REVIEW LIMA ( 5 ) BUKU

BUKU I

Judul : Belajar Main Rekorder

Penulis : M. Soeharto

Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta, 1990

Buku ini merupakan kelanjutan dari pelengkap dari buku yang terdahulu, Belajar Main Rekorder : Duet Sopran. Bagian pertama berisi sejumlah etude atau bahan latihan untuk duet rekorder alto. Pada bagian kedua disajikan sejumlah lagu indonesia yang umumnya telah dikenal, untuk rekorder sopran atau alto. Para pemakai dapat menerapkan sendiri petunjuk yang termuat dalam buku ini dalam latihan sehari-hari, sehingga mampu mencapai sasaran pelajar secara optimal.

Pengarang buku ini, dosen IKIP Jakarta dan sering menjadi juri untuk pelbagai festival musik tingkat Nasional, sudah dikenal luas di dalam dunia pendidikan musik di Indonesia, karya-karyanya yang lain telah ditulisnya antara lain Belajar Not Balok, membina panduan suara dan group vokal, dan kamus musik Indonesia.

BUKU II

Judul : Ensiklopedi Mini Karawitan Bali

Penulis : Pande Made Sukerta

Penerbit : Sastrataya – Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI)

Bandung – Indonesia 1996

Seni Ensiklopedia Musik merupakan hasil kompilasi khasanah musik indonesia, yang disusun oleh para pakar yang tergabung dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Rangkaian seni ini dimulai dari tradisi musik yang dikenal secara umum seperti musik Bali, Jawa, Sulawesi, Sumatra, kemudian disusul oleh lingkungan kebudayaan yang belum dikenal luas : Flores, Mentawai, dan daerah lainnya. Seni ini merupakan langkah awal untuk membangun ensiklopedia umum musik Indonesia.

BUKU III

Judul : SELONDING (Tinjauan Gambelan Bali Kuna Abad X-XIV)

Penulis : Pande Wayan Tusan

Penerbit : Citra Lekha Sanggraha

Karangasem 2003

Buku ini merupakan suatu deskripsi, dari beberapa Gambelan Selonding yang diketemukan di Bali, berawal dari sebuah penelitian dalam rangka merestorasi Gambelan Selonding Pajenengan di Merajan Selonding Besakih, menjelang Karya Agung Tri Bhuana dan Candi Narmada tahun 1993. Deskripsi Gambelan Selonding dalam tulisan ini meliputi asal-usul, sejarah, daerah penyebaran serta hubungan etnis pendukung dalam agama dan budaya, instrumentasi, saih, gending-gending dan notasi.

Penulis memang telah menyadari betapa tulisan ini sangat jauh dari sempurna dan ternyata kekurangannya masih menganga lebar dari sana sini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati serta lapang dada penulis mohon perkenan siding pembaca untuk turut menyumbang pemikiran-pemikiran serta tegur sapa yang konstruktif demi kesempurnaannya buku ini.

BUKU IV

Judul : GONG KEBYAR BULELENG

(Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar)

Penulis : Prof. Dr. I Pande Made Sukerta, S. Kar., M.Si.

Penerbit : Program Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta 2009

Bali pada umumnya sifat itu diantaranya keras, kadang-kadang kasar, tekun, pantang menyerah, pekerja keras, kadang-kadang dikatakan “bonek” (bandha nekad) tetapi low profil. Di dalam kehidupan rohaninya pun komunitas pande berbeda dengan lainnya. Dalam persembahyangan rata-rata masyarakat Bali yang beragama Hindu dipimpin oleh tokoh agama berkasta Brahmana yang disebut Pedanda. Tetapi bukan golongan pande kalau sama dengan masyarakat lainnya, mereka tidak mempergunakan Pedanda sebagai pemimpin upacara keagamaan melainkan seorang Empu yang tentu saja juga berkasta Brahmana.

Pande Sukerta menyusun buku ini serta memahami kerja lapangan secara konkret dengan seniornya di lapangan, maka daya curiosity yang memang sudah ia miliki tumbuh subur dan terus dicari jawabnya walaupun harus lewat literatur. Menjenjang Pande Sukerta ke jenjang akademik tertinggi(doktor) ia mengambil tema sebuah buku yaitu Tradisi Gong Kebyar. Buku ini dipilih sebagai buku teks bermutu olrh program pendidikan pascasarjana di ISI Surakarta.

BUKU V

Judul : Prakempa sebagai seni sastra

Penulis : Prof.Dr. I Made Bandem

Penerbit : ASTI Denpasar 1986

Prakempa sebagai salah satu dari karya seni sastra yang menguraikan tentang gambelan bali tak dapat di pisahkan eksistensinya dari karya seni sastra yang lain. Dilihat dari segi bentuknya prakempa merupakan sebuah prosa yang menggunakan bahasa jawa kuna ( kawi ) dan ditulis dengan huruf bali yang bagus wujudnya. Sebelum menguraikan prakempa sebagai karya sastra yang bermutu tinggi, penting kiranya diuraikan karya seni sastra lainnya untuk memperoleh gambaran tentang kedudukan Prakempa di tengah-tengah seni sastra bali lain nya.

Seni sastra bali purba yang berkembang pada zaman Pra Hindu merupakan seni sastra rakyat yang bersifat tradisi lisan dan di pelajari turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Walaupun mengalami perubahan zaman, seni sastra ini tetap berkembang subur dikalangan masyarakat bali.

Hubungan erat antara bali dengan jawa yang dimulai sejak abad ke-8 menyebabkan seni sastra bali dipengaruhi oleh seni sastra hindu jawa. Pracasti Bebatin yang berangka tahun 896 Masehi merupakan karya seni sastra yang agung dan menyebutkan berjenis-jenis seni pertunjukan didalam nya seperti seni gambelan, seni tari dan nyanyian. Pracasti Bebatin sendiri dibuat atas nama Raja Ugrasena diBali (Goris, 1952:55)

Kedatangan orang-orang majapahit kebali pada awal abat ke-16 meningkatkan lagi hubungan antar jawa dan bali dalam bidang kesenian khususnya seni sastra dan seni pertunjukan. Kesenian bali mendapat pengaruh yang kuat dari kesenian jawa dan elemen-elemen itu nampak pada system laras gambelan, komposisi lagu, penggunaan busana dalam seni tari, bentuk tarian dan kesenian bali yang semula berfungsi sebagai seni sakral, kini menjadi seni yang bersifat sekuler dan penampilannya lebih mengutamakan persembahan yang artistic.

Dan selanjutnya sekitar pada abad ke-16 – 19 kesenian bali berkembang mencapai puncak keemasannya yaitu dengan terciptanya berjenis-jenis tarian seperti gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong Kraton dan seni sastra kalsik lainya. Ada juga seni sastra yang berkembang lain nya yaitu seni sastra Ithihasa yaitu seni sastra yang terdiri dari bermacam2 tembang. Pada zaman raja-raja bali Kekawin dan Kidung diperbanyak produksinya oleh para pujangga istana, termasuk terjadinya tranformasi sastra Kekawin dan Kidung menjadi Sekar Mecepat, suatu pengalihan sastra Kawi menjadi sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang).

Dewasa ini hampir seluruh seni sastra yang disebutkan di atas masih terpelihara dengan baik di Bali. Tersimpan dalam perpustakaan perseorangan, maupun dalam perpustakaan lontar yang terbesar di Bali yaitu Gedong Kirtya di Singaraja.

Sebagai karya seni sastra yang bermutu tinggi, Prakempa dimasukkan ke dalam golongan Wariga, disebabkan oleh isinya tentang gejolak dunia dan gejolak itu mempunya kaitan bunyi, nada dan suara yang ditimbulkan oleh gambelan Bali. Disamping itu lontar prakempa juga mengandung tutur dan secara eksplisit dikatakan bahwa Prakempa ini merupakan tutur (nasehat) dari Bhagawan Gottama kepada para muridnya. Ungkapan ini tercantum dalam epilog lontar ini.

Leave a Comment

Gong Kebyar Sebagai Seni Pertunjukan

Bali yang merupakan pintu gerbang utama seni di Indonesia, bisa dipastikan sangat merangsang perkembangan seni pertunjukannya. Maka tidak mengherankan apabila sebelum Indonesia menggalakan seni pertunjukan  saja, seorang pakar etnomusikologi dari Amerika yang bernama Mantle Hood, menjuluki Bali sebagai “sorga dari dunia seni”. Demikian juga yang mendorong seorang seniman asing yang tinggal di Bali cukup lama, pada tahun 1930-an menganjurkan kepada seniman desa setempat untuk mengemas pertunjukan khusus buat kesenian pertunjukan. Kemasan yang pada umumnya diciptakan dengan penuh rasa pengabdian kepada adapt (masyarakat) dengan tata panyajian sesuai alam Bali.

Tidak biasa dipungkiri bahwa akhir-akhir ini seni pertunjukan  mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama dari segi kwantitas serta mengalami posisi yang kuat dalam industri kalangan pada seni pertunjukan. Hal ini juga terlihat banyaknya grup-grup atau kelompok kesenian yang ada, entah itu termasuk sekhe, sanggar, dan atau kelompok kesenian sesaat yang menangani seni pertunjukan.Contohnya dalam melayani permintaan kalangan industri pariwisata, biasanya pelaku seni pertunjukan, anggaran dan juga personilnya. Dari keterkaitan ini, akhirnya berdampak pula kepada instruman musik yang digunakan.

Gong Kebyar adalah salah satunya ensambel yang banyak digunakan dalam seni pertunjukan. Kompleksitas dan keunikan yang dimiliki Gong Kebyar merupakan alasan mengapa Gong Kebyar dapat berinteraksi dengan seni pertunjukan.

Dampak positif dan negative seni pertunjukan terhadap perkembangan Gong Kebyar

  • Dampak Positif

Dunia seni memang menawarkan beberapa kesempatan untuk terlibat didalamnya, baik sebagai karyawan maupun sebagai pengisi disetiap acara-acaranya. Disini keberadaan dunia kesenian sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan memperoleh kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi penduduk pribumi. Dalam hal ini salah satu kesempatan tersebut adalah mengisi acara pertunjukan pada setiap event-event yang diadakan. Keberadaan seni pertunjukan memang saling memerlukan dengan seni pertunjukan khususnya di Bali. Kalau diibaratkan bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Khususnya Gong Kebyar dalam kaitannya dengan seni pertunjukan memang sangatlah erat. Karena disetiap pertunjukan seni selalu kita jumpai baik dalam konser musik maupun untuk mengiringi tarian. Hal ini juga menyebabkan banyaknya timbul sekee atau sanggar-sanggar Gong Kebyar diBali. Dan yang paling menggembirakan adalah generasi muda sudah mulai berminat untuk mempelajari gending-gending Gong Kebyar.

  • Dampak Negatif

Seni pertunjukan Bali memang sangat disukai dan digemari oleh penduduk asli serta orang asing pula yang berniat tentang seni. Hendaknya generasi muda Bali yang bergelut di bidang kesenian menyadari betul hal tersebut dan tanggap atas segala tindakan, perubahan situasi, dan perkembangan era globalisasi

Royalty yang diterima para seniman juga berdampak pada pertunjukan Gong Kebyar. Biasanya pertunjukan gong kebyar yang lengkap melibatkan lebih dari 25 (dua puluh lima) penabuh. Dalam kasus-kasus tertentu, kadang-kadang hanya dimainkan setengah saja dari insrumen yang ada. Bahkan dalam kasus-kasus khusus, instrument yang dipergunakan lebih kecil lagi (lebih sedikit/hanya beberapa instrument), dengan jumlah 9 – 15 penabuh.

Hal ini sering dirasa sangat mengganggu dalam proses berkesenian, apalagi dalam menyajikan karya-karya yang telah ada pelaku seni sering tidak mempertimbangkan mutu dari sajiannya, dan terkesan asal jalan. Dari kasus-kasus tersebut diatas, kiranya dapat dijadikan renungan untuk kita semua guna menjaga dan melestarikan kesenian Bali khususnya Gong Kebyar dan menjaga hubungan baik Gong Kebyar dengan dunia pariwisata.

Diringkas dari buku: gong kebyar (perubahan dan keberlanjutan tradisi gong kebyar)

Leave a Comment

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!

Leave a Comment