PARADIGMA PERGURUAN TINGGI KRIYA PRODUK
Oleh
Agus Mulyadi Utomo
Bagi mereka yang berkecimpung berkarya seni dan memproduk benda-benda fungsional berharap mampu bersaing di pasar global. Sementara dalam realitas, mereka-mereka itu yang dikategorikan sukses sebagai kriyawan atau perajin atau desainer, terlebih dulu mereka memahami teori dan praktek penciptaan produk kriya seni, dan mampu mengikuti perkembangan pasar, menciptakan trend produk dan menguasai teknologi produksi serta desain, baik untuk komoditas dalam maupun luar negeri (ekspor).
Kurikulum institusi perguruan tinggi seni, Jurusan Kriya telah mereposisi kembali tentang ilmu kekriyaan. Dalam prakteknya, mahasiswa kriya pada umumnya diberikan keleluasaan memilih konsentrasi yang mereka minati, dan akan pula ditopang dengan bimbingan atau pembekalan yang maksimal dari dosen sesuai dengan pilihannya tersebut. Mahasiswa dibebaskan untuk bereksplorasi menurut minat mereka, mahasiswa diberi pula semacam wawasan seni dan produk yang lebih luas, untuk bisa menghadapi medan seni rupa yang begitu luas, serta mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Sehingga analisis yang tepat bisa melahirkan strategi untuk bisa memasuki pasar kerja atau bisa eksis dalam medan persaingan itu sendiri. Sehingga karya atau produk yang dihasilkan tidak hanya untuk kepuasan pribadi tetapi dapat dilaksanakan orang lain untuk kepentingan yang lebih luas. Sudah seharusnya institusi kekriyaan tidak menjadi ‘menara gading’ yang jauh dari masyarakat, ber-introspeksi diri dan melihat realitas terkini dilapangan, melakukan pengkajian terhadap sistem yang ada, mulai dari kurikulum dan implementasinya pada tataran praktek dalam perkuliahan. Yang kini telah diberlakukan di perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi, dimana mahasiswa diharapkan lebih aktif lagi, yang lebih diutamakan adalah untuk bisa unjuk sikap dan unjuk kerja.
Ada apa gerangan dengan institusi kekriyaan ? Dalam menghadapi persaingan yang telah mengglobal saat ini, kriya produk menjadi sebuah persoalan, sebuah tantangan yang perlu dihadapi dan dicarikan solusi, yaitu dengan cara memperbaiki kurikulum, dengan memberi bekal kemandirian, mempelajari pemahaman sistem desain produk, pasar atau trend produk, praktek lapangan serta magang di banyak perusahaan. Dengan demikian, institusi diharapkan lebih banyak bekerjasama dengan pihak lain yang terkait dan swasta, sehingga mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat dalam mencetak sumber daya yang profesional. Apresiasi masyarakat juga akan terus ditingkatkan dengan memberikan banyak informasi, baik media cetak maupun elektronik (internet, dll), promosi dan pameran produk kekriyaan juga harus terus-menerus diupayakan, disamping merupakan jendela informasi dari perkembangan produk kriya dan dalam kerangka menciptakan pasar (market) ke depan. Selain itu untuk memberi ruang yang lebih luas dalam menampung aspirasi dan imajinasi serta kreatifitas mahasiswa yang belum terpuaskan dengan ilmu produk kekriyaan yang ada, maka diperlukan suatu ruang dari mata kuliah kebebasan tanpa batas seperti industri kreatif yang ditunjang oleh manajemen promosi atau pameran, sehingga mahasiswa atau lulusan memperoleh gambaran senyatanya dalam masyarakat dan menambah keyakinan diri serta siap menghadapi tantangan hidup masa depan.
Orientasi produk kekriyaan kini lebih dipertajam sehingga mampu mengarahkan dan mempersiapkan lulusannya menjadi tenaga profesional dibidangnya. Keberadaan seni kriya yang berada pada titik sumbu antara seni murni dan desain dimaknai sebagai sebuah keuntungan atau bekal lebih yang berpotensi positif. Juga pelajaran tentang kaidah seni dan desain serta ilmu ergonomi diberikan pada mahasiswa, ditambah lagi dengan penguasaan teknis dan craftmenship sebagai modal dasar. Dengan modal pembekalan tersebut diharapkan insan kriya memiliki keleluasaan bergerak dan bahkan mampu menghasilkan bentuk inovatif, kreatif dan bisa juga unik atau berupa perpaduan-perpaduan dari kombinasi dengan lainnya. Pendampingan dan kepembimbingan yang benar dan terarah, sehingga apapun pilihan yang diambil mahasiswa, untuk bisa menjadi peneliti, pengamat, kurator, pengajar, pengusaha, kriyawan, desainer, atau pun seniman bebas dapat membuahkan hasil yang maksimal. Karena keberhasilan dan kesuksesan mahasiswa pasca kuliah adalah kesuksesan institusi itu sendiri.
ISI Denpasar telah melakukan reposisi, yang dihimpun dari masukan stakeholders, tracer study untuk membuat pemutakhiran kurikulum yang tepat dan sesuai serta dapat mengikuti perkembangan zaman paling tidak dalam jangka waktu dua atau lima tahun ke depan. Perguruan Tinggi Senirupa wajib memberikan semua ilmu yang bersifat ilmiah (masuk akal) kepada mahasiswanya dalam rangka menunjang kesarjanaan kekriyaan itu sendiri, sehingga memiliki bekal dan juga berhak untuk menentukan sikap dan arah (wawasan) sebagai pilihan hidup nantinya, apakah ia sebagai seniman, kriyawan, atau desainer produk, bahkan sebagai PNS, wirausahawan atau praktisi atau pengusaha. Berikut seperti pernyataan Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, ketika mengunjungi pameran kriya seni “Dimensi Kriya dalam Keragaman” di Museum Sidik Jari-Denpasar, tanggal 29 Mei 2006, yang mengatakan: “Jika kita berpikiran jernih, sebenarnya “seni”lah yang merupakan keunggulan bangsa kita, bukan teknologi. Ya, Seni ! tandasnya, sebagai unggulan bangsa memang sudah sangat layak mendapatkan prioritas utama dalam dunia pendidikan karena sudah menjadi identitas bangsa”. Secara pribadi Ia kagum akan karya-karya yang ditampilkan oleh Jurusan Kriya, FSRD-ISI Denpasar. Dan karya pruduk kriya perlu sering ditampilkan dalam pameran seperti ini, agar dikenal luas masyarakat sehingga mampu menjadi unggulan serta alternatif pilihan calon mahasiswa yang siap bersaing dalam era globalisasi.
Akademisi seperti Drs. I Made Yasana, M.Erg., berpengalaman dengan pendidikan desain keramik di Jepang dan Advanced Profesional Design Produk di Jerman serta mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali, mengulas kriya dari persoalan bahasa sebagai start awal pemahaman, bahwa “kriya” dari kata “kerja” yang sepadan dengan kata craft dan benda guna dengan ciri dan tujuan yang jelas, ada ketergantungan pada proses sentuhan tangan, dapat diproduksi (dalam jumlah tertentu) dan dapat menjawab persoalan kebutuhan dari luar (masyarakat, bisa pribadi atau golongan tertentu, kesenian, art, dll), dimana struktur dan bentuknya bisa bersifat fungsional atau dekoratif atau pure art. Yasana juga merunut perkembangan kriya mulai zaman purba, masa penjajahan hingga masa merdeka sekarang ini, yang dalam perkembangannya tidak hanya bersifat simbolik, peralatan, persembahan, souvenir, tetapi juga sebagai komoditas (eksport) dan untuk sesuatu yang bersifat pribadi atau keilmuan. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa Bali kaya akan potensi kriya yang bersumber dari senirupa dan budaya Bali, tarian, aksara dan suara dan sebagainya, telah menjadi inspirasi rancangan interior maupun eksterior, dan menyesuaikan dengan iklim perubahan dari abad ke abad atau dari decade ke decade dengan cara berfikir baru dan bukan sekedar rasional tapi juga ekspresi. Pada dasarnya, konsumen umumnya membeli atau ingin memiliki produk kriya adalah karena perlu, murah, desain menarik, merek terkenal, buatan luar negeri atau dalam negeri, khas daerah, juga bisa karena iklan dan promosi, pun juga karena status symbol (kebanggaan) tertentu. Intinya tentu ada keindahan, ada ciri khas, murah, terjangkau dan berkepribadian. Berbeda dengan Wayan Kun Adnyana, S.Sn, M.Sn, kritikus yang curator muda, yang melihat bahwa “Kriya seni mengayuh antara dua tegangan”. Ia menyoal tentang “kriya seni” dikaitkan dengan terminology sebagai “seni rupa murni”, untuk mensetarakan kedudukan (modernisme) ataupun konteks kriya seni yang diimpor dari Barat dengan istilah “kriya kontemporer” yang tidak mengakui pembagian seni dan menganggap semua cabang seni adalah sederajat. Ia kurang setuju dan menyayangkan adanya pembagian program studi kriya seni dan program seni murni pada ranah yang berbeda. Sementara peluang pluralisme ekspresi dan medium dalam seni kontemporer dimungkinkan untuk bersatu. Lain lagi pernyataan dengan Ir. Ngurah Pratama Citra, MM, praktisi dan Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI Bali) yang berkator di Disperindag Prov. Bali ini, pada suatu seminar di ISI Denpasar, mengungkap persepsi awal bahwa produk kriya tak lebih merupakan “seni terapan”, “seni dekoratif” bahkan “kerajinan”, karena mengabdi pada kaidah ketrampilan, penanganan teknis yang nilainya tidak sepadan dengan senirupa murni dimana dikotomi fine art diwariskan oleh seni modern Barat. Ia menganggap perlu adanya reposisi untuk menjawab tantangan zaman, termasuk dalam mengisi permintaan pasar, walaupun tetap masih ada idealisme atau identitas (ciri khas). Lebih jauh Citra mengharapkan perguruan tinggi penghasil sarjana kriya memiliki output expected yang jelas. Harapannya juga, kurikulum kekriyaan perguruan tinggi haruslah menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan banyak melakukan penelitian, memanfaatkan tenaga praktisi dan program magang di perusahaan, yang tentunya menghasilkan lulusan siap kerja atau mempunyai kelebihan lain yang bernilai positif. Strateginya adalah dengan cara revitalisasi persepsi dari stakeholders, menambah bekal ilmu pariwisata (cenderamata dan pasar eksport), kombinasi bahan, fasilitasi kegiatan pameran dalam & luar negeri, kolaborasi dengan lembaga di luar ISI, asosiasi, instasi lain, kriyawan atau perajin dalam dan luar Bali. Kriyawan juga sebagai wirausahawan yang tertarik dengan imbalan berupa laba, kebebasan dan kepuasan hidup. Disini para mahasiswa diberi bekal ilmu kewiraswataan atau berwirausaha, sehingga memiliki kemampuan untuk bisa menemukan dan mengevaluasi peluang, mengumpulkan sumber daya, dan dapat bertindak cepat untuk memperoleh keuntungan dari peluang itu. Esensinya untuk memperoleh nilai tambah, di pasar bebas melalui proses pengkombinasian sumber daya, cara-cara baru atau berbeda (pengembangan teknologi, penemuan pengetahuan baru, perbaikan produk dan jasa), efisiensi, menghadapi persaingan dan lainnya. Citra sebagai ketua asosiasi ASEPHI Bali mengaku menampung keluhan para anggotanya (32 eksportir) di lapangan dan masyarakat, bahwa sementara ini kebanyakan desainer kriya di Bali terdiri dari orang asing (terdaftar sekitar 38 orang) dengan bayaran cukup menggiurkan dengan hasil karya yang tak jauh berbeda dengan kriyawan ISI Denpasar, dimana tahun 2006 eksport Bali 80 % (nilai pulus).
Dunia usaha memang sangat membutuhkan sarjana produk kekriyaan, ada segmen pasar tertentu dan karier di Luar Negeri dan ISI Denpasar mendengar keluhan-keluhan pengusaha yang ada. Menurut Citra, sebagai Ketua ASEPHI, Citra berjanji untuk bisa bekerjasama (membantu) atau mengadakan M.O.U. dengan Kriya ISI Denpasar, dalam hal magang atau kerja praktek, pameran (buku / katalogus) dalam bentuk legal-formal atau maju secara institusi bukan individual. Ia menganggap fihak ISI Denpasar (tidak seperti menara gading) yang mau masuk ke wilayah kantong-kantong seni yang berkembang di masyarakat, dimana handicraft merupakan andalan Bali, belum sepenuhnya dicarikan solusi pengembangannya, sehingga perlu untuk menggandeng praktisi dilapangan untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Paradigma pengembangan pendidikan kekriyaan perlu berorientasi pada kecakapan hidup, begitulah ungkapan dari Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn, alumni kriya keramik yang sekarang menjadi staf pengajar di Kriya ISI Denpasar, pada suatu seminar nasional. Bertolak dari beberapa isu yang dapat memuaskan kebutuhan masyarakat, dimulai dari kurikulum berorientasi kepada kecakapan hidup (life skill). Semua itu untuk tujuan lulusan yang siap pakai, siap kerja, siap latih, kompetitif, fleksibel, berwawasan dan terserap pasar kerja serta mampu mengaktualisasi diri menjadi kreator dan inventor.
Sebagai kriyawan, dengan ilmu senirupa dan desain, pengetahuan umum dan teknologi produksi, ditambah dengan ilmu dasar produk kekriyaan itu sendiri dan pengetahuan tentang market (pasar) tentunya kepercayaan diri akan hadir, bahkan akan melahirkan inventor baru, yang kreatif dan inovatif yang dengan sendirinya dapat memberikan kepuasan baru dan kesejahteraan. Kekriyaan atau kriya produk adalah bidang keilmuan yang mempelajari pengetahuan, keterampilan dan kreatifitas berkarya senirupa, yang bertolak dari pendekatan medium, kepekaan estetik, kebutuhan keseharian (utiliatrian) dan mengandalkan keterampilan manual (manual dexterity). Hasil karya kriya produk diutamakan mengandung nilai–nilai, diantaranya keunikan konseptual, tema, imajinatif, emosional dan inderawi (visual, taxtile, ollfactory). Kriya juga merupakan metoda berkarya sekaligus mendesain produk yang mengutamakan nilai kualitas, estetika, fungsional-ergonomik, keunikan, tema, makna dan pesan filosofis. Kriya produk di ISI Denpasar lebih difokuskan pada ilmu dan keterampilan dalam menciptakan konsep, bentuk dan gaya (fashion) dalam arti luas dalam industri kreatif . Karya Kriya produk yang dirancang lebih bersifat eksklusif, memiliki nilai tambah dalam berbagai sisi, karena dalam proses pembuatannya ada yang menghandalkan keterampilan. Pada tahap proses pendidikan, dimungkinkan pihak lain diajak untuk bisa kerjasama atau tempat magang atau pengenalan dengan disiplin ilmu lain dalam bentuk kerja lapangan atau dengan menghadirkan pakar atau praktisi memberikan ceramah atau kuliah umum, seperti misalnya bidang teknik logam (perhiasan emas, perak, dll), BPPT (keramik: kimia, fisika), arsitektur-interior, computer grafis, busana dan fashion, statistik-peneliti, ekonomi-manajemen, pariwisata-budaya, industri dan perdagangan dan sebagainya.