September, 2013Archive

Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana (Sri Hasta Dhala)

Om Swastyastu, Om Sri Tat Ram

Om Ibu Pertiwi Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Wujud-Mu adalah alam semesta Yang Maha Indah telah menciptakan, memberkati dan memelihara seluruh kehidupan ciptaan-Mu dari jaman ke jaman, sebagai aliran Maha Energi abadi. Aliran energi-Mu yang amat halus meresap dan merasuki jiwa dan raga melalui alam kesadaran yang terjangkau maupun melalui  kesadaran yang tidak terjangkau oleh pikiran dan kesaaran manusia, itulah aliran Kuasa-Mu yang Maha dasyat sehingga kami hanya mampu meyakini keberadaan-Mu. Dalam Kuasa-Mu itu Ibu Pertiwi, Engkau telah menuntun umat manusia agar hidup damai dan mampu menghindar dari hukum kemarahan-Mu melalui sabda-sabda suci-Mu yang telah tertulis dalam kitab-kitab suci yang disimbolkan sebagai Sri Nandhini menyebutkan; wahai anak-anak-Ku agar engkau bisa hidup di bumi peraslah susu-Ku sepuas-puasnya, tetapi jangan rusak tubuh-Ku. Sabda suci-Mu itu telah dipegang teguh oleh para suci di seluruh dunia, dan diterapkan untuk menata prilaku agar mampu hidup di bumi ini. Dengan demikian engkau adalah Ibu dan Engkau adalah Bapak, dalam wujud sebagai Maha Guru yang memberi dan menuntun pengetahuan tentang tatacara kehidupan. Melalui pemahaman ajaran itu manusia mampu melahirkan etika, memelihara, penghormatan, memuliakan, memperoleh cara menemukan, mengolah energi yang berguna dan bermanfaat untuk kesejahtraan selueruh isi alam ini . Agar mampu memperoleh semuanya itu, nenek moyang kita memulai dari kesadaran mistis yang menempatkan semuanya itu dalam kebesaran kuasa-Mu, sehingga doa-doa, sadana spiritual serta etika-etika dilaksanakan dengan penuh kewajiban dan rasa tulus ikhlas dalam setiap langkah kehidupan.

Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah diberkati, mengakibatkan pola pikir dan prilaku yang semakin menjauh dari kesadaran mistis, ontologis menempatkan diri pada pola pikir fungsional. Tidak lagi ada rasa takut terhadap misteri alam yang demikian dahsyat dan selalu berupaya menguasai alam, akibatnya apa yang terjadi sekarang, anak-anak-Mu semakin tidak memperdulikan sabda dan tuntutan-Mu Ibu. Bukankah semua pengetahuan itu datang dan mengalir dari diri-Mu, melalui gelombang besar yang di sebut sebab dan akibat yang tidak bisa dihindari oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun oleh semua ciptaan-Mu. Oleh karena kami umat manusia hidup di bumi tidak bisa dan mampu menghindar dari semua akibat perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan hukum Kuasa-Mu Ibu. Banjir bandang diakibatkan hutan dibabat habis oleh sekelompok orang, yang mementingkan diri sendiri dan masalah lainnya. Tempat suci berkembang menjadi tempat kunjungan wisata, tanpa memperdulikan kesuciannya. Menjaga kios lebih penting dari menjaga kesucian pura, sehingga wisatawan bisa melakukan apa saja yang penting dolar. Akibatnya perebutan wilayah dan tapal batas tidak bisa dihindari, akhir jawabannya adalah kekurangan upacara, sehingga semakin kaburlah antara rakus materi dengan kesadaran spiritual. Banyak hal yang patut direnungi, dari sebagian kegelisahan masyarakat Bali sekarang terlontar dalam kata-kata polos, ring Bali mangkin padem lan layon dados byute, riantukan kramene sering pisan byote ngerebutin setre sane sampun tekek kegambel sakeng nguni, artinya orang Bali sekarang meninggal saja susah karena mayat sering ditunda atau dihadang penguburannya oleh masyarakat akibat pertengkaran perebutan lahan kuburan yang merupakan warisan leluhur sejak berabad-abad.

Kami anak-anak-Mu yakin bahwa Engkau selalu mencibir dengan cibiran yang semakin keras dengan kasih sayang-Mu, namun sebagian anak-anak-Mu semakin nakal dan semakin bernafsu merusak tubuh-Mu Ibu, karena tidak mau tahu apabila tubuh-Mu rusak bagaimana bisa mengeluarkan susu,  itulah wujud kegelapan jiwa-jiwa kami Ibu. Om Ibu ampuni-ampunilah dosa-dosa kami. Limpahkanlah tuntunan yang mampu membangkitkan kesadaran kami agar mampu memuliakan kebesaran-Mu dan kami menjadi orang-orang mulia.

Kewajiban memelihara alam telah digariskan dalam Filsafat Tri Hita Karana, yang telah digaungkan dalam setiap pertemuan, dibahas dalam berbagai pertemuan internasional, menghasilkan banyak guru besar, menghasilkan ribuan buku tebal-tebal, dikutip oleh para pemikir dunia dan lain sebagainya. Di balik itu semua Ibu…, Engkau telah melahirkan hamba di Bali, sejak kecil sampai kini telah menyaksikan perubahan yang amat drastis. Dahulu angin sejuk amat terasa pada setiap perbatasan wilayah dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi, malam hari suara belalang, jangkrik, kunang-kunang, kodok-kodok bersuara riang gembira dan suara makhluk lainnya,   disinari sinar rembulan dan bintang, angin mendesir menciptakan suasana malam yang indah, mengantarkan istirahat tidur dipangkuan-Mu yang penuh kedamaian, sehingga esok hari kami bangun pagi merasa segar bugar. Sekarang suara-suara merdu saudara-saudra kami tidak terdengar lagi, karena tempatnya telah diubah menjadi gedung-gedung bertingkat, hotel-hotel mewah, yang rakus menyedot air bumi ini untuk kepentingannya. Mengurangi jatah air para petani untuk mengairi sawah, sehingga malam hari begadang menunggu pembagian air mengaliri sawahnya. Orang-orang pintar telah datang membawa merek menyedot air bumi untuk bisnisnya dan sekarang yang diminum adalah air bumi yang telah dikemas merk tertentu, berlomba mepromosikan diri bahwa air kemasannya adalah paling sehat, yang justru sering membuat kerongkongan tersengat karenanya.

Romantisme kehidupan yang damai dipangkuan-Mu Ibu Pertiwi sekarang telah berubah menjadi suara yang amat berbeda, suara-suara indah makhluk alam, sinar rembulan yang mendamaikan jiwa itu tidak sempat dinikmati lagi, karena telah disaingi kerasnya suara kenalpot motor yang trektrekan dimalam hari, wanita berpakaian minim penuh gaerah berderet dipinggir jalan menjadi pelayan kafe ditambah suara music disco yang menyengat telinga sampai larut malam, kebisingan suara mobil sampai pagi dan beberapa suasana ketidak nyamanan lainnya. Jaman dahulu ketika keluar di malam hari orang sangat takut dengan Leak sakti mandraguna, namun sekarang yang lebih mengerikan dan menakutkan adalah orang-orang mabuk, penjambret yang berkeliaran. Betapapun ugignya Leak, namun masih memiliki etika dan toleransi apabila tidak saling menggangu, tetapi sangat berbeda dengan orang mabuk yang ugal-ugalan, bersenjata tajam, naik sepeda motor, mobil tanpa control akibatnya,  sebenar apapun jalur dan rambu-rambu lalu lintas diikuti ketika berhadapan dengan orang mabuk, keselamatan terancam. Akibatnya telah banyak bukti memakan korban nyawa tak berdosa yang mati sia-sia. Banyak orang telah mati karena arak methanol namun tetap saja terjadi dan terjadi terus. Etika dan sopan santun serta keramah-tamahan, sifat gotong royong, yang menjadi unggulan orang Bali, sebagian besar telah berubah menjadi, orang acuh tak acuh, cuek, tidak ada hormat antara atasan dan bawahan, hormat ketika keinginannya dipenuhi dan besok cuek tak peduli lagi, hilang jiwa toleransinya yang ada hanyalah menengadahkan telapak tangan dan kekerasan. Akibatnya “semakin banyak lahir orang-orang penikmat”, dari pada lahirnya orang-orang yang selalu berupaya membangun kesejahtraan dan kedamaian untuk kenikmatan bersama. Orang-orang seperti inilah yang belum mengenal kewajibannya sendiri, merupakan penderitaan yang berakibat pada diri, keluarga dan masyarakat lingkungannya. Ketika hal ini tidak disadari dan dikendalikan perkembangannya mulai dari diri sendiri, maka semakin berat beban masyarakat, daerah dan bangsa ini.

Perubahan gaya hidup yang merubah kehalusan kulit dengan otot-otot yang anatomis akibat kerja keras sekarang digambari dengan aneka wujud dan motif-motif disertai warna-warni yang sangat indah, bahkan telah banyak melukisi wajahnya sendiri sampai sulit untuk dikenali. Gayanya berlagak priyayi, berbadan gendut seperti orang kaya karena baru habis jual tanah warisan, tangannya tudang tuding memerintah babunya, akhirnya semua peluang kerja diambil  orang lain. Jaman dahulu Griya adalah tempat untuk memohon petunjuk suci berkaitan dengan kegiatan spiritual namun sekarang telah banyak berkembang menjadi pedagang banten, sehingga orang datang ke Griya hanya membawa amplop, urusan sarana upacara dan waktu pelaksanaan telah diatur lewat telepon genggam.   Dahulu sarana bebantenan dibuat secara gotong royong sekarang telah menjadi komoditi, dan dibuat secara instan, penek, tumpeng (bentuk selompok nasi) dicetak dicampur kanji dan dikeringkan kemudian dijual dipasar, yang membeli hanya menghitung biji, apakah seperti itu hakekat persembahan……….?. Ketika hal itu tidak wajar……….siapa yang patut untuk menertibkan……..?. Bukankah hakekat persebahan makanan (prasadham) sebagai wujud bhakti, yang nantinya untuk dinikmati bersama demi kesehatan, nah kalau nasinya instan dan kering seperti itu  bagaimana bisa dinikmati……..?.  Janur kelapa yang sangat indah sebagai sarana jejahitan, sekarang telah diganti dengan daun palem yang tumbuh di luar Bali, akibat terdesaknya lahan dan semakin banyak kebon kelapa dijadikan tempat pemukiman. Pura-pura suci telah dijadikan obyek wisata, bahkan salah satu pura telah dijadikan tempat bercinta bagi wisatawan, akibatnya masyarakat yang menanggung resiko.

Tarian sacral telah banyak dijual untuk tontonan wisata, dengan dalih-dalih pembenarannya. Tarian Joged Bumbung sebagai tari pergaulan sekarang telah berubah menjadi tarian erotic yang telah ditebar untuk segala umur, akibatnya anak-anak telah mengalami proses pendewasaan yang sangat cepat. Syukur-syukur bila pendewasaan spiritualnya yang tumbuh lebih cepat, tetapi yang lebih banyak berkembang  adalah pergaulan bebas, akibatnya Bali menjadi urutan teratas dalam penyakit mematikan. Bali yang damai terkenal dengan sebutan pulau Dewata dengan seribu Pura sekarang bertambah sebutan menjadi pulau sejuta kafe. Tempat-tempat pemujaan di laut, untuk melaksanakan upacara, Melasti, Nyegara Gunung, Nganyut, Mendak Tirta dan lain-lainnya sekarang telah banyak yang abrasi akibat ganasnya ombak laut, sisa-sisa yang lain dikuasa hotel, restorant dan kafe sehingga sangat mendesak dan terbatas ruang gerak melaksanakan yadnya dan juga untuk mandi bersama. Hutan mangrove diubah menjadi supermarket internasional, pertokoan, perumahan dan lain sebagainya. Akibatnya beban kerja Ibu Pertiwi semakin berat, jaman dulu sangat mudah mengubah sampah-organik menjadi pupuk yang menyuburkan tanah, tetapi sekarang sangat sulit mengolah plastic menjadi pupuk, tetapi dijadikan racun yang mengakibatkan penyakit yang mematikan. Masuknya unsur-unsur asing tanpa melalui penyaringan sangat berdampak secara moral maupun kesehatan. Moral dan mental orang-orang Bali menjadi beringas, pemabuk, narkoba, berbagai macam penyakit mematikan telah berkembang telah menjadi hal yang biasa, bukan lagi menjadi takut mati sia-sia, malah menjadi “mode” yang dikagumi.

Di tengah-tengah kegalauan menghadapi situasi seperti itu, kami hidup Ibu……..,jawaban yang paling sering dan mudah ditunjuk oleh para pemuka adalah dalih kekurangan upacara. Berbagai surat edaran kepada masyarakat untuk melakukan yadnya, dari upacara yang terkecil dan upacara besar-besar telah dilakukan, namun belum bisa memberi jawaban tentang keselamatan dan kesejahtraan akhirnya bom meledak lagi, perang saudara semakin menggila, tentu jawaban apa yang patut dilakukan oleh semua orang…….?, mari pikirkan, dan lakukan langkah nyata perbaikan bersama ketika merasa membutuhkan serta bertanggung jawab untuk menciptakan kedamaian bersama. Disamping yadnya berupa upacara besar, yang teramat penting adalah pendidikan mental spiritual sudah sangat mendesak dan segera dilakukan, bila dunia ini khususnya Bali agar tidak menjadi lebih parah lagi.  Berkaitan dengan suasana kejiwaan ritual yang besar itu barangkali perlu didengarkan kisah seekor tikus yang bertanya kepada rakyat yang sedang melaksanakan perintah raja Yudistira untuk melaksanakan upacara suci Rajasuya yang sangat mewah dan megah itu. Oleh karena ia seorang rakyat biasa tentu tidak berani bertanya kepada junggjungannya Raja Astina Pura. Tikus itu bertanya, mengapa bulunya tidak bisa menjadi emas yang masih sisa sebagian lagi, setelah mengguling-gulingkan tubuhnya pada setiap sarana upacara Rajasuya itu ?. Sangat berbeda dengan upacara persembahan seorang miskin yang memperoleh beras dari memungut sisa-sisa panen padi, yang mempersembahkan sebagian buburnya sebagai sadana persembahan kepada Tuhan dan setengah lagi untuk dinikmati seluruh keluarganya. Ketika persembahan usai tikus itu menggulingkan tubuhnya pada bubur persembahan itu, karena bubur itu sedikit akhirnya bulu tikus itu sebagian menjadi emas. Betapa semangatnya tikus itu ingin menjadikan bulunya emas.  Sejak saat itulah tikus selalu berada pada setiap upacara persembahan untuk menemukan upacara suci agar bisa mengubah bulunya yang sebagian lagi yang belum mejadi emas. Semogalah jawaban yang sering didalihkan sebagai kekurangan upacara patut direnungi kembali kebenarannya, sehingga kritik sinis orang asing perlu menjadi pertimbangan yang mengira Tuhan di Bali itu haus ritual, sangat bengis mata melotot, taring panjang dan sangat menakutkan yaa………?, jawaban apa yang patut diberikan, tentu bukan hanya kata tetapi pengetahuan tentang kebenaran, kejujuran, kebijaksanaan dan kesucian prilaku yang mesti dimulai dari diri sendiri.

Dan sekarang yang paling santer adalah rencana reklamasi teluk Benua yang telah menjadi perdebatan dari berbagai kalangan, diantara perdebatan para pejabat, organisasi masyarakat maupun respon pribadi dari masyarakat sangat sulit dikenali kemurnian tujuannya. Kenyataan yang dialami masyarakat, banyak sawah, rumah dipinggir pantai yang telah hilang digerus oleh keganasan ombak. Keluhan yang nyata itu diantisipasi kajian-kajian oleh para ahli melalui berbagai seminar yang menelan dana miliaran, entah kemana berpihaknya, apakah para akhli itu sudah mampu menjangkau hukum kerja kebesaran laut dengan segala kemungkinannya. Apakah semuanya itu bisa hanya diterjemahkan oleh kemampuan logika ilmiah saja, inilah yang sangat sulit diketahui akibat keterbatasan kemampuan manusia. Sangat berbeda dengan apa yang telah dilakukan Dang Hyang Dwi Jendra mendirikan pura-pura suci mengelingi pinggiran atau pesisir laut pulau Bali, agar Bali aman dari berbagai ancaman. Teladan ini telah terbukti  ratusan tahun memberkati kesejahtraan dan kedamaian umat manusia serta memberikan kesejahtraan ekonomi secara luas kepada masyarakat. Tentu hal ini melahirkan pertanyaan dalam diri, kewajiban apa yang telah dipersembahkan atas kemuliaan berkat-Nya ?, marilah merenung bersama agar menemukan jawaban sesuai kesadaran kita masing-masing.

Om Ibu Pertiwi, tiada tempat untuk hamba untuk mengadu dan hanya memohon perlindungan-Mu.  Om Ibu Pertiwi ku Yang Maha Mulia, berkatilah keheningan dan kecemerlangan-Mu yang bisa mengalir pada pikiran, perkataan dan perbuatan bagi seluruh umat manusia di dunia, dalam hal ini orang-orang Bali, terutama para pemimpin yang diberi kuasa untuk menentukan keputusan dalam menghadapi keinginan dan nafsu-nafsu material yang semakin berambisi dan serakah. Dengan harapan agar senantiasa keputusan yang diambil oleh para pemimpin adalah keputusan yang mensejahtrakan masyarakat dalam arti luas.  Kerena memang itulah tugas utama atau kewajiban yang melekat bagi seorang pemimpim. Bukankah kewajiban itu yang disarankan oleh Bisma kepada Yudistira setelah dinobatkan menjadi Raja Astina Pura, sebelum Bisma menentukan jalan kematiannya sendiri.  Apabila belum menyadari akan kewajiban yang berpengetahuan itu dan pengendalian diri yang teguh janganlah coba-coba berebut jadi pemimpin.  Apabila dengan gagah beraninya mengumbar janji mengabiskan miliaran rupiah untuk promosi. Bukan saja promosi untuk manusia tetapi selalu memohon berkat dari para Dewata dan selalu tangkil setiap malam ke pura agar dijadikan pemimpin, mudah-mudahan setelah dijadikan pemimpin sama rajinnya ke pura dan mengingat janji-janjinya. Melupakan janjinya kepada manusia adalah soal biasa, tetapi bagaimana ia akan melupakan janjinya dihadapan Tuhan, ingat-ingat……..nggih ratu. Kenyataan tindakan itu berarti ada keberanian dan kesungguhan untuk memperbaiki nasib rakyat yang mesti diperjuangkan. Permohonan kepada Tuhan, keberanian dan kesungguhan saja tidak cukup, mesti memiliki pengetahuan material dan spiritual yang baik serta memiliki pengendalian diri yang kuat dan terlatih.  Pengendalian diri bukan hanya bisa dibaca tetapi melalui proses latihan yang panjang dan teruji oleh keadaan, bukan malah cari ganti rugi yang menyebankannya memasuki rumah baru yang penuh sesak itu.

Om Ibu Pertiwi ku Yang Maha Kasih, itulah kegelisahan yang hamba alami di Bumi Bali  yang dahulu sangat dibanggakan oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia. Kejadian-kejadian ini sangat sulit diatasi oleh pemimpin bangsa ini, karena keterbasan dan kebodohan hamba-hamba-Mu ini tidak punya tempat lagi untuk berpindah ketika Bali ini sudah rusak. Inpestor gampang saja meninggalkan Bali bila sumber daya telah habis dan bisa mengarahkan sasarannya di tempat lain, karena memiliki kesaktian materi yang mampu mengubah segalanya, entahlah perubahan itu kemana arahnya. Marilah lihat bersama dari sudut pandang pengetahuan suci yang mensejahtrakan. Om Ibu Petiwi ku, hamba masih memiliki keyakinan kuat akan kebesaran-Mu untuk selalu melindungi umat manusia yang selalu mengarahkan dirinya mendekat di kaki-Mu. Karena disitulah kebahagiaan bisa diperoleh, yaaa…..a karena memang disitu sumbernya yuuk… mendekati Ibu yuuuk……, agar bahagia bersama.

Sesungguhnya dengan Kasih sayang-Nya Ibu telah mencibir anak-anak-Nya di berbagai belahan dunia ini yang terlalu nakal, menyakiti tubuh-Nya yang telah memberi segalanya, namun tidak pernah hirau akan cibiran-cibiran yang amat dahsyat bahkan semakin menggila dengan kedok kesejahtraan ekonomi masyarakat.  Apakah kita akan menunggu cibiran yang lebih marah lagi……?, kalau tidak stop sampai disini dan mari berbenah memelihara alam semesta ini. Agar tidak gelisah menahan kepanasan suhu bumi yang telah menggila ini, seperti apa yang telah diserukan oleh Presiden Amerika Serikat Barak Obbama akhir-akhir ini kepada seluruh umat manusia penghuni bumi ini.

Semogalah menjadi renungan bersama, Om Shantih, sahantih, shantih, Om   

I KETUT MURDANA