GAMBELAN TEKTEKAN

 

 

Budaya agung luhur nan indah sangat cocok disematkan bagi pulau Bali ini, berbagai budaya seni yang dimilikinya menjadi suatu persembahan yang unik dan menarik, tidak hanya untuk kebutuhan ritual tetapi juga hiburan bagi mereka yang menikmatinya, seperti salah satu kesenian tradisional yang berasal dari desa Kerambitan Tabanan ini yaitu Tektekan, berasal dari alat musik sederhana yang terbuat dari batang bambu, dipadukan dengan sejumlah alat musik tradisional lainnya, mampu menyuguhkan pementasan seni yang indah, sebuah budaya luhur yang berkembang dengan baik dan masih terjaga lestari sampai sekarang ini.

Kesenian tradisional Tektekan, dari segi etimologi berasal dari kata “Tek” ini dikarenakan bunyi yang dihasilkan didominasi dari suara tek…tek…tek sehingga menjadilah Tektekan. Musik atau kesenian tradisional Bali ini berasal dari alat sederhana, yaitu sebuah kentongan (kulkul) yang berasal dari batang bambu, kentongan tersebut dipukul menggunakan pemukul dari bambu ataupun kayu. Untuk menjadi sebuah penampilan seni, maka kentongan tersebut dimainkan oleh sekitar 30 – 40 orang dengan ritme seperti suara “cak” pada pementasan tari kecak, tektekan dipadukan dengan alat musik tradisional lainnya seperti ceng-ceng, kendang, seruling, kempur dan seperangkat alat gamelan lainnya.

Sejarah awal munculnya kesenian Tektekan ini adalah di desa Kerambitan, Tabanan – Bali yang bertujuan untuk mengusir roh atau makhluk jahat yang menimbulkan wabah penyakit. Berawal dari wabah penyakit atau dikenal dengan gerubug di desa Kerambitan, sehingga banyak menelan korban jiwa, masyarakat mempercayainya dengan penyakit non medis ini disebabkan oleh makhluk-makhluk halus, warga bahkan sering mendengar suara-suara aneh, untuk menghilangkan rasa takut warga, mereka memukul benda-benda yang bisa mengeluarkan bunyi keras seperti dari kulkul, kaleng, besi, cangkul ataupun benda lainnya. Kemudian akhirnya di pilih batang bambu atau kentongan diyakini bisa mengusir roh-roh halus dari dunia lain tersebut.

Wabah penyakit atau epidemi tersebut terjadi sekitar tahun 1920-an, dipakai benda yang bernama kulkul atau kentongan ini, karena suara keras yang ditimbulkannya, diyakini menakuti makhluk-makhluk halus yang mengganggu manusia. Di Bali sendiri muncul keyakinan, terkadang seseorang tiba-tiba menghilang tanpa sebab pada sebuah tempat yang diyakini dihuni oleh mahluk halus, tetapi setelah menggelar bunyi-bunyian seperti gong baleganjur, orang tersebut tiba-tiba muncul kembali. Dan orang tersebut terkadang membaca cerita unik mengenai pengalamannya hidup di dunia lain.

Kulkul atau kentongan yang digunakan saat kesenian tradisional Tektekan ini, memang keberadaannya sudah sangat familiar, bentuk kulkul yang paling sederhana dibuat dari batang bambu seperti yang digunakan pada pementasan seni Tektekan, sedangkan kulkul yang terbuat dari kayu digunakan di tempat-tempat tertentu seperti banjar, pura, balai pertemuan adat, poskamling atau bahkan di rumah-rumah penduduk. Kulkul digunakan sebagai alat komunikasi searah oleh warga untuk menandakan atau memanggil warga untuk keperluan pertemuan dan juga tanda bahaya (suara kulkul bulus).

Di desa Kerambitan Tabanan, Tektekan digelar saat hari Pengrupukan atau sehari sebelum hari Raya Nyepi, hari yang biasanya warga Bali menggelar pawai ogoh-ogoh sebuah warisan budaya dan tradisi yang masih terjaga dengan baik. Pada saat itu alat musik tradisional Tektekan ini dimainkan dengan tujuan mengusir Bhuta Kala atau roh-roh jahat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Kesenian Tektekan tersebutpun dipentaskan dengan menggunakan lakon atau kisah drama tari, yang paling populer adalah dengan lakon atau cerita Calonarang, selain memiliki nilai sakral tetapi juga menjadi kesenian menarik yang bisa dinikmati oleh warga masyarakat sebagai hiburan rakyat.

Pada lazimnya pertunjukan drama tari Calonarang tersebut, penuh aura mistis, dalam ceritanya dikemas dengan menarik, menampilkan ratu leak atau rangda yang terkenal sakti mandraguna, tidak mengherankan selalu ada adegan demonstrasi kekebalan tubuh, tubuh Rangda yang merupakan wujud dari Calonarang tersebut dirajam atau ditikam dengan keris, bahkan penari lainnya menikamkan keris ketubuhnya sendiri, tapi aneh bin ajaib tidak seorangpun dari mereka yang terluka. Kesenian tektekan ditampilkan disesuaikan dengan kebutuhan bisa dipadukan dengan berbagai penampilan seni, tidak hanya dalam seni drama tari saja tetapi juga pada pertunjukan seni lainnya.

Pada tahun 2013 akhirnya kesenian tradisional Tektekan Kerambitan ini menjadi sebuah kesenian yang warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Sehingga keberadaan Tektekan sekarang ini semakin terkenal dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang ke Bali, terutama mereka pecinta kesenian tradisional. Kesenian tektekan sering dikolaborasikan dengan alat musik tradisional lain dan sebagai pengiring sebuah pertunjukan, seperti pada pertunjukan teatrikal drama tari Calonarang ataupun dalam fragmen tari Puputan Margarana yang pernah tampil dalam pawai Pesta Kesenian Bali (PKB).

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!