Yearly Archives: 2014

Melasti, Tawur Agung, Pengerupukan, Nyepi dan Ngembak Geni; Dari Kisah Tentang Jempana, Penyucian Buana Alit dan Buana Agung

Posted by nyomanyudiawan on Juli 12, 2014
Tak Berkategori / Komentar Dinonaktifkan pada Melasti, Tawur Agung, Pengerupukan, Nyepi dan Ngembak Geni; Dari Kisah Tentang Jempana, Penyucian Buana Alit dan Buana Agung

Jum’at 23 Maret 2012. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya).

Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Rangkaian upacara tersebut berbeda-beda, tergantung dari Genius Local Wisdom dan urun rembug masing-masing daerah serta kebijaksanaan yang ditetapkan bersama. Salah satu rangkaian upacara tersebut adalah Melasti, atau disebut juga dengan Mekiyis, atau Melis.

Pada saat Melasti, berbagai [retima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Pada jaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, kearifan akal budi manusia melakukan modifikasi dengan membuat Jempana. Jempana adalah sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing.

Selain Melasti, terdapat pula Pecaruan / Tawur Agung.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “panglong ping 14 sasih kesanga”, umat Hindu melaksanakan upacara ”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis ”[[caru]]” (semacam sesajian) menurut kemampuannya. ”Buta Yadnya” itu masing-masing bernama ”Pañca Sata” (kecil), ”Pañca Sanak” (sedang), dan ”Tawur Agung” (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda [[Buta Kala]], dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. ”Caru” yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 ”tanding”/paket beserta lauk pauknya, seperti [[ayam brumbun]] (berwarna-warni) disertai ”tetabuhan” arak/tuak. ”Buta Yadnya” ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat .

”Mecaru” diikuti oleh upacara ”pengerupukan”, yaitu menyebar (nasi) tawur, mengobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu )sejenis bahan makanan), serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Mulai tahun 1990 an, di Bali pada saat Pengerupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai Ogoh-ogoh, sebagai perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut “Catur Brata Penyepian” dan terdiri dari ”amati geni” (tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), ”amati karya” (tidak bekerja), ”amati lelungan” (tidak bepergian), dan ”amati lelanguan” (tidak mendengarkan hiburan). Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 ”oton”/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan ‘matekep guwungan’ (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa , disebut dengan Ngeraja Sewala, upacaranya didahului dengan ”ngekep” (dipingit).
Konsep tersebut digunakan juga pada peralihan dari tahun lama ke tahun baru Caka, sehingga ada masa amati geni. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar “Sundari Gama” adalah “memutihbersihkan hati sanubari”, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.  Berisikan tentang ”Tiap orang berilmu (’’sang wruhing tattwa jñana”) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma /Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).”

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan pesta, berfoya-foya, berjudi, mabuk, adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.

Sehari setelah hari raya Nyepi adalah Ngembak Geni (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. ‘Ngembak Geni jatuh pada tanggal “ping pisan (1) sasih kedasa (X)”. Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (”ksama”) satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Çaka berakhir pada “panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X)”, dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).

Bagaimanakah pelaksanaan Melasti di Bali itu sendiri???

Bali memiliki budaya yang beragam di mana setiap hari kita dapat menemukan ritual Hindu di pulau, yang terkenal dikenal sebagai Pulau Seribu Pura dan Seribu Dewa. Salah satu upacara penting dalam ritual Hindu Melasti atau pemurnian Pratima (dewa simbol) dan simbol agama Hindu di pantai, segara, atau sungai. Upacara Melasti ini dilakukan setahun sekali, pada umumnya dilakukan tiga hari sebelum hari Nyepi atau tergantung pada aturan desa adat setempat. Pada perayaan Melasti, umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali membawa  simbol suci agama Hindu ke berbagai pantai dan sungai yang ada di Bali. Setelah Melasti, berbagai simbol suci, seperti tombak, pretima, akan disthanakan bersama-sama di Pura Desa hingga sehari / dua hari setelah Nyepi. Terkadang, terdapat kejadian yang unik selama prosesi Melasti berlangsung, di mana ada umat Hindu mengalami kesurupan (terjadinya alam luar kesadarannya), menari menangis, dan berbicara dengan tidak teratur.

 

BANJAR TANJUNG BUNGKAK KELOD DESA ADAT SUMERTA KELOD DENPASAR BALI

Posted by nyomanyudiawan on Juli 11, 2014
Tak Berkategori / Komentar Dinonaktifkan pada BANJAR TANJUNG BUNGKAK KELOD DESA ADAT SUMERTA KELOD DENPASAR BALI

Banjar, adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi BaliIndonesia di bawah Kelurahan atau Desa setingkat dengan Rukun Warga.

Banjar merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam suatu banjar juga tersusun kepengurusan atau istilahnya pemerintahan terkecil. Banjar di Bali dipimpin oleh seorang Kelihan Adat/Banjar yang sangat bersifat sosial atau ngayah (tanpa gaji bulanan). Dia akan dibantu oleh beberapa ‘prejuru’ banjar seperti; Petajuh (wakil kelian), Petengen (Bendahara), Penyarikan (sekretaris), Kelian Sekaa (ketua kelompok spt; kesenian gamelan, dsb.) dan yang terpenting yaitu Kesinoman (komunikasi ke anggota atau penghubung dalam basa Bali juga disebut “juru arah”).

Ada juga yang ditemui di bale banjar yang berfungsi sebagai ‘kantor’ untuk LPD atau Koperasi, sebagai sarana pendidikan pra-sekolah (Taman Kanak-Kanak) dan mungkin saja sudah ada bale banjar yang berfungsi sebagai “Restaurant atau Kafe” untuk yang berlokasi diarea rame wisatawannya seperti Kuta.

Selain fungsi berbeda dari bale banjar di yang saya sebut diatas, fungsi utama dari bale banjar masih tetap berjalan seperti; kegiatan Posyandu, “Sangkep” Anggota, kegiatan pelestarian kesenian Bali (Gamelan, Tari, Utsawa Darmagita, dsb.). Maka boleh dibilang Bale Banjar mempunyai fungsi dan arti yang sangat strategis bagi masyarakat Bali

Salah satu kegiatan politik terbesar seperti Pemilu-pun bisa sukses di Bali karena adanya sistem Banjar dengan Bale Banjar-nya. TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak perlu susah-susah untuk mencari lokasi untuk mendirikannya karena keberadaan Bale Banjar yang bisa disulap menjadi TPS untuk kepentingan Pemilu tersebut. Demikian pula pendataan pemilih seharusnya bisa dilakukan dengan mudah yaitu dengan menyerahkan kepada pengurus banjar bersangkutan, dikarenakan mereka-mereka itulah yang lebih tahu siapa masyarakat-nya dan penduduk pendatang yang tinggal di area lingkungan banjarnya.

Nah sekarang Saya akan mengulas tentang banjar Tanjung Bungkak Kelod Denpasar, yaitu Banjar Saya sendiri yang berada di Kota Denpasar. Banjar Tanjung Bungkak Kelod terletak di jln.Pandu Desa Adat Sumerta Kelod kecamatan Denpasar Timur. Banjar Tanjung Bungkak Kelod mempunyai Struktur Pengurus Banjar diantaranya adalah :

 

 

o   Kelihan Banjar (pemimpin Banjar )

  • I Nengah Aryana

o   Penyarkikan ( sekretaris )

  • I Keut Suwirya

o   Petengen ( bendahara )

  • I Ketut Susana

o   Seksi Kesenian

  • I Nyoman Yuda
  • I Wayan Sukarta

o   Pembantu Banjar

  • Kesinom
  • Kesinom
  • Kesinom
  • Kesinom

Setiap tahun, Banjar Tanjung Bngkak Kelod selalu mengadakan Bazar di Banjar sebagai penggalian dana untuk pembuatan ogoh-ogoh dan untuk keperluan yang lainnya juga seperti pembuatan baju,kamen,udeng,dan konsumsi. Di dalam mengadakan bazar ini perlu kebersamaan yang kompak dari pemuda, karena jika mengadakannya di Banjar, Banjar harus di dekorasi terlrbih dahulu agar Banjar terlihat lebih seperti tempat berpesta ataupun seperti Café.

Selain mengadakan Basar, Banjar Tanjung Bungkak Kelod juga pernah ikut dalam parade Gong Kebyar Wanita dalam Pesta Kesenian Bali ( PKB ) pada tahun 2012. Sebelum sampai ke panggung Arda Candra Art Centre, seke Gong Wanita Banjar Tanjung Bungkak Kelod Denpasar harus melewati lomba Gong Kebyar Wanita di di Puputan Denpasar, setelah lama berlatih di Banjar, ternyata kita menang dan wajib mengikuti PKB.

Banjar Tanjung Bungkak Kelod juga memiliki 1 barungan Gong Kebyar yang terdiri dari:

–        2 Ging Lanang Wadon

–        1 Kempur

–        1 Klemong

–        1 Bende

–        1 terompong

–        1 Riong

–        1 Kempli

–        1 Kajar

–        8 ceng-ceng kopyak

–        1 ceng-ceng ricik

–        2 Pengugal

–        4 Rencang Gede/Pemade

–        4 Rencang Cenik/Kantil

–        2 Jegog

–        2 Jublag

–        2 Penyacah

–        4 kendang Lanang Wadon

–        9 Suling gede

–        1 Suling cenik

 

Tabuh Pat Tegal Tamu

Posted by nyomanyudiawan on Juli 11, 2014
Tak Berkategori / Komentar Dinonaktifkan pada Tabuh Pat Tegal Tamu

Tabuh Pat Tegal tamu satu bentuk komposisi yang memiliki uger-uger dan jajar pageh yang telah dibakukan. Dilihat dari hukum pepadayang tertuang dalam jajar pageh pada bagian pengawak dan pengisep, tabuh pat adalahkomposisi yang memiliki empat pukulan kempur dan empat pukulan kempli dalam satu gong.Telah di sampaikan atas bahwa secara umum gending-gending lelambatan gaya Batubulandisajikan dalam format ngewilet dan periring, terutama pada bagian pengawak dan pengisep.Bila dihitung dengan mempergunakan hitungan peniti penyacah, yang menjadi bagian intitabuh pat memiliki ukuran 8 X16 ketukan dalam satu gong. Atau dapat dikatakan memiliki16 birama 4/4 dalam satu gong. Satu baris terdiri dari empat birama/frase yang ditandaidengan jatuhnya pukulan kempli dan kempur. Sama halnya dengan tiga komposisi diatas,tabuh pat memiliki struktur kawitan, pengawak, pengisep, dan pengecet. Hanya saja masingmasing bagian ini di mainkan secara terputus-putus, namun masih dalam satu kesatuankomposisi yang utuh.Pada bagian pengawak memiliki identitas tersendiri. Dari segi musikalitas tidak adanya variasi pada teknik permainan gangsa, hanya terjadi penonjolan-penonjolan instrumentasi yang sifatnya proporsional. Penonjolan ini disamping sebagai bentuk variasi juga sebagai penanda jatuhnya pukulan kempli dan kempur sembari mendukung pukulan kendang. Tidak adanya periring sebelum pengawak sebagaimana halnya lelambatan klasik gaya Badung. Periring dalam lelambatan gaya Badung merupakan melodi pengawak yang memainkan pola kekendangan pengisep dan disajikan dalam tempo yang lebih cepat.Sehingga memberikan kesan pengawak dalam bentuk singkat. Dalam tabuh pat gaya Batubulan ini setelah melakukan rangkaian melodi kawitan, dilanjutkan dengan pengawak ngewilet.

 

Pengawak di mulai oleh kendang kemudian disambut oleh trompong menjelang pada frase kedua. Terjadi jalinan pukulan kendang yang dirangkai dengan melodi trompong dan menjelang   pukulan kempur pertama, secara simultan kelompok gangsa memulai permainannya dengan motif pukulan norot. Pada bagian ini terjadi penonjolan dinamika atau ombak-ombakan yang dibawakan oleh gangsa selama satu frase pertama setelah kempur dan digantikan oleh reyong bersama dengan ceng-ceng kopyak dan berhenti menjelang frase keempat untuk memberikan tekanan supaya pukulan kempli menjadi lebih tajam. Kendang juga memberikan jalinan sebagai penanda jatuhnya pukulan kempli dan kempur. Ke-khasan lain dari pada tabuh pat gaya Batubulan adalah terletak pada pukulan kendang yang ngewilet. Sehingga Nampak sangat rapat dan sedikit lebih cepat dari lelambatan klasik gaya Badung. Pola kekendangan gaya Badung mengacu pada pola kekendangan asta windu yang terdapat pada komposisi palegongan. Lelambatan klasik gaya Badung memiliki pupuh kekendangan baku yang diambil dari pukulan kendang gledag gledug” pukulan yang lambat dan jarang. Memiliki tiga bagian yaitu pertama pengawit, kedua inti/penanda jatuhnya pukulan kemplidan kempur, dan ketiga menandakan jatuhnya pukulan gong. Hitungan /ketukan sama dengan peniti penyacah. Terdiri dari empat bait dalam satu baris yang diakhiri dengan pukulan jegog. berbeda halnya kekendangan gaya lelambatan Batubulan. Memiliki pukulan yang lebih cepat dan rapat empat kali lebih cepat dari peniti penyacah. Tidak mengacu pada pupuh kekendangan asta windu, dan terkesan hanya memberikan komando dinamika, dari pada sebagai penanda pukulan kempli dan kempur, walaupun hal itu terjadi. Persamaannya adalah juga terdiri dari tiga bagian yaitu, bagian pengawit, bagian inti, dan bagian akhir untuk mencari atau menuju pukulan gong. Hanya saja sebelum mencapai gong terjadi break/putus pada jatuhnya pukulan kempur yang ke empat sebagaimana lelambatan gaya Gianyar pada umumnya. Untuk menuju ke pengisep terjadi penyalit/melodi perantara untuk menuju tonika pengisep yang dimulai dari setelah jatuhnya pukulan kempur ke empat.Pada bagian pengisep tidak jauh berbeda dengan pengawak. Pada bagian ini memiliki musikalitas hampir sama dengan pengawak, tidak adanya variasi pukulan gangsa seperti kombinasi norot dan oncang-oncangan. Hanya terjadi dinamika dan penonjolan instrumentasi yang sifatnya proporsional untuk mendukung pukulan kendang. Hanya saja pada bagian pengisep ini dimulai oleh instrumen trompong. Pada bagian pengecet terdiri dari tiga bagian. Yaitu bebaturan, ngembat dan tabuh telu. Pada umumnya bebaturan terdiri dari 16 ketukan dalam satu gong yang diulang-ulang dengan memperhatikan irama, tempo dan dinamika. Berbeda halya dengan bentuk bebaturan gaya badung yang memainkan irama dalam dua bentuk yaitu bentuk pelan dan cepat/seseg. Dalam lelambatan gaya batubulan, tidak adanya permainan irama. Pengambilan bebaturan ini dimulai oleh trompong. Setelah melakukan pengulangan dengan permainan tempo dari cepat menjadi lambat, akhirnya putus pada jatuhnya pukulan gong pada standar tempo lambat yang diinginkan. Dilanjutkan dengan pola ngembat yang dimulai oleh trompong. Pola ngembat merupakan bentuk ngewilet dari bebaturan terdiri dari empat baris dalam satu gongan. Setiap baris terdiri dari delapan ketukan yang ditandai dengan jatuhnya pukulan instrumen penanda seperti jegog, kempli dan kempur hingga berakhir dengan pukulan gong. Pola ini terdiri dari dua gongan dengan tonika nada tinggi dan nada rendah yang diulang-ulang secara bergantian. Peralihan dilakukan pada tonika nada rendah langsung menuju tonika tabuh telu. Tabuh telu sebagai tabuh telu pekaad untuk mengakhiri komposisi tabuh pat ini, memakai satu rangkaian melodi yang di ulangulang (ngubeng) untuk ketiga struktur tabuh telu. yakni, pemalpal, pengawak, dan pekaad. Sedangkan pengolahan pola dinamika/ombak-ombakan, teknik permainan dan tempo samadengan pola tabuh telu lepas gaya Batubulan sendiri.

 

Tabuh Pat, Gaya Badung

Sebagaimana penjelasan tabuh di atas, komposisi tabuh pat merupakan salah satu bentuk komposisi tabuh lelambatan yang memiliki uger-uger dan jajar pageh pengawak dan pengisep yang terdiri dari empat pukulan kempur dan empat pukulan kempli dalam satu pukulan gong. Bila dihitung dengan mempergunakan peniti penyacah, ukuran pengawak dan pengisep yang menjadi bagian inti tabuh pat memiliki ukuran 16 X 16 ketukan dalam satu gong. Sama halnya dengan tiga jenis komposisi di atas, komposisi tabuh pat juga memiliki struktur inti yang terdiri dari pengawit, pengawak, pengisep dan pengecet. Dalam struktur penyajian komposisi lelambatan tabuh pat gaya Badung terdapat periring yang biasanya ditempatkan pada bagian awal dan ditengah-tengah. Periring berarti memainkan atau membaca   nada-nada pokok sebuah kalimat lagu. Walaupun di dalam struktur tabuh lelambatan pagongan, bagian periring ini tidak tercantum dalam pencatatan notasinya, Menurut I Wayan Berata seorang empu karawitan, penyajian periring pada bagian awal dari sebuah lelambatan akan memberikan suatu kekuatan dalam hal tempo dan dinamika terhadap penyajian lelambatan tersebut. Adapun periring dari sebuah tabuh lelambatan melodinya diambil dari pada melodi bagian pangawak namun pola pukulan kendang yang dipergunakan adalah pola kekendangan pangisep. Adanya hal tersebut disebabkan karena melodi pengawak yang diperiring-kan dimainkan dengan tempo yang lebih cepat dari standar tempo yang biasanya dimainkan pada bagian pengawak. Adanya percepatan tempo ini terkadang menimbulkan kesan bahwa melodi pengawak yang dimainkan lebih pendek. Dilain pihak, dalam bentuk penyajian lelambatan kreasi baru bagian ini dimainkan dengan berbagai variasi teknik permainan seperti kotekan (jalinan melodi pukulan polos dan sangsih) permainanRereyongan. Penyajian bagian pengawak dan pengisep dari tabuh lelambatan gaya Badung memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan gaya-gaya lainnya di Bali. Ke-khasan tersebut dapat disimak dalam musikalitasnya, teknik instrumentasi dan  penonjolanpenonjolan instrumen baik dalam tata penyajian lelambatan klasik maupun kreasi. Dari aspek musikalitasnya, tabuh pat lelambatan gaya Badung dimainkan dalam tempo yang sedang dengan dinamika serta pembagian penonjolan instrumen yang proporsional. Penempatan variasi oncang-oncangan pada instrumen gangse, dan ceng-ceng kopyak disamping memberikan kesan penonjolan, juga memiliki makna tersendiri sebagai sebuah tanda jatuhnya pukulan kempur dan kempli. Oncang-oncangan ganse dipergunakan untuk menandakan jatuhnya pukulan kempli sedangkan ceng-ceng kopyak digunakan sebagai tanda jatuhnya pukulan kempur. Penanda lainnya yang paling berperan penting dalam penyajian pengawak adalah motif pukulan kendang. Tabuh lelambatan gaya Badung memiliki pupuh kekendangan yang baku. Mengacu pada pupuh kekendangan asta windu yang terdapat pada komposisi tabuh pelegongan, pupuh kekendangan yang dimainkan pada bagian pengawak juga terdiridari beberapa bagian. Pada bagian pertama sebagai pengawit, bagian kedua yang 6 menandakan jatuhnya kempli dan kempur, dan bagian terakhir untuk menandakanjatuhnya pukulan gong. Selain tabuh pat, komposisi lelambatan yang sejenis adalah tabuh nem dan tabuhkutus. Komposisi ini memiliki banyak persamaan yang dapat dilihat dari struktur dan komposisinya. Perbedannya hanya terdapat pada jumlah pukulan kempur dan kempli yang terdapat di dalamnya. Tabuh pat di dalam satu gong pengawak dan pengisepnya hanya terdapat empat pepade atau angsel yang ditandai dengan jatuhnya pukulan kempur dan kempli. Sedangkan ukuran tabuh nem dan tabuh kutus, sebagaimana namanya pada bagian pengawak dan pengisep yang merupakan bagian inti (main body) masing-masing memiliki nem (enam) dan kutus (delapan) pepade atau angsel. Adanya perbedaan ini berpengaruh pada ukuran panjang dan pendek lagu yang dimainkan. Bila dihitung dengan mempergunakan peniti penyacah, bagian pengawak dan pengisep lelambatan tabuh nem memiliki ukuran 16 X 24 ketukan dalam satu gong, sedangkan tabuh kutus ukurannya lebih panjang lagi yaitu 16 X 32 ketukan dalam satu gong.

 

RANGDA DAN BARONG

Posted by nyomanyudiawan on Juli 11, 2014
Lainnya / Komentar Dinonaktifkan pada RANGDA DAN BARONG

 IMG_0125

Rangda dan Barong selama ini diyakini oleh masyarakat Hindu Bali adalah berupa kesenian yang bersifat sakral. Namun dari mana asal usul kesenian ini, masih banyak dikalangan kita buta tentang hal itu, bahkan diantara kita ada yang beranggapan kesenian Rangda dan Barong berasal dari pengaruh budaya asing. Sumber yang perlu dikaji seperti Tatwa Kanda Empat Buta atau Eka Aksara, Dwi aksara, Tri Aksara, Panca aksara, Dasa aksara dan Wereastra, karena ini erat hubungannya dengan Tuhan termasuk Buwana Agung dan Buwana Alit. Ada yang mengatakan pulau Bali masih kosong dan manusia yang ada seperti sekarang konon berasal dari Jawa Timur dan India. Dimana ada suatu Desa yang mayoritas penduduknya umat Hindu Bali di situ kelihatan berkembang dengan subur, pada tiap-tiap rumah tangganya terdapat bangunan suci Sanggah dan didesanya ada Pura Tri Kahyangan, Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Desa. Begitu pula ditiap-tiap lokasi tanah kuburan, disitu ada Mrajapati, termasuk Hari Raya Nyepi, Galungan dan Kuningan, secara semarak hanya dirayakan oleh umat Hindu khususnya.

 

Pengertian Rangda :

Rangda artinya Ruang dan Ruang ini maksudnya adalah untuk menunjukan tempat dan tempat ini artinya Bumi (Ibu). Da artinya Ida/Beliau dan hal ini maksudnya, apabila kita menyebut nama Rangda berarti kita sedang membicarakan nama Ibu. Ibu ini artinya sama dengan Api, Dewanya Bhatara Brahma, yaitu berfungsi sebagai pencipta dan pelebur. Api ini juga artinya sama dengan Surya/Matahari. Untuk mengilustrasikan sifat Api yang demikian itu agar cocok dengan sifat yang dibawanya disitu lalu para pelukis di zaman dahulu menggoreskan dan menulis dalam wujud yang serba aneh, bermuka seram dan bertaring, tubuh tinggi dan besar, sehingga membuat takut dan ngeri bagi umat manusia yang melihat. Berdasarkan pengertian itulah makanya wujud ibu dapat digelar seperti Rangda sehingga Rangda ini disebut Jero Luh berfungsi sebagai tempat.

 

Pengertian Barong :

Barong artinya Bar/Bor dan Bor inilah yang kemudian disebut sebagai poros, karena keberadaan itu selalu berada ditengah-tengah serta fungsinya suka ngebor bagian tengah. ONG artinya O dan NG yaitu O menggambarkan sebelum ada apa-apa, ketika itu suasana kosong blong, tanpa pangkal dan tanpa ujung bulat bagaikan bola. Dengan demikian arti dari ONG adalah bertujuan untuk menyebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan hal ini artinya sama dengan Ibapa. Jadi bila kita menyebut nama Barong berarti kita sedang membicarakan sifat Tuhan dalam wujud Ibapa. Lalu Ibapa Dewanya disebut Bhatara Wisnu, Beliau ini berfungsi sebagai Maha Pemelihara untuk memelihara kehidupan diatas langit dan dibawah langit. Banes artinya Banyeh//Banyu dan Banyu yang dimaksud sama halnya dengan air. Jadi yang mendominasi adanya Ari-ari adalah air dan air itu Dewanya Wisnu, lalu menduduki arah utara. Lalu Pati artinya Mati. Raja artinya kepala dan kedudukannya berada diatas segala-galanya.

 

 

 

Pengertian Rangda dan Barong :

     Menurut Tatwa Kanda Empat Buta yaitu ketika sebelum ada apa-apa, disitu hanya ada kehidupan, yang memiliki fifat super prima dan Maha dari segala-galanya. Kejadian yang demikian itu, lalu diberi nama Sanghyang Eka Premana, artinya disitu hanya baru Satu ada kehidupan, yang bersifat Trasedental. Didalam lokasi Pura Dalem, pelinggih yang perlu dibangun adalah :

  1. Gegedongan sebagai tempat Bhatara Dalem ( Hyang Ibu)
  2. Padmasari sebagai tempat  I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan (Hyang Ibapa)
  3. Padmasana sebagai tempat Sang Hyang Tiga Sakti
  4. Taksu Agung sebagai tempat I Ratu Sang Hyang Gilimaya
  5. Piasan sebagai tempat berias Ida Bhatara

 

Dibali sering disebut dengan nama Bayu Sabda Idep dan Taksu Agung. Adapun ketiga nama itu diartikan sebagai berikut :

  1. Bayu artinya bekerja dan berusaha sebaik-baiknya
  2. Sabda artinya berbicara dan berkatalah sebaik-baiknya
  3. Idep artinya berpikirlah sebaik-baiknya
  4. Taksu Agung adalah Sifat Tuhan yang berbeda-beda

 

Perwujudan Rangda Sebagai berikut :

  1. Diatas kepala Rangda nampak keluar Api
  2. Rangda itu matanya melotot dan mukanya seram menakutkan
  3. Rangda itu mulutnya lebar, giginya nampak dan bertaring, lidah panjang mengeluarkan Api
  4. Rambut Rangda itu terurai panjang
  5. Buah dada Rangda itu keluar
  6. Kuku tangan Rangda itu panjang
  7. Rangda berpakaian diatas lutut
  8. Rangda menari kesana kemari
  9. Rangda menari-nari dan bersandar kesana kemari terus sambil mencari kutu
  10. Rangda itu memanggil Ibanas Pati Raja
  11. Rangda ngeregepang japa mantra dan mukanya ditutupi kudung

 

 

Perwujudan Barong Sebagai berikut :

  1. Kepala Barong itu memakai ketu, menyerupai topi seorang pendeta
  2. Barong itu berkuping lebar
  3. Barong itu matanya melotot dan tidak berkedip
  4. Barong itu bermuka merah
  5. Mulut Barong itu tersenyum lebar
  6. Barong itu ekornya kitir-kitir
  7. Barong itu menari-nari dan bulunya terungkap-ungkap
  8. Barong itu menari-nari sambil melihat kiri kanan
  9. Barong itu menyerupai macan/sings
  10. Barong itu kadang dibentuk menyerupai babi

Jadi Rangda dan Barong yang selama ini berkembang dilingkungan umat Hindu Bali pda dasarnya adalah merupakan filsafat untuk menceritakan tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam pengejewantahannya disebut sebagai Maha Ibu dan Maha Ibapa. Adapun kaitannya dengan aksara Bali yaitu Rangda disebut ONGKARA NGADEG dan Barong disebut ONGKARA SUMUNGSANG, serta Rangda juga disebut berbunyi ANG dan Barong disebut berbunyi AH.

Rangda dan Barong yang berkembang, dilingkungan umat Hindu Bali khususnya, adalah sebagai akar budaya spiritual Bangsa Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya. Tari Rangda dan Barong pada dasarnya adalah untuk menceritakan sifat Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam hal ini disebut sebagai unsure Dualistik, berperan sebagai cikal bakal yang Maha mampu, akan menciptakan kehidupan apa saja termasuk umat manusia. Sehingga akhirnya kehidupan apapun yang tumbuh berkembang diatas Bumi dan dibawah langit semua itu berasal dari unsure yang dimaksud.

Ogoh-ogoh

Posted by nyomanyudiawan on Juli 11, 2014
Lainnya / Komentar Dinonaktifkan pada Ogoh-ogoh

            Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala mempresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala yang digambarkan sebagai sosok yang besardan menakutkan ; biasanya dalam wujud Rakshasa.

Selain bentuk Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga dan Neraka, seperti :Naga, Gajah, Widyadari, bahkan dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin Dunia, Artis atau tokoh Agama bahkan Penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris.

Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhut Kala, dibuat menjelang hari Nyepidan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari pengrupukan, sebelum Hari Raya Nyepi.

Menurut para Cendekiawan dan Praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dahsyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup , khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan sendiri dan seisi Dunia.

Ogoh-ogoh adalah boneka besar yang berwujud raksasa atau setan yang merupakan simbol keburukan dan keangkaramurkaan sehingga nntinya dibakar sebagai harapan agar keangkaramurkaan itu sirna.

Sejarah Ogoh-ogoh

            Nama Ogoh-ogoh itu sendiri diambil dari sebutan Ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah Ogoh-ogoh di Balli. Ketika itu ada keputusan Presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur Nasional. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudia disebut Ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.

Budaya baru ini semakin menyebar ketika Ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke  II. Ogoh-ogoh ini dimaksudkan mengembalikan Bhuta Kala ke tempat asalnya. Sebelumnya ada tradisi Barong Landung, Traisi Ndong Nding dan Ngaben ngwangun yang menggunakan Ogoh-ogoh Sang Kalika, bisa juga merujuk sebagai cikal bakal wujud Ogoh-ogoh,

Di dalam Babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang Putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan Pangeran Raden Dotanta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua Ogoh-ogoh berupa Laki-laki dan Wanita mengelilingi Desa tiap sasih ke enam sampai Kesanga. Visualisasiwujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagaicikal bakal lahirnya Ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.

Pengumpulan Dana Dalam Pembuatan Ogoh-ogoh.

Para pemudadi setiap banjar (organisasi setingkat di bawah desa/kelurahan) hamper pasti membuat ogoh-ogoh sekitar sebulan hari raya Nyepi. Organisasi pemuda di banjar biasanya disebut STT (Sekeha Teruna Teruni). Mereka biasanya menggunakan dana kas STT untuk membuat ogoh-ogoh, ditambah dengan dana sumbangan yang mereka pungut ke warga banjar perusahaan-perusahaan di lingkungan banjar masing-masing.

Terkadang pemungutan sumbanagan ini menjadi pemicu masalah. Biasanya ada saja oknum yang mencoba mengambil keuntungan dari pemungutan sumbangan ini, belum lagi ada yang merasa dipaksa untuk menyumbang dana ogoh-ogoh. Namun masalah seperti itu tidak sering terjadi, organisasi pemuda dan banjar biasanya sudah mengantisipasi masalah itu.

Asal tahu saja, dana pembuatan ogoh-ogoh tidaklah sedikit, umumnya sekitar 5 sampai 10 juta, bahkan ada yang lebih. Itu baru untuk pembuatan ogoh-ogoh, belum untuk konsumsi, pembuatan baju,dan biaya lain ketika pengarakan ogoh-ogoh. Maka di jaman sekarang banyak ogoh-ogoh yang tidak langsung dibakar setelah selesai di arak. Kalau jaman dulu, selesai diarak, ogoh-ogoh biasannya langsung dibakar.

Ogoh-ogoh biasanya dibuat dengan bahan dasar kayu, bamboo, kertas lalu di cat sedemikian rupa. Belakangan ini ogoh-ogoh lebih banyak dibuat dengan bahan dasar gabus. Pembuatan ogoh-ogoh umumnya didominasi oleh para pemuda, namun ada juga anak-anak dan orang tua.

Pengarakan Dan Lomba Ogoh-ogoh

Pengarakan ogoh-ogoh umunya dilakukan sehari sebelum Nyepiatau biasa disebut dengan hari Pengrupukan. Mulai sekitar pukul 18.00 ogoh-ogoh sudah muali diarak keliling desa atau kelurahan hingga kembali ke banjar masing-masing sekitar pukul22.00, di beberapa tempat bahkan hingga larut malam.

Belakangan juga semakin marak dibuat lomba untuk ogoh-ogoh. Jadi ogoh-ogoh yang dilombakan selain diiringi gamelan balaganjur juga disertai dengan para penari dan dipentaskandengan cerita dalang sedemikian rupa menjadi sangat menarik untuk ditonton. Di beberapa tempat karena banyak jumlah ogoh-ogoh, makah pengarakan ogoh-ogoh kadang sudah dimulai sejak siang. Ada juga lomba ogoh-ogoh yang digelar beberapa hari sebelum Pengrupukan, jadi di malam Pengrupukan hanya digunakan untuk mengarak ogoh-ogoh.

Nyepi memang tidak bisa dipisahkan dari ogoh-ogoh.pembuatan ogoh-ogoh merupakan ajang untuk mencurahkan rasa seni dan segala unek-unek para pembuatnya yangbiasanya masih berjiwa muda. Maka tak jarang bentuk ogoh-ogoh mencerminkan “aspirasi” mereka. Namun kadang pernah jugapembuatan ogoh-ogoh dilarang ketika menjelang Nyepi.

Biasanya itu disebabkan karena menjelang momen pesta politik. Karena pembuatan ogoh-ogoh seringkali ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu yang ujung-ujungnya terjadi gesekan dan bentrokan ketika malam Pengrupukan. Dari sisi pemuka agama Hindu, pengarakan ogoh-ogoh juga pernah mendapat kritikan.

Karena secara logika, ogoh-ogoh merupakan wujud “Bhuta kala” / kekuatan jahat ini konon akan Somya (berubah) menjadi baik setelah dilakukan upacara mecaru (sore hari). Jadi pada saat itu semua Bhuta Kala (termasuk dalam diri) sudah sirna. Pengarakan ogoh-ogoh di malam hari ini dianggap malah kembali membangunkan Bhuta Kala tersebut.

Entahlah, kenyataanya pengarakan ogoh-ogoh tetap dilakukan di Pengrupukan yaitu malam menjelang Nyepi. Dan dapat dipastikan mulai sore hingga malam tersebut kondsi lalu lintas akan lumpuh total, apalagi di pusat-pusat kota. Besok paginya, di hari raya Nyepi suasana akan sangat hening selama sehari semalam. Namun bagi anda yang belum puas melihat ogoh-ogoh, coba saja berkeliling lagi di hari Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi). Karena seperti yang saya jelaskan diatas, ogoh-ogoh yang menghabiskan banyak biaya tersebut tidak langsung dibakar. Bahkan biasanya ada tulisan “for sale” di depan ogoh-ogoh itu.