Kulkul Sebagai Simbol Budaya Masyarakat Bali

Oleh: I Gde Made Indra Sadguna

Pendahuluan

Kulkul atau kentongan (Jawa) merupakan instrumen musik yang bisa dibuat dari kayu ataupun bambu. Secara spesifik, kayu yang dapat dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah: kayu ketewel (nangka), kayu teges (jati), kayu camplung, dan kayu intaran gading (batang pohon pandan yang sudah tua). Untuk mendapatkan kulkul yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula, karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula. Kayu terbaik untuk dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah kayu nangka (artocarpus heterophyllus). Hal ini disebabkan karena serat kayu nangka lebih padat dibandingkan dengan kayu yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan suara yang lebih padat dan bagus.

Kulkul berbentuk bulat memanjang, di mana pada bagian tengah tubuhnya terdapat rongga suara yang berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dikelompokkan ke dalam golongan idiophone sebab sumber suaranya berasal dari getaran tubuhnya sendiri. Ukuranya bervariatif, ada yang panjangnya hanya ½ meter dengan lebar lingkaran 10 cm, tapi ada juga yang lebih dari 1 meter dengan lebar lingkaran 100 cm. Biasanya kulkul yang berukuran besar ditempatkan (digantung) di pos-pos siskamling, banjar-banjar atau pura-pura.

Sesungguhnya budaya kentongan terdapat di seluruh daerah  di Nusantara sebagai sarana komunikasi. Sebut saja di Pulau Jawa misalnya, instrumen kentongan biasa difungsikan untuk sarana siskamling atau dijadikan sarana membangunkan orang puasa ketika bulan Ramadhan. Namun hal ini kiranya tidak terjadi di Bali. Keberadaan kulkul di Pulau Dewata secara umum diposisikan sesuai kegunaannya di dalam kehidupan masyarakat.

Lalu pertanyaannya, berapakah jenis kulkul yang terdapat di Bali? Mengapa keberadaan instrumen kulkul begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali ? Apakah karena faktor sejarah, politik, sosial, agama atau faktor lain, sehingga kalau di daerah lain kulkul dipandang sebagai alat musik biasa, tapi di Bali kulkul sangat bermakna? Penjelasan mengenai permasalahan tersebut akan dibahas penulis sebagai berikut.

Kulkul Sakral

Di Bali terdapat tiga jenis kulkul. Pertama, ada kulkul sakral yang keberadaannya selalu ditempatkan di pura-pura dan disakralkan oleh masyarakat. Sebagai instrumen perkusi, keberadaan kulkul sakral tersebut tidak bisa dilepaskan dari odalan, karena selalu difungsikan sebagai sarana upacara. Dalam tata upacara di Bali disebutkan bahwa yang harus ada dalam suatu odalan adalah Panca Gita. Panca berarti lima sedangkan gita berarti suara atau nyanyian. Pembagian Panca Gita tersebut adalah suara kulkul, suara genta dari orang suci atau pendeta, suara kidung atau nyanyian berisi pujian kepada Tuhan, suara sunari[1] dan suara gamelan. Jadi berdasarkan uraian tersebut, kehadiran kulkul sifatnya wajib dan harus ada pada saat upacara berlangsung.

Dalam suatu pura yang sifatnya milik masyarakat umum bukan individual, kulkul akan ditempatkan pada suatu bangunan tertentu yang dinamakan bale kulkul. Bangunan ini biasanya akan berdiri pada salah satu sudut dari pura tersebut. Bale ini akan dibuat dengan tinggi sekitar 5 meter di mana kulkul akan digantung pada tempat yang paling atas. Fungsinya ditempatkan di atas adalah jika pada suatu odalan[3] berlangsung, seluruh warga masyarakat baik yang dekat maupun jauh bisa mengetahui bahwa upacara sedang berlangsung. Pada bale kulkul di pura, biasanya akan digantungkan dua atau beberapa buah kulkul yang berukuran besar. Ketika upacara berlangsung, kulkul tersebut akan ditabuh secara bergiliran dengan tempo yang pelan. Suara kulkul yang pelan itu juga membangkitkan suasana yang lebih sakral dan khusyuk dalam melaksanakan persembahyangan.

Kulkul Kubu

Selain kulkul sakral, di Bali juga dikenal instrumen musik yang disebut dengan kulkul kubu. Yaitu, alat musik perkusi yang biasa dibunyikan di area persawahan untuk mengusir hama atau burung-burung yang acap kali menggangu para petani. Biasanya terbuat dari bambu dan berbentuk kecil agar bisa dengan mudah dibawa oleh petani ke mana-mana.

Kulkul kubu ini juga memiliki makna simbolik karena sering diidentikkan dengan orang yang banyak omong tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa. Di Bali ada sebuah analogi yang kira-kira berbunyi sebagai berikut “yen memunyi de ngawag-ngawag, pang sing cara munyin kulkul kubu”. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, berarti: “berhati-hatilah kalau berbicara, jangan sembarangan biar tidak seperti kulkul kubu”. Jadi, persis seperti kulkul kubu yang dipasang di area persawahan, bunyinya sangat banyak dan ribut akan tetapi tidak akan pernah dimaknai atau dipedulikan oleh orang lain. Inilah makna dan fungsi kulkul kubu bagi masyarakat Bali.

Kulkul Banjar

Namun demikian, selain kulkul sakral dan kulkul kubu tersebut, yang menarik dicermati adalah fenomena kulkul banjar[4]. Kulkul jenis ini biasanya dipasang (digantung) di bale banjar[5] untuk dijadikan sarana mengumpulkan massa. Kulkul banjar, menurut asumsi penulis adalah kulkul yang memiliki peran dan fungsi signifikan karena secara umum oleh masyarakat Bali dijadikan sarana pemersatu kehidupan. Berkat peran kulkul banjar inilah, masyarakat Bali memiliki spirit kebersamaan yang tinggi, karena setiap mendengar bunyi kulkul ditabuh, warga akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melakukan aktivitas gotong-royong. Dengan kekuatan bunyinya inilah, kulkul banjar mampu menciptakan aturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Tak terkecuali masyarakat yang memiliki kasta tinggi, seperti Brahmana atau Kesatria. Semuanya dipastikan akan patuh setiap kali mendengar kulkul banjar ditabuh, karena bunyi yang terdapat pada alat musik tersebut adalah mengandung makna “perintah”.

Kenyataan ini tentunya tidak lepas dari suara kulkul banjar yang bunyinya sangat spesifik dengan tabuhan yang khas pula. Misalnya, pola suara untuk menandakan adanya warga yang punya hajat adalah disimbolkan dengan pola pukulan dari yang dimulai dengan tempo lambat dan kemudian secara perlahan dipercepat tapi hanya pada tempo medium, tidak sampai tempo kencang. Ketika mendengar tabuhan kulkul seperti ini maka setiap masyarakat pasti segera bergegas kumpul di banjar untuk kemudian melakukan gotong-royong di rumah warga yang punya hajatan. Biasanya warga -laki-laki khususnya- akan membawa sebuah pisau agak besar yang dinamakan blakas untuk proses ngelawar[6].

Pola suara untuk menandakan adanya warga yang meninggal dunia (kematian) adalah disimbolkan dengan pola pukulan yang pelan dan biasanya mempunyai hitungan tertentu, misal dipukul sebanyak sembilan atau tujuh kali secara berulang. Demikian juga ketika masyarakat mendengar tabuhan ini, maka warga akan berduyun-duyun datang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Warga akan membantu untuk membuat sesajen upakara dan bade atau wadah untuk orang yang meninggal.

Kemudian yang tidak kalah menarik, adalah bunyi kulkul yang bermakna bulus atau menandakan adanya marabahaya, misalnya: banjir, kebakaran, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Bunyi kulkul bulus yang disimbolkan dengan pola tabuhan cepat dan kencang ini, selain mencitrakan daya gotong royong masyarakat Bali secara umum, ternyata juga menggambarkan spirit primordialisme[7] lokal, yang lebih membela kepentingan kelompok atau golongan. Adapun fenomena yang terjadi di Bali bahwa keberadaan kulkul bulus selain untuk menandai adanya marabahaya: banjir, kebakaran, perampokan, pembunuhan dan lain-lain demi kepentingan orang banyak, pada sisi lain juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan masyarakat banjar guna melakukan keributan masal dengan masyarakat banjar yang lain.

Hal tersebut kerap terjadi, di mana antara satu banjar dengan banjar lain terlibat perkelahian masif, lantaran rasa solidaritas kolektif masyarakat Bali yang tinggi. Oleh karena itu, ketika kulkul bulus dibunyikan, maka segera masyarakat akan berkumpul dengan membawa senjata seperti pedang, keris, maupun pisau. Tetapi tidak untuk bergotong royong, melainkan untuk berperang dengan banjar yang lain. Di Bali situasi yang demikian kerap terjadi, karena setiap masyarakat yang hidup dalam satu banjar selalu tergerak ikut membela kepentingan banjarnya akibat bunyi kulkul bulus. Bahwa oleh sebagian masyarakat tidak sekedar dimaknai sebagai “perintah” bergotong royong, tetapi juga “perintah” untuk berperang melawan banjar yang lain. Sekalipun hal ini banyak yang menyayangkan, namun pada kenyataannya inilah fenomena instrumen kulkul di Bali yang memiliki banyak fungsi.

Penutup

Seluruh fenomena sosial budaya di atas tersebut sesungguhnya tidak lepas dari karakter masyarakat Bali yang memang dikenal patuh terhadap aturan tradisinya. Sehingga, selain memiliki kekayaan seni budaya yang eksotik, original, Bali secara umum memiliki tradisi sosial yang sangat kuat yakni budaya gotong royong.

Budaya gotong-royong bagi masyarakat Bali, tidak hanya dimaknai sekedar kegiatan saling bantu-membantu antar-sesama, lebih dari itu juga dimaknai sebagai kegiatan yang sangat sakral. Karena keberadaan gotong-royong bagi masyarakat Bali adalah terkait dengan ajaran keyakinan (agama) Hindu. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam membangun hubungan sosial, masyarakat Bali selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Barangkali, hal inilah yang melatarbelakangi mengapa masyarakat Bali selalu patuh terhadap simbol-simbol budayanya – seperti halnya instrumen musik kulkul – karena semua adalah bagian dari ajaran Tri Hita Karana. Yaitu, suatu ajaran yang mengharuskan setiap masyarakat Bali selalu menghargai dan menghormati alam, sesama manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan kulkul di Bali telah menjadikannya sebuah budaya dengan makna simbolik tersendiri jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Meskipun setiap daerah memiliki budaya kulkul atau kentongan dengan fungsi sebagai sarana komunikasi, akan tetapi konteks sosial yang ada pada masyarakat Bali yang membedakannya dengan daerah lain. Walau zaman telah mengalami perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, dan layanan pesan singkat, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis dana tidak akan pernah bisa tergantikan. Hal tersebut bisa dilihat di setiap wilayah banjar yang masih memiliki kulkul sebagai sarana upacara dan komunikasi. Fenomena seperti ini terjadi karena masyarakat Bali menganggap bahwa kulkul memiliki makna simbolik tersendiri dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan.

Menurut ST. Sunardi, Direktur Pascasarjana Universitas Sanata Darma ini – sebagaimana dipaparkan dalam buku Semiotika Negativa – bahwa segala sesuatu yang mengandung simbol selalu menuntun pada hubungan paradigmatik yang memicu kesadaran orang terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, kemudian dihubungkan dengan tanda-tanda yang tidak kelihatan.[8] Artinya, ketika masyarakat mendengar bunyi kulkul maka dalam imajinasinya akan dihadapkan pada suatu sistem nilai, yakni spirit kebersamaan, persatuan, etnisitas, lokalitas, identitas dan lain-lain.

Apa yang disampaikan ST Sunardi ini pada dasarnya bersesuaian dengan simbol kulkul bagi masyarakat Bali. Kulkul yang sebenarnya hanyalah alat musik, tapi pada satu sisi dipandang sebagai instrumen yang sangat sakral karena keberadaannya ditempatkan sebagai bagian pelengkap sarana upacara. Oleh karena itu, sesuai fungsinya, maka yang bisa membunyikan kulkul sakral di pura-pura hanyalah pendeta atau orang yang diberi kewenangan oleh adat.

Demikian juga dengan kulkul kubu yang diibaratkan orang yang kerjanya hanya berbicara, tetapi tidak ada yang mempedulikan. Adalah suatu representasi dari wujud kulkul kubu yang biasanya berjumlah banyak dan hanya berbunyi kalau ia dipukul (dibunyikan) untuk mengusir burung-burung dan tidak bersifat sakral. Tempatnya pun hanya dipersawahan, notabene merupakan ruang yang mencitrakan tingkat sosial paling bawah. Bila dibandingkan dengan pura dan banjar, sawah secara image adalah mencitrakan tempat yang kotor, becek, lahan para petani mendulang rejeki. Barangkali inilah jawaban mengapa kulkul kubu diidentikan sebagai orang yang banyak omong. Bisa jadi dilandasi bentuk tidak sebagus dan sebesar kulkul yang biasa ditempatkan di pura atau di banjarbanjar.

Hal yang cukup menarik dari aspek semiotika adalah keberadaan kulkul banjar. Bisa jadi keberadaannya yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, maka kulkul ini memiliki peran cukup signifikan. Secara fungsional kulkul banjar disimbolkan sebagai sarana menciptakan kebersamaan dan persatuan, karena setiap masyarakat akan selalu mematuhi simbol-simbol bunyi yang disuarakan dari kulkul tersebut. Bisa jadi kenyataan ini tidak lepas dari makna bunyi yang terkandung dalam kulkul, secara tidak langsung merupakan perjanjian tidak tertulis antara kulkul dengan masyarakat. Sehingga setiap mendengar suara kulkul banjar ditabuh, maka tanpa dikomando masyarakat sudah mengetahui apa makna bunyi tersebut. Apakah ajakan untuk bergotong royong membantu tetangga yang punya hajat, ataukah ajakan untuk menghadiri upacara kematian maupun ajakan untuk bersama-sama mempertahankan keberadaan banjar dari ancaman musuh, semuanya tidak lepas dari fungsi kulkul yang tidak sekedar alat musik perkusi, melainkan suatu simbol budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada dasarnya memiliki kepatuhan, serta taat pada aturan tradisinya. Inilah inti dari simbol budaya kulkul di Bali, yang hingga kini masih dipatuhi sebagai sarana simbolik dalam mengatur harmoni kehidupan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. Dinamika Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra, 1996.

Bing, Agus. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. 20 Juni 2010.

Cobley, Paul, dan Litza Jansz. Mengenal Semiotika For Beginners. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

Zoest, Aart van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 2003.

————————–, dan Panuti Sudjiman. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Sumber Internet

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1609&Itemid=29

http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/kulkul01.jpg

http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul%20bali&imgurl=http://www.balifotografer.com


[1] Sunari merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari batang bambu yang panjang, di mana pada bagian atas akan diberikan sebuah lubang sebagai tempat keluar masuknya angin yang nantinya akan menghasilkan suara yang khas.

[2] Diunduh dari http://www.google.co.id/imglanding?q=kulkul

[3] Odalan adalah suatu istilah dalam masyarakat Bali untuk menyebutkan suatu upacara perayaan di tempat suci. Biasanya pelaksanaan odalan bisa didasarkan atas dua hal, yaitu berdasarkan sistem kalender pawukon yang jatuhnya tiap 210 hari sekali, atau berdasarkan sistem sasih atau bulan yang jatuhnya tiap setahun sekali.

[4] Banjar merupakan perkumpulan warga dalam suatu wilayah tertentu

[5] Bale banjar merupakan sebuah balai yang dipergunakan sebagai berkumpulnya dan melaksanakan kegiatan bermasyarakat

[6]Ngelawar adalah suatu proses membuat sebuah makanan tradisional Bali yakni Lawar. Makanan ini terbuat dari potongan sayur seperti kacang panjang, daun ketela, sayur nangka yang dicampur dengan potongan daging babi, ayam, bebek, atau yang lainnya. Biasanya masyarakat Bali akan membuat lawar sebagai sebuah hidangan yang disuguhkan pada hajatan-hajatan adat.

[7] Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

[8] Dalam Agus Bing. “Negarakretagama: Sebuah Festival”. Dalam harian Jawa Pos. Tanggal 20 Juni 2010.

Comments are closed.