• Maret 21, 2013 / 
    Etika Lingkungan hidup

    2.1  Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai Tantangan

    Pada saat ini bahwa manusia sedang berada dalam proses perusakan lingkungan dari pada ia hidupnya sendiri, lama kelamaan disadari di seluruh dunia. Banyak yang dilakukan dalam perusakan lingkungan ini misalnya penebangan hutan yang mengakibatkan tanah longsor dan banjir, penggunaan pestisida secara besar-besaran mengakibatkan merajalelanya hama seperti wereng cokelat yang kebal terhadap obat pemberantras sehingga penyakit malaria maju di seluruh dunia tropis.

    2.2  Pola Pendekatan yang Merusak

    Pola pendekatan yang merusak lingkungan hidup ini dapat di uraikan sebagai berikut, antara lain:

    1)      Pola dasar pendekatan manusia modern terhadap alam

    Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis yang artinya, manusia sekedar mau menguasai alam. Alam sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam sebagai tumpukan kekayaan dan energi yang untuk dimanfaatkan.

    2)      Sikap manusia terhadap lingkungan

    Sikap dasar itu kelihatan dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya. Sikap itu merupakan ciri khas pola pruduksi modern dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sikap dasar pendekatan manusia yang merusak lingkungan ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

    1. Dalam bidang ekonomi modern

    Ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semurah mungkin: dengan sekedar mengambil, dengan menggali dan membongkar, apa yang diperlukan, tanpa memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa proses usaha untuk memulihkan keadaan semula. Jadi kalau proses produksi dibiarkan berjalan menurut mekanisme ekonomisnya sendiri, alam dan lingkungan hidup manusia mesti semakin rusak.

    1. Dalam kehidupan sehari-hari

    Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih baik sikapnya terhadap lingkungan. Dengan seenaknya pohon ditebang, bunga di alam dipotong, sampah dibuang ke sungai, kotoran ditinggalkan berserakan di tempat piknik.

    3)      Dampak pendekatan itu

    1. Terhadap kelestarian biosfer

    Keseluruhan lapisan-lapisan kehidupan itu disebut biosfer. Ciri khas biosfer ialah terdiri dari ekosistem-ekosistem yang tak terhitung banyaknya. Ekosistem yang dimaksudkan bahwa organisme-organisme sebuah lingkungan misalnya sebuah rawa, merupakan sebuah sistem, artinya saling mempengaruhi dan saling ketergantungan sehingga menimbulkan suatu keseimbangan dalam ekosistem tersebut. Suatu kerusakan pada biosfer tak pernah terbatas hanya pada tempat kerusakan itu saja. Kerusakan itu mengganggu keseimbangan ekosistem setempat sehingga memperlemah daya tahan alam seluruhnya.  Manusia juga merupakan bagian dari ekosistem, apabila ia merusak lingkungannya, ia juga merusak ekosistem yang saling ketergantungan dengan kehidupan sehari-hari.

    1. Terhadap generasi-generasi yang akan datang

    Perencanaan manusia dewasa ini adalah dampak ulahnya bagi generasi yang akan datang. Setiap kerusakan dan peracunan wilayah yang tidak dapat dipulihkan kembali berarti menggerogoti dasar-dasar alamiah kehidupan generasi yang akan datang.

    2.3  Ciri-ciri Etika Lingkungan Hidup yang Baru

    Kalau manusia tidak mau merusak dasar-dasar eksistensinya sendiri, ia harus berubah. Perlu dikembangkan suatu sikap baru manusia tentang alam sebagai lingkungan hidupnya, seperti :

    1. Sikap dasar

    Sikap dasar yang dituntut itu dapat dirumuskan sebagai berikut : menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memelihara. Yang perlu berubah adalah cara penguasaan dan cara manfaatnya. Menguasai tidak harus sebagai pihak diluar dan diatas alam, melainkan sebagai bagian dari alam, jadi menguasai sambil menghargai, mencintai, mendukung, dan mengembangkanya.Begitu juga Memanfaatkan bukan berarti kita memanfaatkan isi alam dengan semena-mena, seperti penebangan pohon sembarang, memanfatkan yang dimaksud disini adalah seprti kita memelihara seekor sapi dengan menjaga sekaligus memeliharanya supaya sapi tersebut bisa sehat, pasti manfaatkannya akan kita dapatkan. Begitu juga alam, setiap pertemuan dengan alam kita harus menjaga dan setelah meninggalkan harus dalam keadaan yang utuh.

    1. Dua acuan tanggung jawab

    Etika lingkungan hidup yang baru harus mempunyai suatu sikap tanggung jawab terhadapnya, tanggung jawab yang dimaksud mempunyai dua acuan yaitu :

    1. Kehutuhan Biosfer

    Keterlibatan kita dengan alam yang memang harus berjalan terus, mesti tidak lepasnya dari suatu tanggung jawab supaya semua proses kehidupan yang berlangsung bisa tidak punah dan tetep lestari. Kita harus peka terhadap keseimbangan suatu ekosistem, karena keterlibatan kita harus berdasarkan tanggung jawab terhadap segala isi dari alam semesta ini demi kelangsungan semua proses kehidupan.

    1. Generasi-generasi yang akan datang

    Bertanggung jawab terhadap generasi-generasi yang akan datang yang dimaksud disisni adalah seperti misalnya kita menjadi orang tua yang baik, harus menjaga rumah, semua perabotan dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu. Sikap ini harus menjadi sikapm yang umum bagi semua manusia terhadap generasi-generasi yang akan datang. Kita dibebani tanggung jawab yang berat untuk menjaga semua warisan ekosistem bumi supaya selalu dalam keadaan baik dan utuh untuk generasi, anak,ccucu, buyut, cicit kita, supaya mendapatkan warisan yang masih dalam keadaan baik. Sikap tanggung jawab tersebut bisa dirumuskan dalam prinsip tanggung jawab terhadap lingkungan, yang dimaksud disini adalah segala usaha untuk bertindak harus dalam naungan tanggung jawab supaya akibat-akibat dari tindakan kita tidak merusak, bahkan tidak membahayakan atau mengurangi kemungkina-kemungkinan kehidupan manusia dalam kehidupannya, baik yang hidup pada masa sekarang maupun generasi-generasi pada masa yang akan datang.

    1. Unsur-unsur etika lingkungan baru

    Etika lingkungan baru dapat dirangkum menjadi lima unsur yang dirangkum sebagai berikut :

    1. Kita harus belajar menghormati alam

    Dalam hal ini kita liha alam tidak semata-mata sebagai suatu yang berguna, melainkan mempunyai nilai-nilai tersendiri, seperti kehindahannya yang timbul dengan alami, yang bisa menjadi objek wisata, bagi toris Mancanegara, tetapi alangkah baiknya juga kita ikut menjaga dan ikut dalam proses-proses alam, sehingga menimbulkan pemandangan indah, yang harus tetep dijaga keutuhannya.

    1. Kita harus membatinkan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap lingkungan lokal kita sendiri.

    Mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan lokal yang dimaksud disini adalah menjaga kebersihan lingkungan sekitar, supaya lingkungan kita menjadi bersih, sehat, alamiah. Untuk melatih hal tersebut perlu adanya kebiasaan untuk tidak membuang sampah sembarangan, menjaga dan merawat kelestarian lingkungan supaya tetep indah dan terjaga.

    1. Kita harus bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer

    Kita sendiri termasuk biosfer yang merupakan bagian dari ekosistem, maka dari itu kesadaran kita bahwa sebagai partisipan dalam biosfer, kita tidak akan melakukan apa pun yang mengancam kesehatan dan ketangguhannya.

    1. Etika lingkungan hidup baru membuat larangan keras untuk merusak, mengotori,dan meracuni.

    Diamana pun kita berada, kita bagian dari ekosistem seharusnya tidak merusak, mengotori, mematikan, membuang, menyia-nyiakan dan menghabiskan alam sekitar.

    1. Solidaritas dengan generasi-generasi yang akan datang

    Generasi yang akan datang harus menjadi acuan tetap dalam komunikasi kita dengan lingkungan hidup, begitu pula tetap terus bertanggung jawab terhadap ekosistem bumi secara utuh hingga jazan sudah mulai modern.

    1. Etika Lingkungan Hidup dan Niali-nilai Tradisional

    Meskipun sering dikatakan bahwa masyarakat merusak lingkungan, akan tetapi kesuburan sawah-sawah dan kelestarian hutan di Nusantara selama ribuan tahun pengolahan membuktikan bahwa nenek-moyang kita menguasai seni menggunakan sambil memelihara.

    Tentang masyarakat Dayak misalnya, diketahui bahwa mereka akrab dengan hutan. Mereka juga membakar hutan untuk membuka lading baru, tapi hal itu tidak mengakibatkan kebakaran hutan yang terkontrol, karena secara Tradisional mereka mempunyai cara-cara seperti memperhitungkan arah angin, memilih lokasi areal untuk dibakar agar mencegah terjadinya musibah.

    3.1  Kesimpulan

    Kerusakan lingkungan hidup adalah tantangan bagi manusia itu sendiri. Banyak yang dilakukan dalam perusakan lingkungan ini misalnya penebangan hutan yang mengakibatkan tanah longsor dan banjir, penggunaan pestisida secara besar-besaran mengakibatkan merajalelanya hama seperti wereng cokelat yang kebal terhadap obat pemberantras sehingga penyakit malaria maju di seluruh dunia tropis.

    Ciri-ciri etika lingkungan hidup yang baru kalau manusia tidak mau merusak dasar-dasar eksistensinya sendiri, ia harus berubah. Perlu dikembangkan suatu sikap baru manusia tentang alam sebagai lingkungan hidupnya, seperti :

    1. Sikap dasar.
    2. dua acuan tanggung jawab.
    3. Unsur-unsur etika lingkungan baru.
    4. etika lingkungan hidup dan niali-nilai Tradisional.

    3.2  Saran

    Kepada pembaca sebaiknya memahami dahulu isi dari Makalah ini agar kelak nanti tidak menyalah gunakan ekosistem yang ada di alam semesta ini, karena jika salah mempergunakan isi alam ini bisa mengakibatkan malapetaka bagi mahkluk hidup yang ada di dunia ini.

     

    Sumber  : Buku panduan Etika Sosial

     

     Analisis Struktur Dramatik Lakon Sumantri Versi
    Dewe Komang Surya Wibawa, S.sn.

    2.1 Sinopsis Lakon Sumantri Versi Dalang Dewe Komang Surya Wibawa, S.sn.

    Diceritakan raja Mayaspati yakni Arjuna Sastra Bahu, yang mengutus Sumantri pergi ke Gunung Utara Desa untuk mencari Taman Sriwedari, Sumantri tidak mampu menjalani tugas yang diberikan oleh raja, Sumantri sempat putus asa, namun didalam hutan dia bertemu dengan adiknya yang bernama Sukasrana, yang dulu pernah ditinggal pada waktu mau ikut mengabdi kekerajaan Mayaspati, namun karena Sumantri malu mempunyai adik yang buruk rupa ditinggallah sukasrana. Namun sakeng setiannya Sukasrana sama kakaknya Sumantri, dibantulah untuk mencarikan Taman Sriwedari tersebut.

    Tugas yang diberikan Sumantri kepada Sukesrana membuahkan hasil, Sukesrana mampu menjalankan tugasnya untuk membawa Taman Sriwedari, kesetiaan Sukesrana kepada Sumantri tidak diragukan lagi, kemanapun Sumantri pergi, Sukesrana selalu mengikutinya, tetapi Sumantri tidak suka diikuti oleh Sukesrana, karena Sukesarana berwajah jelek tetapi berjiwa baik hati. Ketika Sumantri akan membawa Taman Sriwedari kepada Raja, Sukesrana ingin mengikuti Sumantri, karena Sumantri tidak ingin diikuti oleh Sukesrana, maka Sumantri mengambil busur dan mementangkan anak panah, Sukesrana tetap bersikeras selalu mengikuti kakaknya, namun tanpa disengaja, terlepaslah anak panah yang dibentangkan Sumantri, sehingga terbunuhlah Sukesarana, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Sukesrana berjanji akan membunuh Sumantri. Sumantri  sangat sedih dan menyesali perbuatanya yang telah membunuh saudaranya.

    Setelah hari silih berganti, kerajaan Mayaspati memberikan Sumantri gelar, Patih Suande, karena dia mampu mebawa Taman Sriwedari ke Mayaspati dan Sumantri akan mengabdi dan mempertahankan  kerajaan Mayaspati. Dilain sisi ada kerajaan yang bernama Alengka Raja, raja raksasa yang bernama Rahwana, yang ingin menggempur kerajaan Mayaspati, yang niatnya untuk memperluas kerajaannya. Perang dasyatpun tak terelakan, ketika perang saling berkecamuk, patih Suanda dalam mempertahankan kerajaan Mayaspati, berhsil memukul mundur para raksasa atas pimpinan raja Rahwana tersebut, yang kemudian perang tanding antara patih Suanda melawan Rahwana, saat Rahwana mampu disudutkan oleh patih Suanda, roh Sukesrana masuk ketubuh Rahwana, sehingga Rahwana menjadi lebih kuat dan agresif, sehingga mampu membunuh Sumantri yang sudah bergelar patih Suanda.

    2.2 Tema dan Amanat.

    Adapun tema yang diangkat dalam lakon Sumantri versi dalang Surya Wibawa ialah “Patriotisme” (Kepahlawanan). Pertimbangan peneliti  merumuskan  tema  tersebut didasarkan karena sumantri membela dan mempertahankan kerajaan mayaspati dengan kemampuan yang dimilikinya, dari gempuran raja Alengka. Jadi  amanat  yang bisa diambil  dalam  lakon Sumantri  ini adalah nilai-nilai Kepahlawana yang  ada  pada tokoh Sumantri yang pantas diteladani dalam kehidupan ini. Kita harus mempunyai jiwa kepahlawanan demi membela Negara kita walaupun sampai darah pengabisan.

    2.3 Alur.

    Dalam  lakon Sumantri versi dalang Surya Wibawa ini  alur  yang digunakan  adalah  alur  maju.  Disitu terlihat dengan jelas jalinan peristiwa dalam suatu lakon berurutan  dan  berkesinambungan  secara  kronologis  dari tahap  awal  sampai tahap akhir ceritera,  melalui  tahap-tahap pemaparan, penggawatan atau perumitan, klimaks atau puncak dan kemudian  penyelesaian. Namun dalam lakon ini juga menggunakan alur ganda karena dalam lakon ini juga menceritakan di Hutan dan di kerajaan Alengka Raja.

    2.4 Struktur Alur Sumantri.

    1. Eksposisi dalam lakon Sumantri versi Dalang Surya Wibawa  ini terdapat pada adegan pertama diceriterakan bahwa diutusnya Sumantri oleh Arjuna Sastra Bahu untuk mencari taman sriwedari, sebelum dia akan diterima dikerajaan Mayaspati, Arjuna Sastra Bahu memberikan tugas tersebut karena ingin mengetahui seberapa besar niat sumantri ingin mengabdi kepada kerajaan Mayaspati yang dipimpin oleh Arjuna Sastra Bahu.
    2. Konflik atau pertikaian pada lakon Sumantri yang pertama terjadi pada adegan ke-III dimana pada waktu Sukesrana sudah mendapatkan Taman Sriwedari dan ingin membawa ke puri Mayaspati, namun sumantri tidak mengijinkan, karena Sumantri malu mempunyai saudara buruk rupa, namun Sukesrana tetap gigih ingin ikut menghadap Arjuna Sastra Bahu,  sampai Sumantri mengeluarkan senjata, untuk menakut-nakuti adiknya Sukasrana, namun Sukasrana tetap gigih ingin ikut kakaknya untuk bertenu dengan Arjuna Sastra Bahu, dan akhirnya tanpa disengaja busur panah terlepas dan terbunuhlah sukesrana oleh senjata yang dibawa sumantri.
    3. Peristiwa mulai menggawat dan merumit pada waktu terbunuhnya sukesrana, dan sukesrana berjanji kelak dia juga akan membunuh sumantri
    4. Klimaks  atau puncak ceritera Sumantri yaitu pada adegan ke-VI dimana pada waktu itu datang serangan dari raksasa-raksasa yang diperintahkan oleh raja Rahwana untuk menggempur kerajaan Mayaspati, dan peperanganpun tak bisa terhidari, pasukan raksasa kalah dan Rahwana turun ke medan perang untuk melawan Sumantri, ditengah peperangan rahwana sempat kalah karena kesaktian Sumantri, namun pada waktu itu datanglah harwah Sukesna memasuki tubuh Rahwana, Rahwanapun menjadi sangat sakti dan akhirnya bisa membunuh Sumantri.
    5. Tahap resolusi dalam lakon Sumantri yaitu pada waktu sukesrana datang untuk menepati janjinya untuk membunuh kakaknya Sumantri, lewat perantara Rahwana. Dan akhirnya Sumantri mati.

    2.5 Penokohan

    Tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Sumantri adalah Sumanti. Ada beberapa alasan untuk  mengetahui bahwa  Sumantri sebagai tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Sumantri. Adapun alasan tersebut adalah pertama  dilihat dari nama dan judul lakonnya adalah Sumantri. Selain itu dari keseluruhan ceritera Sumantri menceritakan kehidupan ataupun peristiwa Sumantri.  Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa Sumantri adalah tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Sumantri atau sering disebut tokoh protagonisnya. Sedang tokoh antagonis dalam lakon Sumantri  ini adalah  Raja Rahwana dari Alengka raja. Jelas  sekali karena memang Rahwana adalah peran lawan yang menjadi musuh  atau mencari gara-gara, menyebabkan  timbulnya suatu konflik atau  tikaian, yang mengacu terjadinya perang.

    2.6.  Latar/setting.

    Lokasi atau tempat kejadian dalam lakon Sumantri versi dalang Surya Bawa ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

    ü  Di Kerajaan Mayaspati, Pada waktu Sumantri diutus untuk mencari Taman Sriwedari.

    ü  Di Dalam Hutan, Pada waktu Sumantri bertemu dengan Sukasrana.

    ü  Di Kerajaan Alengka, pada waktu Rahwana akan menggempur kerajaan Mayaspati.

     

    Analisis Struktur Dramatik Lakon Patih Suanda Versi
    I Made Sukadana, S.sn.

    3.1 Sinopsis Lakon Patih Suanda Versi Dalang I Made Sukadana, S.sn.

    Cerita ini berawal dari rasa putus asa Sumantri atas printah sang raja Mayaspati yakni Arjuna Sastra Bahu, yang mengutus untuk mencari Taman Sriwedari, dan memindahkanya ke Mayaspati tanpa sehelai daunpun yang boleh jatuh. Sumantri tidak mampu menjalani tugas yang diberikan oleh raja, Sumantri merasa jangankan mengetahui, mendengar namanya saja belum pernah, dalam keputusasaan didalam hutan dia bertemu dengan adiknya yang bernama Sukasrana, yang dulu pernah ditinggal pada waktu mau ikut mengabdi kekerajaan Mayaspati, karena Sumantri malu mempunyai adik yang buruk rupa ditinggallah sukasrana. Walaupun buruk rupa, kedigjayaan atu kesaktian Sukasrana seorang raksasa yang diperhitungkan oleh musuh-musuhnya. Karena sakeng setiannya Sukasrana sama kakaknya Sumantri dibantulah untuk mencarikan Taman Sriwedari tersebut.

    Sukesrana mampu menjalankan dan meminahkan Taman Sriwedar kekerajaan Mayaspati, kesetiaan Sukesrana kepada Sumantri tidak diragukan lagi, sakeng cintanya kepada sang kakak dan ingin mengabdikan dirinya pada sang kakak maka kemanapun Sumantri pergi, Sukesrana selalu mengikutinya, tetapi Sumantri tidak suka diikuti oleh Sukesrana, karena Sukesarana berwajah jelek. Ketika Sumantri akan mengadap kehadap Raja, Sukesrana ingin mengikuti Sumantri, karena Sumantri tidak ingin diikuti oleh Sukesrana, maka Sumantri mengambil busur dan mementangkan anak panah untuk menakut-nakuti adiknya, Namun sang adik Sukesrana tetap bersikeras selalu mengikuti saudaranya, namun tanpa sengaja, terlepaslah anak panah yang dibentangkan Sumantri, sehingga terbunuhlah Sukesarana, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Sukesrana berjanji akan membunuh Sumantri. Sumantri  sangat sedih dan menyesali perbuatanya yang telah membunuh saudaranya.

    Setelah hari silih berganti, kerajaan Mayaspati memberikan Sumantri gelar, Patih Suande, karena dia mampu mebawa Taman Sriwedari ke Mayaspati dan Sumantri akan mengabdi dan mempertahankan  kerajaan Mayaspati.

    Disaat sang raja Mayaspati dengan sang permaisuri sedang mandi disungai Sedayu, sang Permaisuri ingin berendam maka Arjuna Sastra Bahu mengutus Sumantri yang sudah bergelar Patih Suanda untuk membendung air sungai Sadayu. Namun air sungai yang meluap itu menyebabkan kerajaan Alengka kebanjiran, raja raksasa yang bernama Rahwana tersinggung merasa dihina dan diperlakukan tidak adil, Maka Rahwana ingin menggempur kerajaan Mayaspati, dalam mempertahankan dan memperluas kerajaannya. Perang dasyatpun tak terelakan, ketika perang saling berkecamuk, patih Sumantri dalam mempertahankan kerajaan Mayaspati, berhsil memukul mundur para raksasa atas pimpinan raja Rahwana, yang kemudian perang tanding antara Sumantri melawan Rahwana, saat Rahwana mampu disudutkan oleh Sumantri, seketika dunia gelap gulita dimatanya Sumantri, dan muncul roh Sukesrana masuk ke tubuh Rahwana, sehingga Rahwana menjadi lebih kuat dan agresif, sehingga mampu membunuh Sumantri. Dengan gugurnya patih suanda pasukan mayaspati menjadi kalang kabut, datanglah arjuna sastrabahu sebagai raja mayaspati turun kemedan perang, dengan kesaktian triwikramanya raja alengka dapat dikalahkan dan melarikan diri.

    3.2 Tema dan Amanat.

    Dalam cerita ini ada beberapa tema yang muncul, namun tema yang sangat kuat adalah tema kesetiaan, baik setia adik pada kakak, setia pada negara dan kesetiaan pada haknya. Jadi  amanat  yang bisa diambil  dalam  lakon Sumantri  ini adalah Kesetiaan Seorang Abdi kepada kerajaannya, yang patut kita pakai gambaran untuk kedapannya. Jangan biarkan hak yang kita miliki sampai diambil oleh orang lain. Namun kita tidak terlepas dari sifat Baik dan buruk, dari sifat Sumantri yang tidak pantas ditiru adalah rasa malu karena mempunyai adik yang buruk rupa.

    3.3 Alur.

    Dalam  lakon Sumantri versi dalang sukadana ini  alur  yang digunakan  adalah  alur  maju.  Disitu terlihat dengan jelas jalinan peristiwa dalam suatu lakon berurutan  dan  berkesinambungan  secara  kronologis, dari tahap  awal  sampai tahap akhir ceritera  melalui  tahap-tahap pemaparan atau perkenalan penggawatan atau perumitan klimaks atau puncak peleraian dan kemudian  penyelesaian. Namun dalam lakon Sumantri ini juga  menggunakan alur  ganda. Pada alur intinya adalah  peristiwa  Sumantri itu sendiri disaat ia putus asa atas tugas yang diembannya yang tak mampu ia emban dan juga rasa ingin mengabdi pada kerajaan menjadi pergolakan batin yang luar biasa tetapi alur ceritanya berubah dimana setelah adiknya bisa membantu, diangkatlah sumantri jadi Patih suanda yang berati setia. Dalam  jenis lakon bentuk wayang kulit purwa seperti  pada lakon Patih suanda, alur yang dipakai sering disebut  alur lapis. Lapis pertama adalah kehidupan dihutan seperti alam  tempat kehidupan manusia dan  makhluk  lainnya. Lapis kedua, alur kehidupan di kerajaan yaitu tempat Para Raja dengan kehidupan serba berkecukupan .

     3.4 Struktur Alur Patih Suanda

    1. Eksposisi dalam lakon Patih Suada versi Dalang I Made Sukadana  ini terdapat pada adegan pertama diceriterakan rasa putus asa Sumantri atas printah sang raja Mayaspati yakni Arjuna Sastra Bahu, yang mengutus untuk mencari Taman Sriwedari, dan memindahkanya ke Mayaspati tanpa sehelai daunpun yang boleh jatuh. Sumantri tidak mampu menjalani tugas yang diberikan oleh raja, Sumantri merasa jangankan mengetahui, mendengar namanya saja belum pernah, dalam keputusasaan didalam hutan dia bertemu dengan adiknya yang bernama Sukasrana, yang dulu pernah ditinggal pada waktu mau ikut mengabdi kekerajaan Mayaspati, karena Sukesrana setia dan bakti kepada kakaknnya dibantulah Sumantri untuk mencari  Taman Sriwedari
    2. Konflik atau pertikaian pada lakon Patih Suanda yang pertama terjadi pada adegan ke-III dimana pada waktu Sukesrana sudah mendapatkan Taman Sriwedari dan ingin membawa ke puri mayaspati, namun sumantri tidak mengijinkan, karena sumantri malu mempunyai saudara buruk rupa, namun sukesrana tetep gigih ingin ikut menghadap Arjuna Sastra Bahu,  sampai sumantri mengeluarkan senjata, untuk menakut-nakuti adiknya Sukasrana, namun sukasrana tetap gigih ingin ikut kakaknya untuk bertemu sama Arjuna Sastra Bahu, dan akhirnya tanpa disengaja terbunuhlah sukesrana oleh senjata yang dibawa sumantri.
    3. Peristiwa mulai menggawat dan merumit pada waktu terbunuhnya sukesrana, dan sukesrana berjanji kelak dia juga akan membunuh sumantri
    4. Klimaks  atau puncak ceritera Sumantri yaitu pada adegan ke-VI dimana pada waktu itu datang serangan dari raksasa-raksasa yang diperintahkan oleh raja Rahwana untuk menggempur kerajaan mayaspati, karena sudah membuat kerajaan alengka menjadi banjir dan peperanganpun tak bisa terhidari, pasukan raksasa kalah dan Rahwana turun ke medan perang untuk melawan sumantri, ditengah peperangan rahwana sempat kalah karena kesaktian Sumantri, namun pada waktu itu datanglah harwah Sukesna memasuki tubuh Rahwana, Rahwanapun menjadi sangat sakti dan akhirnya bisa membunuh Sumantri.
    5. Tahap resolusi atau peleraian dalam lakon Patih Suanda yaitu pada waktu sukesrana datang untuk menepati janjinya untuk membunuh kakaknya Sumantri, lewat perantara Rahwana. Dan akhirnya Sumantri mati.

    3.5 Penokohan

    Tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Patih Suanda adalah Sumanti. Ada beberapa alasan untuk  mengetahui bahwa  Sumantri sebagai tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Sumantri. Adapun alasan tersebut adalah pertama  dilihat dari nama dan judul lakonnya Patih Suanda adalah Sumantri. Selain itu dari keseluruhan ceritera Sumantri menceritakan kehidupan ataupun peristiwa Sumantri.  Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa Sumantri adalah tokoh utama dan tokoh sentral dalam lakon Sumantri atau sering disebut tokoh protagonisnya. Sedang tokoh antagonis dalam lakon Sumantri  ini adalah  Raja Rahwana dari Alengka raja. Jelas  sekali karena memang Rahwana adalah peran lawan yang menjadi musuh  atau mencari gara-gara, menyebabkan  timbulnya suatu konflik atau  tikaian, yang mengacu terjadinya perang.   Sedangkan yang  berperan sebagai tokoh pelerai atau pendamai  dalam lakon  ini  adalah Arjuna Sastra Bahu, karena pada waktu sumantri sudah mati dibunuh rahwana, datanglah Ajuna Sastra Bahu dengan kesaktian Triwikramanya Raja Rahwana kalah dan melarikan diri.

    3.6  Latar/setting.

    Lokasi atau tempat kejadian dalam lakon Patih Suanda versi dalang I Made Sukadana ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

    ü  Di Dalam Hutan, Pada waktu Sumantri sempat putus asa karena tidak mengetahui tempat Taman Sriwedari. Dan pada watu itu Sumantri bertemu dengan Sukasrana.

    ü  Di Kerajaan Mayaspati, pada waktu sudah dibawanya Taman tersebut oleh Sukasrana, dan meninggalnya Sukasrana yang dibunuh dengan tidak kesengajaannya Sumantri.

    ü  Di Kerajaan Alengka, pada waktu Rahwana akan menggempur kerajaan Mayaspati yang merasa dihina karena wilayahnya digenam banjir, pada waktu Sumnatri membendung sungai.

    4.1 Koperasi atau Perbandingan lakon secara keseluruhan

    Dalam Sinopsis lakon Sumantri yang kami bandingkan tersebut merupakan perbandingan antara lakon yang disajikan secara umum di Bali. Dalam penyajian kedua dalang yang saya wawancarai seperti yang sudah saya paparkan diatas, dampak ada persamaan-persamaan yang sangat jelas dalam penyajian kedua dalang tersebut, yakni mengisahkan tentang perjalan sumantri yang akan mengabdi di kerajaan Mayaspati dibawah pimpinan Arjuna Sastra Bahu dan sampai akhirnya sumantri meninggal karena pengabdiannya yang begitu setia dengan kerajaan Mayaspati. Walapun dulunya pernah membuat kesalahan yang tidak disengaja yaitu membunuh adiknya yang bernama Sukasrana.

    Namun dalam Sinopsis tersebut terdapat berbagai tambahan-tambahan yang terdapat dalam cerita yang tak terdapat dalam cerita aslinya. Mengingat itu merupakan kemampuan seorang dalang untuk menyanggit suatu lakon, dikemas sedemikian rupa sehingga lebih menarik dalam pertunjukan. Berikut adalah beberapa perbandingan yang tampak dalam kedua sinopsis tersebut.

    1. Menurut Versi dalang Surya Wibawa judul ceritera dari lakon Sumantri adalah tetep dengan Judul yang aslinya yaitu “SUMANTRI” . Sedangkan  Versi dalang I Made Sukadana Judul yang sudah tidak asing lagi dimasyarakat diganti menjadi “PATIH SUANDA”.
    2. Dalam menyajikan lakon Sumantri dalang Surya Wibawa mengambil dari petangkilan Sumantri dengan Arjuna Sastra Bahu yang akan mengutus Sumantri untuk mencari Taman Sriwedari. Sedangkan penyajian dari dalang I Made Sukadana dimulai ditengah hutan diman pada Sumantri merasa putus asa karena tidak mengetahui tempat taman tersebut dan akhirnya bertemu dengan Sukasrana.
    3. Dalam Versi dalang Surya Wibawa terjadinya peperangan antara pihak Alengka dan Mayaspati karena kerajaan Alengka yang menggempur Mayaspati untuk memperluas kekuasaan sedangkan dalam Versi I Made Sukadana tejadinya serangan Alengka ke kerajaan Mayaspati karena waktu sumantri mebendung sungai, airnya meluap sampai membanjiri wilayah Alengka. Itu sebabnya Rahwana memrintahkan pasukannya untuk menggempur kerajaan Mayaspati.
    4. Pada waktu perang kerajaan alengka melawan Kerajaan Mayaspati Arjuna Sastra Bahu tidak dilibatkan, dan akhir ceritanya adalah setelah Sumantri mati, menurut Versi dalang Surya Wibawa. Sedangkan menurut Versi I Made Sukadana Arjuna Sastra Bahu dilibatkan dalam perang ini, pada waktu sumantri mati, dan pasukan Mayaspati menjadi kalang kabut, disana Arjuna Sastra Bahu datang untuk melawan Rahwana.

    Dalam kedua sinopsis di atas memperlihatkan bahwa dalang sangat memanfaatkan keahliannya dalam menyanggit atau mengkemas cerita sehingga sangat inovativ dan kreatif dalam penyajian cerita, namun tidak meninggalkan pakem atau aturan-aturan yang ada sehingga nampak beretika dan berestetika dalam pertunjukan.

     

    Kesimpulan         :

    Dalam Sinopsis lakon Sumantri yang kami bandingkan tersebut merupakan perbandingan antara lakon yang disajikan secara umum di Bali. Dalam penyajian kedua dalang yang saya wawancarai, dampak ada persamaan-persamaan yang sangat jelas dalam penyajian kedua dalang tersebut, yakni mengisahkan tentang perjalan sumantri yang akan mengabdi di kerajaan Mayaspati dibawah pimpinan Arjuna Sastra Bahu dan sampai akhirnya sumantri meninggal karena pengabdiannya yang begitu setia dengan kerajaan Mayaspati. Walapun dulunya pernah membuat kesalahan yang tidak disengaja yaitu membunuh adiknya yang bernama Sukasrana.

    Dalam lakon ini merupakan sanggit atau kemampuan seorang dalang dalam mengolah cerita sehingga lebih menarik dan atraktif. Lakon ini merupakan sarana media untuk masyarakat dan juga sebagai media pencerahan agar masyarakat dapat meniru tingkah laku yang baik dari karakter-karakter wayang yang mengambil andil dalam lakon tersebut. Seperti salah satu contoh tokoh Sukasrana. Kisah ini memiliki nilai bahwa kita dapat mengendalikan diri kita dari rasa iri dan dengki terhadap keistimewaan dan hal-hal yang dimiliki oleh orang lain. sehingga kita terhindar dari kehancuran atas keinginan kita yang tak terkendali. Sukesrana adalah Tokoh yang selalu berusaha untuk setia dan selalu berpihak kepada kebenaran. Dan sikap bijaksana menjadi dasar dan komitmen diri kita untuk menjadi insan yang berbudi luhur.

     

    Tugas Seni Pertunjukan Indonesia

    Menganalisis Wayang Lemah

     

    Oleh :

    I Made Ariasa

    NIM  : 201203001

     

     

     

     

     

     

    INSTITUT SENI INDONESIA

    DENPASAR

    2013

    KATA PENGANTAR

    Om Swastyastu

    Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas paper ini guna memenuhi tugas mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia, kususnya dalam menganalisis kesenian Wayang Lemah (Wayang Gedog) di Bali.

    Dalam penyusunan paper ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, baik itu yang datang dari penulis maupun yang datang dari luar. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan paper ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua juga para sahabat, terutama pertolongan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.

    Paper ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Sini Pertunjukan kususnya dalam bidang seni Wayang Lemah, dan permasalahan lainnya, yang saya dapatkan dari sumber seorang Dalang yang bernama I Made Sukadana, S.sn.

    Semoga paper ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Penulis sadar bahwa paper ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi baiknya penulisan dimasa yang akan datang.

    Om Santih, Santih, Santih Om

    Denpasar, Juni 2013

    Penulis

     

     

    DAFTAR ISI

    Kata pengantar………………………………………………………………………..       ii

    Daftar isi………………………………………………………………………………        iii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1  Latar belakang…………………………………………………………………….         1

    1.2  Rumusan masalah…………………………………………………………………         2

    1.3  Tujuan Penulisan….……………………………………………………………….          2

    1.4  Manfaat Penulisan………………………………………………………………            ..          2

    BAB II PEMBAHASAN

    2.1  Pengertian Wayang Lemah……………………………………………………………………….            3

    2.2  Latar Belakang menjadi seorang Dalang..….……………………………………..         4

    2.3  Sarana yang dipakai dalam Pementasan Wayang Lemah………………………..           4

    BAB III PENUTUP

    3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………..             7

    3.2 Saran…………………………………………………………………………….            7

    DAFTAR PUSTAKA

     

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1  Latar Belakang

     

    Sejak zaman dulu pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

    Berbicara masalah pertunjukan wayang kulit, kita tidak lepas dari peranan Dalang sebagai pelaku utama, Dalang dalam hal ini mempunyai tugas yang utama yang harus diperlihatkan pada saat pementasan. Tugas yang yang dimaksud adalah disamping memainkan wayang, yang dilakukan harus mampu menyajikan berbagai macam pengetahuan kepada penonton baik pengetahuan dibidang sosial, budaya, agama, sastra sebagai sumbernya maupun tuntunan yang lain. Kompleksnya ilmu yang harus dipahami seorang Dalang, karena Dalang sering disebut dengan Tuhan, karena dalam pementasannya Dalang mempunyai kebebasan yang luas dalam mengolah sebuah cerita, kebebasan yang dimaksud tentu saja diikat oleh kode etik yang harus dipatuhi oleh seorang Dalang. Disamping sebagai seorang seniman yang sudah barang tentu harus berbekalkan keterampilan yang tidak sedikit ia juga seorang pendidik (guru loka) atau sebagai penerang, ahli filsafat sekaligus juga penghibur. menempatkan posisi dalang dalam kancah kesenimanan, merupakan seniman yang serba bisa yang dimaksud dalam hal ini adalah dalang harus menguasai berbagai bidang seni yang mendukung daripada pertunjukannya, seperti seni music (kerawitan) seni teater, seni tari, seni kriya (patung) dan seni Suara.

    Wayang Kulit adalah seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata. Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu: Wayang peteng dan Wayang Lemah (Wayang Gedog).

    Selain sebagai wayang hiburan, di Balai wayang juga sebagai pelengkap dalam upacara Agama, seperti Wayang Lemah. Berbicara masalah Wayang Lemah adalah sudah sangat umum di bali, kususnya bagi yang memeluk agama Hindu, karena wayang lemah atau wayang Gedog tersebut adalah wayang yang disakralkan untuk melengkapi dan mengiringi jalannya upacara Panca Yadnya. Itu sebabnya semasih adanya upacara keagamaan,  wayang kulit di Bali tidak akan punah untuk selamanya. Terkait dengan Wayang Lemah, saya mewawancarai seorang dalang yang sudah belajar tentang ilmu pedalangan dari tamat SMP sampai diperguruan tinggi dan sekarang masih juga belajar kepada seniman alam, kususnya dibidang ilmu pedalangan, yaitu I Made Sukadana.

    1.2  Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan yaitu :

    1. Bagaimana pengertian Wayang Lemah
    2. Apa yang menyebakan I Made Sukadana ingin menjadi Dalang
    3. Apa saja yang dipakai dalam Wayang Lemah

    1.3  Tujuan

    Tujuan dari penulisan paper yang mengangkat judul Wayang Lemah ini yaitu :

    1. Supaya mengetahui apa itu Wayang Lemah di Bali
    2. Untuk mengetahui apa latar belakangnya I Made Sukadana menjadi Dalang
    3. Supaya mengetahaui sarana apa saja yang dipakai dalam pertunjukan Wayang Lemah

    1.4  Manfaat

    Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah :

    • Supaya pembaca dapat mengetahui segala hal yang menyangkut tentang Wayang Lemah, yang mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga Masyarakat. Numun kebanyakan masyarakat tidak mengetahui makna maupun tujuannya yang terkandung didalam Wayang Lemah itu sendiri.

     

    BAB II

    PEMBAHASAN

     

    “Wayang Lemah menurut Dalang I Made Sukadana”

     

    2.1   Pengertian Wayang Lemah

    Wayang Lemah adalah salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : “ngruat”. Diantaranya wayang Sapu-Leger adalah yang paling angker dan paling berat, baik bagi Ki Dalang maupun bagi yang berkepentingan, sedang fungsinya khusus untuk ngruwat kelahiran, (manusa yadnya), yaitu marisuddha (ngruwat) orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Wayang Suddhamala dan wayang Lemah itu mempunyai fungsi lebih umum, yaitu mengiringi upacara yang disebut Panca Yadnya yaitu manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya dan resi yadnya. Di beberapa tempat Wayang Lemah juga disebut dengan Wayang Gedog

    Sesuai dengan namanya wayang Lemah semestinya dipentaskan pada siang hari sejalan dengan yadnya yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah mengiring Panca yadnya, seperti yang tertera diatas. Akan tetapi apabila yadnya itu dilakukan dikala malam hari, wayang Lemahpun dipentaskan pada malam hari pula beriringan dengan jalannya yadnya. Pementasan baik dikala siang maupun pada malam hari namun dengan tidak mengurangi maknanya, intinya adalah untuk mengiringin Uapacara Agama. Wayang Lemah dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan) sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada batang kayu dadap yang ditancapkan pada batang pisang di kedua sisi dalang.

    Pemakaian lakon wayang Lemah disesuaikan dengan jenis yadnya, umpama untuk mengiringi Dewa yadnya diambilkan dari ceritra Dewa Ruci atau Maha Bharata (Parwa), misalnya Wana Parwa yang isinya mengandung ungkapan-ungkapan bahwa Dewa-Dewalah penegak kebenaran dan keadilan. Apabila untuk manusia yadnya, Pitra yadnya, Bhuta yadnya, Resi yadnya, lakonya juga dicarikan dari Maha Bharat (Asta Dasa Parwa), Bhima Suarga dan Dewa Ruci. Selesailah sudah mengungkapkan garis-garis besar dari wayang Lemah. Dan juga wayang Lemah biasanya diiringi dengan Gamelan pengiringnya adalah gender wayang yang berlaras slendro (lima nada).

     

    2.2   Awal Mulanya I Made Sukadana Terjun di Dunia Pedalangan

    Teropsesi menjadi dalang karena ingin menjadi dalang sendratari yang melihat dari para dalang yang sudah biasa mendalang seperti bapak Dewa Sayang dan bapak Ketut Kodi yang pernah ditontonya di Art Centere, namun di lingkungan saya dipejeng tidak terlalu banyak mempelajarinya karena terlalu sulit untuk menjadi seorang dalang, dan saya mencoba untuk terjun di dunia pedalangan, walaupun dirumah saya tidak ada keturunan Dalang, dan saya yang pertama memulai untuk menjadi seorang Dalang, dengan saya mencoba untuk mempelajari tentang ilmu pedalangan. Memang orang tua saya pelaku seni, namun seni yang ditekuni adalah seni Tari, dan belau adalah seorang penari Arja Basur. Memang saya dari kecil suka belajar  menari, tetapi saya teropsesi untuk mempelajari seni yang lainya yaitu pedalangan, setelah tamat SMP tahun 1989, saya mendalami belajar pedalangan di SMKI atau Kokar  dan yang sekarang berganti nama lagi menjadi SMK N 3 Sukawati.  Saya belajar di Kokar selama 4 tahun, karena sistemnya dulu 4 tahun, disamping saya belajar di sekolah, saya juga belajar kepada seniman-seniman alam, disamping belajar, saya juga diajak langsung terjun untuk membantu dalam pementasan wayang. Dan sampai akhinya saya berani untuk (mekebah ngewayang peteng) atau pentas wayang dimalam hari, setelah saya berani pentas memainkan wayang, dan awal mulanya saya ngewayang lemah atau pentas untuk mengiringi upacara adalah pada waktu itu ada masyrarakat yang meminta saya untuk ngewayang lemah, karena saya juga sudah mewinten dulunya sebelum ngewayang peteng, dan sudah diberikan ijin oleh guru-guru saya. ( ujar Bapak Sukadana ).

     

    2.3   Sarana yang dipakai dalam Ngewayang Lemah dan maknanya menurut I Made Sukadana

    Sarana yang dipakai dalam wayang lemah adalah seperti batang pisang (Gedebong), kayu dadap, benang tukelan, pis bolong (uang kepeng yang bolong), juga 4 gender wayang, Dalang, ketengkong (pembantu Dalang), gedog atau kropak dan  wayang, dan juga banten atau sesajen (sarana upacara). Kalau menurut I Made Sukadana bersumber dari Darma Pawayangan simbul-simbul tersebut bermakna sebagai berikut :

     

    »        Gedebong (Batang Pisang) menurut Darma Pewayangan adalah pertiwi atau simbul dari tanah. Karena wayang itu sendiri berdiri diatas batang pisang (Gedebong). Dan juga untuk menancapan wayang waktu adanya suatu rapat, dan selai rapat menacapkan wayang yang tidak digunakan dalam ceritera waktu pementasan wayang.

    »        Kayu Dadap adalah simbul Kehidupan. Karena kayu dadap itu kalau agama Hindu dibali mempercayai kayu dadap tersebut adalah kayu sakti, kayu yang banyak manfaatnya dan dimana saja bisa hidup.

    »        Benang tukelan adalah simbul langit. Karena benang itu menggantikan Kelir yang sama adalah simbul dari langit, dimana untuk menempelakan wayang supaya kelihatan bayangannya, dan juga kalau ada wayang yang terbang masih disekitaran kelir tersebut.

    »        4 buah gender adalah simbul dari suara yang ada di Alam semsta ini. Dan yang memainkan gender tersebut adalah simbul dari Catur Loka Pala, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara dan Dewa Mahadewa.

    »        Dalang adalah simbul Tuhan. Karena dalang yang membuat ceritannya, dan dalang juga bisa menurunkan dewa, dalang juga memati dan menghidupkannya wayang itu sendiri.

    »        Ketengkong (pembantu Dalang) adalah simbul orang tua kita atau ayah dan ibu, yang berada di sebelah kanan dalang adalah simbul Ayah dan yang berada disebelah kiri Dalang adalah simbul Ibu.

    »        Wayang adalah simbul dari isi alam semesta ini, seperti manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena didalang wayang itu terdapat kulit yang diukir berbentuk manusia,  seperti pohon, dan juga berwujud binatang, seperti babi, Kuda, Gajah, dan lain-lainnya lagi.

    »        Banten adalah untuk sarana upacaranya, untuk membuka wayang, kalau agama hindu banten yang disebut  Santu Pemungkah. Dan juga kalau menurut Dalang I Made Sukadana mengenai Banten, tidak terlalu menentukan, karena menurut guru-gurunya yang ada di Sukawati dan di Bona, yaitu pak de Juanda, dan Bapa Sija, apa yang dibuatkan oleh tukang banten kalau dibali disebut Serati Banten, tidak benar katanya kita sebagai dalang menolak, tetapi kalu tukang bantenya bertanya tentang sesajen yang digunakan, baru semestinya kita member tahukan, apa yang harus digunakan dalam pertunjukan wayang Lemah, yaitu berupa pejati, yang digunakan pertama kali digunakan untuk membuka wayang, dan juga lengkap dengan Segehan kalau dibali, dan juga ada didalam gender untuk sesajennya yaitu Peras gender, tetapi menuru gurunya yaitu Kak Sija, tidak dibolehkan menentukan atau mengharuskan karena dimasing-masing daerah sudah mempunyai kepercayaan dan sesajen tersendiri, kalau di Bali disebut dengan Desa Mawecara.

     

    Kalau sudah selesai pertunjukan juga ada sesajennya dan setelah selesai menghaturkan sesajennya saya liha ada Dalang yang mematahkan kayu dadap untuk mengembalikan semua unsur yang dijelaskan diatas. Tetapi menurut Dalang I Made Sukadana setelah menghaturkan sesajen, untuk mengembalikanya cukup dengan memotong tali atau benang yang menghubungkan atau mementang didalam kayu dadap tersebut. Karena kalau sudah dipotong berarti sudah putus, kalau sudah putus, dikembalikanlah semua unsur tersebut seperti unsur tatah ke tanah, unsur akasa atau langin ke languit, dan yang  dijelaskan diatas semuanya dikempalikan ketempatnya. mengapa hanya simbul benangnya saja diputus, karena kalau kayu dadapnya biasanya menancap sampai kebawah, kalau bisa dicabut lebih bagus, tetapi kalu tidak juga bisa mencabut sudah cukup dengan Mantra untuk mengembalikan semua simbul-simbul tersebut. Karena Agama Hindu di Bali kebanyakan memakai simbul-simbul dan kepercayaan atau keyakinan.

    Selain juga yang disebutkan diatas, dari saya menanyakan tentang simbul Matahari, karena kalau dipertunjukan Wayang dimalam hari simbul matahari adalah yang disebut lampu Blencong. Tetapi kalau dipertunjukan wayang lemah kadang saya melihat ada yang memakali lingting kalu dibali dan juga ada yang tidak memakai. Kalau menurut I Made Sukadana simbul matahari itu bisa juga dengan Lingting kalau sudah disediakan, tetapi kalau tidak ada, cukup juga hanya dengan Dupa yang dipakai untuk menghaturkan sesajen yang disediakan.

     

    BAB III

    PENUTUP

     

    3.1     Kesimpulan

    Dari penjelasan diatas dapat saya simpulakan, bahwa pertunjukan wayang Lemah sangatlah penting didalam mengiringi upacara Agama, karena sumua sarana yang dipakai dalam pementasan Wayang Lemah itu semuan isi yang ada di Alam semesta ini. Maka dari itu kalau dari yang menyelenggarakan upacara ada yang kurang, ataupun sang yogiswara atau yang menghaturkan upacara itu ada yang lupa mantra, Topeng Sidakarya, dan Wayang Lemahlah yang melengkapinya.

    Begitu juga Dalang haruslah memahami tentang tatacara untuk melaksanakan upacara Agama, karena didalam pertunjukan wayang lemah, selain melengkapi jalannya upacara, Dalang juga sering disebut dengan guru loka,  yang mampu memberi cerminan dan tuntunan masyarakat yang menonton, bagaimana semestinya kita melakukan upacara yang benar. Semua itu tentu seorang Dalang harus senang membaca buku-buku yang terkait tentang ajaran Agama maupun yang tidak, karena Dalang selain memberi tuntunan masalah Agama, Dalang juga memberi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam sastra-sastra yang nantinya bisa menjadi tuntunan dan tontonan, yang bisa menarik masyarakat untuk menonton pertunjukan wayang.  Selain itu nilai filsafat dalam pertunjukan Wayang juga sangat penting bagi masyarakat, karena nilai tersebut akan dipakai sebagai tuntunan untuk melakukan sesuatu kegiatan. maka penguasaan tentang berbagai seni sastra baik yang bersifat social sangatlah perlu sekali, sebab akan berpengaruh pada perjanjian isi atau daya intelektual dalang di kalangan masyarakat atau di mata publik.

    3.2  Saran

    Dari kesimpulan diatas tentu saran saya bagi pembaca adalah supaya bisa melestarikan kesenian yang ada di Bali kususnya seni wayang Kulit. Supaya kesenian yang tertua ini tidak mengalami kepunahan. Apalagi seni pedalangan dimata masyarakat sangatlah sulit, karena seni wayang kulit adalah seni yang lengkap, dan  mencakup semua jenis kesenia. Maka dari itu kalau ada masyarakat yang tertarik mempelajari seni kayang kulit ini, janganlah merasa tidak mampu, karena kalu kita sudah giat belajar, pasti akan bisa untuk menjadi Dalang.

    DAFTAR PUSTAKA

    ~ Wawancara I Made Sukadana, S.Sn. Hari Senin Tanggal 27 Mei 2013