ERGONOMI
Oleh Agus Mulyadi Utomo
1. Pengertian Ergonomi
Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien, demi tercapainya produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003).
Ergonomi merupakan ilmu tentang kemampuan dan keterbatasan tubuh manusia, serta kriteria lainnya yang berkaitan dengan perancangan. Rancangan ergonomi adalah perancangan peralatan kerja, perlengkapan, mesin-mesin, pekerjaan, tugas, tempat kerja duduk, organisasi, dan lingkungan, berdasarkan informasi karakteristik tubuh manusia untuk produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan effektifitas fungsi tubuh manusia (Mnuaba, 2007).
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan ergonomi sebagai penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dan manusia secara optimum dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan (Effendi, 2002).
Ergonomi pada industri kecil yang berorientasi kepada manusia (man-oriented) cukup penting untuk dikemukakan agar permasalahan yang ada pada industri kecil tersebut dapat teridentifikasi untuk dipecahkan atau diselesaikan. Akibat atau dampak negatif yang timbul dari proses kerja industri kecil juga dapat diminimalkan. Hal ini seperti harapan dari ilmu ergonomi, yaitu suatu pendekatan yang multi dan interdisipliner untuk menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia demi tercapainya kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi yang setinggi-tingginya (Manuaba, 1998).
Ergonomi merupakan disiplin ilmu yang bersifat multidisipliner, dimana terintegrasi ilmu fisiologi, psikologi, anatomi, higiene, teknologi, sosial-budaya, ekonomi dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan suatu pekerjaan. Di dalam praktek dan perkembangannya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, khususnya mencegah munculnya cedera dan penyakit akibat kerja serta mempromosikan kepuasan kerja. Juga untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, memperbaiki kualitas kontak sosial dan mengorganisir kerja sebaik-baiknya, demi meningkatkan efisiensi sistem manusia-mesin dengan bijaksana dan pertimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomi, anthropologi, seni dan budaya. Berhubungan dengan peralatan dan lingkungan kerja, Manuaba (1992b) menyarankan untuk mengurangi dampak negatif dalam pekerjaan pertama kali adalah dengan menyesuaikan pekerjaan terhadap manusia. Bila karena alasan teknis atau ekonomis tidak mungkin dilakukan maka diarahkan agar manusia dapat menyesuaikan diri terhadap pekerjaannya melalui proses seleksi, latihan dan adaptasi. Untuk melaksanakan hal tersebut ada dua pendekatan yang digunakan yaitu, pertama dengan menerapkan ergonomi saat perencanaan dengan pendekatan konseptual, dan kedua dengan memperbaiki atau memodifikasi pekerjaan yang sudah ada dengan memanfaatkan prinsip-prinsip ergonomi yang dikenal dengan pendekatan kuratif.
Tarwaka (2002) menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa intervensi ergonomi untuk sikap kerja duduk-berdiri bergantian dapat meningkatkan produktivitas kerja secara signifikan dibandingkan dengan sikap kerja berdiri. Sedangkan Adiputra (1998) menyebut melalui intervensi ergonomi pada industri skala kecil dengan memberikan meja dan kursi ergonomis, tenaga kerja bisa bekerja lebih nyaman.
2. Kondisi Kerja di Industri Kecil
2.1 Stasiun kerja dan sikap kerja
Manuaba (1999) menyatakan bahwa ergonomi adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan, sehingga manusia dapat hidup dan bekerja secara sehat, aman, nyaman, dan efisien. Sutalaksana (1999) menyatakan bahwa desain alat kerja disebut ergonomis apabila secara antropometris, faal, biomekanik dan psikologis sesuai dengan pemakainya. Untuk memperoleh suatu cara, sikap, alat, dan lingkungan kerja yang sehat dan aman perlu dipertimbangkan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia, maka perbaikan kondisi kerja haruslah melalui pendekatan ergonomi (Netrawati, dkk. 2001). Sikap kerja dalam hal ini adalah sikap tubuh ketika melakukan suatu pekerjaan yang diakibatkan oleh hubungan antara dimensi tubuh pekerja dengan dimensi variasi dari tempat kerjanya. Secara mendasar sikap tubuh ketika tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring, jongkok dan duduk (Pheasant, 1991). Sikap kerja yang tidak fisiologis atau sikap paksa akan dapat mengurangi produktivitas. Ada kalanya seorang perajin harus mengeluarkan tenaga tertentu akibat adanya beban tambahan yang tidak perlu, sedangkan dalam posisi sikap paksa seseorang tidak mampu mengerahkan kemampuannya secara optimal. Sikap kerja yang tidak fisiologis dapat bertindak sebagai penyebab timbulnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 1990).
2.2.2 Pertimbangan antropometri pada perbaikan stasiun kerja
Setiap desain produk, baik yang sederhana maupun yang kompleks, antropometri penting untuk diperhatikan dan harus mampu mengacu pada antropometri pemakainya. Sanders & McCormick (1987); Pheasant (1988) menyatakan bahwa antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia atau karakteristik fisik tubuh lainnya yang relevan dengan desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Sutarman (1972) juga menyatakan bahwa dengan mengetahui ukuran antropometri tenaga kerja, akan dapat dibuat suatu desain alat-alat kerja yang sepadan bagi tenaga kerja yang menggunakan alat kerja tersebut, dengan harapan dapat menciptakan kenyamanan, kesehatan, keselamatan dan estetika kerja.
Aplikasi ergonomi dengan antropometri menjadi dua divisi utama yaitu: (1) ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana pendukung lainnya dan lingkungan kerja. Tujuannya untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara, juga efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan secara optimal; dan (2), ergonomi berhadapan dengan karakteristik produksi yang berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk (Annis & McConville, 1996).
2.3 Stasiun kerja dan sikap kerja duduk
Bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi (Grandjean, 1993). Demikian pula menurut Suma’mur (1992) bahwa keuntungan bekerja pada posisi duduk adalah berkurangnya kelelahan pada paha dan betis, terhindarnya sikap-sikap yang tidak fisiologis, berkurangnya pemakaian energi dan kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah. Sedangkan menurut Clark (1996), bahwa desain stasiun kerja dengan posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Ukuran tempat duduk disesuaikan dengan dimensi antropometri pemakainya. Fleksi lutut membentuk sudut 90º dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki (Pheasant, 1988).
Desain sikap kerja duduk, posisi tubuh ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilaksanakan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Sutalaksana dalam Sutajaya (2006) menyatakan bahwa dalam bekerja manusia akan memposisikan dirinya mengikuti rancangan sistem yang ada hal ini sering menimbulkan keluhan atau rasa sakit pada tulang belakang, leher, bahu, lengan, pergelangan tangan, tangan, paha, betis, dan kaki.
Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk seperti membuat sandal memungkinkan adanya perubahan dan variasi posisi. Hubungan sikap kerja dengan tinggi landasan kerja, seseorang yang melakukan kegiatan manual, maka sikap kerjanya sangat ditentukan tinggi bidang kerja, apabila bidang kerja terlalu tinggi, maka bahu dan anggota atas sering terangkat sehingga mempercepat timbulnya rasa lelah dan terjadi ketegangan otot di bahu. Dan apabila terlalu rendah, badan akan membungkuk dapat munyebabkan posturak stress pada tulang belakang dan otot-ototnya. Sander & McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut yaitu landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horisontal atau sedikit menurun, dan ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang berlebihan.
2.4 Stasiun kerja dan sikap kerja berdiri
Manuaba (1986); Sanders & McCormick (1987); Grandjean (1993) merekomendasikan bahwa untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian landasan kerja adalah 5 – 10 cm di atas tinggi siku pada posisi berdiri; untuk pekerjaan yang sering memerlukan ruangan untuk peralatan landasan kerja adalah 10 – 15 cm di bawah tinggi siku pada posisi berdiri, sedangkan untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan kerja adalah 15 – 40 cm di bawah tinggi siku pada posisi berdiri.
2.5 Stasiun kerja dan sikap kerja dinamis
Stasiun kerja desainnya ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Desain stasiun kerja baik yang untuk posisi duduk maupun posisi berdiri, keduanya mempunyai keuntungan dan kerugian. Chavalitsakulchai dan Shahnavas (1991) mengatakan bahwa gangguan pada sistem muskuloskeletal yaitu pada pinggang, leher, bahu dan paha diakibatkan oleh sikap kerja yang salah seperti sikap kerja duduk atau berdiri. Das (1991) dan Pulat (1992) menyatakan bahwa posisi duduk-berdiri merupakan posisi terbaik dan lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja atau berdiri saja. Selanjutnya Helander (1995), menyatakan bahwa posisi duduk-berdiri yang telah banyak dicobakan di industri ternyata mempunyai keuntungan secara biomekanis, dimana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk ataupun berdiri terus menerus. Hal tersebut ternyata dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam intervensi ergonomi, sehingga penerapan posisi kerja duduk-berdiri dapat memberikan keuntungan-keuntungan bagi sebagaian besar tenaga kerja. Penelitian yang mendukung intervensi adalah Sutajaya (1998) yang mengungkap banyak manfaat akibat perbaikan sarana kerja dan sikap kerja secara ergonomis.
2.6 Lingkungan kerja
Lingkungan kerja adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadaap kelelahan, keluhan subyektif dan produktivitas kerja. Manuaba (1992) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif. Kaitannya dengan masalah lingkungan kerja pada Home Industry kerajinan sandal yang perlu diperhatikan adalah mikrolimat. Mikrolimat dalam lingkungan kerja terdiri dari suhu udara, kelembaban relatif, panas radiasi, dan gerakan udara (Bernard, 1996).
Dalam kaitannya dengan suhu panas lingkungan kerja, Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi sebesar 35 – 40 º C, kecepatan udara 0,2 m / detik, kelembaban antara 40 – 50 %, perbedaan suhu permukaan < 4 º C. Berkaitan
dengan penerangan, Amstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyebabkan glare, reflection, excessive shadows, visibility dan eyestrain. Amstrong (1992) lebih lanjut merekomendasikan intensitas penerangan umum (general litghting) yang sesuai dengan pekerjaan dengan tingkat ketelitian dan kontras sedang, adalah antara 240 – 400 luks, seperti pekerjaan pada Home Industry-Shoes / Sandal ini. Manuaba menyarankan antara 170 – 350 luks (Manuaba, 1986). Sedangkan Sanders & McCormick (1987) dan Gradjean (1993) merekomendasikan antara 200 – 300 luks.
2.7 Organisasi kerja
Dalam suatu organisasi kerja, umumnya menyangkut tentang waktu kerja, waktu istirahat, sistem kerja (harian / bulanan / borongan), musik dan insentif dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Manuaba menjelaskan bahwa jam kerja berlebihan, jam kerja lembur di luar batas kemampuan, akan dapat mempercepat munculnya kelelahan, menurunkan ketepatan, kecepatan dan ketelitian kerja (Manuaba, 1990). Oleh karena setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang ritmis antara asupan energi dan penggantian energi (istirahat kerja). Diperlukan istirahat pendek dengan sedikit kudapan atau minum (15 menit setelah 2 jam bekerja) untuk mempertahankan performan dan efisiensi kerja.
3. Sistem Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan
Adanya keluhan (sakit) karena pada sistem otot rangka terganggu, yang berfungsi menyelenggarakan pergerakan yang meliputi penggerakkan bagian bagian tubuh atau berjalan (movement), mempertahankan sikap tertentu, dan menghasilkan panas (Ganong, 1979). Otot-otot tersusun dari gumpalan serat-serat otot. Semakin besar otot semakin besar pula tekanan yang dilakukan pada otot itu. Untuk tindakan-tindakan mekanis, tekanan otot pada tulang dimana otot itu berada dan berkontraksi menghasilkan tekanan. Otot-otot bisa menghasilkan tekanan maksimum pada keadaan meregang dan sebuah kontraksi otot dapat menggunakan tekanan yang kecil. Sebuah otot menghasilkan kerja mekanik dengan mengubah energi kimia ke energi mekanik (Bridger, 1985; Kroemer, 1994; Pulat, 1992). Menurut Manuaba (1992a) bahwa sikap tubuh yang buruk (sikap paksa) sewaktu bekerja dan berlangsung lama menyebabkan adanya beban pada sistem muskuloskeletal dan efek negatif pada kesehatan. Kelelahan otot terjadi akibat dari adanya kerja otot statik. Kehilangan fungsi otot akibat kelelahan dapat meningkatkan resiko cidera pada sistem muskuloskeletal (Kroemer, 1970). Kelelahan otot adalah fenomena fisiologi yang dapat diukur langsung dengan alat Electromyograph (EMG), oleh ergonom digunakan untuk mendeteksi pengaruh tugas-tugas (task) dan workspace. Teknik pengukuran subjektif pada pekerja dilakukan dengan cara menanyakan dan menunjukkan diagram tubuh untuk menentukan lokasi keluhan sistem muskuloskeletal yang dirasakan pekerja.
Penilaian gangguan sistem muskuloskeletal (kenyerian otot pada anggota tubuh tertentu) dapat dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Nordic Body Map (NBM) dengan pemberian skor (Corlett, 1992). Kuesioner Nordic Body Map atau Body Map for Evaluating Body Part Discomfort sebelum dan sesudah bekerja dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
A= tidak sakit (nilai 1): Subjek tidak merasakan adanya keluhan atau kenyerian pada anggota tubuh tertentu.
B= agak sakit (nilai 2) : Subjek merasakan adanya sedikit keluhan atau kenyerian pada anggota tubuh tertentu, tetapi keluhan atau kenyerian tidak mengganggu pekerjaan.
C= sakit (nilai 3) : Subjek merasakan adanya keluhan atau kenyerian pada anggota tubuh tertentu dan sering kali mengganggu pekerjaan. Keluhan atau kenyerian tersebut masih dirasakan setelah selesai bekerja, namun sudah tidak terasa atau hilang pada malam harinya.
D= sangat sakit (nilai 4): Subyek merasakan adanya keluhan atau kenyerian pada anggota tubuh tertentu dan sangat mengganggu pekerjaan. Keluhan atau kenyerian tersebut masih terasa atau tidak hilang sampai malam harinya.
4. Kelelahan Akibat Kerja
4.1 Pengertian kelelahan
Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Pada umumnya kelelahan biasa ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena bersifat monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan asupan gizi. Kelelahan secara umum dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai pada perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30 – 40 % dari tenaga aerobik maksimal (Astrand & Rodahl, 1977; Pulat, 1992).
4.2 Faktor penyebab kelelahan akibat kerja
Grandjean (1993) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan sangat bervariasi, dan untuk memelihara atau mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan diluar tekanan (cancel out the stress). Rodahl (1977) berpendapat bahwa kerja dapat dipertahankan beberapa jam per hari tanpa gejala kelelahan jika tenaga yang dikerahkan tidak lebih dari 8% dari maksimum tenaga otot. Waters & Bhattacharya (1966), berpendapat bahwa kontraksi otot, baik statis maupun dinamis dapat menyebabkan kelelahan otot setempat. Kelelahan tersebut terjadi pada waktu ketahanan otot terlampaui. Sedangkan Anis & McConville (1996) berpendapat bahwa saat kebutuhan metabolisme dinamis dan aktivitas melampaui kapasitas energi yang dihasilkan tenaga kerja, maka kontraksi otot akan terpengaruh sehingga kelelahan seluruh badan terjadi.
4.3 Pengukuran kelelahan
Cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung, sampai saat ini belum ada. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Menurut Grandjean (1993) metode pengukuran kelelahan dikelompokkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut: a) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan; b) Perasaan kelelahan yang subjektif; c) Uji hilangnya kelipan; d) Uji psiko-motor; Dan e) Uji mental.
Kelelahan secara umum dapat diprediksi melalui pengisian Kuesioner 30 Item Kelelahan dengan penilaian skala Likert dari JAIH (Japan Association of Industrial and Health). Di samping itu digunakannya Kuesioner 30 Item Kelelahan dapat menunjukkan perbandingan adanya kelelahan dalam kegiatan atau aktivitas (1-10), kelelahan motivasi (11-20) dan kelelahan fisik (21-30).
5. Beban Kerja
5.1 Jenis beban kerja
Rodahl (1989) menyatakan bahwa hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh faktor yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun eksternal.
1) Faktor internal, meliputi: faktor somatis dan faktor psikis
2) Faktor eksternal, meliputi: tugas-tugas, organisasi dan lingkungan kerja
5.2 Penilaian beban kerja
Menurut Astrand & Rodahl (1977); Rodahl (1989), penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian langsung dengan cara mengukur energi yang dikeluarkan melalui asupan oxigen selama bekerja, dan metode pengukuran tidak langsung, dengan cara menghitung denyut nadi selama kerja. Selanjutnya Christensen (1991); Grandjean (1993), menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mangetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oxigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Kemudian Konz (1992) mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi.
Kategori Beban Kerja
Konsumsi Oksigen (1/min) Ventilasi Paru (1/min) Suhu Inti Tubuh (º C) Denyut Nadi (denyut/min)
Berat 1,5-2,0 31-43 38,0-38,5 125-150
Sangat Berat 2,0-2,5 43-56 38,5-39,0 150-175
Sangat Berat Sekali 2,5-4,0 60-100 >39 >175
Sumber: Grandjean (1988).
6. Produktivitas Kerja
Produktivitas adalah suatu perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) per-satuan waktu (time). Pheasant (1991) dan Chew (1991) mengatakan bahwa produktivitas meningkat apabila jumlah luaran meningkat dengan jumlah masukan yang sama. Hal tersebut tentu dapat dipergunakan untuk menghitung produktivitas di semua sektor, termasuk industri kecil. Manuaba (1992a) menjelaskan peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala biaya, termasuk sumber daya manusia (input) dan meningkatkan keluaran sebesar-besarnya (output).
Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan menghitung secara keseluruhan (total) maupun secara parsial. Dalam kajian ini produktivitas dihitung secara parsial dari sudut pandang ergonomi, yaitu perbandingan dari luaran (output) dengan satu jenis masukan (input) yaitu berupa beban kerja yang diterima oleh pekerja bersangkutan. Menurut Chew (1991) produktivitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Output (O)
Produktivitas = ——————————————-
Input (I) X Time (T)
Dalam hal ini, output adalah berupa rerata hasil kerja atau jumlah sandal yang dapat diselesaikan selama 1 hari kerja (8 jam). Sedangkan input adalah beban kerja yang diterima tenaga kerja selama bekerja. Dalam hal ini beban kerja adalah nadi kerja dikurangi nadi istirahat (DNK-DNI) dalam satuan denyut per-menit.
Hal-hal yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas menurut Heidjracman (1987) adalah pengembangan teknologi, bahan baku, dan peralatan yang dipergunakan. Pengaruh tidak langsung adalah kemampuan kerja, motivasi, kepemimpinan, kebutuhan individu pekerja dan kondisi fisik pekerja. Pendapat Grandjean (1998), Pheasant (1991) dan Manuaba (1995), bahwa faktor yang berpengaruh adalah: (a) Tenaga kerja (umur, gizi, kondisi fisik, ketrampilan, psikologi pekerja); (b) Peralatan kerja (alat, mesin dsbnya); (c) Lingkungan kerja (panas, debu, bising, kondisi alat, keselamatan dan bau); (d) Cara kerja ( sikap dan posisi kerja); dan (e) Organisasi kerja (administrasi, shif work, waktu kerja dan waktu istirahat). Untuk mencapai produktivitas yang setingginya maka faktor tersebut harus serasi dan sesuai dengan kemampuan, kebolehan serta keterbatasan manusia pekerja, diharapkan tidak menimbulkan beban tambahan.
7. Break Even Cost Analysis
Break Even Cost merupakan suatu analisis terhadap biaya impas untuk memastikan apakah peningkatan produktivitas juga memberikan manfaat yang riil bagi unsur manajemen maupun perajin. Yang dimaksud dengan Break Even Cost Analysis sebenarnya adalah analisis rugi-laba dengan membandingkan antara alternatif dimana biaya masing-masing alternatif dipengaruhi oleh variabel tunggal. Sedangkan titik impas (Break Even Point) adalah analisis dimana nilai variabel untuk point pada biaya masing-masing alternatif adalah sama.
Untuk menganalisis Break Even Point pada proses penambahan meja dan kursi adalah dilakukan dengan cara :
a. Menghitung seluruh biaya pembuatan meja dan kursi kerja yang dilakukan dalam upaya intervensi stasiun kerja perajin sandal.
b. Menghitung peningkatan atau selisih antara hasil kerja sebelum dan sesudah intervensi pada stasiun kerja.
c. Break Even Point dicapai pada saat terjadi titik temu antara biaya dan manfaat yang diperoleh setelah intervensi stasiun kerja dilakukan.
Break Even Cost Analysis untuk mengetahui manfaat riilnya, termasuk pada intervensi stasiun kerja perajin sandal. Cara lain untuk analisis rugi-laba dari perbaikan ergonomis adalah dengan cara menghitung Benefit Cost Ratio (BCR). Newman (1990) dan Kodoatie (2000) menyatakan bahwa BCR dapat dihitung dengan rumusan:
Benefit
BCR = ————-
Cost
Suatu perbaikan dianggap layak (fisible) jika: Benefit – Cost > 0 atau BCR > 1.
Dari pertimbangan ekonomi, uang yang ditanamkan untuk perbaikan harus kembali paling tidak selama umur ekonomis meja dan kursi tersebut. Umur ekonomis meja dan kursi adalah jangka waktu dari pembuatan dan penggunaan meja dan kursi sampai pada perkiraan, dimana meja dan kursi tersebut sudah tidak ekonomis untuk dioperasikan atau rusak. Meja dan kursi dikatakan tidak ekonomis, kalau biaya kepemilikan dan biaya operasi termasuk biaya pemeliharaan ternyata lebih besar dari ongkos yang diterima bila meja dan kursi dioperasikan atau dipergunakan. Biaya kepemilikan adalah biaya dari pembelian atau pembuatan yang seharusnya diterima kembali, yang dihitung per jam atau per hari kerja atau per bulan dan diperhitungkan selama umur ekonomis (Rochmanhadi, 1984).
8. Pengertian Intervensi, Kerja dan Kinerja
Daryanto (1997) memerinci pengertian intervensi, kerja dan kinerja adalah sebagai berikut:
a) Intervesi adalah suatu tindakan campur tangan (ada dua pihak).
b) Kerja adalah perbuatan melakukan suatu kegiatan yang bertujan untuk mendapatkan hasil atau penghasilan (nafkah).
c) Kinerja adalah prestasi, sesuatu yang dicapai atau yang diperlihatkan suatu
kemampuan kerja.
Berkaitan dengan suatu penelitian, pengertiannya adalah suatu tindakan campur tangan dalam penerapan ergonomi terhadap perbaikan tempat kerja (stasiun kerja) perajin untuk memperoleh peningkatan prestasi atau hasil yang lebih baik dari kemampuan kerjanya.
9. Perancangan Meja dan Kursi Kerja
Perancangan stasiun kerja berupa meja dan kursi kerja memerlukan beberapa pertimbangan, baik ukuran antropometri perajin maupun cara bekerjanya. Untuk tipe pekerjaan yang membutuhkan tekanan kuat, permukaan bidang kerja dalam hal ini posisi netral sebelumnya harus berada pada rentang 15 – 40 cm di bawah tinggi siku berdiri dan rentang jangkauan 35-65 cm. Maka untuk kenyamanan bekerja, lebar dan panjang meja harus memperhitungkan rentangan tersebut ditambah dengan penempatan alat dan bahan serta hasil produksi. Perancangan tinggi meja dan kursi atau bangku kerja diusahakan adanya cukup ruang bagi lutut dengan persentil 95 dari ukuran telapak kaki sampai puncak lutut. Untuk laki-laki 63,5 – 73,6 cm ditambah kelonggaran 2,5 cm dan 2,5 cm untuk sepatu atau sandal serta diberi landasan miring untuk injakan kaki. Ada hal yang harus dipertimbangkan untuk tempat duduk yaitu ketinggian alas duduk, bila tidak sesuai dengan antropometri menyebabkan penekanan pembuluh darah di paha dan menyebabkan tegangan pada otot kaki dan daerah lumbar. Dengan demikian ukuran tinggi alas duduk mengacu kepada tinggi popliteal pada persentil 5. Kemudian lebar alas duduk, mengacu pada lebar pinggul pada persentil 95 ditambah kelelonggaran dompet celana 4 mm pada setiap sisi, keleluasaan gerak 3,5 cm, dan pergeseran 2 cm. Demikian juga panjang alas duduk mengacu pada ukuran jarak buttock – poplitea pada persentil 5. Sandaran punggung ada tiga macam sandaran yaitu sandaran rendah yang berfungsi menyangga lumbar tulang belakang berdasarkan tinggi lumbar. Kemudian ada sandaran menengah untuk menyangga sampai ke pucuk belikat bawah, tinggi sandaran yaitu tinggi bahu dikurangi penyesuaian sebesar 160 mm. Sandaran tinggi untuk menyangga leher dan kepala yang pengukurannya berdasar tinggi duduk pada posisi tegak.