Jan
12
2012

Profil Seniman Bali

I GEDE DEWA NEGARA

Desa adat Bambang, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli menjadi lebih dikenal masyarakat luas di Bali dengan hadirnya seorang seniman tabuh gender bernama  I Dewa Gede Negara.  I Gede Dewa Negara yang lahir, besar dan hingga kini tinggal di desa tersebut bersama istrinya, Made Tirta, sampai saat ini masih aktif dalam kegiatan kesenian, khususnya seni tabuh gender, dan kegiatan pertukangan serta bertani. Usia nya yang sudah 80 tahunan sepertinya tidak berhasil mengurangi semangat hidup I Gede Dewa Negara. Anaknya yang berjumlah 5 (lima) orang sedari kecil sudah terbiasa dengan kegiatan kesenian sang ayah, bahkan beberapa anaknya juga terbiasa terlibat dalam kegiatan tersebut dan 3 orang diantaranya saat ini telah turut melestarikan budaya Bali yaitu I Dewa Gede Darmawan (undagi/pembuat pengusung jenazah), I Dewa Gede Darmayasa (seni tabuh) dan Dewa Ketut Kadiri (seni ukir).

Mengaku tak bisa lepas dari kehidupan adat Bali, sejak muda I Gede Dewa Negara selalu terlibat dalam aktivitas adat dan keagamaan di daerahnya. Keterlibatan yang awalnya sebagai peserta upacara atau penonton pertunjukkan seni, menumbuhkan kecintaannya pada adat istiadat leluhur. Lebih jauh lagi, tertanam dalam benak I Gede Dewa Negara muda untuk ikut serta dalam melestarikan adat istiadat leluhurnya. Hal itulah yang mendorongnya untuk mulai mempelajari tabuh gender sejak usia 10 tahun dengan arahan dari I Wayan Tilar (Bangli) yang membimbingnya selama 5 tahun, kemudian dilanjutkan dibawah bimbingan I Dewa Ketut Tingguh (Gianyar). Setelah menguasai tabuh gender, I Gede Dewa Negara kemudian bergabung dengan sekha wayang wong dan menjadi pengiring setiap pementasan wayang kulit yang dibawakan oleh I Made Wenten (almarhum).

Di usia senjanya kini, aktivitas I Gede Dewa Negara tetap tidak bisa lepas dari seni dan adat istiadat Bali. ia juga tidak segan-segan membagi ilmu dan keahliannya kepada orang lain dengan memberikan pelatihan penguasaan tabuh gender. Telah banyak seniman tabuh gender yang lahir dan besar melalui arahannya; beberapa diantara yang bisa disebutkan yaitu Ngakan Putu Warna, Ngakan Kompiang Sinep, Ngakan Nyoman Baragan (Alm), Ngakan Made Kutha Pariana, Nyoman Jati Dan Made Tulya. Hanya saja waktunya kini lebih banyak dihabiskan di sanggar sebagai pelatih tabuh gender atau mengikuti kegiatan keagamaan.

Selain berkiprah sebagai seniman tabuh gender yang di masa jayanya kerap berpartisipasi dalam pertunjukan seni di luar daerah maupun di luar negeri, I Gede Dewa Negara juga memiliki keahlian lain, yaitu sebagai undagi. sebagai undagi, I Gede Dewa Negara mampu membuat bade tempat pengusungan jenazah ke kuburan maupun memimpin dan meyelenggarakan upacara pembakaran mayat (ngaben). Ia merupakan salah satu dari sedikit orang yang mampu melaksanakan upacara ini sekaligus mengatur dan membuat segala perangkat yang diperlukan dalam upacara.

Dalam menjalani segala jenis aktivitasnya tersebut, I Dewa Gede Negara berpegang teguh pada filosofi hidupnya yaitu bekerja secara ikhlas (ngayah). Konon menurutnya, jika dibarengi dengan ikhlas, maka ia bisa menjalani segala aktivitas dengan baik meski saat ini kepekaan pendengarannya telah berkurang.

Dibalik semua kiprahnya dalam dunia seni tabuh tradisional, khususnya tabuh gender, I Gede Dewa Negara senantiasa berharap seni kesenian tradisional bali dapat bertahan di tengah perkembangan jaman yang semakin cepat dan banyaknya pengaruh dari budaya luar Bali. sehingga masyarakat Bali khususnya maupun masyarakat dunia umumnya dapat mengenal kekayaan seni budaya Bali. Ia menyadari bahwa harapannya tersebut tidak bisa lepas dari peran serta pemerintah dalam memfasilitasi perkembangan seni Bali. Pemerintah, harapnya, tidak hanya harus rajin memfasilitasi pertunjukkan kesenian Bali ke luar daerah maupun ke luar negeri, tetapi juga menjamin kehidupan para seniman yang telah mengabdikan hidupnya demi menjaga, mengembangkan dan melestarikan kesenian Bali. sementara itu, di tengah kreativitas dalam mengembangkan kesenian bali sedemikian rupa, I Gede Dewa Negara berharap kepada generasi muda untuk tetap mempertahankan seni tradisional Bali, sesuai dengan aturan-aturan dasar maupun pakem-pakem yang diwariskan leluhur secara turun termurun.

Written by in: Tak Berkategori |

343 Comments

Comments are closed.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL


Powered by WordPress | Theme: Aeros 2.0 by TheBuckmaker.com