lanangarnama


April 30, 2013, 9:52 am
Filed under: Tak Berkategori

OM SWASTYASTU

            Nama saya I Gusti Lanang Arnama, saya berasal dari Br Petang Tengah, Desa Petang, Kabupaten Badung. Saya sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak ( laki dan perempuan). Saya adalah seorang buruh di salah satu perusahaan di Denpasar. Hari-hari saya penuh dengan kesibukan sehingga waktu untuk bersantai bersama keluarga, jarang dapat terpenuhi. Namun dibalik kesibukan tersebut saya merasa bersyukur yang teramat sangat, karena cita-cita saya sejak kecil yaitu agar bisa kuliah di ISI dapat terwujud walaupun untuk mencapai garis finish memerlukan waktu yang cukup lama. Istri, anak dan keluarga saya sangat mendukung kegiatan yang saya lakoni asalkan keluarga tidak terlupakan. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

 

OM SANTHI, SANTHI, SANTHI OM

 

 

KATA-KATA MUTIARA

Ilmu yang tiada diamalkan adalah kosong, pekerjaan yang tiada diselesaikan adalah sia-sia

 

Jangan bersedih hati karena orang tidak mengenal anda, berusahalah agar anda pantas dikenal

 

Kesuksesan belajar bukan karena kecerdasan, akan tetapi karena kemauan dan kesungguhan hati

 

Kita menilai diri dari apa yang kita pikirkan,bisa kita lakukan tetapi,

orang lain menilai kita dari apa yang SUDAH kita lakukan

untuk itu, apabila anda berpikir bisa, SEGERALAH LAKUKAN !!!

 

IKHLAS, bukan berarti menerima apa adanya, tetapi mengupayakan yang lebih  baik.

 

Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi

dagingnya bertambah banyak tetapi kebijaksanaannya tidak ada.

 

Tidak ada harga ATAS waktu, tetapi waktu sangat berharga. memiliki waktu tidak menjanjikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan   baik adalah  sumber dari semua kekayaan.

 

Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan isirahat sebelum lelah.

 

 

 

 

 

 

 

 

PURA DALEM MALANTING

(Buleleng)

 

Om Awighnamastu nama sidhyam

Pura Dalem Malanting ini lokasi dan letaknya menjadi satu komplek dengan Pura Pulaki yang terletak di Pantai Utara Pulau Bali, termasuk Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng. Pura atau Kahyangan ini merupakan salah satu penyungsungan jagat, yang pembangunannya berkaitan dan erat hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha dari Blambangan ( Jawa Timur) ke Bali pada sekitar tahun icaka 1411 atau tahun 1489 M. Hal ini dapat diketahui dari beberapa pustaka antara lain:

 

  1. a.      Babad Catur Brahmana

Babad ini menyebutkan antara lain sebagai berikut:

Wus bener mangetan, raju pwa sira mintar, teher sira manjing ing alas, katemu tang wre gereh – gerehnya ring alas mangelintang, annuli sira atakon lingen: “Eh sang wre, baya sira asung marga lawan ingsun ?”. Wus mangkana, anulya kapanggih ikang naga angebak sapangadeg gambiranya, teher manjing sang lumakwa maring tutuking naga angembak, tekeng ming jro katemu tang tunjung, teher dinaut den ira, anuli mijil pwa sira, ireng warnan ira, kerura pwa sira asalit kadi kancana. Dadya malayu tang anak rabin ira pating sumumbrat, dadi kinumpul pwa sira, tetp pwa tan katemu kabeh. Wastu ical kang sawiji kang istri, sira luput ing twapati, sira pinaka Bhatareng Malanting panembahan loka……….. dan seterusnya  

Artinya kurang lebih demikian: Sesudah betul ke Timur, lalu beliau permisi, lalu beliau masuk ke hutan, disana ketemu beliau dengan seekor kera melompat – lompat di dalam hutan menghalangi, lalu beliau bertanya: “ Hai kamu kera,maukah engkau menunjukkan jalan untukku ?” Sesudah itu, lalu dijumpai seekor naga yang mulutnya ternganga setinggi manusia, terus masuk yang berjalan kedalam mulut naga yang menganga itu, sampai didalam dijumpai bunga teratai, lalu diambil oleh beliau, kemudian kembali beliau keluar, menjadi hitam warna beliau, sangat menakutkan dan menakjubkan berubah seperti kuning mas. Oleh karena itu larilah anak isrtinya secara terpencar, kemudian dikumpulkan kembalisemua, namun tidak diketemukan seluruhnya. Dan ternyata hilang lagi seorang yang wanita, itulah yang menghilang secara gaib, beliau inilah sebagai bhatara (i) malanting sebagai penyungsungan jagat………. dan seterusnya

 

  1. b.      Di dalam Dwijendra Tattwa

Setelah istri dan putra – putrinya tiba lalu Danghyang Nirartha bersama istri dan putra – putrinya itu melanjutkan perjalanannya kearah timur dengan melalui hutan belukar yang luas ( jimbarwana ) dengan mengikuti jalan setapak ( lisikan ) yang bercabang banyak, yang mengakibatkan beliau bingung mana yang harus dilalui. Dalam keadaan yang membingungkan ini, ditengah perjalanan Danghyang Nirartha bertemu dengan seekor kera yang berjalan didepan rombongan Danghyang Nirartha dengan cara melompat – lompat pada dahan, sambil bersuara seolah – olah menunjukkan jalan, akan tetapi Danghyang Nirartha tidak dapat mengerti. Lalu Danghyang Nirartha berkata pada kera itu, demikian: “Hai kera, karena engkau sudah berjasa memberi petunjuk jalan kepadaku, maka aku berjanji bahwa keturunan – keturunanku sampai kelak dikemudian hari tidak boleh menyakiti kera, baik dengan dalih untuk memeliharanya”, demikian kata beliau sebagai pastu  (kutuk ) terhadap para keturunannya sambil terus berjalan menuju arah ke Timur.

Di dalam perjalanannya itu tiba – tiba Danghyang Nirartha bertemu dengan seekor naga yang mulutnya terbuka sangat lebar dengan bentuk dan rupa sangat hebat yang menakutkan serta mengerikan. Sebab itu iastri dan putra – putrinya menjadi sangat ngeri dan takut serta nyaris melarikan diri, namun Danghyang Nirartha malahan sebaliknya yaitu dengan gagah berani dan tenang terus masuk kedalam mulut naga tersebut. Setibanya didalam perut naga tersebut beliau menjumpai sebuah telaga yang berisi bunga teratai (tunjung) 3 warna, yaitu yang dipinggir sebelah Timur berwarna putih, sebelah Selatan berwarna merah, sedang yang dipinggir sebelah Utara berwarna hitam. Ketiga kumtum bunga teratai tersebut lalu dipetik oleh Danghyang Nirartha, kemudian yang berwarna merah dipasang diatas telinga sebelah kiri, sedang yang berwarna putih dipegang di tangannya. Setelah itu Danghyang Nirartha keluar dari dalam perut naga tersebut sambil mengucapkan wedha mantra “ Ayuwredhi “, dan seketika itu pula naga itu menggaib tampa meninggalkan bekas.

Oleh istri bersama putera putrinya pada saat itu Danghyang Nirartha dilihat berwarna merah dan hitam, dan kemudian berubah warna menjadi kuning emas. Dengan kejadian tersebut, istri bersama putera – putrinya menjadi takut dan ngeri serta tidak dapat menahan diri, lalu secara tunggang langgang melarikan diri masuk kedalam hutan belantara tampa menentu arah tujuannya dan masing – masing membawa dirinya sendiri, yang mengakibatkan mereka menjadi terpencar didalam hutan tersebut.

Melihat kejadian tersebut , Danghyang Nirartha menjadi tercengan karena tidak menemui lagi istri dan putera – puterinya yang menyebabkan beliau menjadi cemas. Dalam situasi dan kondisi yang demikian Danghyang Nirartha berusaha mencarinya didalam hutan belantara tersebut dalam keadaan gelap gulita, karena hari sudah malam. Sesudah lama beliau mencarinya, tidak jauh dari tempat semula dijumpai isterinya seorang diri duduk tersimpuh dalam keadaan sangat payah dengan nafas terengah – engah, fisiknya sangat lelah dalam keadaan pucat lesi serta tidak dapat berjalan lagi. Disana Danghyang Nirartha menyapa istrinya demikian: “ Wahai ktut, kemana larinya ank – anak kita?”, yang dijawab oleh istrinya: “Ampun sang Pandhita, dinda tidak mengetahui kemana perginya anak – anak kita, karena mereka lari tidak menentu dan terpencar menurut hendaknya masing – masing, sedang adinda tidak dapat mengikuti, karena adinda sudah payah dan lesu”. Mendengar jawaban istrinya demikian Danghyang Nirartha menjadi sangat cemas, dan dalam keadaan demikian ada firasat yang kurang baik menyelinap dalam hatinya, yang seakan – akan membisikkan ada suatu bahaya yang menimpa salah seorang puterinya.

Selanjutnya sesudah agak berkurang rasa payah istrinya, lalu Danghyang Nirartha bersama isterinya berjalan sesuai dengan kemampuan dan kekuatan isterinya secara perlahan – lahan berusaha mencari dan mengumpulkan putera – puterinya di dalam hutan lebat dan dalam keadaan gelap gulita berhubung hari masih alam.

Dengan cara memanggil – manggil nama putera – puterinya itu, rupanya dapat didengar oleh putera – puterinya itu, karena satu demi satu putera – puterinya dapat dikumpulkan, dan pada akhirnya dari jumlah putera – puterinya masih ada seorang yang belum diketemukan yaitu puterinya yang sulung ialah Ida Ayu Swabhawa. Sebab itu Danghyang Nirartha bersama isteri dan putera – puterinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa dengan jalan memanggil – manggil namanya, namun tidak dijumpainya. Baru sesudah hampir siang Ida Ayu Swabhawa dijumpai di dalam hutan, akan tetapi sudah berbadan halus dan dalam keadaan pucat lesi, lalu ditanya oleh Danghyang Nirartha, demikian: “ Anakku sayang, apa sebabnya anakku lari sampai sejauh ini dan apapula sebabnya anakku menjadi takut?”

Pertanyaan ini dijawab oleh Ida Ayu Swabhawa: “Ampunilah hamba ayah hamba lari sampai sejauh ini disebabkan oleh rasa takut yang tak terhingga ketika melihat rupa ayah waktu keluar dari mulut naga yang selalu berubah – ubah yaitu sebentar berwarna merah dan sebentar berwarna hitam. Ketika hamba lari terus dibuntuti dan dikejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba kian lama makin cepat sampai hamba kehabisan tenaga dan akhirnya hamba keluar dari hutan dan masuk kedaerah pedesaan, lalu……..Sampai sekian kata – kata Ida Ayu Swabhawa lalu ia terdiam, tampak wajah mukanya bertambah sedih, seakan – akan ada sesuatu yang dirahasiakan, dan kemudian baru ia dapat berkata lagi demikian: “Ayah, hamba malu hidup sebagai manusia lagi, karena merasa sudah cemar, penuh dosa, dan kasihanilah hamba, hayatilah hamba dengan sungguh – sungguh supaya hamba dapat bersih dari dosa, tidak dapat dilihat orang, bisa memperoleh tempat yang suci di akhirat, tidak lagi menjadi manusia”.

Mendengar cerita puterinya yang demikian itu menjadi terharu hatinya Danghyang Nirartha, kasihan terhadap puterinya itu, akan tetapi sangat murka kepada orang – orang desa yang dimaksud, lalu katanya: “Jangan kawatir anakku, ayah bersedia mengajarkan kepadamu suatu ilmu gaib supaya ananda dapat terlepas dari dosa dan dapat berkedudukan sebagai seorang dewa”, demikian katanya, lalu Ida Ayu Swabhawa diberi suatu ajaran gaib yaitu ilmu keparamarthan yang dapat menghapuskan dosa. Sesudah selesai menerima ilmu tersebut, seketika itu Ida Ayu Swabhawa menggaib hilang dari penglihatan, dan sudah terlepas dari segala dosa serta menjadi orang suci, dan sudah menjadi dewa yang disebut “Bhatari “ atau “Dewi Malanting”, bertempat di suatu parhyangan yang suci yang diberi nama “Dalem Malanting”, yang menjadi junjungan dan tempat persembahyangan orang – orang desa di sana ( Desa Pegametan ).

Tatkala Danghyang Nirartha memberikan ajaran ilmu gaib kepada puterinya itu didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka tiba – tiba hapus (tersupat ) dosanya, dan seketika berubah menjadi seorang manusia perempuan dan segera menyembah kakinya Danghyang Nirartha disertai permohonan agar diterima menghambakepada beliau, sebagai balasan dan tanda terimakasih atas jasa – jasa beliau yang telah menghapus ( nyupat )  papa nerakanya dan kembali menjadi manusia. Akan permohonan orang itu diterima dengan baik oleh Danghyang Nirartha, dan orang itu lalu diberi nama Ni Berit…………..dan seterusnya.

Kemudian di tempat inilah dibangun sebuah bangunan suci ( Pura atau Kahyangan) yang diberi nama “Pura Dalem Malanting” yang semula penyungsungan orang – orang disekitarnya, namun akhirnya berstatus dan sebagai salah satu penyungsungan jagat. Demikianlah dikisahkan mengenai asal mula Pura Dalem Melanting yang ada di komplek Pura Pulaki, Desa Banyupoh, kecamatan Gerokgak, Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng.

Om Santhi, Santhi, Santhi, Om

 



Halo dunia!
April 8, 2013, 12:47 am
Filed under: Tak Berkategori

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!