Archive for April, 2013

Sumber Bunyi

1.Bunyi adalah bahan terpenting dalam musik. Bunyi berasal dari Sumber bunyi, yang digetarkan oleh tenaga atau energi
2.Timbre adalah suatu sifat dari suara manusia atau instrument karena beda intensitas dan banyaknya harmonic dan sub harmonic  sehingga dapat membedakan instrument yang satu dengan instrument yang lain. Timbre dalam seni musik sering juga disebut dengan warna suara.
3. Dinamika adalah istilah untuk menyatakan perbedaan keras dan pelan dari suatu musik atau suara yang kita dengar.
4. Noise adalah suara yang terbentuk dari bermacam-macam frekwensi secara acak yang tidak mempunyai hubungan harmonis antara satu sama lain.
5. bising didefinisikan sebagai “suara yang tak dikehendaki.
6.Sumber Bunyi adaah suatu benda yang di pukul, dibenturkan dan di gesek sehingga benda itu dapat menghasilkan bunyi.

contoh-contoh sumber bunyi :

  1. Idiofon, adalah alat musik yang sumber bunyinya berasal dari bahan dasarnya. Contoh: kolintang, drum, bongo, kabasa, angklung.
  2. Aerofon, adalah alat musik yang sumber bunyinya berasal dari hembusan udara pada rongga. Contoh: suling, terompet, harmonika, trombone.
  3. Chordofon, adalah alat musik yang sumber bunyinya berasal dari dawai. Contoh: bass, gitar, biola, gitar, sitar, piano, kecapi.
  4. Membranofon, adalah alat musik yang sumber bunyinya dari selaput atau membran. contoh : tifa, drum, kendang, tam-tam, rebana.
  5. Elektrofon, adalah alat musik yang sumber bunyinya dibangkitkan oleh tenaga listrik (elektronik). Contoh : kibor, gitar listrik, bass elektrik.
7. Suara adalah suatu gerakan gelombang yang berpropagasi dalam suatu media yang elastis,
Senin, April 29th, 2013 Tak Berkategori 56 Comments

Ensamble Gamelan Semarandhana

Jenis-jenis tungguhan Smara Dhana meliputi sebagai berikut:

  • Sepasang kendang cedugan lanang wadon
  • Sepasang kendang gupekan  lanang wadon
  • Sepasang kendang krumpungan lanang wadon
  • Dua tungguh jublag
  • Empat tungguh pemade
  • Empat tungguh kantil
  • Satu tungguh ugal atau giying
  • Dua tungguh jegogan
  • Sepangkon ceng-ceng ricik
  • Setungguh riyong
  • Dua bungkul gong (lanang dan Wadon)
  • Satu bungkul gong bebancihan
  • Sebungkul kempur
  • Sebungkul kenong
  • Sebungkul kajar
  • Beberapa suling
    •      Tungguhan gangsa, tungguhan kantil dan tungguhan ugal atau giying dalam satu barung gamelan Smara Dhana menggunakan empat tungguh gangsa, empat tungguhan kantil, dan satu tungguh ugal atau giying dalam satu tungguh gangsa, kantil, dan giying jumlah nadanya adalah 12 nada (1dong, 2deng, 3dung, 4dang, 5ding, 6dong, 7deng, 8deung, 9dung, 10dang, 11daing, 12ding. Yang  diawali dengan nada ndong  sama seperti Gong Kebyar hanya saja pada nada yang kecil ditambahkan dua nada yaitu nada ndaing dan ndeung, nada ndaing ditaruh disebelah kanan nada dang pada urutan ke 11 dan nada ndeung di tempatkan disebelah kanan deng pada urutan 8. Dalam fungsinya gansa dan kanil adalah membuat jalinan atau kotekan, dan tehnik lainnya seperti norot, norot artinya nama dari salah satu pola tabuhan pada tungguhan gangsa, kantil dan tungguhan riyong tabuh norot terdapat dua maca, yaitu tabuhan norot adeng, dan tabuhan norot gencang. Pola tabuhan norot dimainkan, dan digunakan pada gending-gending yang iramanya pelan atau adeng, tabuhan atau pukulan gangse nyandet pada perinsipnya selalu berbeda, tetapi suatu saat terkadang juga bisa sama, karena tabuhan nyandet menggunakan nada ngempyung  dalam satu gending yang dimainkan. Pola tabuhan gencang, ditabuh oleh tungguhan gangsa polos dan nhyandet dengan pola tabuhan yang tidak sama. Dengan kata lain gangsa polos menabuh nada yang mempunyai tekanan berat, sedangkan gansa nyandet memukul nada lainnya yang biasanya satu nada atau bilah diatasnya.

Tehnik  ngubit pada tungguhan gangsa dan kantil, istilah ngubit pengertianya sama dengan candetan atau cecandetan. Ngubit atau jalinan adalah hasil dari dua pola tabuhan berbeda yang saling bergantian atau saling mengisi pada waktu tertentu yang dilakukan oleh dua orang pada satu atau dua tungguhan sejenis.

  •      Ugal atau giying adalah salah satu jenis tungguhan gangsa yang bentuknya paling besar diantara jenis tungguhan gangsa termasuk wilayah nada yang digunakan. Dalam pengelompokan jenis-jenis tungguhan dalam gamelan Smara Dhana, tungguhan ugal atau giying dikelompokan dalam salah satu kelompok tungguhan penandan, karena dalam sajian Smara Dhana berfungsi untuk memimpin atau menuntun jalannya sajian gending maupun menentukan  tempo.
  •      Kajar adalah nama dari salah satu tungguhan pencon yang dibuat dari perunggu. Tungguhan kajar adalah tungguhan irama yang menggunakan satu pencon yang nadanya tidak ditentukan atau tidak persis sama dengan nada tungguhan yang lain.nada tungguhan kajar berkisar pada nada ding dan nada dung. Tungguhan kajar digunakan oleh sebagian kecil Barungan gamelan yang ada dibali. Dalam fungsinya kajar adalah memberikan tuntunan tampo atau irama untuk seluruh  tabuhan jenis-jenis yang sebelumnya ditentukan oleh jenis tungguhan kendang, giying, dan sebagainya.
  •      Jegogan atau juga sering disebut jegog digunakan untuk menyebut salah satu jenis tungguhan bilah yang menggunakan bentuk bilah kalor atau usuk. Satu tungguh jegogan Smara Dhana menggunakan tujuh bilah dengan menggunakan bumbung sebagai resonatornya. Dan fungsi jegogan Smara Dhana sama seperti jegogan yang ada pada Barungan gamelan yang ada dibali, yaitu memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu tertentu, (sebagai salah satu jenis tungguhan pesu-muslih) juga menggunakan pola tabuhan ngapus dan nyele yang digunakan pada gending-gending Smara Dhana.
  •      Jublag adalah salah satu jenis tungguhan bilah yang merupakan salah satu jenis tungguhan yang sama dengan tungguhan jegogan tetapi ukuran jublag lebih kecil, jublag Smara Dhana memakai tujuh bilah dengan menggunakan bumbung sebagai resonatornya, yaitu memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu tertentu.
  •      Riyong salah satu kelompok pepayasan yang menggunakan bentuk pencon, karena setiap menyajikan gending sebagian besar menggunakan berbagai jenis jalinan. Riyong Smara Dhana berjumlah 14 pencon  dengan penambahan dua nada yang sama seperti jenis tungguhan Smara Dhana yang lainya, riyong Smara Dhana yang ditabuh empat orang, tiap-tiap penabuh riyong menggunakan dua buah atau sepasang panggul yangi kayu, yang bagian tengah sampai ujung panggul dibungkus dengan benang sentul atau kemong, untuk bisa menimbulkan bunyi yang empuk.
  •  Kendang cedugan adalah salah satu kendang dipukul dengan cara menggunakan panggul kendang yang suara kendang lanang disuarakan dug dan suara kendang wadon disuarakan dag. Mungkin ini menyebabkan jenis kendang tersebut diberi nama kendang cedugan. Dilihat dari segi ukuran besarnya, ukuran kendang yang dipakai dalam Barungan Smara Dhana ialah, kendang ukuran panjangnya 69 sampai 72cm, garis tengah tebokan besar sekitar 29 sampai 32cm dan ukuran besar tebokan kecil sekitar 22 sampai 26cm.
  • Kendang Gupekan adalah kendang yang dipukul dengan tangan. Istilah Gupekan yang digunakan untuk menyebut jenis kendang mungkin disebabkan oleh bunyinya yang menimbulkan suara “pek”. Kendang Gupekan adalah kendang pasanga antara kendang lanang dan kendang wadon, ukuran yang dipakai dalam Barungan Smara Dhana ialah sekitar 65 sampai 70cm garis tengah tebokan besar sekitar 26 sampai 29cm dan dan garis tengah tebokan kecil sekitar 19 sampai 22cm, kendang wadon mempunyai ukuran panjang sekitar 67 sampai 72cm garis tengah tebokan  besar sekitar 27 sampai 32cm. kendang Gupekan mempunyai dua jenis tabuhan yaitu kendang pasangan dan kendang tunggal. Kendang pasangan adalah  satu kesatuan pola kendangan yang disajikan oleh kendang lanang, dan wadon. Kendangan tunggal adalah satu kesatuan pola yang disajikan oleh seorang pengendang.
  • Kendang krumpungan adalah kendang yang berukuran kecil yang jenis kendang ini juga dipukul dengan tangan (tanpa menggunakan panggul), seperti kendang kekebyaran atau gupekan. Perbedaan antara kekebyaran dengan kendang krumpungan terletak pada ukurannya serta cara menabuhnya. Ukuran kendang krumpungan lebih kecil dari pada ukuran kendang kekebyaran. Pada kendang krumpungan, tabokan kecil dipukul pada bagian atas dengan jari-jari, sehingga dapat menimbulkan bunyi-bunyi  “teng” atau “tong” dan sedangkan pada kendang krumpungan tabokan yang besar,selain dipukul dengan seluruh bagian tangan, juga dapat dilakukan dengan ibu jari. Kendang krumpungan selalu dimainkan dengan cara berpasangan.
  • Ceng-ceng ricik pada dasarnya sama seperti sama dengan cang-ceng kecek atau gecek. Perbedaan terletak pada ukurannya yang lebih kecil, yaitu bergaris tengah sekitar 8,5cm tungguhan ceng-ceng ricik digunakan pada Barungan Smara Dhana agar disaat meainkan satu lagu bisa memberikan pemanis buat lagu tersebut.
  • Gong Bebancihan kata ini terdiri dari dua kata, yaitu Gong dan Bebancihan, kata gong diartikan dari salah satu tungguhan yang terbuat dari perunggu berbentuk bundar dengan berbagai ukuran, serta bebancihan atau tanggung. Istilah bebancihan sering juga digunakan untuk menyebut seorang lai-laki nyang mempunya sifat atau tingkah laku seperti perempuan.demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini bebancihan digunakan untuk menyebut tungguhan gong yang ukurannya tanggung. Mengenai ukuran terdapat sifat yang subyektif. Artinya, setiap orang mempunyai batas ukuran yang berbeda-beda. Dalam hal ini gong yang berukuran tanggung tersebut dibandigkan dengan ukuran yang digunakan pada Barungan gamelan lainnya, tidaklah banyak perbedaan ukurannya seperti pada tungguhan gong yang digunakan pada Barungan gamelan Gong Kebyar, Gong Gede, dan Gong Luang yang mempunyai ukuran 75 sampai 80cm. Gong bebancihan kadang-kadang juga disebut kempul yang ukurannya garis tengahnya sekitar 60 nsampai 70cm, yang digunakan pada Barungan gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu, Semar Pagulingan Saih Lima, Gong Suling dan Pegambuhan. Fungsi gong bebancihan ini sama dengan gong yang digunakan pada Barungan gamelan lainnya, yaitu memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu tertentu yang dirasakan paling berat.
  • Gong Bur Bir istilah ini digunakan untuk menyebut dau tungguhan gong lanang dan wadon. Gong Bur adalah gong wadon dan gong Bir adalah gong lanang yang terdapat pada Barungan gamelan Gong Kebyar , gamelan Smara Dhana, dan Gong Gede.
  • Kemong nama dari salah satu tungguhan yang bahannya dari perunggu berbentuk pencon. Tungguhan kenong yang terdiri  atas sebuah pencon yang nadanya tidak ditentukan secara pasti, serta ditempatkan pada pelawah khusus. Pelawah kenong biasanya disebut dengan sangsangan  yang berbentuk tertentu yang terbuat dari kayu. Tungguhan kenong ditabuh oleh seorang dengan menggunakan panggul yang berbentuk serupa dengan panggul terompong. Tungguhan ini digunakan pada tungguhan Barungan gamelan Semar Pagulingan saih Lima, Semar Pagulingan saih Pitu,  Gong Kebyar, Smara Dhana, Gong Suling serta digunakan untuk menyajikan gending-gendig Bebarongan. Fungsi tungguhan kenong adalah untuk memberikan tekanan pada kalimat lagu. Rangkaian tabuhan tungguhan kenong membentuk struktur yang berbeda-beda yang kemudian memberikan ciri bentuk pada gendingnya, seperti misalnya letak tungguhan kenong pada bagian gending pengecet akan berbeda pada letak tabuhan kenong pada bagian gending pengawak. Dengan demikian tungguhan kenong dalam jenis-jenis tungguhan dalam karawitan Bali termasuk salah satu kelompok tungguhan pesu mulih, karena dalam sajian gending  mmberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu tertentu.
  • Kempul nama dari salah  satu tungguhan yang bahannya dari perunggu, berbentuk bentuk bundar dengan menggunakan pencon pada bagian tengahnya. Ukuran tungguhan kempul dilihat dari garis tengahnya adalah sekitar 65cm. tungguhan kempul ditabuh pada bagian pencon oleh seorang penabuh dengan menggunakan sebuah panggul yang bentuknya sama dengan panggul Gong, hanya ukurannya relatif lebih kecil. Panggul kempul dibuat kayu yang pada bagian ujungnya diberi kain  atau karet dibuat berbentuk bulat dan dibungkus dengan kain. Kempul digantungkan pada bagian sanan, sanan adalah tempat digantungnya kempul yang terbuat dari kayu yang berbentuk bundar kecil panjang. Tungguhan kempul digunakan pada Barungan- Barungan gamelan Gong Gede, Gong Kebyar, Gong Luang, Smara Dhana, Bebatelan, Pegambuhan, dan Angklung. Pada jenis-jenis Barungan gamelan tersebut, tungguhan kempul berfungsi sebagai salah satu tungguhan yang termasuk di dalam kelompok tungguhan pesu-mulih yang memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu tertentu. Dampak dari pemberian tekanan-tekanan pada kalimat lagu tertentu diantaranya dapat mewujudkan atau menentukan bentuk gending seperti yang dapat dilihat pada bentuk-bentuk gending Gong Gede yang reportoarnya mempunyai bentuk tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem, dan  tabuh kutus. Letak tungguhan kempul dalam pengaturan jenis-jenis tungguhan atau susunan gamelan, tergantung dari tempat dan jenis Barungan gamelan yang menggunakannya. Meskipun demikian tungguhan kempul biasanya diletakkan pada bagian belakang yang letaknya selalu berdampingan dengan tungguhan gong, kempul, kenong kempli, dan bebende.
  • Suling nama dari salah satu tungguhan tiup yang bahannya dari buluh bambu. Dilihat dari cara memainkannya, jenis suling ada dua macam, yaitu sulling yang ditiup pada bagian ujung, dan suling yang ditiup pada bagian atas. Suling yang ditiup pada bagian ujung biasanya menggunakan suwer pada bagian lubang dibawahnya. Saat memainkannya, jenis suling ini berada didepan pemain. Suling yang ditiup pada bagian atas (tidak pada ruas bambu), saat memainkannya posisi suling berada di bagian samping. Tungguhan suling biasanya menggunakan empat sampai enam lubang suling untuk menimbulkan nada-nada. Suling bali pada umumnya menggunakan enam lubang yang jaraknya sama, kecuali pada lubang ketiga dan keempat, kadang-kadang memiliki jarak yang berbeda satu dengan lainnya. Satu suling dapat digunakan pada jenis-jenis Barungan gamelan Gong Kebyar, Angklung, Genggong, Joged bumbug, Pegambuhan, Semar Pagulingan Saih Lima, Semar Pagulingan Saih Pitu, gamelan Smara Dhana, dan sebagainya. Tiap Barungan gamelan menggunakan satu sampai delapan suling.

Gamelan Smara Dhana adalah berbentuk pelawah yang diukir, dan bentuk ukiran menceritakan kisah Ramayana, ukirannya diwarnai dengan berbagai warna seperti hijau, emas, merah, merah muda, kuning tua, biru, coklat dan hitam.

 

 

Senin, April 29th, 2013 Musik Tradisi 54 Comments

Tradisi Omed-omedan

http://intsoftscape.files.wordpress.com/2010/03/102_17711.jpg

  • Omed-omedan atau juga disebut Med-medan rutin digelar setiap tahun, sehari setelah hari raya Nyepi atau yang disebut sebagai hari Ngembak Geni. Konon, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an dan hanya bisa ditemukan di Banjar Kaja Sesetan. Warga setempat meyakini, bila acara ini tak diselenggarakan, dalam satu tahun mendatang berkah Sang Dewata sulit diharapkan dan berbagai peristiwa buruk akan datang menimpa.
    Pernah pada 1970-an ditiadakan, tiba-tiba di pelataran Pura terjadi perkelahian dua ekor babi. Mereka terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang begitu saja. Peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi semua warga Banjar.

SEJARAH OMED-OMEDAN

  • Awalnya Raja Puri Oka marah besar melihat rakyatnya menggelar omed omedan (saling cium). Tak dinyana Raja yang sakit justru sembuh setelah melihat upacara hot tersebut. Kini tradisi itu dijadikan ajang mencari jodoh.
    Wayan Sunarya menceritakan, tradisi omed omedan itu merupakan tradisi leluhur yang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya ritual ciuman massal itu dilakukan di Puri Oka. Puri Oka merupakan sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda. Ceritanya, pada suatu saat konon raja Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh.
    Pada Hari Raya Nyepi, masyarakat Puri Oka menggelar permainan omed omedan. Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling rangkul para muda mudi. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar.Dengan berjalan terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang rangkul-rangkulan. Anehnya melihat adegan yang panas itu, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya setelah itu raja kembali sehat seperti sediakala.
    Raja lalu mengeluarkan titah agar omed omedan harus dilaksanakan tiap Hari Raya Nyepi. Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual permainan muda mudi tersebut. Warga yang taat adat tidak menghiraukan larangan Belanda dan tetap menggelar omed omedan. Namun tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed omedan biasa digelar. “Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu omed omedan dilaksanakan kembali tapi sehari setelah Hari Raya Nyepi

 

TUJUAN ADANYA OMED-OMEDAN

  • Tujuannya pertama adalah saling maaf-memaafkan, karena dalam setahun warga disini ada yang bekerja dan bersekolah di berbagai tempat,  pada saat datang Tahun Saka mereka berkumpul dan mengadakan acara saling-memaafkan dan tujuannya adalah untuk persahabatan.”Pada jaman dulu “Omed-Omedan” ini konon berawal dari inisiatif warga setempat mengadakan sebuah permainan yang bertujuan saling memaafkan antara muda-mudi pada saat perayaan Nyepi. Omed-Omedan ini berlangsung seru dan suaranya terdengar oleh seorang raja yang pada saat itu sedang sakit keras. Karena terusik oleh suara ribut warga, sang raja menjadi marah dan menyuruh menghentikan Omed-Omedan tersebut. Namun setelah Sang Raja kembali ke rumah, sang raja berangsur-angsur sembuh dari sakitnya. Melihat kejadian itu, sang Raja akhirnya memerintahkan untuk meneruskan permainan itu. Warga setempat mewarisinya sampai sekarang.

 

PELAKSANA OMED-OMEDAN

  • Tahun ini, sedikitnya 50 muda-mudi yang telah beranjak dewasa turut serta dalam festival warisan leluhur ini. Festival diawali dengan persembahyangan bersama di Pura Banjar dan seluruh peserta wajib mengikuti prosesi ini supaya diberi kelancaran dan keselamatan saat ciuman nanti. Usai sembahyang para muda-mudi ini dibagi dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok pria, dan satunya lagi adalah kelompok wanita.
  • Para “tetua” atau orang yang dituakan di desa tersebut menjadi “wasit” festival ciuman ini. Jika para “tetua” memberi aba-aba mulai! maka kedua kelompok yang saling berhadap-hadapan ini menunjuk salah satu wakilnya untuk diarak ke depan dan beradu ciuman dengan wakil dari kelompok lain. Biasanya jika sudah terjadi adu mulut, peserta pria lebih bernafsu melumat bibir “lawan”nya yang tampak malu-malu tapi mau.
  • Untuk menghindari ciuman semakin panas, para tetua dibantu panitia mengguyurkan air kepada seluruh peserta omed-omedan ini. Namun, tak hanya peserta, para penonton, fotografer dan kamerawan yang mengambil gambar terlalu dekat juga harus rela untuk diguyur dengan air satu ember.
  • Baku cium antar muda-mudi ini dilakukan berulang-ulang hingga “wasit” menghentikannya. Sekitar satu jam festival yang ditonton ribuan wisatawan dan warga ini akhirnya usai. Seluruh peserta kembali ke Pura Banjar untuk diperciki air tirta.

 

Senin, April 22nd, 2013 tradisi 55 Comments

Tentang Saya

Nama saya I Gede Arya Kurnia Astawan, lahir pada 11 November 1994 di Jimbaran. Saya terlahir dikeluarga yang sederhana dari pernikahan ayah dan ibu saya. Saya bertempat tinggal di Jln By Pass Ngurah Rai, Kedonganan, Kuta, Badung, Bali. Di dalam keluarga saya terdapat 5 orang, diantaranya : ayah, ibu, 2 adik, dan saya sendiri. Nama ayah saya I Nyoman Kendra, beliau adalah seorang ayah yang pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga. Ibu saya adalah seorang pegawai swasta yang bernama Ni Ketut Remiani. Adik saya yang pertama kelas 3 SMP, Adik saya yang kedua kelas 1 SMP.

Proses pembelajaran saya dari TK berumur 5thn, setelah itu saya melanjutkan ke SD 7 Benoa selama 6 tahun, dan setelah lulus SD saya melanjutkan ke SMP Sunari Loka Kuta. Tiga tahun di SMP Sunari Loka Kuta, banyak pengalaman yang saya dapatkan khususnya di bidang seni karawitan. Saya sering mengikuti lomba-lomba pentas budaya tingkat SMP se-Badung, walaupun belum sesuai keinginan tetapi dari situlah saya belajar agar bisa ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Setelah tiga tahun masa-masa SMP, saya pun lulus pada tahun 2009. Karna saya ingin memperdalam bakat saya, saya memilih sekolah di SMK 3 Sukawati (SMKI/KOKAR). Selama 3 tahun menuntut ilmu, pengalaman demi pengalaman pun saya dapatkan. Mulai dari acara ngayah, mengikuti lomba-lomba, seperti LKS (Lomba Kopetensi Siswa) tingkat SMK se-Provinsi Bali. Saya sangat senang karena dari beberapa teman-teman, saya dipilih untuk mewakili sekolah, itu pun cuma mencari 10 personil. Proses latihannya sangat lama, hari demi hari kami lalui dan kami pun tak pernah merasa bosan pada saat latihan. Gending kontemporer yang di garap oleh Pak De Subandi, alat yang kami pakai adalah kolaborasi antaramusik bambu dengan semarandhana, yaitu sepasang jegogan, sepasang tingklik, sepasang undir, sepasang gangsa semarandhana, kendang, gong, simbal, genta. Juara pun kami dapatkan, kami sangat bangga karena bisa mengharumkan nama sekolah, pengalaman yang sangat berkesan bagi saya. Apa pun kegiatan sekolah selalu saya ikuti bahkan sampai ke luar bali. Selama 3 tahun di kokar saya tidak pernah merasa tertekan dan tidak pernah merasa bosan, ia karena disinilah bakat saya, disinilah bidang saya. Lulus pada tahun 2012, saya langsung melanjutkan ke Isi Denpasar

Senin, April 8th, 2013 Lainnya 44 Comments

Tentang Saya

Nama saya I Gede Arya Kurnia Astawan, lahir pada 11 November 1994 di Jimbaran. Saya terlahir dikeluarga yang sederhana dari pernikahan ayah dan ibu saya. Saya bertempat tinggal di Jln By Pass Ngurah Rai, Kedonganan, Kuta, Badung, Bali.

Di dalam keluarga saya terdapat 5 orang, diantaranya : ayah, ibu, 2 adik, dan saya sendiri. Nama ayah saya I Nyoman Kendra, beliau adalah seorang ayah yang pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga. Ibu saya adalah seorang pegawai swasta yang bernama Ni Ketut Remiani. Adik saya yang pertama kelas 3 SMP, Adik saya yang kedua kelas 1 SMP.

Senin, April 8th, 2013 Lainnya 56 Comments