Tari Topeng Sidakarya

This post was written by madeagusartha on Juli 18, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

sidakarya

Dalam masyarakat Bali, Topeng Sidhakarya seakan-akan disamakan dengan Topeng Pajegan. Pengertian itu terjadi bahwa Topeng Pajegan itu dilakoni oleh hanya seorang penari (pragina), dengan memainkan sejumlah karakter topeng. Tetapi kenyataannya dewasa ini tidak selamanya “nopeng sidhakarya” itu diperankan tokoh-tokohnya hanya oleh seorang pelaku. Sering dua atau lebih penari topeng, menarikan pada bagian lakonnya, hanya pada hadirnya topeng sidhakarya, dilakukan oleh seorang diantara mereka itu.

Kata Topeng mempunyai pengertian, yaitu :

  1. Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini dimaksud “tutup” yang dipakai untuk menutupi muka manusia. Topeng mengandung pengertian suatu benda yang ditekankan pada muka, yaitu tapel. Jadi disamping tapel, make up pun bisa disebut topeng, karena ia menimbulkan perubahan muka dari wujudnya semula.
  2. Kata topeng berasal dari kata “tup” yang berarti tutup. Karena gejala bahasa yang disebut pembentukan kata, kata “tup” ditambah saja dengan kata “eng“, yang kemudian menjadi “tupeng“. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga menjadi topeng.
  3. Di Bali kata topeng berarti tutup atau tapel. Oleh karena itu pula bahwa tari topeng dikatakan sebagai tari yang memakai tapel untuk menutupi mukanya.

Akhirnya dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa topeng di Bali adalah suatu tarianyang penarinya memakai tapel atau topeng dan memakai sejarah atau babad sebagai lakon.

Sedangkan istilah Sidhakarya (Sidakarya : Bali), berasal dari kata “sida” dan “karya“. Kata “sida” dalam bahasa Sansekerta, dari urat kata “siddh” (kelas I/IV), artinya mencapai. Dalam pembentukannya (PP) menjadi kata siddha/siddhya, yang artinya berhasil, tercapai, terlaksana, sempurna. Sedangkan kata “karya“, memiliki pengertian tugas, tujuan, kerja/pekerjaan, ritual/upacara. Kedua kata itu menjadi kosa kata dalam bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi) “Siddhakarya” dan dalam bahasa Bali “Sidakarya“, yang mempunyai arti yang sama, yakni pekerjaan yang berhasil atau sempurna ( Mardiwarsito, 1985 : 527). Jadi Topeng Sidakarya, merupakan sebuah pernyataan bahwa pekerjaan/karya yang digelar sudah selesai dengan sempurna.

Kaitan Topeng Sidakarya dengan upacara Agama Hindu

Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung arti sebagai berikut:

1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa kengerian.

2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.

3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).

Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.

 

 

Sejarah Topeng sidakarya

Kisahnya dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.

Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.

Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.

Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tongkak untuk menguatkan kesenian di bali khususnya seni tari wali ini.

Ritual pembuatan

 

Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam.

Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.

 

Narasumber : www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view..

Comments are closed.