RESENSI BUKU KOMPOSISI KARAWITAN IV

Judul Buku      :  Buku Ajar Komposisi Karawitan IV

Penulis             :  I Ketut Garwa, S.Sn,M.Sn

Tahun Terbit    :  2009

Jumlah hlm      :  79

Cover Desain Halaman Depan :

Kegiatan Pementasan Jurusan Seni Tari dan Jurusan Karawitan pada “ORATORIUM TARI KEBO IWA SSEBUAH EKSPERIMEN TARI” Penciptaan Tari Nusantara Program Hibah Kompetisi (PHK) B-Seni Tahun 2009. Dan Jurusan Pedalangan, Foto Pementasan Karya Unggulan I Made Sidia

Percetakan : Okabawes

Bagian akhir halaman terdapat daftar foto-foto pementasan komposisi kontemporer

 

Studi mengenai kreativitas telah mengungkapkan menge­nai orang-orang yang dianggap memiliki daya cipta termasuk kemampuan untuk: (a) berlaku menakjubkan dan ingin tahu; (b) berbuka untuk pengalaman baru; (c) melihat keakraban dari pandangann yang tidak akrab; (d) mengambil manfaat dari kejadian yang terjadi secara tiba-tiba; (e) membuat sesuatu dari benda lain dengan mengubah fungsinya; (f) merumuskan hal­hal yang khusus untuk melihat aplikasi yang lebih luas; (g) menggabungkan, mengintegrasikan, menemukan keteraturan dan ketidakteraturan; (h) berhubungan dengan ketidaksadaran, kemudian menjadi sadar secara sungguh-sungguh; (i) mampu menganalisis dan menilai; {j) mengetahui diri sendiri, memiliki dorongan untuk menjadi diri sendiri dalam menghadapi lawan; (k) berani mengambil resiko; (1) menjadi gigih, bekerja untuk masa yang lama, mungkin bertahun-tahun dalam mencapai tujuan,

Muncul dan tumbuhnya kreativitas sampai pada berkembangnya suatu kreasi yang diciptakan tergantung bagaimana seorang composer mengimajinasikan diri­nya dengan berbagai cara untuk mengungkapkan sebuah ide tentunya dengan melalui beberapa tahapan proses seperti;

  1. Tahap persiapan (preparation) meletakkan dasar, mem­pelajari latar belakang, seluk beluk dan problematiknya.
  2. Tahap konsentrasi (concentration): sepenuhnya memi­kirkan, masuk luluh, terserap dalam masalah yang diha­dapi.
  3. Tahap inkubasi (incubation): mengambil waktu untuk meninggalkan perkara, istirahat, waktu santai. Mencari kegiatan-kegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran mengenai perkara yang sedang dihadapi.
  4. Tahap Iluminasi (illumination): adalah tahap mendapat­kan ide gagasan, pemecahan, penyelesaian, cara kerja, jawaban baru.
  5. Verifikasi fproduksi (Verificationjproduction): mengha­dapi dan memecahkan masalah-masalah praktis sehu­bungan dengan perwujudan ide, gagasan, pemecahan, penyelesaian, cara kerja dan jawaban baru.

Seni kontemporer, apapun bentuknya, adalah hasil kreativitas masyarakat masa kini dan yang bebas dari adanya ikatan­ikatan ruang, waktu dan norma-norma lama lainnya. Walau­pun sering kali berpenampilan urakan, dengan bentuk yang berubah-ubah dan mencari-cari, kesenian ini adalah kesenian serius yang menawarkan gagasan baru serta ungkapan artistic masyarakat jaman ini. Untuk menghadirkan nuansa dan na­fas-nafas baru dalam karya-karya mereka, seniman kontempo­rer Indonesia banyak meminjam dan menerapkan pendekatan serta pola garap barat yang konon terbuka bebas dan individu­al. Namun demikian materi yang digarap pada umumnya ber­asal dari lingkungan budaya mereka sendiri. Oleh karena itu, seni kontemporer Indonesia seperti yang terlihat dalam seni pertunjukan (tari, musik, teater) adalah modernisasi dan transformasi dari elemen-elemen (ide atau bentuk) seni buda­ya tradisi (nusantara).

 

 

 

RESENSI BUKU GONG ANTOLOGI PEMIKIRAN

 

Judul Buku      : Gong Antologi Pemikiran

Pengarang       : I Wayan Rai S

Penerbit           : Bali Mangsi

Tahun              : 2001

Jumlah Hal      : 209 lembar

Cetakan I – 2001. ISBN : 979-3063-01-7

Desain Grafis  : Bali Mangsi Studio

Copy Editor    : Elizabeth B. De Rosari

Distributor       : Lontong Press – Bali

Pada bagian akhir halaman terdapat ringkasan cerita Sendra Tari “Ki Lampor”. Pada sampul belakang terdapat biodata penulis buku Dr. I Wayan Rai S.

 

Kuntir dalam pelegongan menggubah Aribang dan Arikuning memperebutkan Cupu Manik Astagina, sehingga rupanya berubah menjadi kera, terlihat dari struktur dramatis/tembabak digending tarinya. (ringkasan dari halaman 16-28).

 

Dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

  1. Nada-nada Ndeng, Ndung, Ndang dan Nding (1,2,3 dan 4 atau E,U,A dan I) dari ketiga ge tersebut menunjukkan laras slendro empat nada. Hal itu bisa dibuktikan lewat sruti dari nada-nada tersebut, sebagaimana terlihat dari Chart, bahwa sruti-srutinya lebih besar dari 176 cents dengan urut sruti yang bervariasi. Sruti atau interval fitth berkisar antara 770 dan 679 cents.
  2. Laras dari ketiga genggong yang diambil dari tiga daerah serta pemain yang berbeda menunjukkan adanya perbandingan yang sangat jelas dengan laras angklung desda Mas dan UMBC.
  3. Nada terendah dari genggong, nada Ndeng, berkisar antara 452.8 Hz. Dsn 492.2 Hz. Sama dengan A + 52 cents dan Bd+94 cents. Nada terendah (Ndeng) dari angklung desa Mas adalah 410.5 Hz sama dengan G+80 cents.  Nada angklung UMBC sedikit lebih rendah, 391.3 Hz. Sama dengan G-3 cents, meskipun secara umum masih berkisar pada register yang sama.
  4. Penelitian ini membuktikan bahwa laras genggong memang benar mempunyai hubungan yang erat dengan laras slendro empat nada di Bali, khususnya laras gamelan angklung. Dengan demikian penelitian ini memperkuat pendapat para seniman dengan ahli karawitan kita.

 

Catatan :

  1. McPhee, 1937 : 322
  2. Informasi yang lebih detail mengenai Melograph lihat Hood, 1972 : dan SEMPOD pada Giuriati 1988.
  3. McPhee, 1966
  4. Mengenai teknik bermain Genggong, lihat Pacholczy, 1970 : 237-267.
  5. Perbedaan antara laras pelog dengan laras slendro dapat dilihat dari sruti-srutinya (intervalnya). Laras pelog memiliki yang bervariasi, termasuk sruti “minor second”. Laras slendro juga memiliki sruti yang bervariasi, namun laras ini pada umumnya memiliki sruti yang lebih besar serta tidak dijumpai adanya sruti yang tergolong “minor second”. Pendapat yang mengatakan bahwa laras slendro itu memiliki sruti yang sama atau hampir sama, nampaknya perlu dikaji kembali.
  6. Dalam Cart terlihat bahwa genggong tersebut memiliki nada dasar serta srti yang sedikit bervariasi. Sehubungan dengan hal ini haruslah diingat bahwa di Bali kita tidak mengenal adanya “perfect pitch” yang ada hanyalah : “approximate pitch”. (ringkasan dari halaman 68-96).

 

Dari uraian di atas terlihat bahwa sruti memegang peranan yang sangat penting dalam pepatutan gamelan Semar Pegulingan Saih pitu. Sruti yang baik akan menghasilkan embat yang baik. Dengan embat yang baik maka akan berhasil pula dicapai kelima patutan yang ada dalam gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu tersebut, yaitu : patutan tembung, Selisir, Sunaren, Baro dan Lebeng.

Lebih jauh, hal yang patut dicatat pula ialah, bahwa riset tentang seni, dalam hal ini Seni Karawitan, tidak saja dapat dilakukan dengan penelitian terapan, tetapi dapat juga dilakukan dengan penelitian murni.

 

 

 

 

 

Resensi Buku Kelompok Tembang Bali

Penulis : Made Taro

Jumlah Halaman : 44

Penerbit : SARAD, Sanggar kukuruyuk, dan Kodya Denpasar, 2001.p.xi

KELOMPOK TEMBANG BALI

  • Tembang-tembang bali tradisional/klasik, digolongkan menjadi empat bagian yaitu, Gegeendingan/Rare (dolanan); Pupuh/ Sekar Alit (Mecepat); Kidung (Sekar Madya); dan Kekawin (Sekar Ageng).
  • Sebagian Besar permainan tradisional yang biasa di mainkan oleh anak-anak itu menggunakan lagu atau di sebut “gending plalian” yaitu lagu-lagu yang digunakan atau dirangkaikan dengan permainan.
  • Bentuk Pupuh di ikat oleh tiga pola persajakan yakni, padalingsa (guru gatra); guru wilangan; dan guru dinggong.
  • Bentuk kidung dapat di kenal pada bait permulaan yang memakai bentuk “kawitan” dua bait, menyusul pemawak (nyanyian pendek) dua bait, penawa (nyanyian Panjang) dua bait.
  • Bentuk kekawin menggunakan wrtta matra dan guru-lagu.

KELOMPOK SEKAR RARE/ DOLANAN

  • Sekar rare dikelompokkan menjadi tiga bagian yakni, gending rare; gending jejangeran; dan gending sang hyang.
  • Secara musikal dan liriknya, sedikitnya ada enam fungsi penggunaan sekar rare dibali yaitu, Gending kelonan; nyanyian kerja; nyanyian permainan; nyanyian pitutur; nyanyian janger; dan nyanyian sindiran.
  • Gending sanghyang di fungsikan sebagai ritual, karena lagu tersebut bersifat sakral yakni pengiring tari sanghyang sehingga penarinya “kesurupan” (trance).

KELOMPOK SEKAR ALIT/MACAPAT

  • Bentuk nyanyian pupuh diikat oleh pada-lingse, jumlah baris ( lirik) dalam satu bait; guru wilangan, jumlah suku kata pada setiap baris; dan guru dingdong, jatuhnya/perubahan huruf hidup pada setiap akhir baris/kalimat.
  • Di Bali, paling sedikit ditemukan sebanyak 19 jenis pupuh, masing-masing mewakili ekspresi dan suasana sedih, gembira, romantis, marah, tenang, keheningan dan lain sebagainya.
  • Pupuh/macapat sering di fungsikan mengiringi upacara ritual atau semata-mata hiburan dengan lantunan nyanyian yang indah oleh seorang penembang spesialis dan kemudian di terjemahkan secara rinci arti dari tembang-tembang tersebut.
  • Tembang ini juga dijadikan inspirasi dalam Festifal Gong Kebyar yang disebut gegitaan/sandyagita yaitu inovasi tembang yang dipadukan dengan gambelan gong.
  • Untuk dapat melagukan macapat dengan baik, seorang penyanyi dituntut kualitas suara harus bagus dengan teknik mengolah suara, mengatur nafas, tau laras ( saih),tabuh/musik, dan mengerti masalah seni sastra yang berkaitan dengan tembang.

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!