SENI RUPA ISLAM INDONESIA 2
Oleh Agus Mulyadi Utomo
Istilah Islam dan seni rupa mengantarkan untuk memahami pertumbuhan atau perkembangan dan penyebaran agama Islam serta proses integrasi masyarakat di Indonesia abad 16 – 19. Dengan memahami pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran agama Islam serta proses integrasi masyarakat yang ada di Indonesia, maka diharapkan tumbuh kesadaran dalam diri ummat untuk menghargai dinamika masyarakat Indonesia sehingga dapat memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam membahas proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam serta wujud akulturasinya di Indonesia, adalah juga membahas kerajaan-kerajaan Indonesia yang bercorak Islam, sehingga ada uraian proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia dan contoh wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam serta filsafat Islam dalam seni bangunan, seni rupa, aksara dan sastra atau kaligrafi, system pemerintahan dan sistem kalender.
Adalah “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah’, begitulah ungkapan petualang Muslim asal Maroko, bernama Ibnu Batutta, bagaimana menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan pada Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada tahun 1345 Masehi. Dalam catatan perjalanan berjudul “Tuhfat Al-Nazha”, Ibnu Batutta menuturkan, pada masa itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Jauh sebelum ‘Sang Pengembara Muslim’ itu menginjakkan kakinya di kerajaan muslim pertama di Nusantara itu, seorang penjelajah asal Venicia, Italia bernama Marco Polo pada tahun 1292 M. Marco Polo bertandang ke Samudera Pasai saat menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari China ke Persia. Bersama 2.000 pengikutnya, Marco Polo singgah dan menetap selama lima bulan di bumi ‘Serambi Makkah’ itu. Dalam kisah perjalanan berjudul “Travel of Marco Polo”, pelancong dari Eropa itu juga mengagumi kemajuan yang dicapai kerajaan yang terletak di Aceh tersebut. Sejarah mencatat, Kerajaan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang sempat menjadi adikuasa dunia. Jika Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada tahun 1385 M, maka Samudera Pasai sudah mengibarkan bendera kekuasaannya di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1297 M. Raja pertama Samudera Darussalam bernama Merah Silu.
Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan asal-muasal penamaan kerajaan yang berada di pantai utara Sumatera. Syahdan, suatu hari Merah Silu melihat seekor semut raksasa yang berukuran sebesar kucing. Merah Silu yang kala itu belum memeluk Islam menangkap dan memakan semut itu. Dia lalu menamakan tempat itu Samandra. Tak semua orang percaya kisah yang berbau legenda itu. Sebagian orang meyakini kata Samudera berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘laut’. Sedangkan kata Pasai diyakini berasal dari Parsi, Parsee atau Pase. Saat itu, banyak pedagang dan saudagar muslim dari Persia-India alias Gujarat singgah ke Nusantara. Merah Silu kemudian memutuskan untuk masuk Islam dan berganti nama menjadi Malik Al-Saleh. Dia mulai menduduki tahta Sultan Samudera Pasai pada tahun 1297 M. Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai bersamaan dengan melemahnya dominasi Kerajaan Sriwijaya. Konon, Malik Al-Saleh bukanlah pendiri Kerajaan Samudera Pasai. Ada yang menyebutkan kesultanan itu didirikan Nazimuddin Al-Kamil, seorang laksamana laut asal Mesir. Sekitar tahun 1283 M, Pasai dapat ditaklukan Nazimuddin. Ia lalu mengangkat Merah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al-Saleh. Di bawah kepemimpinan Malik Al-Saleh, Samudera Pasai mulai berkembang. Tahta Malik Al-Saleh yang berkuasa selama 29 tahun akhirnya diganti Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297 M – 1326 M).
Pada era kepemimpinan Al-Zahir, Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya. Ibnu Batutta yang berkunjung di era kepemimpinan Al-Zahir mencatat berbagai kemajuan yang telah dicapai Samudera Pasai. Menurut Battuta, Samudera Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah begitu berkembang pesat. Hal itu dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang emas. Batutta juga tak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat kerajaan itu. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Di masa keemasannya, Samudera Pasai pun menjelma menjadi pusat perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para pedagangan dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia, Afrika, China dan Eropa. Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Di abad ke-13 M hingga awal abad ke-16 M, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada sekitar 8.000 hingga 10 ribu bahara. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus serta emas. Sebagai alat tukar perdagangan, Samudera Pasai sudah memiliki mata uang emas, yakni dirham. Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan yang istimewa. Mereka tak dipungut pajak. Biasanya para saudagar dari Jawa menukar beras dengan lada.
Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai juga memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Tanah Air. Samudera Pasai banyak mengirimkan para ulama serta mubaligh untuk menyebarkan agama Allah SWT ke Pulau Jawa. Selain itu, banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai. Salah satunya adalah Syekh Yusuf seorang sufi dan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan.
Konon, Sunan Kalijaga merupakan menantu Maulana Ishak, Sultan Pasai. Selain itu, Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di wilayah Cirebon serta Banten ternyata putera daerah Pasai. Dengan demikian Wali Songo merupakan bukti eratnya hubungan antara Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Pulau Jawa.
Kesultanan Samudera Pasai begitu teguh dalam menerapkan agama Islam. Tak heran, bila kehidupan masyarakatnya juga begitu kental dengan nuansa agama serta kebudayaan Islam. Inilah yang membuat Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Makkah. Pemerintahnya bersifat teokrasi berdasarkan ajaran Islam. Sebagai sebuah kerajaan yang berpengaruh, Pasai juga menjalin persahabatan dengan penguasa negara lain seperti Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Pada tahun 1350 M, Kerajaan Majapahit menggempur Samudera Pasai dan mendudukinya. Samudera Pasai pun mulai mengalami kemunduran. Sekitar tahun 1524 M, wilayah Pasai berhasil diambil kerajaan Aceh. Sejak saat itulah, riwayat kejayaan Samudera Pasai berakhir.
Sejarah Kejayaan Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang pernah berjaya di bumi Nusantara, dimana Samudera Pasai meninggalkan berbagai peninggalan penting, dianggap sebagai saksi sejarah kejayaan Samudera Pasai. Adalah Deureuham atau Dirham, dirham merupakan alat pembayaran dari emas tertua di Asia Tenggara. Mata uang ini digunakan Samudera Pasai sebagai alat pembayaran pada masa Sultan Muhammad Malik al-Zahir. Pada satu sisi dirham atau mata uang emas itu tertulis Muhammad Malik Al-Zahir. Sedangkan di sisi lainnya tercetak nama Al-Sultan Al-Adil. Diameter dirham itu sekitar 10 mm dengan berat 0,60 gram dengan kadar emas 18 karat. Lalu ada Cakra Donya, Cakra Donya adalah hadiah yang diberikan Kaisar China kepada Sultan Samudera Pasai. Hadiah ini berupa bel, terbuat dari besi dan diproduksi pada tahun 1409 M. Bel itu dipindahkan ke Banda Aceh sejak Portugis dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Juga terdapat makam Sultan Malik Al-Saleh. Makam Malik Al-Saleh terletak di Desa Beuringin, Kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Nisan makam sang sultan ditulisi huruf Arab. Selain itu ada makam Sultan Muhammad Malik Al- Zahir. Malik Al-Zahir adalah putera Malik Al- Saleh, yang memimpin Samudera Pasai sejak 1287 hingga 1326 M. Pada nisan makamnya yang terletak bersebelahan dengan makam Malik Al-Saleh, tertulis kalimat: Ini adalah makam yang dimuliakan Sultan Malik Al-Zahir, cahaya dunia dan agama. Al-Zahir meninggal pada 12 Zulhijjah 726 H atau 9 November 1326.
Related Articles
No user responded in this post
Leave A Reply