ANGKLUNG KEBYAR

This post was written by okarudiana on Maret 22, 2018
Posted Under: Tulisan
YouTube Preview ImageABSTRAK
Seni merupakan sebuah kreatifitas yang terus menerus mengalami perubahan oleh seniman sendiri, dengan terus menggali dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi atau bisa dikembangkan dari sebuah media cipta menjadi sebuah karya seni baru. Seni karawitan merupakan salah satu dari bagian seni tradisional yang mengalami perkembangan begitu pesat dengan pengaruh-pengaruh unsur musik barat atau bisa dikatakan musik kekinian. Seorang pengerawit memainkan lagu dengan rasa indah itu sudah biasa dilakukan, kini pengerawit lebih mencari teknik dalam memainkan lagu, di mana teknik yang sulit menjadi tolak ukur keindahan dari sebuah karya seni karawitan, terlepas dari unsur-unsur tradisi yang selama ini membalut. Gambelan merupakan salah satu media bagi seniman dalam berkreatifitas. Di Bali pada khususnya terdapat beraneka jenis gambelan dengan karakteristik yang berbeda sesuai dengan daerah asal dari gamelan tersebut. Ada gamelan golongan tua, madyada golongan baru. Pada masyarakat Bali, gamelan sangat berperan penting dalam setiap kegiatan adat atau keagamaan, seperti Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya. Gamelan angklung merupakan salah satu jenis barungan gamelan Bali yang termasuk dalam golongan gamelan tua, menggunakan laras selendro, dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari bahan kerawang. Perkembangan angklung kebyar yang begitu pesat menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap eksistensi gamelan angklung. Apalagi generasi muda  semakin meninggalkan gending-gending klasik keklentangan. Menjadi sebuah tantangan bagi para seniman yang mencintai eksistensi gamelan angklung. Guna menjaga kelestarian barungan gamelan Bali dengan ciri khasnya masing-masing, tidak perlu menyeragamkan setiap barungan gamelan Bali menjadi kebyar, agar gamelan sebagai warisan leluhur dikembalikan pada fungsi dan karakteristik dari gamelan Bali.
 
Kata Kunci: Angklung, Keklentangan, Kebyar, Karakteristik, Kelestarian.
 
PENDAHULUAN
Berbicara musik tentu tidak terlepas dari yang disebut dengan bunyi, karena bunyi sebagai sumber suara dalam musik, setiap benda dapat mengeluarkan bunyi namun tidak semua bunyi tersebut bisa dikatakan sebagai musik. Alat musik bersumber dari beraneka ragam benda, yang kemudian melalui proses eksperimen dari seniman sendiri, kepekaan seniman dengan objek yang ada di sekitarnya menghasilkan beraneka ragam alat musik dengan sumber bunyi yang berbeda-beda.
 Gamelan merupakan salah satu dari alat musik tradisional yang memiliaki ciri khas tersendiri sesuai dengan suku, adat, budaya dan masyarakat pendukungya. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat dan budaya. Setiap daerah di Nusantara ini memiliki bentuk istrumen gamelan dengan sumber bunyi yang berbeda-beda.  Sudah tentu teknik memainkan dan karakteristik dari gamelan tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Pada setiap daerah, keberadaan gamelan mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda pula.
Bali merupakan salah satu daerah di wilayah Indonesia yang memiliki aneka ragam barungan jenis gamelan dengan bentuk dan ciri khasnya masing-masing. Keberadaa gamelan Bali ditemukan pada prasasti Bebetin, yang antara lain bunyinya :
“… pande mas, pande besi, pande tembaga, pemukul (juru tabuh bunyi – bunyian) pagending (biduan), pabunjing ( penari), papadaha (juru gupek), pabangsi (juru rebab), partapuka (tapel-topeng), parbwang (wayang) turun dipanglapuan singhamandawa (oleh  pegawai di Singhamandawa), di bulan basksha (bulan ke-10), hari pasaran wijaya manggala, tahun Saka 818 atau 896 Masehi …”. Tahun prasasti ini sezaman dengan masa pemerintahan Raja Ugrasena di Bali.
Dalam perkembangan sejarah, sejak abad ke-8 sampai pada abad ke-18 terjadi kontak antara Jawa dan BaIi, sehingga menyebabkan terbawanya banyak barang – barang kesenian, khususnya gamelan, kendatipun berupa instrumen yang terpisah. Bentuk gamelannya di buat dari besi, dan berbagai jenis – jenis gong yang ada di Bali merupakan instrument kebudayaan Asia Tenggara yang tergolong kebudayaan Melayu Kuna (Bandem I Made, 1986).
Dengan di temukanya prasasti Bebetin 896 Masehi, membuktikan keberadaan gamelan di Bali sudah ada dari zaman dulu, yang merupakan pengaruh atau di pengaruhi oleh kebudaayan dari jawa. Bisa dikatakan, gamelan Bali merupakan percampuran dengan gamelan Jawa, sehingga bila kita lihat, kemiripan instrumen itu ada. Yang membedakannya adalah dari segi laras dan teknik memainkanya, gamelan Bali terkesan dinamis. sedangkan gamelan Jawa terkesan lembut.
 Pada kebudayaan masyarakat Bali, gamelan sangat berperan penting dalam setiap kegiatan-kegiatan adat seperti, Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Pitra Yadnya. Hal ini bisa dibuktikan dari keberadaan gamelan di setiap desa pekraman dan bahkan, pada lingkup yang lebih kecil, pada setiap Banjar di Bali, hampir semuanya memiliki satu atau lebih perangkat gamelan. Banyaknya jenis gamelan di Bali bisa di kelompokan menjai tiga kelompok, yaitu gamelan golongan tua, madya dan baru.
1.  Gamelan Golongan Tua
Dilihat dari jenis – jenis barungan gamelan golongan tua, hampir setiap barunga jumlah instrumennya tidak begitu banyak dan yang menjadi ciri utamanya adalah tidak adanya intrumen kendang di dalam barungan gamelan golongan tua. Jika pun ada instrumen kendang, tetapi tidaklah berfungsi sebagai pemurba lagu atau pemimpin lagu, karena dalam gamelan golongan tua intrumen kendang hanya sebagai pelengkap. Beberapa contoh gamelan golongan tua adalah saron, gong besi, gong luang, salunding besi, gender wayang, dan angklung.
2.  Gamelan Golongan Madya
Gamelan golongan madya biasa disebut dengan gamelan golongan muda, karena keberadaan gamelan muda merupakan perkembangan atau pengembangan dari gamelan tua. Perbedaan dari barunganya bisa kita lihat dari jumlah instrumen yang lebih banyak dan beragam dari gamelan tua. Setiap barungan gamelan golongan muda menggunakan instrumen kendang. Dalam gamelan golongan muda, intrumen kendang memiliki fungsi yang begitu penting, karena kendang di sini merupakan pemurba lagu, yang mengatur perjalanan lagu, baik cepat, lambat, ngumbang ngisep, mulai dan berhenti. Beberapa contoh gamelan golongan madya adalah pegambuhan, semar pegulingan, pelegongan, dan bebarongan.
3.  Gamelan Golongan Baru
Dikatakan gamelan golongan baru, karena keberadaan barungan gamelan ini merupakan sebuah perkembangan dari seniman dalam pencapaian puncak pengembangan. Seperti misalkan, gamelan palegongan yang merupakan gamelan pelog lima nada. Pada perjalananya,  seniman dalam memainkan beberapa bentuk lagu menggunakan instrumen gangsa palegongan, hanya terdiri dari lima bilah, merasa kekurangan nada dan menemukan kesulitan dalam teknik memainkan innstrumen tersebut. Beranjak dari hal tersebutlah timbul keingan seniman untuk menambahkan jumlah bilah-bilah instrumen gangsa palegongan. Sehingga sampai pada saat ini instrument gangsa berjumlah 10 bilah dalam gamelan Gong Kebyar. Beberapa contoh gamelan golongan baru adalah gamelan gong kebyar, gamelan gong gede saih pitu, gamelan semarandana, gamelan baleganjur semarandana dan gamelan joged bumbung.
Setiap barungan gamelan yang diciptakan oleh leluhur masyarakat Bali, lahir bersamaan dengan fungsinya dengan adat dan ritual keagamaan di masing – masing daerah. Seperti halnya gamelan gender wayang yang di fungsikan dalam upacara manusa yadnya ( metatah ), gamelan baleganjur sebagai pengiring upacara Dewa yadnya dan Pitra yadnya (prosesi). Gamelan salunding oleh masyarakat Desa Tenganan, digunakan sebagai pengiring upacara adat megeret pandan. Gamelan angklung yang di fungsikan dalam upacara adat Pitra yadnya (ngaben). Hal ini membuktikan, bahwa keberadaan kesenian Bali khususnya gamelan, diciptakan untuk sarana pendukung dalam upacara keagamaan di Bali.
Perjalanan gamelan Bali begitu panjang. Jika dilihat dari perkembangannya, gamelan Bali mengalami perkembangan yang begitu pesat. Salah satu perkembangannya adalah dari segi fungsi gamelan itu sendiri, karena keberadaan gamelan Bali dulu hanya dimainkan ketika ada upacara agama atau adat. Dewasa ini gamelan dimainkan untuk sebuah kebutuhan, baik rokhani maupun jasmani. Sebagai barang seni, gamelan kini dimainkan sebagai seni pertunjukan yang menjadi penyebab munculnya nuansa-nuasa kekinian, baik dari segi teknik, tempo, dinamika, melodi dan penciptaan gending atau lagu oleh seniman, yang selalu ingin menciptakan sesuatu yang baru. Sehingga timbulah perubahan warna suara yang berbeda dalam instrumen yang sama.
 
PEMBAHASAN
Gamelan angklung merupakan salah satu jenis barungan gamelan Bali yang termasuk dalam golongan gamelan tua, menggunakan laras selendro, dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari bahan kerawang. Sesuai dengan desa-kala-patra, di setiap wilayah di Bali  memiliki adat yang berbeda dan memberikan pengaruh bagi kesenian, khususnya gamelan angklung. Sehingga jumlah nada gamelan angklung yang terdapat di Bali Utara berjumlah 5 nada, sedangkan di Bali Selatan berjumlah 4 nada.
Oleh masyarakat Bali,  gamelan angklung pada umumnya difungsikan sebagai pengiring upacara palebon atau ngaben. Laras salendro gamelan angklung mampu menyentuh rasa, mendorong hati ke dalam sebuah suasana sedih akan kehilangan kerabat atau orang terdekat dalam ritual pengabenan. Hal inilah yang membuat pola pikir masyarakat Bali ketika mendengarkan alunan gending angklung, terbayang akan perjalanan sang atma menuju ke sunia loka. Dengan kata lain, ketika mendengar gending angklung selalu ada pertanyaan, siapa ngaben? Dimana ada orang nyekah ?. Ini membuktikan keberadaan gamelan angklung sebagai pengiring upacara keagaaman di Bali, mampu membuat ciri khas akan sebuah ritual yang di lakukan.
Sebagai sebuah intrumen gamelan, sudah tentu angklung tak terlepas dari sentuhan – sentuhan estetis seniman karawitan Bali. Sebagai media ungkap, gamelan angklung mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik dari segi instrumen, teknik dan lagu atau gending. Jika kita lihat secara nyata instrument gamelan angklung terdiri dari : 1) Jegogan 2 tungguh, 2) Jublag 2 tungghu, 3) Suir atau curing 2 tungguh, 4) Pemade 4 tungguh, 5) Kantil 4 tungguh, 6) Riong 12 pencon, 7) Tawa-tawa 1 buah, 8) Kempur 1 buah, 9) Ceng-ceng ricik 1 buah, 10) Kendang kecil 1 pasang, 11) Suling kecil.
Menurut I Made Mindrawan, seorang tokoh seniman Angklung asal Br. Ketogan, Desa Taman, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung yang menggeluti gamelan angklung semenjak di bangku SMP, pada 1978 teknik memainkan gamelan angklung itu tidak perlu keras dan tidak perlu cepat. Oleh karena, bentuk instrumen dan larasnya salendro, lebih terkesan manis dan sedih. Pada saat itu, gamelan angklung menurut bapak dua anak ini, difungsikan dalam upacara Pitra yadnya (ngaben), namun karena terbatasnya gamelan, pada zaman itu gamelan angklung juga di fungsikan sebagai pengiring upacara adat Dewa yadnya (piodalan di pura). Dengan tetap menggunakan gending – gending angklung yang sebenarnya menurutnya secara estetis tidak adung (tidak cocok), gamelan angklung dimainkan di pura dengan gending keklentangan, seperti gending pamungkah, crucuk punyah, sekar mulet, giri asri, giri langu, rambut siwi dan lain-lain.
Hal inilah yang mengakibatkan gamelan angklung berevolusi dari angklung klentang menjadi angklung kebyar. Namun, menurut I Made Mindrawan yang sering di sapa Demin, hal itu terjadi karena sebagai pengerawait merasa terdesak keadaan. Saat itu di Br. Senapan Carang Sari ia mendapat tugas untuk ngayah mengiringi pertunjukan topeng, sedangkan hanya terdapat barungan gamelan angklung. Jika pertunjukan topeng diiringi tabuh keklentangan tidak mungkin, di sinilah akhirnya timbul ide kreatif untuk mentranformasi gending topeng yang ada di gamelan gong kebyar ke gamelan angklung. Iapun tak menyangka hal ini membawa perubahan besar pada gamelan angklung, khususnya di Daerah Kabupaten Badung, mulai dari tranformasi gending topeng, lelambatan, dan iringan tari, hingga gamelan angklung mengalami perubahan, guna menyeimbangkan dengan instrumen gamelan gong kebyar sesuai kebutuhan. Maka terjadilah penambahan instrument,  seperti sepasang gong gantung, bebende, sepasang kendang cedugan, kajar dan ceng-ceng kopyak. Sudahlah tentu teknik bermain angklung yang lembut dan halus menjadi ngebyar dengan teknik yang sama pada gamelan gong kebyar.
Pertanyaan saya kepada Bapak I Made Mindrawan, apakah bapak tidak kekurangan nada ketika mentranformasi gending gong kebyar pelog lima nada ke gamelan angklung salendro empat nada? Justru inilah yang menarik, hasil tranformasi olahan nada ini menimbulkan warna baru dalam karawitan Bali dan masyarakat pendukung menerima, serta merespon perubahan ini (wawancara di Kantor Dinas Kebudayan Kabupaten Badung, 2016).
 Seiring perjalanan waktu, angklung kebyar berkembang begitu pesat hingga setiap sekehe angklung memainkan pola kebyar dengan gending-gending gong kebyar, sulit membedakan mana gong kebyar dan mana angklung. Ditambah lagi, program pemerintah daerah yang menyelenggarakan festival angklung kebyar, mengakibatkan perkembangan angklung kebyar menjadi tren masa kini.
Penulis merasa prihatin akan perkembangan angklung kebyar yang menggrogoti gamelan angklung keklentangan yang semakin di tinggalkan masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh sedikitnya minat generasi muda untuk mempelajari tabuh angklung dan sulitnya seorang pelatih untuk menggiring sekehe angklung untuk belajar tabuh keklentangan. Sebagai seniman, penulis merasa prihatin akan keadaan ini, pemerkosaan dan pemaksaan yang tanpa sadar dilakukan pada gambelan angklung mengakibatkan angklung kehilangan identitas. Lembutnya alunan melodi angklung seakaan menggiring kita mengenang arwah sang atma dalam sebuah upacara ritual yang oleh masyarakat Bali di sebut Ngaben. Kini ngebyar bagaikan gong kebyar dengan gerakan penabuh yang seaakan-akan kesurupan di atas pentas. Menghantam dan menghujam instrumen angklung dengan keras dan cepat. Jika kita lihat Angklung sebagai sebuah instrument, memang sah-sah saja mendapat sebuah sentuhan baru yang di sebut kekinian. Secara etika, memainkan gambelan angklung dengan teknik gamelan gong kebyar itu merupakan pemerkosaan, karena bilah instrument angklung itu tidak memiliki bobot yang sama dengan instrumen gong kebyar. Oleh karena, pemade dan kantilan instrumen angklung itu dimainkan dengan pukulan yang halus menggunakan panggul atau alat pukul yang serupa dengan panggul gender wayang. Setidaknya kita bisa membedakan fungsi, teknik, dan karakteristik setiap gamelan Bali yang sesungguhnya sudah memiliki jiwa dan raga dalam setiap barunganya. Dilihat dari nilai estetikanya, angklung kebyar memang memberikan warna suara yang begitu menarik, karena olahan lima nada pelog ke empat nada salendro menemukan jalan yang begitu indah. Namun, keindahan dari teknik permainan angklung dengan gending-gending keklentangan memberikan suatu sentuhan yang mendalam bagi para penikmatnya.
Sebagai seniman yang menggeluti angklung dari semasa SMP sekitar tahun 1978, I Made Mindrawan sampai saat ini merasa ketakutan akan kehilangan gending-gending keklentangan, karena tipisnya minat masyarakat mempelajari gending angklung keklentangan. Ia sependapat dengan penulis, ingin mengembalikan karakteristik angklung dengan ciri khas gending kekletangan, dengan pinalis lagu menggunakan kempur dan gilakan kendang angklung kecil yang khas, dengan suaranya yang melengking. Hal ini juga membutuhkan peran serta pemerintah, khususnya di Kabupaten Badung untuk mengembalikan festival angklung kebyar menjadi festival angklung klentang, guna menumbuhkan kesadaran masyarakat akan fungsi dan karakteristik Gamelan Angklung.
SIMPULAN
Perkembangan angklung kebyar yang begitu pesat menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap eksistensi gamelan angklung. Keprihatinan penulis akan pandangan generasi muda yang semakin meninggalkan gending-gending keklentangan menjadi sebuah tantangan bagi para seniman yang mencintai eksistensi gamelan angklung. Guna menjaga kelestarian barungan gamelan Bali dengan ciri khasnya masing-masing, bukan menyeragamkan setiap barungan gamelan Bali menjadi kebyar. Sehingga tidak muncul generasi Kebyar berikutnya, seperti angklung kebyar, salonding kebyar, gong luang kebyar dan lain-lain. Mari bersama-sama kita kembalikan warisan leluhur pada fungsi dan karakteristiknya demi generasi dan eksistensi dari gamelan Bali.
PUSTAKAAN
Bandem, I Made. 1978. Ubit-Ubitan Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Denpasar : Ditjen Pendidikan Tinggi Departen Pendidikan dan Budayaan.
Djelantik, A. A. M. 1987. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental Ediai ke2. Denpasar : Proyek Pengambangan IKI Sub/Bagian Proyek Peningkatan/Pengembangan Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.
Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar :  Akademi Seni Tari

Comments are closed.

Previose Post: