemudian yang kedua bahwa suasana pementasan tari Legong itu bersifat formal (hanya bisa dipentaskan di kalangan istana), sedangkan tari Joged Pingitan suasana pementasannya bersifat informal atau lebih bersifat kerakyatan dengan adanya pola paibing-ibingan yang mana masih ada suatu pembatasan mengenai jarak antara penari dan pengibing. Mengikuti definisi Joged Pingitan, maka tidak salah kiranya jika penulis mengatakan bahwa Joged Bumbung itu pada hakekatnya adalah sebagai bentuk seni pertunjukkan kerakyatan yang mengadopsi dari pola-pola pementasan Joged Pingitan yang tentunya bersifat menghibur. Menghibur dalam tanda kutip masih mengedepankan nilai estetika, etika, logika dan pakem-pakem sebagai mana Joged Pingitan itu sendiri.

Melihat kenyataan sekarang, fokus seni pertunjukkan Joged Bumbung yang semula penuh dengan dengan suasana pergaulan yang ceria telah mengalami transformasi fungsi menjadi sebuah suguhan yang memamerkan adegan-adegan yang erotis dan mengundang birahi dari para penontonnya. Sehingga yang menjadi tantangan untuk seniman muda pada saat ini adalah bagaimana kita dapat mengembalikan fungsi dari tari Joged  (Joged Bumbung) sehingga berfungsi sebagai tarian komunal yang memang benar-benar menghibur. Menghibur dalam artian tetap memperhatikan unsur sebuah seni pertunjunjukkan yang meliputi, Etika, Estetika, dan Logika. Baik itu dilakukan pada saat even formal maupun even non-formal dalam kapasitas kita sebagai seniman yang memang benar-benar mengedepankan keajegan taksunya Bali.