Resensi Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali

Judul                : Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan

 Penulis             : I Nyoman Rembang

Penerbit           : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Bali

 Tahun              : 1984/1985

 Halaman          : XIII + 162 halaman

            Gamelan Bali khususnya pagongan merupakan suatu khasanah budaya Bali yang erat sekali kaitannya dengan upacara agama Hindu dan berfungsi sebagai sarana penunjang jalannya upacara yadnya. Gending-gending yang dikategorikan gending lelambatan klasik, berasal dari gending-gending gamelan Gong Gede atau Gong Gangsa Jongkok. Walaupun kini gamelan Gong Gede telah sebagian besar berubah bentuk menjadi bentuk Gong Kebyar, namun gending-gending tersebut tidak berubah ciri khasnya bila diperdengarkan menggunakan gamelan Gong Kebyar. Suasana yadnya yang megah dan agung tetap terasa dan membawa orang akan terbayang dengan kedamaian masa purba. Oleh karenanya gending-gending tersebut hingga kini diperlukan sebagai pendukung upacara. Jenis gending lelambatan ini sebenarya banyak sekali jumlahnya, namun melihat keadaannya dewasa ini yang semakin jarang muncul menimbulkan rasa khawatir akan kepunahan. Karena hal tersebut, penulis memandang perlu mendokumentasi dalam bentuk notasi lagu. Lagu-lagu yang dinotasi adalah lagu yang namanya pernah beredar dikebanyakan sekhe Gong yang ada di Bali dan penciptanya kebanyakan anonim, kecuali beberapa buah lagu yang di ketahui penciptanya antara lain, Semarandana Tabuh Pat oleh I Nyoman Nyebleg dari Gladag, Ginanti Tabuh Pat oleh I Gusti Pt. Made Geria dan kawan-kawan dari Buagan, dan Pengisep  Galang Kangin oleg I Wayan Berata dari Belaluan. Adapun sumber-sumber yang dijajagi antara lain adalah Banjar Geladag, Banjar Tengah Sesetan, Sidakarya, dan Belaluan serta dari beberapa sekeha Gong yang ada di lingkungan Denpasar, di daerah lain seperti Kubu dan Sulahan Bangli dan beberapa dari kabupaten lainnya di Bali.

            Adapun gending-gending yang dinotasi, Tabuh Pisan (Bebarongan, Gagak, Kedodong, Langsing Tuban, dan Pisang Bali), Tabuh Telu (Buaya Mangap, Cerukcuk Punyah, Den Bukit, Lempung Gunung, Lilit, Gajah Nongklang, Sekar Gadung, dan Semara Pita), Tabuh Pat (Banda Sura, Beramara, Berare, Buaya Mangap, Cangak Merengang, Cara Manis, Eman-eman, Ginanti, Jagul, Keroda, Mangong, Manggis Kuning, Manggis Masem, Munduk, Pangelong Jiwa, Sarwa Manis, Sekar Layu, Semarandana, Subandar, Tapa Tangis, Tunjur, dan Wiralodra), Tabuh Nem (Galang Kangin, Kebo Landung, Kembang Koning, dan Gadung Melati), dan Tabuh Kutus (Bendu Semara, Dangdang Gendis, Lasem, dan Pelayon).

            Simbol yang dipakai berasal dari sandang aksara Bali yang disebut ulu (3 dibaca ding), tedong (4 dibaca dong), taleng (5 dibaca deng), suku (7 dibaca dung), dan carik (1 dibaca dang). Titik diatas simbol berarti nada lebih tinggi dari nada normal dan titik dibawah simbol berarti nada lebih rendah dari nada normal. Tanda ketokan sebagai mat ditulis tanda strip pendek ( – ), tanda setengah ketukan ditulis   , tanda seperempat ketukan ditulis        , tanda pengulangan ditulis [ – – – – ], tanda melodi pindah (    > nyalit, nyalit    >, penyalit     >), Jegogan ( ^ ), Kempur ( + ), Kempli (     ), Gong ( ( – ) ), Kendang Wadon ( _ dibaca Ka, o dibaca Dag), dan Kendang Lanang ( __ dibaca Pak, ^ dibaca Dug).

            Secara umum, bahwa yang dimaksud tabuh hubungannya dengan gamelan adalah memebu nyikan atau menyuarakan gamelan. Mungkin dengan cara  memukul, meniup, dan meggesek. Tetabuhan diartikan alunan suara gamelan yang sedang dalam pergelaran, mungkin sebagai pendukung upacara atau iringan tari. Khusus  didalam pengertian karawitan Bali, bahwa yang dimaksud tabuh adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoire dinggap sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Apabila terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam penampilan suatu repertoire, maka para ahli karawitan Bali akan mengatakan bahwa tabuhannya yang rusak. Pemain gamelan yang demikian itu dianggap tidakmengerti tabuh yang sebenarnya. Mereka dianggap tidak tahu tata cara membawakan suatu komposisi lagu. Yang indah adalah yang harmonis,seimbang dan sesuai dengan karakter lagu.

            Istilah tabuh juga dipakai istilah bentuk kerangka dasar gending-gending lelambatan klasik, misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem,dan tabuh kutus. Dengan demikian timbul anggapan bahwa nama tabuh tersebut dibuat demikian disebabkan oleh banyaknya jumlah pukulan Kempur dan Kempli didalam satu Gong. Dugaan atau anggapan tersebut adalah belum tepat, sebab yang diatur dalam komposisi gending-gending lelambatan tradisional itu bukan hanya pukulan Kempur dan Kempli saja, melainkan semua pukulan jenis-jenis instrumen. Istilah tabuh yang dilengkapai dengan nama-nama bilangan adalah suatu modus yakni cara membedakan nama bentuk yang satu dengan yang lainnya.

            Tabuh Telu merupakan gending yang ukurannya paling pendek diantara gending-gending yang termasuk dalam kategori lelambatan. Gending Tabuh Telu dapat dipakai berdiri sendiri  misalnya untuk tabuh pembukaan atau untuk pengisi waktu yang singkat. Disamping itu gending Tabuh Telu dipakai sebagai pengecet bagian terakhir gending-gending Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan Tabuh Kutus. Dalam hal komposisi, gending Tabuh telu dapat dibagi menjadi dua macam bentuk, yaitu bentuk tunggal dan bentuk ganda. Tabuh Telu bentuk tunggal ialah gending yang terdiri dari kawitan dan pengawak saja, dan bagian pengawaknya dimainkan berulang-ulang, contohnya adalah Tabuh Telu Buaya Mangap. Tabuh Telu bentuk ganda adalah gending yang memakai dua bagian putarannya yaitu ada pengisep dan ada pengawaknya, contohnya adalah Tabuh Telu Sekar Gadung.

            Tabuh Pisan merupakan gending yang panjang melodi pengawak dan pengisepnya terdiri dari 16 x 4 ketokan didalam satu Gong. Tetapi satu pengawak terdiri dari dua Gong yang melodinya berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula halnya bagian pengisepnya. Namun ada pula gending Tabuh Pisan yang pengawaknya terdiri dari tiga Gong.

            Tabuh Pat, Tabuh Nem, dan  Tabuh Kutus memiliki pola dasar yang serupa. Bentuk keranka dasar lagunya mapun kendangannya semua sama, yang berbeda adalah panjang ukuran melodinya di dalam satu Gong. Tabuh Pat ukurannya sedang, Tabuh Nem agak panjang, dan Tabuh Kutus terpanjang. Pada umumnya gending-gending lelambatan klasik pegongan itu tersusun sedemikian rupa dan terdiri dari bagian-bagian yang disebut Kawitan, Pengawak, Pengisep, Pengecet, dan Tabuh Telu.

            Buku Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali merupakan buku yang sangat bermanfaat sekali. Didalamnya terdapat penjelasan simbul notasi dan penjelasan tentang berbagai macam tabuh lelambatan klasik. Selain itu, di dalam buku ini terdapat notasi gending-gending lelambatan. Hal tersebut memudahkan seseorang yang ingin mempelajari tabuh lelambatan klasik dan juga buku ini merupakan buku yang dibuat untuk melestarika tabuh lelambatan klasik agar tetap bisa di ingat di kalangan seniman masyarakat Bali.

Pupuh Dhandhanggula Yang Membahas Tentang Gamelan

PUPUH DHANDHANGGULA BAIT 29 SAMPAI 31

Bait 29

SabalanekanthiSarageni

LanMeranggilawanTanuhastra

SartakanthiNirbitane

Lananjampangimungsuh

Ingkangngancikingngalangbaris

Pasanggrahaninglusah

Inganyaranpatut

IngKemistanggalsangalas

IngkangsasimaksihingRabingulakir

Tunggilwawukangwaras

 

Terjemahan Bait 29

Para prajuritSarageni

Meranggi, Tanuhastra, danNirbita

Sambilmengawasimusuh

Yang telahsiaga di gunung

Pasanggrahan di Lusah

Baruberdiri

PadahariKamistanggal 19

BulanRabiulakir

TahunWawu

 

 

 

 

 

 

 

Bait 30

Dyankangkagungan gamelan prapti

SangkingKamagetananggenira

Dipun-gunanikenginge

Wong Pancotgunanipun

Arangunawijayangardi

Pun Kanyutkang gamelan

Gong pun angun-angun

WuskaturPangranDipatya

IngkangantukwongPancotginanjarsami

Sapangadegmyangarta

 

Terjemahan Bait 30

Kemudianpemilik gamelan datang

Dari rumahnya di Magetan

Karenabermanfaat

Bagi orang-orang Pancot

Yang bernamaGunawijaya

Gamelan bernamaKanyut

Gong bernamaangun-angun

TelahdiserahkankepadapangeranAdipati

Orang Pancot yang menemukandiberihadiah

Seperangkatpakaiandanuang

 

 

 

 

 

 

 

 

Bait 31

DuksamanaPangranAdipati

Anyebarudhik-udhikanuwang

Saestulegamanahe

Gamelan dyantinabuh

Samyaenggarparaprajurit

Nengdhadhahakasukan

Adhaharanginum

Nora mantra wongkinepang

Mengsahkhatahprandeneecakanggalih

Madhepkarsaning Allah

 

Terjemahan Bait 31

KetikaitupangeranAdipati

MenyebaruangpadaacaraUdhik-udhik

Betul-betullegahatinya

Lalu gamelan dibunyikan

Semuaprajuritbersenang-senang

Bersukariadisepanjangpagar

Ada yang makandanada pula yang minum

Tidaktahukalaudikepungmusuh

Banyakmusuhnamunenaksajahatinya

HanyapasrahkepadaTuhan Allah

 

 

 

 

 

 

 

Ulasan

            Dalam bait 29 dijelaskanbahwasaatitu Mas Said berdiam di PasanggrahanLusah. Bait berikutnyamenerangkanbahwakyaiKanyutbersertagongnyabernamaKyaiAngun-angun, diserahkankembaliketangan Mas Said olehseorangpunggawanyabernamaGunawijaya. PunggawaituberasaldaridesaPancot, danmembawa gamelan itudaritempatnyaterakhir di Magetan. Bait 31 memberipetunjukbahwaparaprajurit Mas Said tidakmenampakanketakutansedikit pun, meskimerekadikepungolehmusuh yang banyakjumlahnya. Di Pasanggrahanitu Mas Said melaksanakanUpacaraudhik-udhiksetelahditerimanyakembali Gamelan KyaiKanyut.Gamelan itusegeradibunyikan, danbersenang-senanglahparaprajuritsampaimakandanminum.

Setelah Mas Said berkuasadengansebutanMangkunagara I, kehidupankeseniantetapdibinanya,diantaranyawayang orang, wayangkuklit, tari, dankarawitan. Setiapmemperingatiharikelahirannyayaitusetiap 35 harisekali,Setiap kali diadakanpertunjukan, penuhsesakpenontondarisegalalapisansosialmenyaksikanpertunjukanitu. Para putranyajugadikondisikanuntukdapatmenikmatisajiansenidandilatihuntukbisamenari.Disampingituselainpengrawitpria, pengrawitwanitawaktuitutelahada di puraMangkunegaran.

Biografi “I Gusti Ngurah Adi Putra” (Agung Alit)

           Agung Alit dilahirkan oleh pasangan suami istri I Gusti Gede Rai dan I Gusti Nyoman Sari pada tanggal 8 Mei 1963. Agung Alit dilahirkan di Desa Bona,Bali. Agung Alit belajar memainkan gamelan sejak berumur 10 tahun. Instrumen gamelan Bali yang pertama kali Gung Alit Mainkan adalah kendang. Pada saat itu Gung Alit menjadi tukang kendang di sekehe Gong di desanya. Sejak itulah Gung Alit piawai memainkan berbagai instrument gamelan Bali dan kemampuannya terus bertambah hingga Gung Alit dapat memainkan  instrument yang berasal dari luar Bali, bahkan luar Indonesia. Pada saat yang sama, Gung Alit mengembangakan bakat musikalnya, Gung Alit Juga menjadi pemahat kayu dan pengrajin tradisional. Dengan ini timbul ketertarikannya untuk membuat instrument musik sendiri. Gung alit juga dikenal dengan pengrajin instrument musik  yang memanfaatkan hasil alam (alami) yang tentunya menghindari menggunakan bahan-bahan non-organik.  Gung Alit terus berkarya hingga batas akhir kreatifitas manusia seni. Beliau dan seniman Bona Alit lainnya telah membuat ratusan instrument musik,  termasuk instrument gamelan tradisional Bali. Alat musik buatannya yang paling terkenal adalah rebab/erhu ( chordophone 2 strings) Yang dikoleksi oleh beberapa komunitas world music di dunia. Kurang lebih selama 15 tahun, Gung Alit mebuat bermacam-macam alat music Bali dan Asian Flutes lainnya dan baru-baru ini Gung Alit memperoleh Japanese Shamisen (Japanese Banjo).

            Gung Alit juga telah menciptakan beberapa instrument diantaranya flute yang sangat besar (3 meter) dan Bamboo Wind Antenna Flutes. Semua instrument yang Gung Alit ciptakan, telah digunakan pada albumnya sendiri yaitu Kishi-kishi. Ayah dari Gung Alit, I Gusti Rai membimbing dengan keras hidupnya. Ayah dari Gung Alit telah menciptakan Balinese Kecak Monkey Dance dan Fire Dance yang cukup terkenal, yang juga sering melakukan kolaborasi dengan seniman dunia. Meskipun Gung Alit adalah pemain/komposer world music yang baik, beliau tidak akan pernah melupakan suling Bali atau alat music asli Bali lainnya. Ini bisa kita saksikan pada performance Bona Alit atau pada album Kishi-kishi.

            Agung Alit merupakan tergolong dalam orang yang hardworker, Gung Alit bekerja tanpa lelah untuk mendorong generasi muda seniman Bali, tidak hanya dalam seni tradisional tetapi juga dalam seni dan budaya dari dunia yang lebih luas. Dengan karir sendiri sebagai contoh, Alit terus mengilhami murid-muridnya untuk memperluas perspektif mereka secara artistik. Dia merasa bahwa generasi muda Bali memiliki kemampuan alami untuk belajar dan beradaptasi, dengan memandang dunia menjadi lebih kecil dan seni menjadi lebih dinamis dan. Selanjutnya ia merasa bahwa adaptasi tersebut sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup seni tradisional Bali.

Agung Alit mendirikan Sanggar Bona Alit (Alit Art Space Bona & Studio) pada tahun 1996 sebagai pusat inspirasi artistik dan pendidikan, yang bertujuan untuk melestarikan musik tradisional Bali.

Sejarah Gamelan Pendro Di Desa Tunjuk Kabupaten Tabanan

                    Bagi orang yang tergolong “kasta” pengerawit sebutan istilah pelog dan selendro tidak asing lagi. Dan ini merupakan “makanan” bagi pengerawit di dalam kiblatnya untuk berkesenian. Bahkan seorang seniman terutama yang memiliki latar belakang karawitan, yang dikategorikan sebagai komponis, dimana, di dalam berkreatifitasnya dia juga memerlukan alat/instrument baik yang berlaras pelog maupun yang berlaras selendro dipakai sebagai media ungkap. Atau, dengan tidak menutup kemungkinan dia(komponis), memerlukan alat atau instrument di luar dari kedua laras tersebut diatas sebagai medium. Artinya, disini seorang komponis ada semacam kebebasan menentukan atau memilih alat/instrument yang digunakan untuk mengungkapkan karyanya.

                              Berdasarkan pengalaman I Made Arnawa (Pencipta Gamelan Pendro) sebagai pratisi maupun sebagai penata (komponis) tidak pernah terlepas dari dipakainya gamelan yang berlaras pelog dan selendro. Ini membuktikan bahwa apa yang telah diwariskan oleh pendahulu patut kita syukuri,pelihara,dan mengembangkan terus-menerus sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki. Sebagai pratisi, I Made Arnawa sering terlibat dalam kegiatan pergelaran baik yang bersifat daerah,nasional, maupun international dengan melibatkan gamelan yang berlaras pelog dan selendro. Pengalam yang menarik buat Bapak I Made Arnawa sebagai pratisi karawitan, ketika Sekolah Tinggi Seni Indonesia(STSI) Denpasar membuat garapan spektakuler musik mandiri yang diberi judul “Merajut Tali Keragaman” dengan melibatkan kurang lebih 10 barungan gamelan Bali baik yang berlaras pelog maupun yang berlaras selendro. Apa yang disajikan pada saat itu, menunjukan, bentuk karya yang belum mencerminkan karya yang benar-benar menghasilkan sesuatu yang baru dari hasil penggabungan berbagai jenis gamelan yang digunakan. Bahkan menimbulkan kesan pameran gamelan, dan masih mencerminkan karakteristik dari masing-masing gamelan itu sendiri. I Made Arnawa mengatakan demikian, karena ditinjau dari judul garap, semestinya ada benang merah yang menghubungkan dari satu ensemble (Barungan) ke ensemble lainnya yang digunakan untuk mengutarakan bahasa musikal, sehingga, akan muncul sesuatu yang baru setidak-tidaknya mengenai laraskah, atau dapat menghasilkan genre baru dari pertunjukan itu. Jadi, apa yang dikerjakan pada waktu itu, baru sebatas penggunaan dari masing-masing seperangkat gamelan secara maksimal. Semestinya, dengan menggunakan sekian banyak barungan gamelan dapat digarap secara maksimal dengan tetap mempertimbangkan  judul sehingga terjadi kesatuan garap dan tidak memiliki kesan terpotong-potong. Dengan sajian seperti itulah, menurut I Made Arnawa belum mencerminkan sesuatu yang baru yang dapat dihasilkan dan masih memperlihatkan karakteristik dari masing-masing barungan gamelan itu sendiri. Lain daripada itu, bahwa sebelum dan sesudahnya , karya semacam ini pernah dikerjakan, hanya saja jumlah barungan gamelan yang digunakan lebih sedikit, kurang lebih dua sampai tiga barungan gamelan. Namun apa yang terjadi masih tetap belum dapat menghasilkan sesuatu yang baru, dan masih pula mencerminkan karakteristik dari masing-masing gamelan itu sendiri. Dari pengalaman inilah akhirnya hati I Made Arnawa terketuk untuk meneruskan pekerjaan rekan-rekannya hingga akan dapat menghasilkan sesuatu yang baru dari hasil penggabungan kedua laras gamelan yang digunakan.

                              Keinginan I Made Arnawa ini dapat diperkuat ketika membaca buku Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. Dalam buku Prakempa tersebut ada suatu pernyataan yang menyebutkan bahwa, “Kalau gamelan pelog dan selendro digabungkan akan membuat hati yang mendengarkan menjadi tersentuh”. Pernyataan ini kemudian beliau coba merealisasikan ke dalam sebuah bentuk komposisi karawitan/musik. Hasil kerja beliau  ini akhirnya dapat menghasilkan genre baru dalam seni pertunjukan. Apa yang beliau kerjakan dan apa yang beliau temukan lewat karya itu secara jujur beliau dapat katakana adalah merupakan kerja lanjutan dari apa yang sudah pernah dikerjakan oleh rekan-rekannya sebelumnya. Menurut I Made Arnawa, hasil kerja rekan-rekannya itu belum dapat menghasilkan sesuatu yang baru, sedangkan apa yang beliau kerjakan dan temukan lewat penggabungan kedua gamelan tersebut dapat menghasilkan laras yang baru. Disini I Made Arnawa sama sekali tidak bermaksud meremehkan hasil kerja dari rekan-rekannya, bahkan beliau dapat gunakan sebagai acuan untuk bisa lebih digarap untuk memenuhi harapan kita bersama. Hal senada, beliau juga tidak pernah bermaksud menyombongkan diri dari hasil kerja yang beliau kerjakan, justru, beliau bisa memperkaya pembendaharaan dunia seni Bali. Berangkat dari sinilah beliau ingin terus mengembangkan hasil temuan ini, dan terus bekerja….bekerja..tanpa pernah berhenti berpikir untuk menemukan sesuatu yang baru lagi. Menurutnya, itulah tanda kreativitas.

                           “Pendro” merupakan akronim dari Pelog dan Selendro. Karena barungan gamelan Pendro ini terdiri ddari instrumen yang berlaras pelog dan selendro. Ini maksudnya untuk menggabungkan kedua kutub yang berbeda menjadi satu kesatuan garap. Barungan ini dibentuk pada bulan Mei 2004. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan Bapak I Made Arnawa membuat barungan gamelan ini yaitu, pertama, adalah untuk menjawab pernyataan yang ditulis di Lontar Prakempa seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua, ingin melanjutkan kerja dari rekan-rekannya sebelumnya. Ketiga, untuk menentukan jati diri (sikap individual) dalam berkesenian. Keempat, untuk memacu kreatifitas diri.

                Mengenai genre, genre lagu-lagu dari gamelan Pendro ini adalah kontemporer, yaitu suatu bentuk karya yang menekankan kebebasan dalam komposisi musiknya. Mengenai tekniknya tetap mengacu pada konvensi yang ada pada karawitan Bali itu sendiri dan ada sedikit tambahan diluar konvensi karawitan Bali. Dengan kebebasan seperti ini Bapak I Made Arnawa berharap dapat mengeksplor kemungkinan garapan-garapan baru yang belum pernah ada, sehingga diharapkan muncul karakteristik yang menonjol yang tidak nampak pada garapan karawitan lainnya. Gaya musik dalam gamelan Pendro ini menggunakan gaya kekebyaran yang baru dan juga memasukan gaya atau unsur dari aliran minimal musik (aliran musik di Amerika pada tahun 60-an) seperti “Clapping Music” (1972) atau “Tehilim” (1979) karya Steve Reich, karya “Crosscurents” (2000) dari Dieter Marck.

Instrument yang digunakan dalam barungan gamelan Pendro ini yaitu, dua tungguh gangsa pemade dan dua tungguh jublag dari gong kebyar (laras pelog lima nada), dua tungguh gangsa pemade dan dua tungguh gangsa curing dari gamelan Angklung (laras selendro empat nada), dua tungguh jublag dan jegogan dari gamelan Angklung, lima buah kajar, empat pencon reong dari gamelan Angklung, dan dua pencon reong dari gamelan Gong Kebyar. Tapi dalam pementasannya di Jakarta 2 tahun lalu, instrument dari Gong Kebyar digantikan dengan instrument selonding (pelog tujuh nada). Mengenai struktur gendingnya dari aspek kompositoris, gending-gending gamelan Pendro tidak menggunakan struktur yang sudah umum berlaku dalam dunia karawitan Bali seperti kawitan, pengawak, pengecet. Dari pola hitungan/ketukan, disamping menggunak pola hitungan/ketukan genap, juga dimasukan pola hitungan/ketukan ganjil. Teknik pukulan konvensi dalam karawitan Bali masih tetap dipertahankan, hanya dibeberapa bagian gending perlu teknik pukulan yang keluar dari konvensional karawitan Bali dan dalam penyajiannya penabuh memukul instrument secara ganda.

YouTube Preview Image

Komentar Perfomance Musik Kontemporer “Loloan”

YouTube Preview Image

Komentar mengenai video Tabuh Kreasi Kontemporer “Loloan”:

Disini saya menganalisa audio dari video ini menggunakan 2 alat yaitu,headset dari sony dan speaker simbadda.Hasil analisa yang saya dapat dari ke dua media yang saya gunakan menunjukan hasil yang berbeda.Pada speaker simbadda, suara bass dari video ini kurang baik.Dalam artian suara Bass sangat menonjol.Kurang adanya keseimbangan dengan treble.Beda halnya dengan menggunakan headset sony,dengan menggunakan headset sony,treble terdengar agak keras,begitu juga dengan bassnya.Setelah saya bertanya ke beberapa soundman,hampir semua soundman yang saya tanya mengatakan bahwa simbadda memang menaikkan  bassnya.Dan setelah saya menganalisa lebih kritis lagi,selain faktor media,yang menyebabkan bass terdengar lebih tinggi yaitu faktor tempat perfomance.Di dalam video ini,konser diadakan di dalam ruangan(indoor),mungkin peredam suara yang terdapat pada stage ini kurang baik.Karena saya masih mendengar gema pada clip video ini.Gema juga dapat menaikan bass.

Suara instrument cello juga belum seimbang dengan instrument lainnya.Perkiraan saya,penyebabnya adalah karena penempatan micnya kurang dekat dengan resonator dari instrument tersebut,yang kedua mungkin karena volume mic pada mixer kurang tinggi,mungkin juga karena kualitas dari mic tersebut kurang,dan kemungkinan terakhir adalah karena kurangnya karpus yang digunakan pada penggesek cello tersebut.Suara dari instrument “Rebab” juga tidak terdengar sama sekali.Tetapi pada saat rebab bermain dengan sackshopone,menurut saya volumenya cukup.Hanya saja pada saat semua instrument dimainkan suara rebab sama sekali tidak terdengar.Untuk menyikapi masalah ini,saya rasa perlu adanya soundman yang mengetahui garapan.Maksudnya,si soundman tersebut dapat mengatur volume mic rebab pada mixer saat rebab dimainkan.Dengan seperti ini keseimbangan suara rebab dengan instrument lainnya dapat terkontrol dengan baik.

Mengenai pengambilan gambar,saya rasa pengambilan gambar pada video ini sudah cukup baik.Karena si cameraman acap kali zooming pemain pada saat bermain solo.Mengenai lighting dari perfomance ini,menurut saya kurang baik.Pemain yang posisinya dipinggir terlihat lebih gelap.Masalah ini saya masih ragu untuk berpendapat karena ada kemungkinan,si penggarap memang menginginkan lighting yang seperti itu.Karena estetika itu relatif.Tetapi alangkah baiknya jika lighthingnya lebih variatif.Ini pasti akan membuat mata penonton lebih tersenyum menyaksikan konser ini.